Tiga tahun yang lalu.
"Ayah sama Bunda mau kemana, kok rapi amat?" Tanya Senja saat melihat sang ayah hendak pergi lagi setelah shalat isya. Bahkan kini ,sang Bunda pun ikut dengan sang ayah dan berpenampilan cantik dengan gamis warna peach yang dikenakannya. "Ayah sama Bunda ada undangan pengajian dari tetangga baru kita, sayang," jawab sang ayah kepada Senja Aurora anak gadisnya yang kini sudah masuk kuliah semester awal. "Kamu mau ikut?" Ajak Pak Andika, Ayah senja. "Hm, nggak deh Yah. Lagi banyak tugas nih," tolak Senja. "Ya sudah kalau begitu, Ayah sama Bunda berangkat dulu ya. Oh ya, jangan lupa kunci pintu. Bunda bawa kunci cadangan kok. Takutnya Ayah sama Bunda pulangnya malam," ucap Bunda mengingatkan Senja. "Siap Bos! Hati-hati ya Ayah, Bunda." "Iya sayang, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." ***** Suasana rumah yang baru ditempati Langit Putra Angkasa, begitu ramai malam ini. Ya, Langit baru saja membeli rumah ini seminggu yang lalu. Dan malam ini, sengaja laki-laki itu mengadakan pengajian sebagai bentuk rasa syukurnya atas nikmat yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Dan juga, untuk menjalin tali silaturahim dengan tetangganya agar dia lebih nyaman hidup dilingkungan baru. Di pengajiannya kali ini, banyak tetangga yang hadir. Salah satunya sepasang suami istri yang begitu diharapkan kedatangannya oleh Langit. Pak Rt yang begitu banyak membantu Langit selama pindahan seminggu belakangan ini. "Alhamdulillah, Bapak dan ibu bisa datang di acara saya. Terima kasih, Pak Andika dan Ibu Ayu." "Sama-sama Mas Langit, saya juga senang, bisa bertetangga dengan anak muda sukses seperti Mas Langit," kata Pak Andika setelah selesai acara pengajian. "Semoga Mas Langit bisa betah ya di lingkungan komplek kami. Kalau ada apa-apa, bisa langsung lapor ke Pak Rt," timpal Ibu Ayu dengan senyuman teduhnya. "Siap Bu. Terima kasih sudah sangat membantu saya selama saya pindahan. Tapi maaf sebelumnya, boleh saya minta, Pak Andika sama Ibu Ayu, panggil Langit saja. Nggak usah pakai, Mas," ucap Langit tersipu. "Saya merasa sudah dewasa banget gitu Pak, Bu." Kedua paruh baya itu pun tertawa dengan permintaan laki-laki yang kini menyembunyikan rona merah di pipinya karena malu dengan permintaan konyolnya itu. "Tentu saja, jika Mas Langit merasa nggak nyaman dengan panggilan itu. Baiklah kami tidak akan menambahkan Mas di nama Langit," ucap Pak Andika, membuat Langit merasa lega. "Baiklah kalau begitu karena sudah malam, kami pamit ya." "Sekali lagi terima kasih ya Pak, Bu atas kedatangannya." "Sama-sama, Kami pamit ya, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." ***** Keesokkan harinya, gadis manis dengan lesung pipit yang begitu kentara, sedang asyik menyirami tanaman di depan rumahnya. Hari ini hari libur, seperti biasa gadis itu tidak pernah berleha-leha. Sekalipun libur Senja selalu membantu sang Bunda setelah shalat subuh. "Assalamualaikum!" Atensi Senja tertuju kepada laki-laki berperawakan tinggi dengan bulu halus yang menghiasi wajah laki-laki tampan itu. Entahlah, kenapa tiba-tiba Senja tak bisa menahan debaran jantungnya saat beradu pandang dengan laki-laki yang sedang tersenyum ke arahnya. Gadis itu kini hanya bisa mematung menikmati pemandangan indah pagi ini. Masya Allah, Tabarakallah kenapa ada makhluk tampan datang ke rumah aku pagi-pagi begini ya? Batin Senja. "Maaf, Pak Andika nya ada?" Laki-laki itu pun kembali bersuara saat gadis yang ada di halaman depan rumah Pak Rt hanya diam mematung. "Waalaikumsalam. A..ada, Mas siapa ya? Ada keperluan apa?" Tanya Senja yang kini menghampiri laki-laki tampan bermata biru itu. Argh…Kenapa juga pake nyamperin dia sih? 