Share

Bab 5. Makan Malam Bersama

Senja tampak canggung saat dirinya sudah berada di antara keluarga Langit. Mungkin karena ada Tante Rima, kakak dari Mama Dona yang kini tinggal di Jogjakarta, ada bersama mereka.

Jujur, Senja memang sedikit sungkan kepada kakak dari mertuanya itu. Maklum, Senja baru bertemu dengan Tante Rima saat melaksanakan akad nikah waktu itu. Melihat dari wajah wanita paruh baya itu, Senja merasa jika Tante Rima kurang suka padanya. Entahlah, perasaan itu masih dia rasakan saat ini, ketika bertemu tante dari sang suami.

"Lang, Tante tuh kangen banget sama kamu. Kenapa nggak pernah main lagi ke rumah tante sih?" Ucap Tante Rima di sela-sela makan malam mereka.

"Iya nanti ya Tante. Nanti kalau saya ada waktu, Insya Allah, saya nyempetin main ke rumah tante," ucap Langit.

"Beneran ya, tante tunggu loh. Padahal dulu kamu sama Rasya sering banget main ke rumah tante, bahkan sampai menginap segala!"

Uhuk...uhuk...

"Senja, kamu nggak apa-apa, Nak?" Tanya Mama Dona seraya menyerahkan gelas berisi air minum untuk Senja.

"Ng..nggak apa-apa, Ma."

Bagaimana aku nggak keselek, Tante Rima ngomongin mantan istri Mas Langit. kaget lah aku, Hadeuh...!!!

"Mbak, kenapa sih ngomongin Rasya disini? Rasya itu udah jadi masa lalunya Langit. Nggak enak 'kan sama Senja," kata Mama Dona dengan wajah kesal.

"Ih, Mbak cuma ngingetin Langit aja kok. kalau dulu dia sering main ke rumah Mbak di Jogja saat bersama Rasya. Itu aja," ujar Tante Rima membela diri.

"Iya, tapi nggak usah pake bawa nama Rasya juga Mbak, di depan Senja lagi."

"Kamu keberatan kalau Tante ngomongin Rasya, Senja?"

"Nggak apa-apa kok Tan, Senja nggak keberatan. Lagian juga, itu masa lalu Mas Langit. Tenang aja Senja baik-baik aja kok Ma," ucap Senja santai.

"Tuh Senja aja nggak apa-apa Don, kamunya aja yang baperan."

Mama Dona sudah tak bisa lagi berkutik jika harus berdebat dengan kakak satu-satunya itu. Dia lebih memilih untuk kembali menikmati makan malamnya yang kini terasa hambar karena ulah kakaknya itu.

Mendengar nama Rasya disebut, jangan tanya bagaimana debaran jantung Langit saat ini. Sudah sejak dua tahun yang lalu, laki-laki itu sudah tidak bersama lagi dengan wanita yang sangat dicintainya itu.

Ah, bagaimana kabar dia sekarang? Apakah dia bahagia hidup tanpa saya? Gumam Langit dalam hati.

Flashback.

"Mas, aku tidak bisa memaafkan kamu. Kamu sudah membunuh anak kita!"

Dada Langit terasa tertancap benda tajam saat sang istri Rasya, begitu tega menuduhnya membunuh darah dagingnya sendiri. Bahkan rasa nyeri yang dirasakan Langit akibat kecelakaan itu masihlah belum sembuh, kini sang istri dengan teganya mengatakan itu padanya. Menambah rasa sakit yang dideritanya saat ini semakin parah. Bukan hanya lukanya, namun juga batinnya.

Ya tiga hari yang lalu, Langit menjemput Ryan, anaknya yang duduk di kelas 4 SD. Saat itu kondisi tubuhnya memang sedang tidak sehat, karena semalaman laki-laki itu tidak bisa tidur karena asam lambungnya naik. Maklumlah, akhir-akhir ini banyak yang harus dirinya kerjakan, salah satunya memeriksa tugas mahasiswa-mahasiswanya yang sempat tertunda karena harus ikut liburan bersama istri dan anaknya.

Sampai di sekolahnya Ryan, Langit kemudian membawa anaknya untuk pulang. Namun karena mengantuk, Langit tidak bisa mengendalikan mobilnya. hingga oleng dan menabrak pohon besar di pinggir jalan.

Saat itu, Langit tak sadarkan diri, begitupun anaknya, Ryan yang ternyata menurut keterangan saksi mata, sudah meninggal di tempat kejadian.

