Share

Bab 6. Mencoba Membuka Hati

Aroma wangi masakan menyeruak ke dalam hidung bangir Senja pagi ini. Aroma itu semakin kuat saat gadis itu menuju dapur tempat asal muasal bau harum yang membuat perutnya keroncongan. Maklum selama ini, Senja tidak pernah sarapan di rumah. Dia lebih sering sarapan di kampus, karena tidak pernah merasa nyaman jika berlama-lama tinggal di rumah suaminya itu.

Mata Senja menatap takjub saat  seseorang sedang bergelut dengan peralatan masak dengan sangat lihai. Bahkan kini, gadis itu hanya berdiri mematung, menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya saat ini.

"Ngapain berdiri di situ!" Kata Langit yang sontak saja membuyarkan lamunan Senja.

"Hm, a..aku cuma mau pamit, mau berangkat kuliah, Mas," ujar Senja.

Walaupun jujur saja, perutnya saat ini sedang berontak minta di isi. Namun karena gengsinya yang terlalu kuat, Senja memutuskan untuk segera pergi kuliah demi menghindari suaminya itu dan memilih sarapan di kantin kampusnya.

"Sepagi ini?" Tanya Langit heran. Padahal ini masih pukul enam pagi. "Lebih baik kamu duduk dulu. Kita sarapan sama-sama."

"Tapi Mas, aku harus--"

Belum sempat Senja menyelesaikan ucapannya, Langit tiba-tiba meraih tangan Senja dan mengarahkan gadis itu untuk duduk di sampingnya.

"Kamu jangan membantah! Ini masih pagi, masih bisa 'kan hanya untuk sekedar sarapan? Bagaimana bisa kamu fokus belajar, kalau kondisi perut kamu kosong."

Senja seperti terhipnotis. Gadis itu hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan suaminya. Bahkan kini, sang suami dengan cekatan, menuangkan nasi goreng buatannya ke dalam piring yang ada dihadapan Senja.

"Selama sebulan ini, saya sengaja membeli bahan-bahan makanan, biar kamu nggak usah capek-capek belanja ke pasar atau tukang sayur. Saya pikir, kamu memasaknya. Tapi ternyata, bahan-bahan makanannya masih ada. Kecuali mie instan yang saya lihat sudah hampir habis."

Gadis itu hanya bisa terdiam. Bukannya Senja tidak mau masak, hanya saja dia takut jika hasil masakannya tidak dimakan suaminya. Maklum, interaksi mereka sebagai pasangan suami istri tidak berjalan dengan baik. Sehingga Senja ragu jika melakukan aktivitas seperti istri-istri pada umumnya.

"Aku sebenarnya ingin memasak, apalagi selama ini sebelum menikah memasak adalah hobi ku. Tapi karena aku nggak tahu selera makanan kamu seperti apa, jadi aku takut masakan aku mubazir Mas, karena kamu nggak mau memakannya."

"Ya minimal kamu masak untuk diri kamu sendiri, Senja," ucap Langit seraya menikmati nasi goreng hasil racikannya. "Tapi jika kamu masak untuk saya, saya akan mencoba memakannya, walaupun saya belum tahu, apakah masakan kamu sesuai lidah saya atau tidak. Dan saya pastikan, sekalipun tidak sesuai dengan selera saya masakan kamu tidak akan mubazir. Mulai sekarang kamu bisa 'kan memasak untuk saya?"

"Mas yakin mau memakannya?" Ragu Senja.

"Saya 'kan sudah bilang tadi, sekalipun masakan kamu tidak sesuai dengan selera saya, saya pastikan masakan kamu akan masuk ke mulut saya."

Wajah Senja berbinar kala sang suami mengatakan itu padanya. Seolah ada harapan untuknya  bisa merubah pandangannya tentang pernikahan yang dijalaninya saat ini. Semoga ini awal pernikahan bahagia yang diimpikannya sejak lama. Dan tentunya bisa berharap jika sang suami akan berubah sikap kepadanya, jauh lebih baik.

"Baiklah Mas. Mulai nanti malam, aku yang siapin makan malam untuk kita," ucap Senja berbinar-binar. "Mas pulang jam berapa?"

"Lihat nanti saja. Saya pastikan malam ini saya akan makan di rumah. Mau nyicipin masakan kamu."

"Baiklah,"pungkas Senja.

