Shaka kalang kabut bagai diterjang badai biru. Wajahnya pucat tanpa tersentuh air sejak pulang dari kantor. Nayla tidak ada, ketenangan nalurinya hilang seketika. Lagi-lagi Jakarta dihujam hujan deras campur angin. Petir terus mencambuk memperkeruh situasi. Meskipun kepanikan membutakan matanya, tetapi mata hati Shaka tetap terbuka. Dia harus berpikir jernih. Di mana Nayla? Di mana sekiranya istrinya pergi? Tidak ada di tempat lokasi acara, tidak ada di rumah, bahkan teleponnya tidak diangkat. Shaka tidak punya nomor teman-teman Nayla yang bisa dihubungi. Dia frustasi. Menyingkap rambutnya ke belakang sambil mengemudi. Wajahnya panik bukan main. Derasnya guyuran hujan menutupi kaca mobil tidak memburamkan penglihatannya demi mencari Nayla. Sekali lagi menelepon Nayla kembali tak terjawab. "Nayla, kamu di mana? Kenapa tiba-tiba hilang?" Suaranya gusar. Lalu, terlintas satu hal yang membuat matanya terbelalak. "Jangan-jangan ... Nayla pulang?" Shaka langsung banting setir putar
Nayla memborong camilan di toko sebelah dan memakannya habis-habisan seperti orang kesurupan. Shaka pamit mau berangkat kerja pun tidak dihiraukan. Sekalipun menengok saja tidak. Nayla sudah tidak peduli jika kedua orangtuanya tahu jika mereka sedang ada masalah, tapi apa boleh buat, Nayla tidak tahan melihat wajah Shaka. Di sisi Shaka sendiri dia menyempatkan waktunya untuk datang ke kantor Nayla hanya untuk meminta nomor telepon Vira dan Gilang, dua teman Nayla yang bisa diandalkan. Tentu saja Vira dan Gilang kaget di hari yang hampir petang ini. "Eee, emangnya kalian berantem, ya?" tanya Vira setelah memberikan nomornya. "Kemarin kita cari mati-matian nggak ketemu, taunya malah pulang kampung. Dipanggil berkali-kali juga nggak diangkat. Gila Mbak Nayla, sampai suaminya aja nggak tau ikut nyariin," cerocos Gilang sambil memberikan nomornya ke Shaka. "Ssttt, diam, asal ngomong aja." Vira menyikut lengan Gilang membuat Gilang berdecak. Shaka masih mempertahankan senyumnya. "Ma
"Shaka! Shaka, kamu kenapa?" Nayla memeriksa jidat Shaka dengan punggung tangannya. "Astaga, badanmu panas banget! Kamu demam?" memaksa Shaka untuk mendongak menatapnya. Napas Shaka tersenggal di tenggorokan. "Kayaknya akibat hujan kemarin. Aku nyari kamu ke mana-mana." belum selesai bicara Shaka kembali terhuyung karena kakinya yang melemah. Nayla panik memegangi Shaka sambil merasa bersalah. "Ka-kamu nyariin aku di situasi ekstrem semalam? Kamu gila, ya?!" pekik Nayla dan Shaka justru mengangguk mantap. Sontak Nayla tersentak dalam hati. "Ya ... yaudah ayo pulang. Aku bantu." Shaka menghentikan Nayla yang hendak memapahnya. "Ke mana?" Bahkan deru napas laki-laki itu terlalu hangat. Demam Shaka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kini Nayla merutuki sifat kekanak-kanakannya. "Ke rumah kamu," pikir Nayla ingin kembali ke Jakarta, tetapi sedetik kemudian menggeleng, "Nggak, di rumah aku aja. Jakarta terlalu jauh. Lihat langit, udah kayak mau nelan bumi hidup-hidup." Tanpa basa
