"Hahaha, bercanda doang tau bercanda." Nayla mengibaskan tangan. Wajah Shaka terlalu kaku dan menurut Nayla itu lucu. "Aku aja pingsan setelah kamu ijab kabul," lanjutnya. Shaka menelan ludahnya susah payah. Untuk menutupi kegagapannya Shaka mengerutkan kening, "Benar, gimana mau nikah lagi?" Nayla terkekeh, "Kamu kaget, ya?" "Diam!" desis Shaka kesal. Nayla semakin senang menggodanya. Tangan mereka semakin tergenggam erat sampai malam menghipnotis semua orang. Semakin kelam dan semakin dingin pula kekosongan di hati. Nayla menatap Shaka tanpa berkedip setiap kali laki-laki itu menanggapi teman sekantornya. Shaka benar-benar terlihat seperti laki-laki yang bisa diandalkan. Senyum Nayla semakin meningkat, tetapi mengapa hatinya terasa hampa. Apakah karena sosok itu belum dia terima secara utuh dalam hatinya. Padahal tidak ada yang kurang Shaka. Pertanyaan yang sama pun jatuh pada Shaka. Mungkin Nayla juga belum ada di jiwanya. Nyatanya nama Verlin belum bisa lepas sempurna dari
Rasa lelah menyelimuti keduanya. Setibanya di rumah tanpa melepas pakaian mereka tidur dengan posisi sembarangan. Lebih kasihan lagi Shaka yang harus masuk kerja pagi-pagi. Setelah mobil Shaka berhasil diperbaiki, laki-laki itu menyuruh Nayla mengambilnya di bengkel karena Shaka sudah di kantor. Dia berangkat naik ojek online. Meskipun tidak memiliki SIM Nayla bisa mengendarai mobil. Namun, dia lupa jika akhir-akhir ini alam sedang marah. Langit terus menangis dan angin terus menerbangkan debu-debu yang tak sempat kering. Jalanan Jakarta menjadi kelabu di pagi hari. Sangat sulit dilihat dari kaca mobil. Akhirnya Nayla menepi dan berteduh di salah satu garasi cuci motor kosong yang sepertinya tidak berpenghuni. Sebentar lagi akan hujan. Benar, tak menunggu waktu lama hujan pun datang dengan derasnya. Cardigan Nayla menjadi agak basah karena angin menerpa hujan sehingga mengenai dirinya. "Aduh, kenapa mesti pagi-pagi, sih? Kenapa nggak nunggu aku sampai rumah dulu?" gerutunya semba
Rasanya seperti melakukan romansa muda di tahun putih abu-abu. Nayla menggeleng dan fokus mengemudi. Menunggu Shaka pulang dan diam di rumah. Namun, tak disangka Vira datang bersama Gilang mengunjungi rumahnya di jam tiga sore. "Heeehh, yang bener kamu?!" Nayla syok dengar Vira bercerita. "Bodoh! Kalau nggak kenapa kita bisa sampai di sini." Vira asik memakan kacang di toples yang disediakan Nayla. Sudut mata Nayla berkedut. Tidak menduga Shaka meminta nomor Vira dan Gilang secara langsung di tempat kerja waktu dia menghilang hanya gara-gara untuk menanyakan sesuatu jika saja Nayla dalam masalah. "Dasar tidak berperasaan! Suamimu sampai kalang kabut begitu kamu ngilang. Dia khawatir sama kamu, Nay. Sangat, sangat khawatir sampai mukanya pucat kayak ikan mati. Kamu benar-benar tega, ya. Nggak waras tau." Nayla meringis ditunjuk dan dituduh sedemikian rupa. "Eee, aku cuma pulang bentar, kok. Aku juga nggak ngira dia bakal secemas itu." cicit Nayla di akhir kalimat. Gilang mendes
Pukul enam dini hari. Masih tersisa embun di ujung daun pakis yang tertanam di sisi gedung serbaguna. Jelas belum ada orang yang datang. Hanya beberapa gelintir mereka yang pekerja keras sebagai panitia pelaksana. Sepertinya mereka sudah di sini sejak malam. "Oh? Nayla? Kamu masuk, ya?" tanya seorang laki-laki yang Nayla sendiri tidak tahu namanya. Nayla hanya tahu orang itu berkontribusi sebagai panitia acara. "Ya, cuti di saat kalian sibuk ternyata nggak enak." ringis Nayla pura-pura merasa bersalah. "Hahaha, iya, 'kan? Sayang banget gajinya kalau disia-siakan. Ini masih pagi, kamu duduk aja di situ nunggu yang lain datang. Kalau mau bantu juga nggak apa-apa." orang itu mengangkat beberapa kotak kardus yang terasa berat. "Ahaha, aku bantu, aku bantu." Nayla segera ikut mengangkat kotak yang lain, "Wah, berat banget! Cuma kamu sendirian yang ngangkat?" Otot lengan Nayla serasa lemas seketika. "Semua itu isinya produk serum kita yang baru selesai diproduksi semalam. Habisnya sem
Hawa dingin di sekujur tubuh menyelimuti atmosfer. Vira menutup mulut syok meski sudah menduganya. Handphone yang merekam di tangan sampai bergetar. "Blak-blakan sekali ... inikah nyali cewek cantik super multitalenta? Nayla ... naik darah nggak, ya? Gue jadi deg-degan," gumam Vira di balik bekapannya sendiri. Di luar dugaan, Nayla justru tersenyum miring. Verlin mengerutkan kening merasa diremehkan. "Kenapa kamu tersenyum?" tanya Verlin. Nayla menatap langit biru penuh arti di matanya. "Bagaimana bilangnya, ya? Awan-awan putih di sana pasti lebih mengerti daripada kamu." Jawaban Nayla membuat Verlin berdecak. "Apa maksudmu?" Nayla menoleh, "Kamu ... tidak akan mendapatkan cintanya Shaka meskipun jika kamu berhasil memisahkan kami." Verlin terjingkat bingung, "Omong kosong! Kami pacaran sejak kuliah sampai kamu merebutnya dalam waktu sehari semalam. Gara-gara kamu cinta kami kandas tanpa alasan yang jelas. Gara-gara kamu Shaka jarang menemuiku seolah kamu prioritas utamanya.
Matahari menghilang menjelang sore. Acara selesai pukul empat dan Nayla tidak ingin pulang. Di halaman depan gedung dia melamun menikmati redupnya matahari tertelan mendung putih. Angin berhembus kencang sampai daun-daun pakis bergoyang dan menjatuhkan buahnya. Bukan hanya itu, dedaunan kering dari trotoar dan jalan raya berterbangan serabutan tak tahu arah. Di saat tadi siang panas terik, bagaimana bisa sore hari menjadi segelisah ini. Nayla mendesah panjang dan duduk bersandar tiang. Kakinya ditekuk, ujung sepatu pun bisa merasakan betapa dahsyatnya terjangan angin hari ini. "Nggak ada tanda-tanda hujan." Nayla masih mendongak. Dia tidak mencium adanya air di gumpalan awan itu. Handphone di tas sejak tadi berdering, tetapi Nayla abaikan karena semua itu atas nama Shaka. "Hei, aku pulang dulu, ya! Kalian jangan lama-lama juga, bentar lagi gedungnya mau ditutup!" Gilang berteriak sambil berlari keluar dari gedung. "Astaga! Cewek?!" Kaki Gilang mengerem mendadak melihat punggu
"Nayla!" "Huaaaa!" Nayla terjingkat Shaka memanggilnya lantang di balik pintu mobil saat dirinya melamun duduk bersandar tiang. "S-Shaka?" Nayla segera menegakkan badan. Shaka berlari menghampiri setelah membanting pintu mobil."Dasar keterlaluan! Kenapa teleponku nggak diangkat?! Aku panik tau, nggak?!" Shaka terengah menunjuk Nayla kesal."Aaaa, aku minta maaf. Habisnya aku asik melamun." Nayla menangkupkan tangan sambil terpejam erat. "Ha?! Alasan macam apa itu?!" suara Shaka sampai tercekik. Nayla meringis dan menyuruh Shaka duduk di sebelahnya kemudian memberikan sebotol air mineral sisa dari nasi kotak tadi siang. "Minum dulu, Bos, biar tenang." Shaka meraihnya cepat dan meminum semuanya. "Wah, kamu kayak habis lari maraton." Nayla berkedip dua kali. "Ck, kalau mau berangkat kerja bilang biar aku nggak kelagapan. Kalau kamu hilang gimana?" Shaka meremas botol air itu sampai remuk. "Eee, maaf-maaf, habisnya tadi Urgent banget jadi nggak bisa jelasin secara langsung." d
Untaian ajakan yang terdengar seperti perintah. Nayla berhasil menghentikan waktu beberapa detik pada laki-laki itu."Kamu ... nggak bercanda, 'kan?" Shaka berkedip dua kali. Nayla menggeleng, "Aku serius." Namun, terdengar seperti bercanda. Apalagi gadis itu asik makan padahal pembahasan mereka seekstrim ini. Shaka merengut menatap Nayla dalam dan memalingkan muka. "Nggak mau!" Sontak Nayla terbatuk, melotot, dan menoleh, "Hah?! Kenapa nggak mau?" "Kamu ngomongnya nggak serius! Jangan mempermainkan aku." Sudut bibir Nayla berkedut, "Apanya yang mempermainkan kamu? Aku nahan malunya setengah mati tau!" Shaka menoleh, "Masa?" "Iya, lah! Lagian kita udah nikah juga. Apa salahnya pacaran?!" kesal Nayla. Pipi Shaka memerah tipis, Nayla bisa melihatnya dari tatapan Shaka. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak pacaran?" menunduk melihat telur dadar, "Kamu beneran suka sama aku, ya?" "Hmm, bener banget!" Nayla mengangguk mantap. "Apa?!" Shaka terkejut lagi. "Eerrrr, udah, dong pasang m
"Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b
Mencari begitu lama, Nayla akhirnya memberitahu bahwa dia ingin catatan biografi Verlin dengan alasan untuk belajar. Tidak tahu bodoh atau lugu mahasiswi itu memberikan semua catatan umum Verlin kepada Nayla. Ketika membacanya, Nayla bagai tertiban reruntuhan emas. Identitas asli Verlin lebih menakutkan dari yang dia kira. Ternyata wanita itu adalah keturunan konglomerat. Tidak heran takdirnya bisa sesukses dan sekaya itu. Uang sudah seperti debu baginya. Tanpa dicari pun kepopuleran dan harta akan datang dalam genggamannya. Nayla menutup semua buku itu sembari menarik napas dalam. "Aku mengerti sekarang. Dia bukan lawan yang bisa dihadapi sembarangan," gumam Nayla tanpa sengaja mengutarakan isi pikirannya. "Hmm? Kamu bilang sesuatu?" mahasiswi itu tiba-tiba bingung mendengar Nayla di saat sedang sibuk membaca. "Oh, bukan apa-apa. Terima kasih, ya, kau sangat membantu. Aku sudah merekap beberapa inti yang kuanggap penting. Kurasa aku tau apa yang harus kulakukan." Nayla menggoya
"Hahaha, terima kasih atas traktirannya. Jadi merasa tidak enak," kata orang ke satu. "Haha, jangan sungkan. Kita sama-sama berteduh, hahaha. Oh, iya, tadi kalian bilang pemilik toko ini seorang model, ya? Aku karyawan di kantor itu. Kami sedang mencari model yang pas untuk mengiklankan produk terbaru kami. Mungkin saja pemilik toko ini bisa membantu." senyum tulus Nayla bahkan tercermin di matanya. Nayla tidak ragu-ragu untuk berakting bahkan merogoh isi dompet untuk mentraktir dua orang asing itu dengan kopi dan roti. Orang ke satu mendesah, "Takutnya kalian tidak akan bisa mengatur kontrak dengannya." Nayla berkedip, "Kenapa?" "Aku tau dari berita dia sangat mahal dan jarang terikat dengan kontrak. Siapa juga yang membutuhkan banyak pekerjaan kalau sudah kaya. Bukankah toko ini terlalu sukses?" orang pertama itu mengendikkan bahu menyindir terang-terangan. Nayla mengangguk dan bersandar kursi. Membiarkan kedua orang itu menikmati kopinya. "Hmm, benar juga. Hah, sayangnya men
Pandangan rapuh nan teduh itu seperti helaian sutera yang terbang di udara. Jari-jemari Nayla merasakannya. Bagaimana bisa rambut seorang pria bisa sehalus itu. Padahal shampo yang mereka kenakan sama. Senyum Nayla tak pernah pudar melihat wajah lugu Shaka tertidur di sampingnya. Seolah-olah kursi kecil itu ikut menanggung lelah yang Shaka derita. "Ganteng banget," gumam Nayla. Pikirnya pantas saja Verlin mengejar Shaka setengah mati."Huft, Verlin, ya?" terus bermain dengan rambut Shaka. Sorotan mata terarah ke langit-langit putih tulang. "Aku harus lakuin sesuatu ke dia. Kayaknya ... dimulai dari mencari informasi tentang dia. Siapa dan apa latar belakang cewek kejam itu yang sebenarnya." Kondisi mulai stabil. Lelah sepertinya tidak bisa bilang, tetapi kata dokter Nayla sudah boleh pulang. ~~~Pagi telah berubah. Matahari menyembunyikan sinarnya. "Hah? Pagi-pagi begini udah turun hujan aja." Bibir merah sakura mencondong dengan tangan menampung rintikan air yang turun. "Uda
Napas lega bisa Nayla hela sekarang. Akhirnya truk itu kembali dengan kosong. Pihak perusahaan yang diajak kerjasama juga telah memberi balasan dan menerima dua persen dari penjualan. Suara pukulan ringan di cermin wastafel kamar mandi terdengar bersamaan helaan napas."Akhirnya selesai juga." Badan sudah hampir ambruk sampai mati rasa, tetapi mental dipaksa berdiri bagaimanapun caranya. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang. Beruntung perusahaan itu punya banyak wadah yang bisa mendistribusikan semuanya." Pantulan cermin sudah bukan seperti dirinya. Wajah yang gelap, kantung mata menghitam, dan bibir kering pucat seperti mayat hidup. Nayla membasuh wajahnya berkali-kali sampai matanya perih kemasukan air. Lepas itu dia pergi menjelaskan segalanya kepada sang atasan hingga hasil pendapatan pun diterima. "Wah, Nayla, kamu melakukan semua ini sendirian? Hanya dengan satu hari satu malam? Wah, kamu jenius atau apa?" "Gila! Dia benar-benar gila! Bisa membolak-balikkan fakta sekejap itu
"Ssttt, kecilkan suaramu. Ntar kalau kedengeran orang lain gimana?" Nayla menaruh telunjuk di bibir. Seketika Vira membungkam mulutnya. Dia celingukan ke segala arah. Tidak ada orang lain di kamar mandi selain mereka, Vira rasa aman. "Eh, kasih tau aku semuanya cepetan. Kamu habis dari mana aja? Satu kantor heboh pusing tau nggak gara-gara kamu." desisan Vira haus informasi. Helaan napas lelah Nayla muncul bersama kerutan dahi yang seolah enggan menghilang sejak pagi. "Aku ... pergi ke kantor itu. Aku nekat minta bantuan buat mendistribusikan produk kita ke tempat lain dengan syarat penjualan naik dua persen. Dan dua persen itu sepenuhnya untuk mereka. Perusahaan kita cuma bakal dapat harga yang ditetapkan sebelumnya aja," jelas Nayla kelelahan. "What?! Astaga, kamu nekat sampai kayak gitu?! Parah, parah, aku makin pusing. Ini beneran?! Kamu ke luar kota buat atur sendiri kelanjutan Problem hantu itu?!" "Hantu?" Kening Nayla berkerut."Iya, hantu, 'kan, tiba-tiba muncul aja gitu