"Sayang, tolong jangan pernah berpikir seperti itu. Mana mungkin saya tega membunuh darah daging saya sendiri. Ini semua kecelakaan, ini musibah, sayang. Saya sama sekali tidak sengaja melakukannya. saya tidak mungkin membunuh anak saya sendiri. Tolong, kamu pahami itu."

Wanita itu kini menghapus air matanya. Sudah sejak tadi cairan bening itu tak berhenti keluar dari sudut matanya. Padahal, sang anak sudah dimakamkan tiga hari yang lalu.

"Jelas-jelas kamu sudah membunuh anak kita. Seandainya kamu tidak lalai, Mas. Mungkin saat ini, Ryan masih hidup, " teriak Rasya terlihat frustasi.

Langit berusaha untuk menenangkan sang istri dengan memeluk wanita rapuh itu, namun sang istri justru menolak. Bahkan tatapannya begitu tajam, menusuk ulu hatinya saat ini.

"Ini semua sudah takdir sayang!"

"Takdir, takdir. Kamu bersembunyi dibalik kata-kata itu 'kan? Kamu mau berusaha mengelak dari perbuatan kamu yang sudah menyebabkan anak aku meninggal. Iya 'kan?"

Langit hanya bisa terdiam. Mendapatkan cercaan dari sang istri, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.

"Aku mau, kita bercerai, Mas!"

Kata-kata yang terlontar dari mulut istrinya itu, membuat Langit benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin dia mengabulkan permintaan sang istri, sementara, wanita itu adalah cinta pertama dan ingin menjadikan yang terakhir untuknya.

"Nggak, saya nggak mau kita pisah. Saya sangat mencintai kamu, sayang. Saya mohon jangan lakukan itu."

"Aku tetap ingin kita cerai. Kalau kamu nggak mau mengurusnya ke Pengadilan Agama, biar aku saja."

Wanita itu pun berlalu dari hadapannya, tanpa memperdulikan Langit yang bersimpuh dengan tangis yang menyayat hati. Bagaimana bisa dia bertahan sementara dia kehilangan orang-orang yang sangat dicintai. Lalu, apakah dia harus menyusul sang anak ke hadapan Sang Khalik?

Flash on.

"Mas...!"

Senja mengusap lengan sang suami, karena sejak tadi, suaminya itu terlihat melamun. Tentu saja laki-laki itu seperti terkejut kemudian berdehem beberapa kali untuk menetralkan pikirannya.

"Hm..."

"Itu ditanya sama Mama."

"Kamu mau nginap di sini apa mau pulang? Tadi Mama nanya ke istri kamu, katanya terserah kamu," kata Mama Dona.

"Sepertinya kita pulang aja Ma. Yuk kita pulang sekarang!" Ajak Langit seraya beranjak dari tempat duduknya.

"Lho, kita baru aja selesai makan, Mas. Apa kamu nggak mau ngobrol-ngobrol dulu sama Mama dan Tante Rima?" Tanya Senja heran karena sejak tadi suaminya hanya berdiam diri.

"Saya sedang nggak enak badan. Maafkan saya Tante, saya harus pulang. Ma, Langit pamit pulang dulu ya, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Mama Dona dan Tante Rima secara bersamaan.

Langit melangkahkan kakinya dengan cepat. Gadis itu tidak bisa mengimbanginya. Sehingga Senja sedikit berlari untuk bisa berada di samping suaminya itu.

"Mas!"

Senja berhasil menarik tangan sang suami. Dengan nafas tersengal-sengal, gadis itu akhirnya bisa berada di hadapan suaminya itu.

"Ada apa?"

"Kamu kenapa sih buru-buru mau pulang? Nggak enak 'kan sama Mama juga Tante Rima. Masa baru selesai makan, kita pulang. Nggak sopan, Mas!" Kesal Senja. Walaupun dia tidak nyaman dengan acara makan malam ini, namun cara Langit dengan pulang begitu saja sebelum menyelesaikan makan malamnya, membuat Senja sedikit kesal.

"Saya nggak mau menghabiskan tenaga saya untuk berdebat sama kamu. Sekarang, kamu tinggal pilih, mau ikut saya pulang, atau masih mau di sini?"

Senja hanya bisa menatap Langit dengan tatapan tajam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain memilih untuk pulang bersama Langit, sekalipun dia masih merasa kecewa terhadap suaminya itu.

Diperjalanan, Senja semakin tidak nyaman dengan sikap suaminya. Sejak obrolan tadi, laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Bahkan suaminya itu sempat melamun, membuat Senja penasaran apa yang sedang dipikirkan sang suami. Namun, Senja sama sekali tidak berani menanyakan, karena dia tahu sang suami terlihat tidak mau diganggu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status