Nayla memborong camilan di toko sebelah dan memakannya habis-habisan seperti orang kesurupan. Shaka pamit mau berangkat kerja pun tidak dihiraukan. Sekalipun menengok saja tidak. Nayla sudah tidak peduli jika kedua orangtuanya tahu jika mereka sedang ada masalah, tapi apa boleh buat, Nayla tidak tahan melihat wajah Shaka. Di sisi Shaka sendiri dia menyempatkan waktunya untuk datang ke kantor Nayla hanya untuk meminta nomor telepon Vira dan Gilang, dua teman Nayla yang bisa diandalkan. Tentu saja Vira dan Gilang kaget di hari yang hampir petang ini. "Eee, emangnya kalian berantem, ya?" tanya Vira setelah memberikan nomornya. "Kemarin kita cari mati-matian nggak ketemu, taunya malah pulang kampung. Dipanggil berkali-kali juga nggak diangkat. Gila Mbak Nayla, sampai suaminya aja nggak tau ikut nyariin," cerocos Gilang sambil memberikan nomornya ke Shaka. "Ssttt, diam, asal ngomong aja." Vira menyikut lengan Gilang membuat Gilang berdecak. Shaka masih mempertahankan senyumnya. "Ma
"Shaka! Shaka, kamu kenapa?" Nayla memeriksa jidat Shaka dengan punggung tangannya. "Astaga, badanmu panas banget! Kamu demam?" memaksa Shaka untuk mendongak menatapnya. Napas Shaka tersenggal di tenggorokan. "Kayaknya akibat hujan kemarin. Aku nyari kamu ke mana-mana." belum selesai bicara Shaka kembali terhuyung karena kakinya yang melemah. Nayla panik memegangi Shaka sambil merasa bersalah. "Ka-kamu nyariin aku di situasi ekstrem semalam? Kamu gila, ya?!" pekik Nayla dan Shaka justru mengangguk mantap. Sontak Nayla tersentak dalam hati. "Ya ... yaudah ayo pulang. Aku bantu." Shaka menghentikan Nayla yang hendak memapahnya. "Ke mana?" Bahkan deru napas laki-laki itu terlalu hangat. Demam Shaka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kini Nayla merutuki sifat kekanak-kanakannya. "Ke rumah kamu," pikir Nayla ingin kembali ke Jakarta, tetapi sedetik kemudian menggeleng, "Nggak, di rumah aku aja. Jakarta terlalu jauh. Lihat langit, udah kayak mau nelan bumi hidup-hidup." Tanpa basa
Hujan masih gerimis di luar. Nayla berkemas dan berpamitan dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. "Kamu beneran lagi berantem, ya, sama Shaka?" tanya sang ibu setelah Nayla cium tangan. "Ck, enggak, Bu, kalau kita bertengkar nggak akan Nayla bawa dia ke sini," jawab Nayla santai, tetapi kesan lain begitu nampak. "Terus ... kamu mau pergi ke mana lagi? Hujan-hujanan begini ninggalin suami kamu sendirian yang lagi demam. Kalau orang tuanya Shaka tau mau si taruh di mana muka ayah sama ibu?" kata sang ayah Nayla. Petir terus menyambar pelan. Nayla menatap pintu yang telah terbuka. Nampaklah rumah Shaka yang lampunnya menyala terang dari luar. "Mereka udah tau, kok." Karena mobil Shaka terparkir di halaman rumahnya. Nayla pergi membawa motor yang biasa dia gunakan untuk bekerja sebelum menikah. Jas hujan abu-abu menemani di setiap hujaman angin dan hujan. Dia menuju toko roti di dekat kantornya. Toko itu memang buka dua puluh empat jam. Berdiri di depan toko memandang diam ke ar
