Hatinya terbakar saat Shaka mengaku. Sedetik kemudian Shaka memeluknya membuat Nayla hampir tak bernyawa. Dia terkejut bukan kepalang sampai jantungnya berhenti berdetak.
"Tapi ... aku tetap suamimu. Tolong jangan jauhi aku." Shaka menggosokkan wajahnya di pipi Nayla kemudian menjadikan pundak Nayla seperti bantal. Dia pun tertidur di sana.
Mata Nayla terbuka dan napasnya berpacu tak karuan. Melirik Shaka seolah ingin mencongkel matanya saja.
Sikap egois itu membuatnya ingin memukul kepala Shaka. Orang itu benar-benar membuatnya marah hampir gila.
Sayangnya kepalan tangan yang hampir melayang ke wajah tampan itu kembali lemas. Nayla tidak akan pernah mampu memukul Shaka sampai kapanpun. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang melilitnya seperti ular. Untuk bergerak saja Nayla kesusahan. Dia hanya bisa terus bersandiwara hingga akhirnya benar-benar terlelap.
Keesokan paginya adalah pagi terheboh yang pernah ada dalam sejarah mereka.
"Aaaa, aku megang Cicak!" Nayla berteriak menatap tangannya sampai Shaka terjingkat duduk mengerjap cepat.
"Aaa, Cicak! Ci-cicak apa yang kamu maksud?" Shaka panik sampai suaranya melengking.
Nayla menatap tangannya dan muka Shaka bergantian sambil mengeratkan gigi.
"Ya, Cicaknya kamu!" pekik Nayla.
"Hah?! Maksudnya?!" Shaka menunjuk diri sendiri selagi Nayla bergidik.
Lalu, dia langsung paham dan menunduk menyilang kakinya. "Maksud kamu a-aku ... ini ... argh, kamu ngomong apa, sih?!"
Nayla berdecak, "Kenapa kamu peluk-peluk aku?! Geseran dikit, 'kan, bisa. Badan kamu gede jangan makan tempat!"
Shaka menganga, "Emangnya aku meluk kamu?"
Sesaat dia sadar dan menepuk dahinya keras sampai Nayla merinding. Dia ingat apa yang telah terjadi.
"Emangnya kenapa kalau aku meluk kamu? Nggak boleh?" tanya Shaka yang sudah tenang.
"Nggak boleh! Kamu nggak berhak buat dekat-dekat sama aku! Meskipun itu dalam mimpi sekalipun!" kecam Nayla.
Shaka mendelik, "Kenapa? Aku, 'kan, suami kamu."
"Karena kamu sukanya ke orang lain bukan sama aku!" refleks Nayla menunjuk batang hidung Shaka membuat empunya kembali terkejut.
"Kamu ... dengar aku?" suara Shaka memelan.
Nayla melengos acuh, "Aku dengar semuanya. Tadinya mau pukul kepala kamu biar kamu lupa ingatan, tapi karena aku terlalu baik jadi aku lepaskan kamu. Aku bahkan biarin kamu meluk aku waktu tidur! Badan aku sesak tau!"
Shaka diam saja mendengar ocehan Nayla. Shaka tahu sebenarnya itu keluh kesah Nayla, bukan protes biasa.
"Maafin aku, Nayla," lirih Shaka.
Kerutan di dahi Nayla menghilang.
Shaka mendengkus panjang, "Aku mungkin masih belum melupakan Verlin, tapi kamu adalah istriku. Aku memilihmu tanpa ragu. Tolong percayalah. Aku sendiri nggak tau apakah perasaanku pada Verlin itu cinta atau sekadar belum bisa Move On, tapi yang jelas aku ingin bersamamu."
Nayla menyeringai, "Cinta, ya? Merepotkan sekali! Dibilang aku mencintaimu juga tidak, tapi aku sayang sama kamu. Ck, pahitnya! Berasa perasaanku bertepuk sebelah tangan, tapi bukan cinta. Apa, ya? Bagaimana cara bilangnya, ya? Aku rasa sudah menyukaimu sejak dulu, sih."
