Mulut dan hati keduanya sama-sama susah dijaga, jadi kamu harus patuh, agar aku bisa menjaganya.
BARA?
———
Kemarin, bertepatan dengan ulang tahun Dona pada tanggal 09-09-2021, Loey mengikuti pertandingan tinju yang didaftarkan oleh coach-nya.
Bara, Meta, dan Loey saat ini sedang berada di tempat pertandingan. Tempat pertandingan itu terlihat kumuh, dan terlihat seperti bangunan yang tidak pernah terpakai. Warna cat keputihan yang mulai mengelupas dan luntur, serta banyak debu di mana-mana. Penerangan minim, yang hanya menyoroti tempat istirahat petinju, serta ring, membuat kesan pertama Meta adalah sedikit horor.
Tentu saja, pertandingan itu diadakan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan banyak sekali penjaga yang menjaga di depan pintu masuk. Serta gerbang rumah itu yang selalu digembok besi.
Bara terpaksa ikut bersama Loey, untuk menjaga kakaknya itu agar tetap hidup dengan keadaan segar bugar. Ia takut jika Horned akan memarahinya ketika beliau mengetahui Loey ikut pertandingan tinju lagi.
Horned tidak pernah mengijinkan anaknya untuk mengikuti pertandingan tinju. Beliau mengetahui alasan di balik hal itu, akan tetapi menurutnya, uang hasil jerih payahnya itu masih mampu digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka. Dan masih banyak pekerjaan yang lebih baik daripada adu jotos.
Oleh karena itu, sebisa mungkin Bara menyemangati kakaknya agar tidak kalah dan bonyok.
Bara juga merelakan rutinitasnya yang selalu ia siapkan selama setahun sekali itu.
Bara ingat, hari ini adalah hari ulang tahun Dona. Namun, Bara tidak memiliki waktu untuk meluangkan sekedar mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
Bara terlalu sibuk, ia bahkan terus-terusan emosi karena waktu bergulir dengan sangat lambat. Ia tidak ada niat untuk membuat Dona menangis, hanya saja keadaan menyuruhnya untuk tidak bersikap manis.
Kesalahan Bara juga membuat dirinya berbohong kepada Dona. Ia beralasan sedang sibuk menyusun skripsi, padahal Bara santai-santai saja dalam mengerjakan skripsinya, bahkan selalu menunda-nunda.
Kebohongan akan terus melahirkan kebohongan, hingga mereka lupa, sudah berapa ribu kebohongan yang keluar dari bibirnya itu.
Setelah menunggu setengah jam di ruang istirahat, Loey memasuki arena. Dan pada saat itulah, lawan yang akan dihadapi Loey terlihat dengan jelas oleh mata mereka.
Tubuhnya lebih kekar daripada Loey, otot-otot di lengannya juga lebih kekar dari Loey. Bara terus pesimis akan Loey, ia merasa kali ini Loey pasti akan kalah.
Bara menengadahkan tangannya seraya berdoa,
Jika emang kakak gue ditakdirkan kalah. Tolong jangan sampai bonyok.
Batinnya, lalu mengusapkan tangan itu ke wajahnya.
Meta memilih tidak menonton, dan menunggu di ruang istirahat. Ia tidak terbiasa berada di kerumunan seperti itu, yang mayoritasnya adalah laki-laki perokok.
Asap rokok yang membumbung tinggi di udara itu hanya akan membuat dadanya sesak, oleh karena itu ia memilih menyendiri daripada menyusahkan Loey dan Bara nantinya.
Meta juga tidak menyukai darah, atau pertengkaran.
Setelah mendapat aba-aba, mereka memulai pertandingan itu. Sudah tidak niat dari awal, wajah Loey terus kena bogem dari lawannya.
Loey terlihat tidak mengelak dan kewalahan, seolah seluruh tenaganya terkuras, padahal Loey tidak melakukan apapun seharian ini, selain tidur dan memainkan ponselnya untuk bertukar kabar dengan Meta.