"Naylaaaa!" Shaka mendobrak pintu kamar. Hidung dan dadanya kembang kempis dengan asal mengepul di kepala. "Huaaaaaa! Apa?! Apa?! Siapa yang manggil?!" Nayla terjingkat duduk celingukan. Wajahnya merah pucat melihat Shaka marah di ambang pintu. "Kurang ajar kamu, ya, bisa-bisanya kamu mempermainkan aku kayak gini!" Shaka seperti raksasa yang mau menguliti Nayla di ranjang. "Aaaa, maaf, maaf! Jangan mendekat! Jangan mendekat, Shaka, aku nggak mau ketularan deman! Maafin aku, deh, oke?" Nayla panik mundur-mundur sampai ke pojok ranjang menggunakan bantal sebagai tamengnya. "Nggak oke!" Shaka naik ke ranjang membuat Nayla semakin berteriak. "Aaaa, huhuhu, aku minta maaf, deh, seribu maaf pokoknya, tapi kamu juga salah. Malahan salah kamu lebih besar segunung ke aku!" Antara tangis dan kesal Nayla berani menatap laki-laki itu, tetapi tatapannya sangat polos karena menyakitkan telah mempermainkan orang ini sedemikian rupa beberapa malam. Shaka menggaruk udara membuat Nayla meringis
"Woah, haaaa! Udah lama banget aku nggak main ini! Wah, woah, bos Gorila gunung datang bawa pasukan! Jangan remehkan kekuatan penyihir Pink, dasar Gorila bau! Akan ku binasakan semua pasukanmu itu, hahaha!" Nayla menekan tombol remote control game heboh di lantai bersandar sofa.Shaka dengan tenang duduk di sebelahnya bermodalkan kacamata. "Kamu nggak akan bisa mengalahkannya dalam sekali serang, loh," saran Shaka yang sudah membasmi banyak monster di area pertempuran. Monster-monster itu mengelilingi bos Gorila dan menyebar ke seluruh hutan demi menyerang dirinya dan Nayla secara terang-terangan maupun diam-diam."Jangan bercanda tau! Serangan bola apiku dimakan?! Pasukan Gorila macam apa itu?!" Nayla mengamuk mengerahkan seluruh kekuatan penyihirnya. Shaka anteng bermain serius tanpa ekspresi. "Pahlawan wanitanya payah," ucap Shaka membakar gejolak kemenangan Nayla. "Haaaaa?! Diam kamu, Elf muka hijau yang pakai baju kulit macan tutul! Dikira cosplay Tarzan, kah?! Kita lagi per
"Eee, gimana, dong? Aku nggak punya baju bagus buat kondangan." Satu jam sebelum pergi ke pesta Nayla sibuk membongkar lemari. "Baju selemari begitu apanya yang nggak punya baju?" Shaka menunjuk tumpukan pakaian Nayla. "Itu semua udah lecek kupakai kerja yang buat acara-acara nikahan nggak ada," elak Nayla. "Huft, minggir! Biar aku pilihkan." Shaka menggeser Nayla sengaja. "Ha?! Eh, eh, mau ngapain?! Jangan lihat isi lemari aku! Ada pakaian dalam aku tau!" Nayla menggeser Shaka balik dan langsung menghadang lemarinya yang terbuka lebar dengan kedua tangan terbuka. Shaka menganga, "Maaf aja tapi aku nggak tertarik sama barang pribadimu yang kayak anak SD." Shaka mendorong Nayla lagi sampai geser dua langkah."Apa?! Haaa, nggak sopan banget! Jangan ngehina barang-barang aku, ya. Ini limited edition tau!" Nayla tersungut mengambil salah satu penutup payudara berwarna Pink. Shaka langsung pucat pasi, "Eee, kamu yakin itu bukan punya anak SD? Gambar stroberi?" Nayla ternganga lagi