Mulut Shaka membulat mendengarnya.
"Kenapa? Sakitnya berasa sampai ke ulu hati, ya?" sindir Nayla, "Perasaan memang selalu menyulitkan seseorang sampai membutakan akal sehat. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang. Aku mau kerja. Terserah kamu kalau balikan lagi sama mantanmu aku nggak peduli. Aku udah biasa hidup kayak gini. Sendiri tanpa ada bayang-bayang yang menemani. Anggap aja pernikahan kita cuma status belaka. Sejak awal kita memang nggak wajar."
Nayla turun dari ranjang, tetapi Shaka mencekal tangannya.
"Lepasin aku!"
"Apa separah itu kamu sampai nggak percaya sama laki-laki padahal ini aku sendiri?"
Nayla terpaku dengan ekspresi serius Shaka.
"Traumamu, gejala, awal mula, semua yang kamu alami sejak aku pindah ke Jakarta, katakan semuanya, Nayla. Ceritain semuanya ke aku. Sekarang!" tuntut Shaka sudah seperti di pengadilan.
Nayla tertawa kaku, "Apa-apaan tiba-tiba jadi ke situ? Kita lagi bahas betapa buayanya kamu, ya. Aku sampai lalai tidur dekat banget sama kamu sampai aku nggak sengaja megang barang pribadi kamu!" balas Nayla menunjuk kaki Shaka.
Sontak Shaka berdecak dan menutupi pinggang hingga kakinya dengan selimut.
"Nayla, kamu! Aku ternodai!" pekik Shaka kesal.
"Tanganku jauh ternodai!" balas Nayla tak mau kalah membuat Shaka menganga lagi.
"Gimana bisa kamu nyentuh aku di bagian itu? Tanganmu memangnya merayap ke mana-mana? Cicak? Kamu sebut aku Cicak?!" Shaka syok berat.
"Ya, ya, Cicak kurang ajar yang mainin jiwa sama raga aku! Kalau bukan gara-gara kamu meluk aku, tanganku nggak mungkin bisa terperangkap di situ." Nayla melengkungkan bibir bawahnya.
"Kamu!" Shaka tidak bisa berkata-kata. Telinganya memerah menahan malu. "Aku nyium kamu aja nggak pernah tapi kamu malah menodaiku," sok sedih.
"Tunggu, jangan pernah berharap bisa menciumku, Dasar Cicak Jelek!" maki Nayla heran ternyata Shaka lebih dramatis daripada dirinya.
"Oh, masih menganggapku Cicak?" Shaka sengaja menarik-narik tangan Nayla supaya kembali jatuh ke ranjang.
"Eh, eh!" Nayla sekuat tenaga menahan diri.
"Apa mau dibuktikan saja?" Shaka mengarahkan tangan Nayla ke bawah.
Sontak Nayla menjerit ingin menampar Shaka dengan tangan satunya, tapi Shaka kemabli berhasil menahannya.
"Apa yang kamu lakukan? Kalau aku mau udah aku lakuin dari dulu." celetuk Nayla asal yang mampu memerahkan wajah Shaka.
"Kamu! Nggak sopan banget jadi cewek. Aku udah minta maaf, kalau nggak terima sini biar aku balas." Shaka menarik Nayla hingga kembali jatuh ke ranjang.
"Aaa, jangan buli aku, dong! Kamu kayak temen SMP aku tau nggak yang sering buli aku!" kesal Nayla merajuk membuat Shaka mendekat tanpa melepaskan genggamannya pada tangan Nayla.
"Apa? Siapa? SMP? Buli?" Shaka menekan keberanian Nayla, "Siapa saja pelakunya? Bagaimana dan kapan mereka mulai mencelakai kamu?"
Nayla sedikit kesulitan bicara apalagi saat Shaka sudah menyatukan alisnya. Mata laki-laki itu menjadi semakin tajam menakutkan. Keseriusan Shaka tidak bisa dilanggar.