'kan jantungnya malah kenceng debarannya. Sial! Sesal Senja saat dia sudah berada dekat dengan laki-laki itu. Ternyata, gadis itu malas semakin tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang semakin tak terkendali. "Oh saya Langit, tetangga baru Pak Andika. Saya ada perlu sama Pak Rt," ucap Langit memperkenalkan diri. "Oh begitu ya. Sebentar saya panggil Ayah dulu. Kalau begitu, Mas masuk dulu ya," ajak Senja sambil membuka pagar rumahnya. "Mas tunggu dulu disini. Saya panggilkan ayah dulu." Senja sedikit berlari untuk menemui ayahnya yang berada di taman belakang rumahnya. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan, akhirnya Senja sudah berada di hadapan sang ayah. "Kenapa lari-lari sayang? Ada apa?" Tanya Bunda saat melihat sang anak dengan nafas yang tak beraturan. "Itu Bunda!" Ucap Senja sambil kembali menghirup oksigen. "Itu apa?" Tanya sang ayah. Akhirnya, Senja bisa mengendalikan nafasnya saat ini. "Ada tamu Yah." "Ya Allah, Ayah kira ada apa. Siapa?" "Katanya sih tetangga baru kita Yah!" "Oh, Nak Langit. Ya sudah ayah ke depan dulu." Senja hendak mengikuti sang Ayah ke depan rumahnya. Rasanya belum puas baginya untuk menikmati wajah tampan tamu ayahnya itu. Hingga dia sama sekali tidak peduli jika sang ayah kini menatapnya dengan tatapan curiga. "Ngapain ngikutin ayah, Senja?" "Ish, siapa yang ngikutin Ayah, Senja cuma mau lanjutin nyiram tanaman Ayah!" Ucap Senja sambil nyengir. "Tadi belum selesai, keburu ada tamu," kilah Senja. Padahal sebenarnya, kegiatan menyiram tanaman sudah selesai sebelum tamu ayahnya datang. Itu hanya alasan saja, agar Senja bisa menikmati pemandangan langka pagi ini. Pak Andika hanya melengos meninggalkan sang anak yang masih tersenyum senang. Biasanya, Senja selalu cuek jika sang ayah ada tamu. Namun entahlah, kali ini sang ayah di buat terheran-heran dengan tingkah anak bungsunya itu. "Eh, Nak Langit!" Sapa Pak Andika. "Assalamualaikum, Pak Dika," ucap Langit sambil menyalami laki-laki paruh baya itu. "Waalaikumsalam. Duduk, Nak Langit." "Terima kasih Pak." "Maaf, saya kasih embel-embel Nak di nama Nak Langit. Nggak enak kalau saya panggil nama saja." "Nggak apa-apa Pak. Asal jangan Mas saja." "Kenapa? Berasa tua ya?" Ucap Pak Andika sambil tersenyum. "Ah Bapak, nggak juga Pak. Tapi emang bener juga sih!" Kedua laki-laki yang beda usia itu pun sama-sama tertawa. "Oh ya, ada keperluan apa Nak Langit bertamu ke rumah saya sepagi ini?" "Maaf kalau saya menganggu Pak Dika. Saya datang kesini, ingin memberikan ini sama Bapak." Langit menyerahkan sebuah tas plastik dengan logo sebuah toko Bakery terkenal di kota Bandung. "Apa ini Nak Langit?" Tanya Pak Andika. "Ini ucapan terima kasih saya untuk Bapak, karena sudah banyak membantu saya. Semalam kebetulan saya habis dari rumah orang tua saya, saya sekalian bawain ini untuk Bapak. Semoga Bapak suka ya." "Wah jadi ngerepotin ini mah. Saya dulu kalau tugas ke Bandung, selalu beli kue dari toko ini. Berasa kembali lagi ke masa itu, terima kasih ya Nak Langit." "Sama-sama Pak. Saya sama sekali tidak merasa direpotkan. Justru saya lah yang sudah merepotkan Bapak." "Tidak usah sungkan Nak Langit. Saya dengan senang hati membantu warga kompleks ini, apalagi Nak Langit warga baru di sini. Sudah menjadi kewajiban saya membantu Nak Langit." "Terima kasih Pak, saya rasa saya akan betah tinggal di kompleks ini, karena Pak Rt nya sangat baik sama saya." "Ah, Nak Langit bisa saja!" "Saya tidak bisa lama-lama Pak, Kalau begitu saya pamit." "Loh, kok buru-buru, mau ikut sarapan sama kita?" "Oh nggak usah repot-repot Pak, kebetulan saya tadi sudah sarapan sebelum saya ke rumah Bapak. Kalau begitu saya permisi dulu ya Pak. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Saat melihat Langit berjalan melewatinya, Senja berusaha menghentikan laki-laki yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "Tunggu…!!!" Cegah Senja sambil merentangkan tangan di hadapan laki-laki yang kini sedang menatapnya heran. "Ada apa ya?" "Hm…kenalin aku Senja Aurora, anak bungsu dari Bapak Rt di kompleks ini." Senja mengulurkan tanganya, dan di sambut oleh Langit masih dengan tatapan heran. "Langit." Duh, udah kayak jodoh aja. Kalau disatuin jadinya Langit Senja. Apa mungkin cowok ganteng yang ada di hadapanku adalah jodoh yang Tuhan kasih buat aku? Semoga.Hari ini.[Mas, bisa jemput aku nggak di kampus?]Langit menyandarkan tubuhnya di kursi ruang kerjanya. Mendapatkan notifikasi pesan dari sang istri membuatnya semakin lelah. [Mas, kok nggak jawab? Mau jemput nggak?]Kembali, sang istri mengirimi pesan lagi, setelah tak dibalas olehnya.[Mas aku udah mau pulang ini. Bales dong chat aku! Jangan di baca doang!][Kenapa nggak naik taksi online aja sih? Saya sedang sibuk mengoreksi hasil tugas mahasiswa saya]Di tempat lain di waktu yang sama, Senja hanya bisa menghela nafas panjang. Dadanya terasa sesak, karena sang suami, kembali tak memperdulikannya. Sekalinya sang suami membalas pesan yang dia kirim, suaminya itu malah membuat hatinya terasa nyeri. Argh, menyesal dia meminta Langit menjemputnya. Jika dia akan mendapat perlakuan dingin dari suaminya itu.Dia pikir sejak kejadian tadi pagi, suaminya akan berubah. Nyatanya, Senja harus kembali kecewa dengan sikap Langit, suaminya itu yang masih saja tak menghiraukan keberadaannya.[Kamu
Hah…!!! berteman?Mata Senja membulat sempurna, saat mendengar permintaan sang suami. Agak aneh sih, karena Senja tak pernah mengira Langit punya pemikiran seperti itu. Padahal, sejatinya mereka sudah lebih dari sekedar berteman. Mereka suami istri yang hubungannya jauh lebih dari hanya sekedar teman. Namun, Senja akhirnya menerima untuk bisa berteman dengan suaminya itu, sekalipun itu terasa aneh untuknya. Daripada dirinya merasa menjadi musuh Langit, ya ini jauh lebih baik. *****"Jangan melamun Pak Lang, nanti ke sambet lho!"Lamunan langit buyar saat tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke ruangannya. Dan dia sangat tahu, jika sahabatnya lah yang berani masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Sudah saya bilang jangan panggil saya dengan sebutan itu, nggak enak dengernya!"Abimana, tertawa melihat wajah kekesalan yang di tampakkan Langit saat ini. Maklum, selama ini wajah jutek dan dinginnya selalu menghiasi wajah tampan sahabatnya itu."Baiklah, maaf. Oh
Senja tampak canggung saat dirinya sudah berada di antara keluarga Langit. Mungkin karena ada Tante Rima, kakak dari Mama Dona yang kini tinggal di Jogjakarta, ada bersama mereka.Jujur, Senja memang sedikit sungkan kepada kakak dari mertuanya itu. Maklum, Senja baru bertemu dengan Tante Rima saat melaksanakan akad nikah waktu itu. Melihat dari wajah wanita paruh baya itu, Senja merasa jika Tante Rima kurang suka padanya. Entahlah, perasaan itu masih dia rasakan saat ini, ketika bertemu tante dari sang suami."Lang, Tante tuh kangen banget sama kamu. Kenapa nggak pernah main lagi ke rumah tante sih?" Ucap Tante Rima di sela-sela makan malam mereka."Iya nanti ya Tante. Nanti kalau saya ada waktu, Insya Allah, saya nyempetin main ke rumah tante," ucap Langit."Beneran ya, tante tunggu loh. Padahal dulu kamu sama Rasya sering banget main ke rumah tante, bahkan sampai menginap segala!"Uhuk...uhuk..."Senja, kamu nggak apa-apa, Nak?" Tanya Mama Dona seraya menyerahkan gelas berisi air mi