Dentingan bel di arena, membuat kedua orang itu berdiri di sudut untuk beristirahat. Bara segera menghampiri kakaknya itu, dan mengutarakan keluh kesahnya,
"Woi kak, lo mau bikin gue mati muda yah? Kalau nggak bisa menang, setidaknya lo jangan bonyok. Bokap pasti marahin gue," cecar Bara seraya mengingatkan. Ia sangat khawatir saat ini, mengingat bagaimana kemarahan Horned yang tidak terkendali itu, membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.Ketimbang menyemangati kakaknya, atau mengelap keringatnya, atau sekedar memberinya minuman, Bara malah mencebikan bibirnya, menekuk wajahnya dan berlari ke tempat istirahat.
Mood-nya sudah hancur, kini semakin dibuat hancur oleh Bara. Mengingat keberadaan Meta di sana, membuatnya berpikiran negatif. Bara yang selalu baik kepada semua wanita itu, kini berduaan dengan Meta dalam satu ruangan yang tidak memiliki jendela dan terlihat seperti gudang. Orang bodoh sekalipun pasti tahu apa yang akan mereka perbuat.
Dentingan bel kembali berbunyi, membuat kedua pria yang berperawakan bugar itu saling berhadapan kembali.
Kali ini, waktunya tidak tepat untuk Tio kembali menyerang Loey. Dia merubah strategi, dan memilih menjadi umpan Loey.
Loey yang sudah tersulut emosi terus mengarahkan tinjunya ke wajah Tio seperti orang kesetanan. Hanya saja Tio dengan lincah mengelak semua tinjunya.
Loey kembali kewalahan, dan ia kembali berakhir dengan penuh memar di sekitar wajah dan perutnya.
Loey terkapar, membuat pertandingan ini menjadikan Tio sebagai pemenang, dan Loey kalah telak.
"Kenapa lo ke sini? Kakak lo kan lagi tanding!" tanya Meta, pertanyaan itu lebih terdengar seperti tuntutan.
Bara yang datang dengan wajah kusut itu hanya diam, dan memilih duduk di kursi kosong yang jauh jaraknya dengan Meta. Di sudut ruangan tanpa kipas.
Meta menghembuskan nafas gusar, ia segera berdiri dari duduknya, membawa kursi itu ke samping Bara, kemudian mendudukkan lagi bokongnya di sana. Merelakan kipas yang menyala di sekitar area duduk sebelumnya.
"Gimana Loey? Dia menang nggak? Sayangnya nggak ada layar di sini yang bisa menampilkan penampilan mereka."
Bara mendengus sebal, bukannya menjawab, pria itu menutupi kedua telinganya dengan headset.
Meta tentu saja merasa jengkel, ia langsung mencabut penutup telinga itu.
"Gue lebih tua dari lo, lo harus sopan sama gue!"
Bara terkikik geli,
"Kita seumuran, mentang-mentang lo jadi pacar kakak gue, bukan berarti lo lebih tua dari gue. Lo hanya memiliki status sebagai pacar, bukan kakak ipar," hardiknya dan tepat mengenai jantung pembicaraan."Gue tanya sama lo, seandainya lo disuruh milih, lebih milih mana, Loey yang bonyok karena lawannya, atau gue yang bonyok karena bokap gue sendiri, dan itu ulah dari Loey!"Meta terdiam, bibirnya terkunci tiba-tiba, tidak ada yang bisa dipilih dari ungkapan itu. Ia tidak bisa membuat dua saudara itu bonyok dan terkapar hanya karena keegoisan masing-masing.
Tetapi, Meta juga harus mengambil keputusan,
"Gue tahu, ini nggak mudah. Setidaknya lo harus nyemangatin kakak lo, biar dia nggak kalah atau bonyok." Meta menepuk paha Bara yang terlapisi jeans hitam itu seraya memberinya kekuatan, hanya saja jawaban Meta terdengar terlalu memihak kepada satu orang saja, dan itu tidak pantas diungkapkan oleh Meta yang terlihat ingin menjadi kakak bagi Bara.Bara berdecih, menatap sengit kedua bola mata Meta,
"Lo harus tahu, ada satu titik aja memar di wajah Loey, gue kena."BRAK!!!
Semua tatapan itu langsung berpindah pada seseorang yang berdiri di depan pintu dengan dada yang membusung penuh amarah. Pintu yang terbuka dengan kekerasan itu terdengar sangat memekakan telinga.
Meta yang menyadari ada yang janggal dengan Loey, refleks menarik tangannya yang sedari tadi berada di paha Bara.