Sebuah pesan tak dikenali meneror ponsel Nayla. Sekuat tenaga gadis itu lari ke ruang manajerial kepala divisi atas tuduhan pemalsuan dokumen.Seharusnya surat persetujuan pengiriman produk lama ke luar kota itu tidak ada, tetapi jelas-jelas surat itu diterima Nayla dan masuk ke dalam rekap surat masuk harian.Jelas Nayla sudah mencatat tanggalnya. Surat itu dikirim kemarin. Berkasnya pun masih ada dan dia harus mempertanggungjawabkan itu semua. "Apa? Bagaimana bisa saya memalsukan surat? Ini tuduhan palsu! Jelas-jelas surat itu datang kemarin. Pak satpam yang memberikannya. Banyak saksi mata yang menyaksikan, Pak," bela Nayla di hadapan sang manajer. Namun, apa bisa didaya? Meskipun satpam dipanggil untuk dimintai keterangan tetap saja Nayla bersalah. Satpam itu mengaku telah memberikan Nayla surat, tetapi bukan surat yang sedang dipertanyakan. Nayla gemetar dalam sudut tatapan tajam para penanggungjawab. "Tidak mungkin!" Tuduhan yang dilayangkan semua orang mengikis rasa tanggu
Daripada terus berlarut dalam ketakutan yang tiada sebab, Nayla menyeret Shaka untuk angkat kaki dari kost tersebut. Laki-laki itu menurut saja daripada Nayla terserang trauma kegelapan listrik padam. Akhirnya mereka berujung di jalanan. Mata sudah seperti bohlam rusak, bahaya jika terus berkendara. "Huft, kita ke hotel." Shaka menghela napas lelah. Nayla menoleh, "Tapi itu lumayan jauh, loh." "Lebih jauh rumah orang tua kita yang sama-sama di Bekasi. Daripada mengumbar malu balik dan tidur di kantor, lebih aman kita ke hotel," terang Shaka. Nayla menatap kaca depan yang sepi, "Kenapa nggak dari tadi aja? Bikin jantung aku mau copot rasanya. Kost satu hari itu mengerikan." bulu kuduk Nayla berdiri lagi. "Itu karena mati listrik tau," kilah Shaka. "Tapi suara di balkon nyata tau," balas Nayla seolah ketakutannya akan bangkit. Shaka menghela napas saja mengakhiri pembicaraan. Jika dipaksa bicara mereka berdua bisa pingsan kelelahan. Benar, sekarang pukul dua dini hari. Akhirnya
Nayla menggigil bukan karena sikap dingin Shaka, melainkan hawa malam tiba-tiba dingin seperti es. "Sshhh, Shaka ... ini masih di tenah kota, 'kan? Kenapa rasanya kayak di pegunungan?" Nayla menggosok kedua lengannya sambil mendesis. Hembusan napas pun menjadi asap. "Itu karena kami berdiri di balkon. Cepat masuk. Aku ajak kamu pulang supaya bisa tidur, bukan bergadang." Shaka mengayunkan tangannya memanggil Nayla dari ambang pintu kamar. Nayla mendekat dn pintu pun ditutup Shaka. "Haaaa! Kipasnya nyala!" Teriakan Nayla membuat bulu kuduk Shaka berdiri . "Apa, sih?!" Shaka kaget. "Se-sejak kapan ada kipas di situ? Perasaan tadi nggak ada. Kenapa juga bisa nyala?!" jari Nayla gemetaran menunjuk kipas berdiri di pojokan. Wajah Shaka pucat seketika. "Nayla, sejak kapan kamu buta?" geleng-geleng kepala memilih tidur dan menutup kepala dengan bantal. Membiarkan Nayla heboh dengan pikiran negatifnya. Gadis itu sibuk menunjuk semua hal dengan mata tajam dan leher yang dingin. "Apa