"Hahaha, bercanda doang tau bercanda." Nayla mengibaskan tangan. Wajah Shaka terlalu kaku dan menurut Nayla itu lucu. "Aku aja pingsan setelah kamu ijab kabul," lanjutnya. Shaka menelan ludahnya susah payah. Untuk menutupi kegagapannya Shaka mengerutkan kening, "Benar, gimana mau nikah lagi?" Nayla terkekeh, "Kamu kaget, ya?" "Diam!" desis Shaka kesal. Nayla semakin senang menggodanya. Tangan mereka semakin tergenggam erat sampai malam menghipnotis semua orang. Semakin kelam dan semakin dingin pula kekosongan di hati. Nayla menatap Shaka tanpa berkedip setiap kali laki-laki itu menanggapi teman sekantornya. Shaka benar-benar terlihat seperti laki-laki yang bisa diandalkan. Senyum Nayla semakin meningkat, tetapi mengapa hatinya terasa hampa. Apakah karena sosok itu belum dia terima secara utuh dalam hatinya. Padahal tidak ada yang kurang Shaka. Pertanyaan yang sama pun jatuh pada Shaka. Mungkin Nayla juga belum ada di jiwanya. Nyatanya nama Verlin belum bisa lepas sempurna dari
Rasa lelah menyelimuti keduanya. Setibanya di rumah tanpa melepas pakaian mereka tidur dengan posisi sembarangan. Lebih kasihan lagi Shaka yang harus masuk kerja pagi-pagi. Setelah mobil Shaka berhasil diperbaiki, laki-laki itu menyuruh Nayla mengambilnya di bengkel karena Shaka sudah di kantor. Dia berangkat naik ojek online. Meskipun tidak memiliki SIM Nayla bisa mengendarai mobil. Namun, dia lupa jika akhir-akhir ini alam sedang marah. Langit terus menangis dan angin terus menerbangkan debu-debu yang tak sempat kering. Jalanan Jakarta menjadi kelabu di pagi hari. Sangat sulit dilihat dari kaca mobil. Akhirnya Nayla menepi dan berteduh di salah satu garasi cuci motor kosong yang sepertinya tidak berpenghuni. Sebentar lagi akan hujan. Benar, tak menunggu waktu lama hujan pun datang dengan derasnya. Cardigan Nayla menjadi agak basah karena angin menerpa hujan sehingga mengenai dirinya. "Aduh, kenapa mesti pagi-pagi, sih? Kenapa nggak nunggu aku sampai rumah dulu?" gerutunya semba
"Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b
Mencari begitu lama, Nayla akhirnya memberitahu bahwa dia ingin catatan biografi Verlin dengan alasan untuk belajar. Tidak tahu bodoh atau lugu mahasiswi itu memberikan semua catatan umum Verlin kepada Nayla. Ketika membacanya, Nayla bagai tertiban reruntuhan emas. Identitas asli Verlin lebih menakutkan dari yang dia kira. Ternyata wanita itu adalah keturunan konglomerat. Tidak heran takdirnya bisa sesukses dan sekaya itu. Uang sudah seperti debu baginya. Tanpa dicari pun kepopuleran dan harta akan datang dalam genggamannya. Nayla menutup semua buku itu sembari menarik napas dalam. "Aku mengerti sekarang. Dia bukan lawan yang bisa dihadapi sembarangan," gumam Nayla tanpa sengaja mengutarakan isi pikirannya. "Hmm? Kamu bilang sesuatu?" mahasiswi itu tiba-tiba bingung mendengar Nayla di saat sedang sibuk membaca. "Oh, bukan apa-apa. Terima kasih, ya, kau sangat membantu. Aku sudah merekap beberapa inti yang kuanggap penting. Kurasa aku tau apa yang harus kulakukan." Nayla menggoya
"Hahaha, terima kasih atas traktirannya. Jadi merasa tidak enak," kata orang ke satu. "Haha, jangan sungkan. Kita sama-sama berteduh, hahaha. Oh, iya, tadi kalian bilang pemilik toko ini seorang model, ya? Aku karyawan di kantor itu. Kami sedang mencari model yang pas untuk mengiklankan produk terbaru kami. Mungkin saja pemilik toko ini bisa membantu." senyum tulus Nayla bahkan tercermin di matanya. Nayla tidak ragu-ragu untuk berakting bahkan merogoh isi dompet untuk mentraktir dua orang asing itu dengan kopi dan roti. Orang ke satu mendesah, "Takutnya kalian tidak akan bisa mengatur kontrak dengannya." Nayla berkedip, "Kenapa?" "Aku tau dari berita dia sangat mahal dan jarang terikat dengan kontrak. Siapa juga yang membutuhkan banyak pekerjaan kalau sudah kaya. Bukankah toko ini terlalu sukses?" orang pertama itu mengendikkan bahu menyindir terang-terangan. Nayla mengangguk dan bersandar kursi. Membiarkan kedua orang itu menikmati kopinya. "Hmm, benar juga. Hah, sayangnya men