Hujan masih gerimis di luar. Nayla berkemas dan berpamitan dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. "Kamu beneran lagi berantem, ya, sama Shaka?" tanya sang ibu setelah Nayla cium tangan. "Ck, enggak, Bu, kalau kita bertengkar nggak akan Nayla bawa dia ke sini," jawab Nayla santai, tetapi kesan lain begitu nampak. "Terus ... kamu mau pergi ke mana lagi? Hujan-hujanan begini ninggalin suami kamu sendirian yang lagi demam. Kalau orang tuanya Shaka tau mau si taruh di mana muka ayah sama ibu?" kata sang ayah Nayla. Petir terus menyambar pelan. Nayla menatap pintu yang telah terbuka. Nampaklah rumah Shaka yang lampunnya menyala terang dari luar. "Mereka udah tau, kok." Karena mobil Shaka terparkir di halaman rumahnya. Nayla pergi membawa motor yang biasa dia gunakan untuk bekerja sebelum menikah. Jas hujan abu-abu menemani di setiap hujaman angin dan hujan. Dia menuju toko roti di dekat kantornya. Toko itu memang buka dua puluh empat jam. Berdiri di depan toko memandang diam ke ar
"Naylaaaa!" Shaka mendobrak pintu kamar. Hidung dan dadanya kembang kempis dengan asal mengepul di kepala. "Huaaaaaa! Apa?! Apa?! Siapa yang manggil?!" Nayla terjingkat duduk celingukan. Wajahnya merah pucat melihat Shaka marah di ambang pintu. "Kurang ajar kamu, ya, bisa-bisanya kamu mempermainkan aku kayak gini!" Shaka seperti raksasa yang mau menguliti Nayla di ranjang. "Aaaa, maaf, maaf! Jangan mendekat! Jangan mendekat, Shaka, aku nggak mau ketularan deman! Maafin aku, deh, oke?" Nayla panik mundur-mundur sampai ke pojok ranjang menggunakan bantal sebagai tamengnya. "Nggak oke!" Shaka naik ke ranjang membuat Nayla semakin berteriak. "Aaaa, huhuhu, aku minta maaf, deh, seribu maaf pokoknya, tapi kamu juga salah. Malahan salah kamu lebih besar segunung ke aku!" Antara tangis dan kesal Nayla berani menatap laki-laki itu, tetapi tatapannya sangat polos karena menyakitkan telah mempermainkan orang ini sedemikian rupa beberapa malam. Shaka menggaruk udara membuat Nayla meringis
"Woah, haaaa! Udah lama banget aku nggak main ini! Wah, woah, bos Gorila gunung datang bawa pasukan! Jangan remehkan kekuatan penyihir Pink, dasar Gorila bau! Akan ku binasakan semua pasukanmu itu, hahaha!" Nayla menekan tombol remote control game heboh di lantai bersandar sofa.Shaka dengan tenang duduk di sebelahnya bermodalkan kacamata. "Kamu nggak akan bisa mengalahkannya dalam sekali serang, loh," saran Shaka yang sudah membasmi banyak monster di area pertempuran. Monster-monster itu mengelilingi bos Gorila dan menyebar ke seluruh hutan demi menyerang dirinya dan Nayla secara terang-terangan maupun diam-diam."Jangan bercanda tau! Serangan bola apiku dimakan?! Pasukan Gorila macam apa itu?!" Nayla mengamuk mengerahkan seluruh kekuatan penyihirnya. Shaka anteng bermain serius tanpa ekspresi. "Pahlawan wanitanya payah," ucap Shaka membakar gejolak kemenangan Nayla. "Haaaaa?! Diam kamu, Elf muka hijau yang pakai baju kulit macan tutul! Dikira cosplay Tarzan, kah?! Kita lagi per
"Eee, gimana, dong? Aku nggak punya baju bagus buat kondangan." Satu jam sebelum pergi ke pesta Nayla sibuk membongkar lemari. "Baju selemari begitu apanya yang nggak punya baju?" Shaka menunjuk tumpukan pakaian Nayla. "Itu semua udah lecek kupakai kerja yang buat acara-acara nikahan nggak ada," elak Nayla. "Huft, minggir! Biar aku pilihkan." Shaka menggeser Nayla sengaja. "Ha?! Eh, eh, mau ngapain?! Jangan lihat isi lemari aku! Ada pakaian dalam aku tau!" Nayla menggeser Shaka balik dan langsung menghadang lemarinya yang terbuka lebar dengan kedua tangan terbuka. Shaka menganga, "Maaf aja tapi aku nggak tertarik sama barang pribadimu yang kayak anak SD." Shaka mendorong Nayla lagi sampai geser dua langkah."Apa?! Haaa, nggak sopan banget! Jangan ngehina barang-barang aku, ya. Ini limited edition tau!" Nayla tersungut mengambil salah satu penutup payudara berwarna Pink. Shaka langsung pucat pasi, "Eee, kamu yakin itu bukan punya anak SD? Gambar stroberi?" Nayla ternganga lagi