Setelah memakan waktu lima belas menit, Senja telah selesai menghabiskan sarapannya. Kemudian gadis itu beranjak dari tempat duduknya untuk pergi menimba ilmu sebagai mahasiswa.

"Makasih sarapannya ya Mas. Lain kali aku yang akan membuatkannya untuk kamu. Aku pamit dulu."

Senja mengulurkan tangannya untuk berpamitan dengan sang suami.

"Sebentar saya ambil kunci mobil saya dulu."

Bukannya meraih tangan sang istri, Langit justru pergi meninggalkan Senja yang sudah siap berangkat ke kampus.

"Mas mau kemana bawa kunci mobil segala?" Tanya Senja saat sang suami sudah ada dihadapannya. "Mau berangkat ngajar?" Tanyanya lagi.

"Nggak, Saya mau mengantarkan kamu kuliah. Memangnya kenapa?

"Mas nggak ngajar hari ini?" Tanya Senja heran karena sejak menikah, belum pernah Langit menawarkan diri untuk mengantarkannya ke kampus.

"Saya ada jadwal siang, jadi masih ada waktu untuk bisa mengantarkan kamu dulu ke kampus."

"Nggak usah Mas, aku bisa bawa mobil aku sendiri. Mobilnya 'kan udah nggak kenapa-kenapa."

"Kamu nolak niat baik saya, Senja?" Kesal Langit.

"Bukan begitu Mas, aku hanya nggak mau ngerepotin kamu."

Langit menarik nafas panjang.

"Mulai saat ini, jangan pernah menolak niat baik saya. Sekalipun hubungan kita tidak senormal pasangan lain, setidaknya saya ingin menjalankan peran saya sebagai suami kamu Senja. Menjalankan kewajiban saya dan memberikan hak kamu sebagai istri saya. Walaupun kita tidak tahu kedepannya seperti apa, tapi saya berharap kita bisa menjalaninya seperti pasangan suami istri lainnya. Bisa 'kan?" Jelas Langit.

Senja hanya bisa terpaku dengan perlakuan Langit saat ini. Seperti mimpi, Senja masih tidak percaya dengan sikap suaminya yang berubah drastis. Lantas, apakah ini awal kebahagiaan untuk pernikahannya bersama Langit?

Senja sedang khusyu menikmati suasana jalan lewat jendela kaca mobil sang suami. Gadis itu belum pernah merasakan perasaan senyaman ini ketika bersama orang yang hampir sebulan lebih menyandang status sebagai suaminya. Apakah kenyamanan ini akan terus dirasakannya ataukah hanya sesaat?

"Kamu kenapa? Kok diam saja? Nggak nyaman saya antar ke kampus? Bukankah dulu, kamu berharap saya melakukan ini?"

Suara bariton suaminya membuyarkan lamunan Senja. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sang suami yang sedang berada di belakang kemudi mobilnya.

"Nggak kenapa-kenapa Mas. Aku senang sekali kamu mau mengantarkan aku ke kampus. Aku diam karena aku sedang menikmati perubahan kamu yang cukup membuat aku terkejut."

Baru kali ini, Senja melihat senyuman Langit begitu tulus dan manis. Padahal dulu, saat mereka belum menikah, senyuman bahkan tawa Langit begitu sering ditampakkan laki-laki itu kepadanya. Dan semuanya sirna saat mereka dipersatukan oleh takdir yang tidak diinginkan oleh mereka berdua. Sungguh, Senja bahagia bisa kembali melihat senyuman yang pernah hilang di wajah suami tampannya itu.

"Saya hanya ingin kamu merasa nyaman hidup bersama saya sekalipun kita belum sepenuhnya menjalankan pernikahan ini dengan baik. Minimal, apa yang saya lakukan, bisa membuat kamu bisa mengerti kondisi saya yang belum bisa membuka hati saya untuk kamu. Saya mohon, kamu bersabar untuk itu. Saya sedang berusaha sekarang, untuk bisa menjadikan kamu istri saya seutuhnya. Kamu mau 'kan menunggu saat itu tiba?"

Tatapan Senja yang penuh arti untuk Langit menyiratkan bahwa gadis itu sedang terharu saat ini. Bibirnya tiba-tiba kelu, karena bahagia yang sangat membuncah  di hatinya. Apakah ini mimpi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status