"Lo kenapa Loey?" tanya Meta, ia bangun dari duduknya dan langsung menghampiri Loey.
Walaupun sudah berpacaran selama tiga tahun, cara bicara mereka masih terdengar seperti teman, menggunakan kosa kata 'lo-gue'.
"Dasar cewek parasit lo! Bisa-bisanya lo nempelin tangan kotor lo itu di paha adik gue."
Kedua bola mata Meta nyaris keluar karena terlalu kaget.
Bara yang santai duduk, ikut berdiri dengan ekspresi sama terkejutnya.
"Gue kalah di sini, dan bonyok, lo malah berdua-duaan sama dia." Suaranya hampir tercekat karena nafas yang tidak teratur.
"Gue dihina sama Tio, itu semua gara-gara lo," lanjutnya lagi dengan membuang semua kemarahannya pada tempat sampah."Andai lo nggak di sini, gue pasti menang dan adik gue nggak perlu takut dimarahin sama bokap. Lo emang cewek nggak bawa hoki, cuman bikin tambah masalah saja."Air mata tiba-tiba mengalir di pipi Meta tanpa diminta. Ia sedari tadi menahan air mata itu untuk tidak keluar, hanya saja rasa perih dan sakitnya tidak bisa ditahan lagi.
Mulut Bara menganga tak percaya, kali ini ia tidak tahu harus memihak siapa. Untuk pertama kalinya, Bara mengerti keadaan di mana Bara menyuruh Meta untuk menjawab pertanyaannya tadi. Sama-sama membingungkan dan tidak ada jalan penyelesaian, selain Loey yang memilih berhenti dari kegiatan tersebut.
"Loey, nggak kayak gitu keadaannya. Lo nggak tahu—"
"Iya, gue emang nggak tahu apa-apa, bodoh, dan hanya bisa adu otot aja," potong Loey seperti tidak punya harga diri.
Meta membisu, ia tidak bisa berpikir jernih kali ini. Semua penjelasan hanya akan terdengar sia-sia.
Tidak ada tempat bagi Meta berlindung ketika Loey marah. Dia lebih terlihat seperti harimau yang siap menerkam mangsanya.
Meta melengos pergi dari sana. Ia memilih pulang daripada harus tersakiti lagi. Persetan tidak ada angkutan umum, yang penting kedua kakinya masih sanggup untuk menempuh jalan yang menyakitkan.
"Kak, lo emang biang kerok," sindir Bara.
——
Satu tangan Dona bergerak untuk menarik engsel pintu itu. Ia segera masuk ke dalam rumah, dengan satu tangan lainnya yang menenteng kedua sepatunya yang sudah kotor oleh tanah yang basah karena derasnya hujan.
Aliya yang sedari tadi berdiri di belakang pintu, dan mondar-mandir tidak jelas, langsung menghampiri Dona dengan raut cemas.
Ia menunggu Dona pulang, ia takut Dona kenapa-kenapa, karena perjodohan itu membuat Dona sedikit murung.
"Kamu kok hujan-hujanan, tunggu di sini yah, bunda ambilin handuk dulu buat ngeringin rambut kamu."
Belum sempat pergi, Dona sudah mencegahnya,
"Nggak usah bunda. Aku mau ke kamar aja, langsung mandi."Aliya mengangguk menyetujui,
"Yaudah, kalau gitu. Bunda buatin susu hangat yah. Nanti kalau udah mandi, turun buat makan malam."Dona tersenyum seraya menyetujui ajakan itu dalam bahasa isyarat. Kemudian, gadis itu melangkahkan kedua kakinya dengan gontai, menapaki anak tangga satu persatu. Karena kamarnya terletak di lantai dua.
Sesampainya di kamar, gadis itu langsung melempar kedua sepatunya ke sembarang arah, hingga jarak kedua sepatu itu saling berjauhan. Mengaitkan tasnya pada gantungan baju, dan meraih handuk merah muda itu yang ditaruh di manekin.
Dona menggosok-gosokkan rambutnya pada handuk itu, kemudian berjalan ke kamar mandi.
Setelah setengah jam berada di kamar mandi, akhirnya Dona merebahkan tubuhnya di kasur yang selalu ia kagumi itu.
Kasur yang selalu nyaman saat bergesekan dengan punggungnya. Kasur yang selalu mengerti setiap keadaannya.
Ia mengarahkan tatapannya ke atap rumahnya, berporos pada cat berwarna merah muda itu. Tanpa sengaja, kenangan terkahirnya kembali melintas, membuatnya menampar pipinya sendiri karena kesal.
Hey!!! Sadar dong Dona.
Batinnya, ia begitu kesal ketika mengingat adegan itu, seperti reka adegan, di mana Fairel mencium keningnya tanpa aba-aba.
Kalimat yang dilontarkan Fairel juga kembali terngiang di telinganya, seperti radio rusak, yang tidak tahu kapan suaranya akan terdengar jernih.
Sekarang kamu percaya kalau Meta itu bukan pacar aku?
Dona tertawa terbahak-bahak dalam menanggapinya,
"Gue nggak akan pernah percaya sama cowok yang nyuri status tunangan yang seharusnya milik Bara."Itulah kenapa kebohongan itu dosa, karena mengucapkannya tidak sesulit mengucapkan kebenarannya.DONA———"Sayang ... turun yuk, kita makan bareng, ayah udah pulang."Teriakan yang berasal dari luar pintu kamarnya berhasil membuyarkan lamunan Dona.Gadis itu segera berdiri, membuka pintu kamarnya, lalu berjalan menuruni tangga menuju meja makan yang terletak di dapur.Semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, mengelilingi meja itu dengan sesekali memberikan canda gurau.Dona menghentikan langkahnya kembali, ketika pikiran gadis itu teringat akan Fairel. Gadis itu menghembuskan nafas kasarnya, merasa lelah dengan sesuatu yang terasa rumit dan sulit di hadapi.Dona tidak bisa mengelak permintaan Dion, ayahnya. Ia sangat ta
Jika dengan rasa sakit ini, kamu memperhatikanku, memahami keadaanku. Aku rela melakukannya, hanya demi kamu.FAIREL————Gow menyeret tubuh anaknya yang berdarah-darah itu ke kamar anaknya sendiri. Beliau membawanya ke sudut kamar di samping lemari pakaian, lalu mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tambang agar tidak bergerak ke mana-mana.Gow tidak punya perasaan, ia membiarkan anaknya mati kedinginan tanpa selapis baju atasan, ditambah darah segar yang terus mengalir itu yang tak kunjung mengering, membuat Fairel sedikit kewalahan, hingga nyaris tidak kuat menopang tubuhnya."Berdiri terus di sini sampai ayah kembali ke kamar kamu lagi. Jika ayah ngeliat kamu duduk, kamu tahukan apa yang akan ayah perbuat?" Senyum menyeringai tercetak di bibir Gow yang memiliki kumis dan jenggot.
Terimakasih untuk segalanya. Terimakasih karena sudah terlahir sebagai perempuan, terimakasih karena sudah terlahir dengan nama Dona yang penuh ketulusan. Semoga kehidupanmu, penuh dengan kebahagiaan, walau tanpa aku di sana. Bara atau Fairel? ————————— Dona kembali sambil membawa nampan berisikan dua piring. Ia masih kepikiran dengan apa yang dilihatnya barusan, makanan yang dibuang di dapur tanpa ada rasa sayang atau mubazir, dan kemudian diganti dengan makanan baru. Mungkin basi?! Batin Dona membeo, ia tidak ambil pusing dengan hal itu, atau menceritakan kejadiannya kepada Fairel. Pria itu mungkin akan merasa sakit hati jika mendengarnya. Dona memberikan satu piring berisi makanan dan lauk pauk yang sudah lengkap, ditambah es teh dingin, begitu juga de
Aku begitu menderita, sampai merasa bernafas saja terasa sesak. Apa yang salah dengannya, hanya ingin bahagia dengan ibunya, apa tidak boleh? Dan jangan ada yang lain. Please?Metta———Dona berlari ke arah Bara, lalu kemudian memeluknya dengan erat, terlihat seperti seorang anak yang sedang merindukan ayahnya.Dona hanya paranoid, dia takut jika hubungannya dengan Bara nanti akan putus dan berakhir dengan canggung.Bara menurunkan tatapannya, menatap wajah Dona yang bersembunyi di dadanya."Janjinya jam berapa Na?" tanya Bara mengejek, namun tampaknya Dona tidak bisa diajak bercanda.Gadisnya itu terus mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya lebih dalam, dan memejamkan kedua matanya, seolah meyakinkan diri, kalau Bara adalah miliknya.Bara tidak akan pergi