"Hahaha, bercanda doang tau bercanda." Nayla mengibaskan tangan. Wajah Shaka terlalu kaku dan menurut Nayla itu lucu. "Aku aja pingsan setelah kamu ijab kabul," lanjutnya. Shaka menelan ludahnya susah payah. Untuk menutupi kegagapannya Shaka mengerutkan kening, "Benar, gimana mau nikah lagi?" Nayla terkekeh, "Kamu kaget, ya?" "Diam!" desis Shaka kesal. Nayla semakin senang menggodanya. Tangan mereka semakin tergenggam erat sampai malam menghipnotis semua orang. Semakin kelam dan semakin dingin pula kekosongan di hati. Nayla menatap Shaka tanpa berkedip setiap kali laki-laki itu menanggapi teman sekantornya. Shaka benar-benar terlihat seperti laki-laki yang bisa diandalkan. Senyum Nayla semakin meningkat, tetapi mengapa hatinya terasa hampa. Apakah karena sosok itu belum dia terima secara utuh dalam hatinya. Padahal tidak ada yang kurang Shaka. Pertanyaan yang sama pun jatuh pada Shaka. Mungkin Nayla juga belum ada di jiwanya. Nyatanya nama Verlin belum bisa lepas sempurna dari
Daripada terus berlarut dalam ketakutan yang tiada sebab, Nayla menyeret Shaka untuk angkat kaki dari kost tersebut. Laki-laki itu menurut saja daripada Nayla terserang trauma kegelapan listrik padam. Akhirnya mereka berujung di jalanan. Mata sudah seperti bohlam rusak, bahaya jika terus berkendara. "Huft, kita ke hotel." Shaka menghela napas lelah. Nayla menoleh, "Tapi itu lumayan jauh, loh." "Lebih jauh rumah orang tua kita yang sama-sama di Bekasi. Daripada mengumbar malu balik dan tidur di kantor, lebih aman kita ke hotel," terang Shaka. Nayla menatap kaca depan yang sepi, "Kenapa nggak dari tadi aja? Bikin jantung aku mau copot rasanya. Kost satu hari itu mengerikan." bulu kuduk Nayla berdiri lagi. "Itu karena mati listrik tau," kilah Shaka. "Tapi suara di balkon nyata tau," balas Nayla seolah ketakutannya akan bangkit. Shaka menghela napas saja mengakhiri pembicaraan. Jika dipaksa bicara mereka berdua bisa pingsan kelelahan. Benar, sekarang pukul dua dini hari. Akhirnya
Nayla menggigil bukan karena sikap dingin Shaka, melainkan hawa malam tiba-tiba dingin seperti es. "Sshhh, Shaka ... ini masih di tenah kota, 'kan? Kenapa rasanya kayak di pegunungan?" Nayla menggosok kedua lengannya sambil mendesis. Hembusan napas pun menjadi asap. "Itu karena kami berdiri di balkon. Cepat masuk. Aku ajak kamu pulang supaya bisa tidur, bukan bergadang." Shaka mengayunkan tangannya memanggil Nayla dari ambang pintu kamar. Nayla mendekat dn pintu pun ditutup Shaka. "Haaaa! Kipasnya nyala!" Teriakan Nayla membuat bulu kuduk Shaka berdiri . "Apa, sih?!" Shaka kaget. "Se-sejak kapan ada kipas di situ? Perasaan tadi nggak ada. Kenapa juga bisa nyala?!" jari Nayla gemetaran menunjuk kipas berdiri di pojokan. Wajah Shaka pucat seketika. "Nayla, sejak kapan kamu buta?" geleng-geleng kepala memilih tidur dan menutup kepala dengan bantal. Membiarkan Nayla heboh dengan pikiran negatifnya. Gadis itu sibuk menunjuk semua hal dengan mata tajam dan leher yang dingin. "Apa
Atmosfer ruangan kantor yang sepi memperkuat ikatan batin. Telepati menembus jantung itu bisa Nayla rasakan. Apa Shaka bodoh dan tidak bisa membacanya? Nayla sudah menahan gejolak ingin bunuh diri ditelan malu menggoda seperti itu meskipun membolak-balikkan kata"A-aku beri waktuku setiap hari ke kamu, 'kan?" Shaka membuang pandangannya. Nayla makin cemberut, "Bohong! Jangan lupa kalau kita lagi pacaran, ya." Seketika heran dengan ucapannya sendiri. "Emangnya orang kalau pacaran itu kayak gimana?" Shaka tersenyum tipis, "Ah, aku paham." Nayla masih meneleng. "Akan kuberikan sebanyak yang kamu mau." Shaka menggenggam tangan Nayla. Wajah Nayla menghangat, "Eh?!" Kemudian, Shaka membawanya masuk kembali ke ruangan Nayla dan pamit untuk pulang atas nama Nayla membuat Nayla kebingungan harus menghentikannya sekaligus geram karena orang-orang terutama Vira menggodanya dengan cuitan apa anak ABG. Nayla hendak melepas tautan tangan mereka, tetapi mustahil. Daya cengkeram Shaka melebi
Nayla menceritakan tentang kebakaran kemarin sore. Reaksi Gilang hampir membuat seisi kantin memarahinya karena Gilang hampir berteriak. Beruntung saja Nayla menjejali es batu ke mulut Gilang sehingga laki-laki itu kedinginan dan tutup mulut. "Yang bener aja Mbak Nayla sama Verlin ngerebutin mas Shaka berdua?! Orang ganteng emang beda level. Nggak heran aku." Gilang geleng-geleng sampai pusing. "Nggak heran, kok, mangap." Nayla cemberut agak malu. "Sshhh, terus mbak Vira bilang Verlin bakal dateng ke sini sekarang gitu?" Gilang sok berpikir. Nayla manggut-manggut. "Artinya ...," ucapan Gilang mengambang. Keduanya saling pandang dengan mata melebar. "Insiden laporan keuangan ada kaitannya dengan Verlin?" terkadang Gilang. Nayla membuang napas cepat, "Ya, aku sempat berpikir begitu." Meminum es sampai habis dan menimbulkan suara, "Semoga aja nggak benar." Bahkan ketika waktunya pulang Vira masih berkutat di mejanya. Berkas-berkas dan juga tabel penuh perhitungan dan angka yang
Nayla tak henti-hentinya mengomel sampai Shaka diamkan saja karena tahu gadis itu cemburu lagi. Shaka harus curi-curi tawa dalam hati dan memasang wajah datar. Sampai Nayla melihat ada pedagang es kelapa muda dari jendela. "Oh, Shaka, aku mau es itu." menunjuk jendela polos membuat Shaka melirik mengikuti arahnya. Tidak diduga Nayla sangat bahagia meminum es kelapa muda di tempatnya langsung. Meskipun ini di luar trotoar sekalipun. "Haha, seger banget! Padahal mau magrib, loh, ini. Kelapa muda emang terbaik!" Shaka heran Nayla memekik demikian. "Sejak kapan mie instan tergantikan sama es kelapa muda? Lagian kenapa matamu berbinar begitu? Tiba-tiba pengen minum ini kayak lagi ngidam aja." Shaka juga meminumnya perlahan. "Apaan ngidam? Aku nggak hamil tau." Nayla masih semangat meminumnya. "Aku tau. Aku, 'kan, belum berbuat apa-apa." Shaka memakan isian itu dengan santai. Seketika acara minum Nayla berhenti, "Ha? Artinya kamu pengen ngelakuin hal-hal begituan sama aku?" Shaka
"Kamu nggak apa-apa? Ada yang terluka?" Shaka mengecek seluruh tubuh Verlin dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Nggak apa-apa. Untung aja ada kamu. Kalau enggak aku nggak tau bakal minta tolong siapa." Verlin menggeleng elegan ala wanita berkelas yang kepanikan. Shaka menghela napas panjang menatap oven yang hangus terbakar dan juga perabotan lain serta dinding gosong bahkan kabel-kabel yang terputus karena api. Untung saja Shaka mematikan listriknya tadi. "Tapi gimana bisa kebakaran? Semua karyawan udah pulang, 'kan?" Shaka mengetuk dagu. "Eee, kayaknya salah satu koki lupa matiin ovennya," elak Verlin. Mereka terus berbincang di depan Nayla. Sedangkan Nayla sudah meremas pinggiran pintu sampai hampir remuk. Di sisi satunya Vira gigit-gigit jari melihat Nayla cemburu. "Wah, wah! Cemburu sebesar itu masih nggak sadar juga? Kamu bodoh apa polos sebenarnya?" gumam Vira menatap Nayla bingung. Lalu, mobil pemadam kebakaran datang. Meskipun terlambat merek tetap mencatat laporanny
Seakan hari tenang berlalu, minggu terakhir acara promosi di Jakarta pun berakhir. Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nayla dengan senyum tenang mulai bekerja seperti biasanya di kantor bersama karyawan lain. "Hebat banget, 'kan, kita. Acaranya sukses besar. Aku dapat bonus banyak, hahaha." Vira memamerkan jumlah saldo yang baru saja ditransfer pihak perusahaan atas acara promosi itu. Nayla mencebikkan bibir tak peduli. Jarinya terus memilah surat yang terus berdatangan sejak kantor dibuka. "Aku udah nggak peduli lagi, tuh, sama bonus." Nayla menjulurkan lidahnya. "Ha? Ya, 'kan, kamu lagi main kejar-kejaran sama Shaka. Jelas cowok mu, lah, yang lebih penting daripada uang," goda Vira. Nayla menoleh sejenak dengan pipi memerah, "Tapi kita jadian, loh, sekarang." "Hah?!" Vira mendekat. Meja kubikelnya sampai bergeser. Deritannya membuat beberapa orang menoleh. "Ssttt, kerja jangan berisik," desisi Nayla. Vira masih dengan wajah heran membenahi letak mejanya. Komputer
Untaian ajakan yang terdengar seperti perintah. Nayla berhasil menghentikan waktu beberapa detik pada laki-laki itu."Kamu ... nggak bercanda, 'kan?" Shaka berkedip dua kali. Nayla menggeleng, "Aku serius." Namun, terdengar seperti bercanda. Apalagi gadis itu asik makan padahal pembahasan mereka seekstrim ini. Shaka merengut menatap Nayla dalam dan memalingkan muka. "Nggak mau!" Sontak Nayla terbatuk, melotot, dan menoleh, "Hah?! Kenapa nggak mau?" "Kamu ngomongnya nggak serius! Jangan mempermainkan aku." Sudut bibir Nayla berkedut, "Apanya yang mempermainkan kamu? Aku nahan malunya setengah mati tau!" Shaka menoleh, "Masa?" "Iya, lah! Lagian kita udah nikah juga. Apa salahnya pacaran?!" kesal Nayla. Pipi Shaka memerah tipis, Nayla bisa melihatnya dari tatapan Shaka. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak pacaran?" menunduk melihat telur dadar, "Kamu beneran suka sama aku, ya?" "Hmm, bener banget!" Nayla mengangguk mantap. "Apa?!" Shaka terkejut lagi. "Eerrrr, udah, dong pasang m
"Nayla!" "Huaaaa!" Nayla terjingkat Shaka memanggilnya lantang di balik pintu mobil saat dirinya melamun duduk bersandar tiang. "S-Shaka?" Nayla segera menegakkan badan. Shaka berlari menghampiri setelah membanting pintu mobil."Dasar keterlaluan! Kenapa teleponku nggak diangkat?! Aku panik tau, nggak?!" Shaka terengah menunjuk Nayla kesal."Aaaa, aku minta maaf. Habisnya aku asik melamun." Nayla menangkupkan tangan sambil terpejam erat. "Ha?! Alasan macam apa itu?!" suara Shaka sampai tercekik. Nayla meringis dan menyuruh Shaka duduk di sebelahnya kemudian memberikan sebotol air mineral sisa dari nasi kotak tadi siang. "Minum dulu, Bos, biar tenang." Shaka meraihnya cepat dan meminum semuanya. "Wah, kamu kayak habis lari maraton." Nayla berkedip dua kali. "Ck, kalau mau berangkat kerja bilang biar aku nggak kelagapan. Kalau kamu hilang gimana?" Shaka meremas botol air itu sampai remuk. "Eee, maaf-maaf, habisnya tadi Urgent banget jadi nggak bisa jelasin secara langsung." d