Aroma wangi masakan menyeruak ke dalam hidung bangir Senja pagi ini. Aroma itu semakin kuat saat gadis itu menuju dapur tempat asal muasal bau harum yang membuat perutnya keroncongan. Maklum selama ini, Senja tidak pernah sarapan di rumah. Dia lebih sering sarapan di kampus, karena tidak pernah merasa nyaman jika berlama-lama tinggal di rumah suaminya itu. Mata Senja menatap takjub saat seseorang sedang bergelut dengan peralatan masak dengan sangat lihai. Bahkan kini, gadis itu hanya berdiri mematung, menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya saat ini."Ngapain berdiri di situ!" Kata Langit yang sontak saja membuyarkan lamunan Senja."Hm, a..aku cuma mau pamit, mau berangkat kuliah, Mas," ujar Senja.Walaupun jujur saja, perutnya saat ini sedang berontak minta di isi. Namun karena gengsinya yang terlalu kuat, Senja memutuskan untuk segera pergi kuliah demi menghindari suaminya itu dan memilih sarapan di kantin kampusnya."Sepagi ini?" Tanya Langit heran. Padahal ini masih p
Flashback."Ayah, tamu tadi siapa? Kok, Senja baru lihat ya?" Tanya Senja saat mereka menikmati makan siang bersama."Oh itu, namanya Langit. Dia tetangga baru kita yang membeli rumah Pak Agus, di blok C5. Kenapa? Tumben kepo?"Senja pura-pura santai, padahal dalam hati dia begitu senang karena ternyata laki-laki tampan itu adalah tetangga barunya. Bahkan hanya terhalang satu rumah saja dengan rumah milik ayahnya itu."Habisnya, tamu ayah ganteng sih, makanya Senja kepo." "Ganteng? Bukanya kamu bilang cowok paling ganteng sedunia itu, Ayah?" Ucap Bunda Ayu seraya meletakkan air minum untuk Ayah Andika."Paling kalau ada maunya anak bungsu Bunda mah bilang begitu sama Ayah. Sekarang udah kegeser tuh sama tetangga baru kita," ucap ayah Dika pura-pura kesal.Yang sedang jadi bahan pembicaraan hanya tersenyum melihat tingkah sang ayah yang terlihat cemburu."Ish, kegantengan ayah mah nggak akan tertandingi. Tetap, Ayah adalah cowok paling ganteng sedunia raya. Nah tamu yang tadi, cowok t
"Sekali lagi, terima kasih ya, Nak Langit, sudah menolong anak saya," ucap Ayah Dika."Sama-sama Pak. Saya tadi kebetulan lewat, dan melihat anak Bapak tergeletak di pinggir jalan.""Saya tidak tahu, bagaimana caranya kami membalas semua kebaikan Nak Langit. Maaf sudah merepotkan.""Jangan bilang seperti itu Bu. Bapak dan Ibu juga sering membantu saya. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu ya. Semoga, Senja cepat sembuh.""Aamiin ya Rabbal'alamiin. Sekali lagi terima kasih ya Nak Langit."Langit tersenyum," Assalamualaikum""Wa'alaikum salam."*****Keesokkan harinya, Senja sudah merasa lebih baik. Namun memang dia masih belum bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini pun terpaksa dia harus izin kuliah karena tubuhnya masih terasa sakit."Bunda lagi ngapain?" Tanya Senja saat melihat sang Bunda sibuk membuat kue."Kamu kenapa kesini, sayang? Kamu 'kan belum pulih.""Justru badan Senja makin sakit kalau tiduran terus, Bunda," ucap Senja sambil duduk di kursi meja makan. "Bunda belum