Saat keduanya menunjukkan rasa cinta untuk bersama. Lalu siapa yang akan menerima kekalahan, bukankah itu terlalu mengkhawatirkan, dan membuat bekas luka terlalu dalam?Dona———Dona dan Bara, asyik membuka setiap halaman menu restoran Kalia. Sedangkan Fairel, sibuk mencari seseorang yang ia kenali, untuk mengajaknya makan bersama sekedar menghilangkan kecanggungannya.Suasana canggung begitu mencekik leher Fairel. Fairel tidak akrab dengan siapapun, Dona atau Bara, keduanya baru Fairel kenal akhir-akhir bulan ini.Nuansa romantis dengan ukiran kayu disetiap dinding dan meja pelanggan, terkesan minimalis. Alunan lagu yang terus mengalun membuat rasa semakin canggung dan mendung. Mengatakan, seolah tidak ada tempat bagi Fairel di sini. Jomblo pergi aja yang jauh.Entah kesialan apa yang menimpanya hari ini, Fa
Jika kamu memahami fungsi aku di sisi kamu. Lalu kenapa kamu terus mengelak, memilih menjauh, dan menggelap seperti bulan, yang tak sudi di kelilingi bintang-bintang?Fairel.———Satu jam, Fairel menunggu gadis itu keluar dari kamar mandi. Namun detik demi detik, tidak menunjukkan batang hidungnya sekalipun.Malam kembali temaram, penyanyi solo laki-laki yang restoran ini undang, untuk mengisi kehangatan para pembeli, sudah menghilang dari pandangan, karena waktu kerja mereka sudah habis dan tidak diperpanjang.Mungkin satu jam lagi restoran ini akan tutup. Mengingat bagaimana para pelayan terus mengatakan untuk segera merapikan diri dan meja makan. Ditambah, menu restoran yang sudah minim karena bahan makannya sudah laris.Fairel sering datang ke restoran ini untuk bertemu klien. Kadang, ia sering membuat ja
Kamu itu seperti hujan, yang pergi kemudian datang kembali. Yang menggores luka, lalu kembali mengobati.Fairel.————"Bara... tipe cewek kamu itu kayak gimana?" tanya Fara, salah satu penggemar Bara, dia ingin berusaha merubah diri sesuai dengan tipe cewek Bara yang akan disebutkannya nanti."Tipe cewek gue yah....." Bara tampak berpikir, dia juga bahkan tidak pernah memikirkan tipe ceweknya itu seperti apa. Karena baginya, tipe cewek seperti Dona itu sudah lebih dari cukup baginya."Gue suka cewek yang kalau senyum itu manis banget, nggak perlu punya lesung pipi, yang penting senyumannya bisa membuat gue sadar, kalau dialah yang gue butuhin buat ngejalanin hidup." Bara menyipitkan kedua matanya, pikirannya melayang, membayangkan wajah Dona yang selalu berseri-seri ketika mereka saling bersama."Itu aja?" ta
Keduanya sama. Sama-sama membuat aku tidak bisa berpikir jernih.Dona———Hujan tidak pernah menunjukkan rasa ibanya, terus menurunkan rintiknya tanpa peduli ada seseorang yang takut akan basah.Malam semakin menggelap, langit tidak memiliki bintang atau bulan, hanya dikepuli oleh awan gelap saja.Hati Dona masih tertuju pada satu orang, dan ia masih menunggunya, masih memberi kesempatan. Akan tetapi, Bara masih tidak ada kabar."Kamu suka warna apa?"Setelah satu jam saling berdiam diri, hanya terdengar suara jangkrik yang berdecit. Akhirnya Fairel membuka perbincangan."Merah muda...," jawab Dona, lalu ia mengangguk, kala melihat wajah Fairel seolah meminta penjelasan,"Alasan? Simpel, karena bunda gue selalu beliin baju warna merah muda, sampai sekarang, dan b
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se