"E-emangnya kalau aku cerita kamu bakal apa?" tantang Nayla.
"Aku bakal balas semua perbuatan biadab mereka." desis Shaka tanpa berkedip.
Genderang di dada Nayla kambuh.
"Balas ... dendam?" lidah Nayla pun kelu.
"Ja-jangan. Kamu jangan macem-macem, deh. Jangan punya pemikiran aneh." Nayla menggeleng sampai sesak napas. "Buat kamu ... membuat mereka membayar seratus kali lipat atas apa yang mereka lakukan itu hal mudah bagiku." Shaka tersenyum smirk. Nayla tercekat, "Shaka, kamu jangan ngaco." Tak urung Nayla takut. Shaka sangat mengerikan saat serius. Jika dia mengarahkan satu hal pasti akan dia lakukan.Kini kedua tangannya dipegang Shaka seolah tidak ingin dilepas. Nayla bisa merasakannya, itu sama ketika mereka masih kecil dan Nayla mengingatnya. Dulu ketika bermain di taman kecil dekat rumah mereka, Nayla sering diejek karena ayahnya seorang narapidana. Shaka selalu membela dan menghadang umpatan-umpatan itu di depan Nayla seperti ksatria dan tangannya tidak akan lepas menggenggam tangan Nayla hingga Nayla merasa aman. Kini Nayla terkejut, cara Shaka melindungi dirinya masih sama seperti dahulu. Hanya saja, balas dendam itu terlalu ekstrem. "Kenapa kamu mau balas dendam untukku?" Nay
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
"Ja-jangan. Kamu jangan macem-macem, deh. Jangan punya pemikiran aneh." Nayla menggeleng sampai sesak napas. "Buat kamu ... membuat mereka membayar seratus kali lipat atas apa yang mereka lakukan itu hal mudah bagiku." Shaka tersenyum smirk. Nayla tercekat, "Shaka, kamu jangan ngaco." Tak urung Nayla takut. Shaka sangat mengerikan saat serius. Jika dia mengarahkan satu hal pasti akan dia lakukan.Kini kedua tangannya dipegang Shaka seolah tidak ingin dilepas. Nayla bisa merasakannya, itu sama ketika mereka masih kecil dan Nayla mengingatnya. Dulu ketika bermain di taman kecil dekat rumah mereka, Nayla sering diejek karena ayahnya seorang narapidana. Shaka selalu membela dan menghadang umpatan-umpatan itu di depan Nayla seperti ksatria dan tangannya tidak akan lepas menggenggam tangan Nayla hingga Nayla merasa aman. Kini Nayla terkejut, cara Shaka melindungi dirinya masih sama seperti dahulu. Hanya saja, balas dendam itu terlalu ekstrem. "Kenapa kamu mau balas dendam untukku?" Nay
Hatinya terbakar saat Shaka mengaku. Sedetik kemudian Shaka memeluknya membuat Nayla hampir tak bernyawa. Dia terkejut bukan kepalang sampai jantungnya berhenti berdetak. "Tapi ... aku tetap suamimu. Tolong jangan jauhi aku." Shaka menggosokkan wajahnya di pipi Nayla kemudian menjadikan pundak Nayla seperti bantal. Dia pun tertidur di sana. Mata Nayla terbuka dan napasnya berpacu tak karuan. Melirik Shaka seolah ingin mencongkel matanya saja. Sikap egois itu membuatnya ingin memukul kepala Shaka. Orang itu benar-benar membuatnya marah hampir gila. Sayangnya kepalan tangan yang hampir melayang ke wajah tampan itu kembali lemas. Nayla tidak akan pernah mampu memukul Shaka sampai kapanpun. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang melilitnya seperti ular. Untuk bergerak saja Nayla kesusahan. Dia hanya bisa terus bersandiwara hingga akhirnya benar-benar terlelap. Keesokan paginya adalah pagi terheboh yang pernah ada dalam sejarah mereka. "Aaaa, aku megang Cicak!" Nayla berteriak menatap
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg