Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya.
"Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!"
Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang.
Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka.
"Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!"
Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang.
Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarga mempelai justru menari di atas penderitaan Nayla dan Shaka. Tidak tahu kalau Nayla sudah sadar sejak mencium aroma minyak kayu putih yang dioleskan Shaka di hidungnya.
"Ah, kamu udah siuman? Syukurlah!"
Nayla kaget bangun-bangun melihat Shaka di sampingnya. Pakaian pengantin masih melekat di badan mereka dan Nayla tahu apa yang telah terjadi.
Dia pingsan setelah ijab kabul. Kemudian, Shaka membantunya. Artinya mereka hanya berdua saja di kamar? Mengingat hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Eee, ayah sama ibu mana?" Nayla sedikit celingukan.
"Mereka di depan. Dari tadi cuma aku yang ada di sini." jawab Shaka pelan sambil tersenyum.
Hancur hati Nayla. Apa orang tuanya tidak lagi peduli padanya? Tetapi inilah kenyataan. Mereka hanya berharap dia menikah karena usianya yang sudah hampir kadaluarsa di mata masyarakat.
Dia melirik Shaka yang sibuk membersihkan handuk kecil dan minyak kayu putih di laci. Paras rupawan itu terlihat sangat tampan memakai jas hitam walaupun memasang wajah datar. Sesekali hanya tersenyum kalau sedang berbicara dengannya.
"Shaka ... keberatan nggak, ya?" lirih Nayla hampir tak terdengar.
Shaka berganti sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam koper. Dia membawa banyak pakaian ganti karena kemarin belum sempat membongkar kopernya sudah keburu dilamar Nayla diajak langsung nikah.
Terlalu mendadak, tapi sepertinya tidak ada pilihan lain. Mereka sama-sama dituntut karena berada di usia yang genap tiga puluh tahun.
Akhirnya koper dan baju kotor Shaka ada di rumah Nayla dan dia harus memisahkannya di koper lain agar mudah untuk membawanya pindah besok. Rencananya mereka akan pergi setelah fajar.
Setiap pergerakan Shaka tidak lepas dari mata Nayla. Meskipun dalam hati masih bergejolak merasa gila telah melamar teman sendiri.
"Shaka, habis ini kita tinggal di rumahmu aja, ya, yang di Jakarta. Kamu nggak keberatan, 'kan?"
"Asal kamu yang minta aku nggak keberatan," jawab Shaka tanpa berhenti dari aktivitasnya.
Nayla diam sejenak.
"Kalau nikah sama aku ... kamu keberatan?" suaranya mulai memelan.
Pergerakan Shaka terhenti. Dia menoleh membuat Nayla tersentak.
"Kenapa? Kamu kecewa?"
"E-enggak, bukan gitu maksudnya." Nayla panik.
Shaka terkekeh lalu duduk di tepi ranjang dan menepuk kepala Nayla.
"Asalkan itu kamu aku terima apapun keadaannya."
Pipi Nayla langsung memerah. Dia menepis tangan Shaka dan berpaling, sedangkan Shaka kembali berbenah.
Melihat punggung itu yang terus bekerja tanpa sadar menghanyutkan pandangan Nayla. Gadis itu terus meragukan keputusannya.
Hanya karena frustasi akan desakan keluarga, dia sampai mengorbankan perasaan dan hidup temannya tanpa bertanya terlebih dahulu.
Nayla tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Shaka. Sedikit menyeramkan, tetapi diamnya cukup membuat Nayla nyaman. Caranya bicara selalu menghangatkan hati. Apa mungkin di masa depan Nayla bisa jatuh cinta dengan laki-laki ini. Secara Shaka adalah teman masa kecilnya.
Keesokan harinya ketika sibuk memasukkan barang-barang ke mobil, Nayla mendapat surel dari pekerjaannya.
"Nona Shakia Nayla Bestari yang terhormat, selamat atas pernikahannya. Anda diizinkan untuk mengambil cuti pernikahan selama satu pekan."
Nayla syok membaca surel itu sampai Handphone-nya hampir jatuh.
"Nah, kebetulan aku juga dalam masa libur. Kita sama-sama nggak kerja." Shaka menjentikkan jari.
"Kamu malah seneng?" balas Nayla tidak habis pikir.
Nayla justru ingin bekerja untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan. Terlebih lagi dari mana perusahaan tahu kalau dia tiba-tiba menikah.
Dilema yang terpaksa Nayla terima. Baru hendak masuk ke mobil, seseorang melambaikan tangan di depan rumahnya.
"Shaka!"
Nayla mendongak. Seketika terpesona dengan kehadiran sosok perempuan cantik yang memakai dress mahal itu. Lain dengan Shaka yang berdiam kaku.
"Verlin?"
"Hmm?" Nayla melirik bingung.
"Ternyata benar kamu." perempuan itu segera berlari menghampiri Shaka.
Dalam hati Nayla terkejut. Shaka hanya diam, tapi perlahan-lahan senyum tipisnya muncul ragu-ragu. Gerak-gerik Shaka terlihat aneh membuat Nayla sedikit penasaran. Siapa sebenarnya Verlin itu?
Dua cangkir kopi panas mengepul di meja, tetapi di balik tirai penghubung antara ruang tamu dan dapur ada yang jauh lebih panas daripada kopi.
Nayla menguping pembicaraan mereka berdua sambil memegang ujung tirai takut ketahuan, padahal suara mereka tidak bisa didengar sama sekali.
Setelah beberapa menit berbincang perempuan itu nampak sedih meskipun disembunyikan. Tersirat di wajahnya begitu jelas terlebih lagi ketika pergi dari rumah Nayla.
Nayla segera mendekati Shaka yang berdiri di ambang pintu melihat kepergian Verlin.
"Bentar amat ngobrolnya. Siapa dia?" tanya Nayla santai.
"Mantan aku."
"Apa?!" kedua bola mata Nayla hampir lepas.
Shaka bergegas ke mobil.
"Se-sejak kapan kamu punya pacar?! Jangan bilang dia sedih gara-gara kamu nikah sama aku. Eh, kejar, dong, kasihan itu dia nangis." Nayla menunjuk kepergian Verlin.
Shaka berhenti melangkah, "Emangnya kamu mau aku ngejar dia?"
Nayla tersentak tatapan laki-laki itu tajam.
"Tenang aja, kita udah putus lama. Ini nggak ada hubungannya sama kamu."
Pintu mobil dibuka dan Shaka menjadi sangat dingin, berbeda dengan tadi malam. Nayla membiarkan laki-laki itu di dalam mobil, sedangkan dia sendiri sedang berkecamuk. Sudah Nayla duga, Shaka pasti menyesal telah menikahinya.
Lewat pukul sepuluh pagi, Nayla resmi meninggalkan kota Bekasi. Perasannya semakin tidak karuan semenjak acara kemarin ditambah kemunculan mantan pacar Shaka. Sejak itu Shaka diam tidak mau bicara dengannya.
Nayla tahu laki-laki bernama Shaka Arya Wiratama itu sudah pendiam sejak kecil dan hanya bicara seperlunya saja, tetapi diamnya kali ini merubah suasana menjadi hening. Terlebih lagi canggung karena posisi mereka bukan lagi teman biasa, melainkan suami-istri.
"Dasar es batu!" gerutu Nayla semu.
"Apa?" Saga mengernyit.
"Ha? Emangnya aku ngomong, ya?" Nayla menoleh pura-pura bodoh.
Shaka berdecak cuek kembali fokus mengemudi. Nayla juga mencebikkan bibirnya membuang muka ke jendela.
Tidak bisa diajak kompromi, langit mendadak mendung dan teror petir mulai menghujam. Mereka masih dalam perjalanan sudah dihadang angin kencang. Mobil Shaka bergoyang ketika berhenti di lampu merah.
"Shaka, kayaknya mau hujan. Kita neduh dulu apa gimana?"
Panik sambil menutupi telinga erat-erat takut akan suara petir. Shaka bukannya menjawab dia langsung melepas Seat Belt Nayla dan menarik Nayla lebih dekat.
"Sini!"
Shaka menekan kedua tangan Nayla ikut menutupi telinga Nayla.
"Kamu takut petir, 'kan? Diam aja, nggak apa-apa aku di sini," ujar Shaka begitu hangat.
Suara petir jatuhnya terdengar seperti kembang api. Gadis itu terkejut karena Shaka masih ingat tentang dirinya.
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Hatinya terbakar saat Shaka mengaku. Sedetik kemudian Shaka memeluknya membuat Nayla hampir tak bernyawa. Dia terkejut bukan kepalang sampai jantungnya berhenti berdetak. "Tapi ... aku tetap suamimu. Tolong jangan jauhi aku." Shaka menggosokkan wajahnya di pipi Nayla kemudian menjadikan pundak Nayla seperti bantal. Dia pun tertidur di sana. Mata Nayla terbuka dan napasnya berpacu tak karuan. Melirik Shaka seolah ingin mencongkel matanya saja. Sikap egois itu membuatnya ingin memukul kepala Shaka. Orang itu benar-benar membuatnya marah hampir gila. Sayangnya kepalan tangan yang hampir melayang ke wajah tampan itu kembali lemas. Nayla tidak akan pernah mampu memukul Shaka sampai kapanpun. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang melilitnya seperti ular. Untuk bergerak saja Nayla kesusahan. Dia hanya bisa terus bersandiwara hingga akhirnya benar-benar terlelap. Keesokan paginya adalah pagi terheboh yang pernah ada dalam sejarah mereka. "Aaaa, aku megang Cicak!" Nayla berteriak menatap
"Ja-jangan. Kamu jangan macem-macem, deh. Jangan punya pemikiran aneh." Nayla menggeleng sampai sesak napas. "Buat kamu ... membuat mereka membayar seratus kali lipat atas apa yang mereka lakukan itu hal mudah bagiku." Shaka tersenyum smirk. Nayla tercekat, "Shaka, kamu jangan ngaco." Tak urung Nayla takut. Shaka sangat mengerikan saat serius. Jika dia mengarahkan satu hal pasti akan dia lakukan.Kini kedua tangannya dipegang Shaka seolah tidak ingin dilepas. Nayla bisa merasakannya, itu sama ketika mereka masih kecil dan Nayla mengingatnya. Dulu ketika bermain di taman kecil dekat rumah mereka, Nayla sering diejek karena ayahnya seorang narapidana. Shaka selalu membela dan menghadang umpatan-umpatan itu di depan Nayla seperti ksatria dan tangannya tidak akan lepas menggenggam tangan Nayla hingga Nayla merasa aman. Kini Nayla terkejut, cara Shaka melindungi dirinya masih sama seperti dahulu. Hanya saja, balas dendam itu terlalu ekstrem. "Kenapa kamu mau balas dendam untukku?" Nay
"Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b
Mencari begitu lama, Nayla akhirnya memberitahu bahwa dia ingin catatan biografi Verlin dengan alasan untuk belajar. Tidak tahu bodoh atau lugu mahasiswi itu memberikan semua catatan umum Verlin kepada Nayla. Ketika membacanya, Nayla bagai tertiban reruntuhan emas. Identitas asli Verlin lebih menakutkan dari yang dia kira. Ternyata wanita itu adalah keturunan konglomerat. Tidak heran takdirnya bisa sesukses dan sekaya itu. Uang sudah seperti debu baginya. Tanpa dicari pun kepopuleran dan harta akan datang dalam genggamannya. Nayla menutup semua buku itu sembari menarik napas dalam. "Aku mengerti sekarang. Dia bukan lawan yang bisa dihadapi sembarangan," gumam Nayla tanpa sengaja mengutarakan isi pikirannya. "Hmm? Kamu bilang sesuatu?" mahasiswi itu tiba-tiba bingung mendengar Nayla di saat sedang sibuk membaca. "Oh, bukan apa-apa. Terima kasih, ya, kau sangat membantu. Aku sudah merekap beberapa inti yang kuanggap penting. Kurasa aku tau apa yang harus kulakukan." Nayla menggoya
