Kenapa dia memilih untuk pergi, disaat aku bersiap untuk memantapkan hati.
Bara
——
"Meta, boleh gue nanya sesuatu?"
"Apa?"
Dona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia sedikit merasa canggung,
"Ah itu... lo tahu kak Loey ke mana? Soalnya gue cari Bara."Meta menarik pergelangan tangan Dona dan menggiringnya menuju tempat parkir,
"Ikut gue yuk.""Tapi ke mana?" tanya Dona lagi. Satu pintu mobil bagian penumpang sudah terbuka oleh Meta. Saat mereka sudah sampai di tempat parkir.
"Udah masuk dulu aja."
Dona menelan salivanya gugup, sebelum pada akhirnya ia menurut dan segera masuk ke dalam mobil.
Dona sedikit terkejut melihat seseorang sudah duduk di kursi kemudi.
Meta cekikikan, dia memilih dudu
Aku tidak senaif itu. Aku memang pria, tetapi aku juga manusia. Aku juga merasa sakit hati kala seseorang yang paling dipercayainya memilih membohongi. Bara — Beberapa hari yang lalu. Tepat ketika hari ulang tahun Dona. Chat Fera : sent photo Pacar lo kan itu?Dia punya tunangan.Wah, Ba, lo tersisihkan. Pesona lo pergi ke mana dah? Bara : 👊 Fera : Lo yakin nggak mau ke sini? Ciduk pacar lo yang tunangan kayaknya seru.
Senja selalu gemilang, berbeda dengan perasaan yang meredup dan tak pernah menghilang."Gue bosen karena tempat ini dijadiin buat rapat mulu. Kali-kali, rapat juga pesen tempat yang keren dongggg...."Nea merenggut kesal, menaruh nampan berisi enam kopi dingin di meja dengan sedikit membanting. Ikut duduk di samping Fera, di hadapan Alfina dan Gero."Gantiin loh yah, ini kopi."Otak Nea sudah penuh dengan uang. Ia akan rugi jika kopi tersebut tidak dibayar. Mau makan apa Nea dan ibunya hari ini? Makan batu?Gero bersantai ria,"Ada Mbos Nek, santai aja."Yang disebut Mbos menggebrak meja marah,"Gue udah ngasih donasi yah buat reuni, masa mau malak gue lagi?" Merenggut kesal, Fairel menyeruput es kopi dinginnya.Gero, Alfina, Meta tertawa terbahak-bahak, sedangkan Fera menggaruk kepala canggung, tet
Merelakan itu jauh lebih indah daripada mengekang. Melihat senyum liarnya bahkan menghilangkan duka tentang itu. Tak apa. Jodoh tidak akan melangkah jauh. Fairel ——— Rambut acak-acakan, mata sembab, baju lecek, kulit kering, semua itu didefinisikan oleh Dona lewat pantulan cermin. Dua hari dirinya tidak pergi ke kampus atau ke luar kamar. Makanan yang diantarkan Bi Jihan-pun tak urung ia makan. Mag-nya kambuh, Dona hanya mampu menahan rasa mualnya dalam diam ketika Aliya masuk ke kamar membawa sebaskom air dingin untuk mengompres kepalanya. Bandel, satu kata itu terucap berulang kali dari bibir sang bunda. Bunda menggiringnya dengan sekuat tenaga untuk berbaring kembai di kasur. Menyelimuti an
Bohong itu hanya akan membuat luka. Tidak ada yang namanya berbohong demi kebaikan, karena semuanya hanya dosa.———Langkah ragu itu terus mendekati. Kedua tungkai kaki jenjang kini sudah berhenti kepada sang dituju.Meremas ujung celananya, Dona memberanikan diri untuk mendongak.Menelan salivanya, Dona tersenyum kikuk kepada pujangga hati.Bara mengangkat satu alisnya angkuh, Meta berpamitan tidak ingin ikut campur. Meta ingin tahu alasan kenapa mereka putus, tetapi jauh dari masalah itu, Meta bersyukur karena kali ini cinta Fairel tidak akan bertepuk sebelah tangan lagi.Cukup berjuang sedikit lagi, Fairel akan menggenggam Dona sampai mati. Jomblo dari lahir itu akan menggaet status penting dalam hidup Dona.Hiruk pikuk mendadak membuatnya canggung, Bara yang tidak bersuara sama sekali membuat