Flash on."Kamu serius? Beneran kita mau liburan ke Pantai, Mas?" Tanya Senja sambil berusaha menahan rasa sakit di tenggorokannya karena tersedak.Senja sempat tersedak saat sang suami mengatakan kepadanya, jika besok laki-laki itu akan mengajaknya berlibur ke Pantai. Tentu saja, Senja menghiraukan rasa sakit di tenggorokannya berganti rasa bahagia yang tiada tara. Bagaimana bisa suami secuek Langit bisa membuat hatinya membuncah bahagia. Ah, kalau begini caranya, dia tidak akan bisa menghilangkan rasa cintanya kepada Langit."Tadi siang, Pak Rektor ngasih liburan gratis ke saya untuk tiga hari, hadiah pernikahan kita katanya. Tadinya saya mau nolak, tapi nggak enak.""Ish, ngapain di tolak, Ini tuh rezeki, Mas. Lagian, Pak Rektor udah baik sama kita. Jangan bikin beliau kecewa," kata Senja. "Ngomong-ngomong, kenapa pengen nolak hadiah dari Pak Rektor? Kamu takut khilaf saat kita berada di sana?"Wajah Langit tiba-tiba merona. "Bener 'kan Mas? Kamu takut kalau kamu tiba-tiba menyent
"RASYA…!!!"Langit terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Mimpi yang baru saja dialaminya membuatnya frustasi. Kenapa Rasya kembali hadir di mimpinya? Argh…Langit sangat kesal saat ini, karena harus mengingat kembali wanita yang masih ada di hatinya sampai saat ini.Namun, Langit sadar saat dia melihat Senja sedang berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ini pasti karena dirinya yang tanpa sengaja menyebut nama Rasya di saat gadis itu percaya, jika Langit akan berusaha membuka hatinya.Refleks, Langit menghampiri Senja dan langsung memeluk tubuh mungil istrinya itu. Ini semua diluar kendalinya, dan dia pun menyesal. Ini pertama kalinya, laki-laki itu memeluk sang istri, setelah enam bulan lebih menjalani pernikahannya."Maaf, maafkan saya, Senja," ucap Langit sambil mempererat pelukannya.Bukannya menghentikan tangisannya, Senja justru semakin terisak. Sungguh, senja merasakan sakit di bagian dadanya, saat sang suami menyebut wanita lain dihadapannya."Makany
Semakin hari interaksi Langit dan Senja semakin sering mereka lakukan. Jika waktu luang, Langit sering menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Pak Andika. Dan setelahnya, laki-laki itu selalu menyempatkan berbincang juga dengan Senja pula. Senja pun sudah merasa, jika Langit sudah benar-benar menjadi sahabatnya. Karena semakin hari, Langit semakin terbuka untuk sekedar ngobrol masalah pribadi kepada Senja. "Tumben nggak nemuin pacar kamu, Dek?" Tanya Bintang, kakak satu-satunya Senja. Senja menggeser tubuhnya saat sang Kakak kini ikut duduk di sampingnya. "Maksud Abang Mas Langit?" "Iya siapa lagi kalau bukan dia," ucap Bintang seraya mengambil cemilan yang ada ditangan Senja. "Mas Langit lagi bahas sesuatu yang penting sama Ayah. Jadi Adek nggak mau ganggu obrolan mereka. Lagian Adek 'kan sudah bilang sama Abang...Adek itu nggak pacaran sama Mas Langit." "Yakin? Kok Abang nggak percaya kalian nggak pacaran. Secara, Mas Langit sering banget datang ke rumah kita. kalau nggak pac
Flashback."Mas Langit?""Assalamualaikum, Pak Dika-nya ada?""Walaikumsalam. Mas Langit mau ketemu Ayah?" Tanya Senja seolah tidak mendengar apa yang menjadi alasan tetangganya itu datang ke rumahnya. Langit menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tidak berniat menjawab pertanyaan gadis yang ada dihadapannya itu, karena tadi sudah sangat jelas jika dia ingin bertemu dengan ketua Rt di kompleks perumahan tempat tinggalnya."Maaf Mas, sejak tadi pagi, Ayah sudah berangkat ke kantor. Bagaimana kalau nanti sore atau malam saja, Mas Langit datang lagi kemari," usul Senja."Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu sudah rapi pagi-pagi begini, mau kemana?" Tanya Langit agak heran, karena belum pernah lihat Senja berpakaian formal seperti saat ini."Oh, saya mau kuliah Mas. Kenapa?""Kalau begitu Kebetulan saya juga mau ngajar pagi ini. Mau sekalian saya antar kamu kuliah?.""Beneran Mas? Mau...mau, Alhamdulillah," ucap Senja senang. "Tapi ngerepotin nggak?""Nggak lah, saya yang ngajak ka