"Hahaha, terima kasih atas traktirannya. Jadi merasa tidak enak," kata orang ke satu. "Haha, jangan sungkan. Kita sama-sama berteduh, hahaha. Oh, iya, tadi kalian bilang pemilik toko ini seorang model, ya? Aku karyawan di kantor itu. Kami sedang mencari model yang pas untuk mengiklankan produk terbaru kami. Mungkin saja pemilik toko ini bisa membantu." senyum tulus Nayla bahkan tercermin di matanya. Nayla tidak ragu-ragu untuk berakting bahkan merogoh isi dompet untuk mentraktir dua orang asing itu dengan kopi dan roti. Orang ke satu mendesah, "Takutnya kalian tidak akan bisa mengatur kontrak dengannya." Nayla berkedip, "Kenapa?" "Aku tau dari berita dia sangat mahal dan jarang terikat dengan kontrak. Siapa juga yang membutuhkan banyak pekerjaan kalau sudah kaya. Bukankah toko ini terlalu sukses?" orang pertama itu mengendikkan bahu menyindir terang-terangan. Nayla mengangguk dan bersandar kursi. Membiarkan kedua orang itu menikmati kopinya. "Hmm, benar juga. Hah, sayangnya men
Pandangan rapuh nan teduh itu seperti helaian sutera yang terbang di udara. Jari-jemari Nayla merasakannya. Bagaimana bisa rambut seorang pria bisa sehalus itu. Padahal shampo yang mereka kenakan sama. Senyum Nayla tak pernah pudar melihat wajah lugu Shaka tertidur di sampingnya. Seolah-olah kursi kecil itu ikut menanggung lelah yang Shaka derita. "Ganteng banget," gumam Nayla. Pikirnya pantas saja Verlin mengejar Shaka setengah mati."Huft, Verlin, ya?" terus bermain dengan rambut Shaka. Sorotan mata terarah ke langit-langit putih tulang. "Aku harus lakuin sesuatu ke dia. Kayaknya ... dimulai dari mencari informasi tentang dia. Siapa dan apa latar belakang cewek kejam itu yang sebenarnya." Kondisi mulai stabil. Lelah sepertinya tidak bisa bilang, tetapi kata dokter Nayla sudah boleh pulang. ~~~Pagi telah berubah. Matahari menyembunyikan sinarnya. "Hah? Pagi-pagi begini udah turun hujan aja." Bibir merah sakura mencondong dengan tangan menampung rintikan air yang turun. "Uda
Napas lega bisa Nayla hela sekarang. Akhirnya truk itu kembali dengan kosong. Pihak perusahaan yang diajak kerjasama juga telah memberi balasan dan menerima dua persen dari penjualan. Suara pukulan ringan di cermin wastafel kamar mandi terdengar bersamaan helaan napas."Akhirnya selesai juga." Badan sudah hampir ambruk sampai mati rasa, tetapi mental dipaksa berdiri bagaimanapun caranya. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang. Beruntung perusahaan itu punya banyak wadah yang bisa mendistribusikan semuanya." Pantulan cermin sudah bukan seperti dirinya. Wajah yang gelap, kantung mata menghitam, dan bibir kering pucat seperti mayat hidup. Nayla membasuh wajahnya berkali-kali sampai matanya perih kemasukan air. Lepas itu dia pergi menjelaskan segalanya kepada sang atasan hingga hasil pendapatan pun diterima. "Wah, Nayla, kamu melakukan semua ini sendirian? Hanya dengan satu hari satu malam? Wah, kamu jenius atau apa?" "Gila! Dia benar-benar gila! Bisa membolak-balikkan fakta sekejap itu
"Ssttt, kecilkan suaramu. Ntar kalau kedengeran orang lain gimana?" Nayla menaruh telunjuk di bibir. Seketika Vira membungkam mulutnya. Dia celingukan ke segala arah. Tidak ada orang lain di kamar mandi selain mereka, Vira rasa aman. "Eh, kasih tau aku semuanya cepetan. Kamu habis dari mana aja? Satu kantor heboh pusing tau nggak gara-gara kamu." desisan Vira haus informasi. Helaan napas lelah Nayla muncul bersama kerutan dahi yang seolah enggan menghilang sejak pagi. "Aku ... pergi ke kantor itu. Aku nekat minta bantuan buat mendistribusikan produk kita ke tempat lain dengan syarat penjualan naik dua persen. Dan dua persen itu sepenuhnya untuk mereka. Perusahaan kita cuma bakal dapat harga yang ditetapkan sebelumnya aja," jelas Nayla kelelahan. "What?! Astaga, kamu nekat sampai kayak gitu?! Parah, parah, aku makin pusing. Ini beneran?! Kamu ke luar kota buat atur sendiri kelanjutan Problem hantu itu?!" "Hantu?" Kening Nayla berkerut."Iya, hantu, 'kan, tiba-tiba muncul aja gitu
Sebuah pesan tak dikenali meneror ponsel Nayla. Sekuat tenaga gadis itu lari ke ruang manajerial kepala divisi atas tuduhan pemalsuan dokumen.Seharusnya surat persetujuan pengiriman produk lama ke luar kota itu tidak ada, tetapi jelas-jelas surat itu diterima Nayla dan masuk ke dalam rekap surat masuk harian.Jelas Nayla sudah mencatat tanggalnya. Surat itu dikirim kemarin. Berkasnya pun masih ada dan dia harus mempertanggungjawabkan itu semua. "Apa? Bagaimana bisa saya memalsukan surat? Ini tuduhan palsu! Jelas-jelas surat itu datang kemarin. Pak satpam yang memberikannya. Banyak saksi mata yang menyaksikan, Pak," bela Nayla di hadapan sang manajer. Namun, apa bisa didaya? Meskipun satpam dipanggil untuk dimintai keterangan tetap saja Nayla bersalah. Satpam itu mengaku telah memberikan Nayla surat, tetapi bukan surat yang sedang dipertanyakan. Nayla gemetar dalam sudut tatapan tajam para penanggungjawab. "Tidak mungkin!" Tuduhan yang dilayangkan semua orang mengikis rasa tanggu
Daripada terus berlarut dalam ketakutan yang tiada sebab, Nayla menyeret Shaka untuk angkat kaki dari kost tersebut. Laki-laki itu menurut saja daripada Nayla terserang trauma kegelapan listrik padam. Akhirnya mereka berujung di jalanan. Mata sudah seperti bohlam rusak, bahaya jika terus berkendara. "Huft, kita ke hotel." Shaka menghela napas lelah. Nayla menoleh, "Tapi itu lumayan jauh, loh." "Lebih jauh rumah orang tua kita yang sama-sama di Bekasi. Daripada mengumbar malu balik dan tidur di kantor, lebih aman kita ke hotel," terang Shaka. Nayla menatap kaca depan yang sepi, "Kenapa nggak dari tadi aja? Bikin jantung aku mau copot rasanya. Kost satu hari itu mengerikan." bulu kuduk Nayla berdiri lagi. "Itu karena mati listrik tau," kilah Shaka. "Tapi suara di balkon nyata tau," balas Nayla seolah ketakutannya akan bangkit. Shaka menghela napas saja mengakhiri pembicaraan. Jika dipaksa bicara mereka berdua bisa pingsan kelelahan. Benar, sekarang pukul dua dini hari. Akhirnya
Nayla menggigil bukan karena sikap dingin Shaka, melainkan hawa malam tiba-tiba dingin seperti es. "Sshhh, Shaka ... ini masih di tenah kota, 'kan? Kenapa rasanya kayak di pegunungan?" Nayla menggosok kedua lengannya sambil mendesis. Hembusan napas pun menjadi asap. "Itu karena kami berdiri di balkon. Cepat masuk. Aku ajak kamu pulang supaya bisa tidur, bukan bergadang." Shaka mengayunkan tangannya memanggil Nayla dari ambang pintu kamar. Nayla mendekat dn pintu pun ditutup Shaka. "Haaaa! Kipasnya nyala!" Teriakan Nayla membuat bulu kuduk Shaka berdiri . "Apa, sih?!" Shaka kaget. "Se-sejak kapan ada kipas di situ? Perasaan tadi nggak ada. Kenapa juga bisa nyala?!" jari Nayla gemetaran menunjuk kipas berdiri di pojokan. Wajah Shaka pucat seketika. "Nayla, sejak kapan kamu buta?" geleng-geleng kepala memilih tidur dan menutup kepala dengan bantal. Membiarkan Nayla heboh dengan pikiran negatifnya. Gadis itu sibuk menunjuk semua hal dengan mata tajam dan leher yang dingin. "Apa