Pandangan rapuh nan teduh itu seperti helaian sutera yang terbang di udara. Jari-jemari Nayla merasakannya. Bagaimana bisa rambut seorang pria bisa sehalus itu. Padahal shampo yang mereka kenakan sama. Senyum Nayla tak pernah pudar melihat wajah lugu Shaka tertidur di sampingnya. Seolah-olah kursi kecil itu ikut menanggung lelah yang Shaka derita. "Ganteng banget," gumam Nayla. Pikirnya pantas saja Verlin mengejar Shaka setengah mati."Huft, Verlin, ya?" terus bermain dengan rambut Shaka. Sorotan mata terarah ke langit-langit putih tulang. "Aku harus lakuin sesuatu ke dia. Kayaknya ... dimulai dari mencari informasi tentang dia. Siapa dan apa latar belakang cewek kejam itu yang sebenarnya." Kondisi mulai stabil. Lelah sepertinya tidak bisa bilang, tetapi kata dokter Nayla sudah boleh pulang. ~~~Pagi telah berubah. Matahari menyembunyikan sinarnya. "Hah? Pagi-pagi begini udah turun hujan aja." Bibir merah sakura mencondong dengan tangan menampung rintikan air yang turun. "Uda
Napas lega bisa Nayla hela sekarang. Akhirnya truk itu kembali dengan kosong. Pihak perusahaan yang diajak kerjasama juga telah memberi balasan dan menerima dua persen dari penjualan. Suara pukulan ringan di cermin wastafel kamar mandi terdengar bersamaan helaan napas."Akhirnya selesai juga." Badan sudah hampir ambruk sampai mati rasa, tetapi mental dipaksa berdiri bagaimanapun caranya. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang. Beruntung perusahaan itu punya banyak wadah yang bisa mendistribusikan semuanya." Pantulan cermin sudah bukan seperti dirinya. Wajah yang gelap, kantung mata menghitam, dan bibir kering pucat seperti mayat hidup. Nayla membasuh wajahnya berkali-kali sampai matanya perih kemasukan air. Lepas itu dia pergi menjelaskan segalanya kepada sang atasan hingga hasil pendapatan pun diterima. "Wah, Nayla, kamu melakukan semua ini sendirian? Hanya dengan satu hari satu malam? Wah, kamu jenius atau apa?" "Gila! Dia benar-benar gila! Bisa membolak-balikkan fakta sekejap itu
"Ssttt, kecilkan suaramu. Ntar kalau kedengeran orang lain gimana?" Nayla menaruh telunjuk di bibir. Seketika Vira membungkam mulutnya. Dia celingukan ke segala arah. Tidak ada orang lain di kamar mandi selain mereka, Vira rasa aman. "Eh, kasih tau aku semuanya cepetan. Kamu habis dari mana aja? Satu kantor heboh pusing tau nggak gara-gara kamu." desisan Vira haus informasi. Helaan napas lelah Nayla muncul bersama kerutan dahi yang seolah enggan menghilang sejak pagi. "Aku ... pergi ke kantor itu. Aku nekat minta bantuan buat mendistribusikan produk kita ke tempat lain dengan syarat penjualan naik dua persen. Dan dua persen itu sepenuhnya untuk mereka. Perusahaan kita cuma bakal dapat harga yang ditetapkan sebelumnya aja," jelas Nayla kelelahan. "What?! Astaga, kamu nekat sampai kayak gitu?! Parah, parah, aku makin pusing. Ini beneran?! Kamu ke luar kota buat atur sendiri kelanjutan Problem hantu itu?!" "Hantu?" Kening Nayla berkerut."Iya, hantu, 'kan, tiba-tiba muncul aja gitu