"RASYA…!!!"Langit terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Mimpi yang baru saja dialaminya membuatnya frustasi. Kenapa Rasya kembali hadir di mimpinya? Argh…Langit sangat kesal saat ini, karena harus mengingat kembali wanita yang masih ada di hatinya sampai saat ini.Namun, Langit sadar saat dia melihat Senja sedang berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ini pasti karena dirinya yang tanpa sengaja menyebut nama Rasya di saat gadis itu percaya, jika Langit akan berusaha membuka hatinya.Refleks, Langit menghampiri Senja dan langsung memeluk tubuh mungil istrinya itu. Ini semua diluar kendalinya, dan dia pun menyesal. Ini pertama kalinya, laki-laki itu memeluk sang istri, setelah enam bulan lebih menjalani pernikahannya."Maaf, maafkan saya, Senja," ucap Langit sambil mempererat pelukannya.Bukannya menghentikan tangisannya, Senja justru semakin terisak. Sungguh, senja merasakan sakit di bagian dadanya, saat sang suami menyebut wanita lain dihadapannya."Makany
Flash on."Kamu serius? Beneran kita mau liburan ke Pantai, Mas?" Tanya Senja sambil berusaha menahan rasa sakit di tenggorokannya karena tersedak.Senja sempat tersedak saat sang suami mengatakan kepadanya, jika besok laki-laki itu akan mengajaknya berlibur ke Pantai. Tentu saja, Senja menghiraukan rasa sakit di tenggorokannya berganti rasa bahagia yang tiada tara. Bagaimana bisa suami secuek Langit bisa membuat hatinya membuncah bahagia. Ah, kalau begini caranya, dia tidak akan bisa menghilangkan rasa cintanya kepada Langit."Tadi siang, Pak Rektor ngasih liburan gratis ke saya untuk tiga hari, hadiah pernikahan kita katanya. Tadinya saya mau nolak, tapi nggak enak.""Ish, ngapain di tolak, Ini tuh rezeki, Mas. Lagian, Pak Rektor udah baik sama kita. Jangan bikin beliau kecewa," kata Senja. "Ngomong-ngomong, kenapa pengen nolak hadiah dari Pak Rektor? Kamu takut khilaf saat kita berada di sana?"Wajah Langit tiba-tiba merona. "Bener 'kan Mas? Kamu takut kalau kamu tiba-tiba menyent
"Sekali lagi, terima kasih ya, Nak Langit, sudah menolong anak saya," ucap Ayah Dika."Sama-sama Pak. Saya tadi kebetulan lewat, dan melihat anak Bapak tergeletak di pinggir jalan.""Saya tidak tahu, bagaimana caranya kami membalas semua kebaikan Nak Langit. Maaf sudah merepotkan.""Jangan bilang seperti itu Bu. Bapak dan Ibu juga sering membantu saya. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu ya. Semoga, Senja cepat sembuh.""Aamiin ya Rabbal'alamiin. Sekali lagi terima kasih ya Nak Langit."Langit tersenyum," Assalamualaikum""Wa'alaikum salam."*****Keesokkan harinya, Senja sudah merasa lebih baik. Namun memang dia masih belum bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini pun terpaksa dia harus izin kuliah karena tubuhnya masih terasa sakit."Bunda lagi ngapain?" Tanya Senja saat melihat sang Bunda sibuk membuat kue."Kamu kenapa kesini, sayang? Kamu 'kan belum pulih.""Justru badan Senja makin sakit kalau tiduran terus, Bunda," ucap Senja sambil duduk di kursi meja makan. "Bunda belum