Setelah merengek dan memohon, akhirnya Fairel dan Fera sampai di panti asuhan Jeina. Halaman luas yang tampak sepi membuat niatnya kian urung. Angin malam terus menerbangkan setiap helai rambutnya, kedua tangan yang penuh dengan makanan itu kini mulai terasa pegal. Fera merutuki restoran itu yang super lambat dalam melayani pembeli. Pada akhirnya, semua makanan yang Fera beli akan sia-sia. "Mereka udah tidur kayaknya, yuk pulang," ajak Fairel. Fera malah memelotot, ia tidak ingin pergi kecuali sudah memberikan semua makanannya. Fera memang terbiasa memberi sumbangan makanan ke panti asuhan, kadang menggunakan uangnya yang dikasih bokap, kadang juga hasil malak seperti sekarang. Fera tidak malu dan tidak peduli, yang penting perbuatannya itu menurutnya baik. Fairel
Hobi juga harus berdasar dengan rasa suka. Ketika objeknya adalah cinta, kamu tidak akan kesulitan untuk menyelesaikannya.————Pagi hari kembali menyapa, Sang Menantu rumah ini sudah bertengger di ruang tamu, menyesap teh hangat yang baru saja disediakan oleh sang pembantu.Kikuk, ditatap langsung oleh mertua tidaklah membuat Fairel senang. Dadanya seakan sesak, semua oksigen seolah direnggut paksa darinya, ingin bergerak-pun susah, seperti depan-belakang-sampingnya itu adalah kawat berduri yang beracun.Mata elang itu menatap Fairel intens, koran yang digenggam di kedua tangan masih menutupi sebagian wajahnya sampai hidung.Uhuk!!!Terlalu canggung, sampai Fairel tersedak minumannya sendiri. Fera tertawa terbahak-bahak tidak tahu diri, hingga Dion akhirnya berdehem untuk mencairkan suasana.Fairel menah
"Lo tuh yang bener kek, gagah gitu. Ini mah nggak ada estetiknya sama sekali."Fairel mengerucutkan bibir, ia sedikit jengah mendengar saran sekaligus cibiran Fera yang masih itu-itu saja.Padahal Fairel sudah merubah pose, posisi juga. Jika memang masih jelek, bukankah itu salah yang memotret?Fairel merapikan jasnya, ia kembali berpose dengan rahang yang sedikit diangkat ke atas, dengan kedua tangan di ujung jas.Jauh dari sana, ada seseorang yang berusaha mati-matian menyembunyikan degup jantungnya yang menggila. Berusaha mengontrol wajahnya yang memerah, dan berusaha mengontrol sikapnya agar tidak salah tingkah."Cakep Bro. Dah cepet ganti baju."Fairel berkedip sekali, telinganya sedikit diruncingkan."Lo nggak salah denger. Udah cepetan, bentar lagi malem."Fairel kembali berkedip, ia m
"Ngemis kata lo?" Sungguh hina sosok Bara di hadapan Dona kali ini,"Hah, gue nggak pernah ngemis sama lo. Gue nggak sudi ngemis sama lo. Gue salah... gue salah mertahanin lo yang bobrok kayak gini. Gue salah... karena Bara dalam hati gue itu ternyata hanya topeng busuk aja." Angin menerbangkan setiap kenangan mereka. Malam yang sunyi kembali menerkamnya dengan kegelapan. Kalimat Dona masih terngiang-ngiang di kedua telinganya, bahkan ketika Bara menutup mata untuk tidur. "Gue dulu cinta banget sama lo, tapi sekarang gue sadar, yang ada di hati gue itu cuman kebencian. Gue bakal buktiin ke lo, kalau gue bisa hidup tanpa lo. Dan lo dengan tenang nggak bakal keganggu lagi sama kehadiran gue." Itu kalimat terakhir yang diucapkan Dona sebelum gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa pamit. Amarah yang memburu, mulai melemah, berganti dengan rasa sakit yang menjalar di hati