Sebuah pesan tak dikenali meneror ponsel Nayla. Sekuat tenaga gadis itu lari ke ruang manajerial kepala divisi atas tuduhan pemalsuan dokumen.Seharusnya surat persetujuan pengiriman produk lama ke luar kota itu tidak ada, tetapi jelas-jelas surat itu diterima Nayla dan masuk ke dalam rekap surat masuk harian.Jelas Nayla sudah mencatat tanggalnya. Surat itu dikirim kemarin. Berkasnya pun masih ada dan dia harus mempertanggungjawabkan itu semua. "Apa? Bagaimana bisa saya memalsukan surat? Ini tuduhan palsu! Jelas-jelas surat itu datang kemarin. Pak satpam yang memberikannya. Banyak saksi mata yang menyaksikan, Pak," bela Nayla di hadapan sang manajer. Namun, apa bisa didaya? Meskipun satpam dipanggil untuk dimintai keterangan tetap saja Nayla bersalah. Satpam itu mengaku telah memberikan Nayla surat, tetapi bukan surat yang sedang dipertanyakan. Nayla gemetar dalam sudut tatapan tajam para penanggungjawab. "Tidak mungkin!" Tuduhan yang dilayangkan semua orang mengikis rasa tanggu
Daripada terus berlarut dalam ketakutan yang tiada sebab, Nayla menyeret Shaka untuk angkat kaki dari kost tersebut. Laki-laki itu menurut saja daripada Nayla terserang trauma kegelapan listrik padam. Akhirnya mereka berujung di jalanan. Mata sudah seperti bohlam rusak, bahaya jika terus berkendara. "Huft, kita ke hotel." Shaka menghela napas lelah. Nayla menoleh, "Tapi itu lumayan jauh, loh." "Lebih jauh rumah orang tua kita yang sama-sama di Bekasi. Daripada mengumbar malu balik dan tidur di kantor, lebih aman kita ke hotel," terang Shaka. Nayla menatap kaca depan yang sepi, "Kenapa nggak dari tadi aja? Bikin jantung aku mau copot rasanya. Kost satu hari itu mengerikan." bulu kuduk Nayla berdiri lagi. "Itu karena mati listrik tau," kilah Shaka. "Tapi suara di balkon nyata tau," balas Nayla seolah ketakutannya akan bangkit. Shaka menghela napas saja mengakhiri pembicaraan. Jika dipaksa bicara mereka berdua bisa pingsan kelelahan. Benar, sekarang pukul dua dini hari. Akhirnya
Nayla menggigil bukan karena sikap dingin Shaka, melainkan hawa malam tiba-tiba dingin seperti es. "Sshhh, Shaka ... ini masih di tenah kota, 'kan? Kenapa rasanya kayak di pegunungan?" Nayla menggosok kedua lengannya sambil mendesis. Hembusan napas pun menjadi asap. "Itu karena kami berdiri di balkon. Cepat masuk. Aku ajak kamu pulang supaya bisa tidur, bukan bergadang." Shaka mengayunkan tangannya memanggil Nayla dari ambang pintu kamar. Nayla mendekat dn pintu pun ditutup Shaka. "Haaaa! Kipasnya nyala!" Teriakan Nayla membuat bulu kuduk Shaka berdiri . "Apa, sih?!" Shaka kaget. "Se-sejak kapan ada kipas di situ? Perasaan tadi nggak ada. Kenapa juga bisa nyala?!" jari Nayla gemetaran menunjuk kipas berdiri di pojokan. Wajah Shaka pucat seketika. "Nayla, sejak kapan kamu buta?" geleng-geleng kepala memilih tidur dan menutup kepala dengan bantal. Membiarkan Nayla heboh dengan pikiran negatifnya. Gadis itu sibuk menunjuk semua hal dengan mata tajam dan leher yang dingin. "Apa