Flashback."Ayah, tamu tadi siapa? Kok, Senja baru lihat ya?" Tanya Senja saat mereka menikmati makan siang bersama."Oh itu, namanya Langit. Dia tetangga baru kita yang membeli rumah Pak Agus, di blok C5. Kenapa? Tumben kepo?"Senja pura-pura santai, padahal dalam hati dia begitu senang karena ternyata laki-laki tampan itu adalah tetangga barunya. Bahkan hanya terhalang satu rumah saja dengan rumah milik ayahnya itu."Habisnya, tamu ayah ganteng sih, makanya Senja kepo." "Ganteng? Bukanya kamu bilang cowok paling ganteng sedunia itu, Ayah?" Ucap Bunda Ayu seraya meletakkan air minum untuk Ayah Andika."Paling kalau ada maunya anak bungsu Bunda mah bilang begitu sama Ayah. Sekarang udah kegeser tuh sama tetangga baru kita," ucap ayah Dika pura-pura kesal.Yang sedang jadi bahan pembicaraan hanya tersenyum melihat tingkah sang ayah yang terlihat cemburu."Ish, kegantengan ayah mah nggak akan tertandingi. Tetap, Ayah adalah cowok paling ganteng sedunia raya. Nah tamu yang tadi, cowok t
Aroma wangi masakan menyeruak ke dalam hidung bangir Senja pagi ini. Aroma itu semakin kuat saat gadis itu menuju dapur tempat asal muasal bau harum yang membuat perutnya keroncongan. Maklum selama ini, Senja tidak pernah sarapan di rumah. Dia lebih sering sarapan di kampus, karena tidak pernah merasa nyaman jika berlama-lama tinggal di rumah suaminya itu. Mata Senja menatap takjub saat seseorang sedang bergelut dengan peralatan masak dengan sangat lihai. Bahkan kini, gadis itu hanya berdiri mematung, menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya saat ini."Ngapain berdiri di situ!" Kata Langit yang sontak saja membuyarkan lamunan Senja."Hm, a..aku cuma mau pamit, mau berangkat kuliah, Mas," ujar Senja.Walaupun jujur saja, perutnya saat ini sedang berontak minta di isi. Namun karena gengsinya yang terlalu kuat, Senja memutuskan untuk segera pergi kuliah demi menghindari suaminya itu dan memilih sarapan di kantin kampusnya."Sepagi ini?" Tanya Langit heran. Padahal ini masih p
Senja tampak canggung saat dirinya sudah berada di antara keluarga Langit. Mungkin karena ada Tante Rima, kakak dari Mama Dona yang kini tinggal di Jogjakarta, ada bersama mereka.Jujur, Senja memang sedikit sungkan kepada kakak dari mertuanya itu. Maklum, Senja baru bertemu dengan Tante Rima saat melaksanakan akad nikah waktu itu. Melihat dari wajah wanita paruh baya itu, Senja merasa jika Tante Rima kurang suka padanya. Entahlah, perasaan itu masih dia rasakan saat ini, ketika bertemu tante dari sang suami."Lang, Tante tuh kangen banget sama kamu. Kenapa nggak pernah main lagi ke rumah tante sih?" Ucap Tante Rima di sela-sela makan malam mereka."Iya nanti ya Tante. Nanti kalau saya ada waktu, Insya Allah, saya nyempetin main ke rumah tante," ucap Langit."Beneran ya, tante tunggu loh. Padahal dulu kamu sama Rasya sering banget main ke rumah tante, bahkan sampai menginap segala!"Uhuk...uhuk..."Senja, kamu nggak apa-apa, Nak?" Tanya Mama Dona seraya menyerahkan gelas berisi air mi
Hah…!!! berteman?Mata Senja membulat sempurna, saat mendengar permintaan sang suami. Agak aneh sih, karena Senja tak pernah mengira Langit punya pemikiran seperti itu. Padahal, sejatinya mereka sudah lebih dari sekedar berteman. Mereka suami istri yang hubungannya jauh lebih dari hanya sekedar teman. Namun, Senja akhirnya menerima untuk bisa berteman dengan suaminya itu, sekalipun itu terasa aneh untuknya. Daripada dirinya merasa menjadi musuh Langit, ya ini jauh lebih baik. *****"Jangan melamun Pak Lang, nanti ke sambet lho!"Lamunan langit buyar saat tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke ruangannya. Dan dia sangat tahu, jika sahabatnya lah yang berani masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Sudah saya bilang jangan panggil saya dengan sebutan itu, nggak enak dengernya!"Abimana, tertawa melihat wajah kekesalan yang di tampakkan Langit saat ini. Maklum, selama ini wajah jutek dan dinginnya selalu menghiasi wajah tampan sahabatnya itu."Baiklah, maaf. Oh