Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini.
"Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata.
Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.
Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."
Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung.
Hanya Shaka yang bisa dia percaya. Bukan karena rumah mereka dekat ataupun usia yang sama, melainkan kemurnian Shaka untuk berteman dengannya tanpa memandang bulu.
Perekonomian keluarga Nayla terbilang rendah. Sebab itu dia dijauhi teman sebayanya bahkan kerap kali menjadi korban pembulian.
Tidak seperti anak-anak sekolah lain yang hanya belajar dan bermain, Nayla harus bekerja paruh waktu sampai pulang larut malam hanya untuk membantu mencukupi biaya hidup sehari-hari.
Hingga sekarang, gadis itu menjadi sangat pekerja keras dan membentengi diri dari lingkaran sosial.
Sikapnya yang selalu tertutup dan gila kerja itu membuatnya tidak bisa dekat dengan laki-laki.
Kendatipun dipaksa menikah lantaran dituntut usia pun tidak ragu meminta Shaka untuk menikahinya meskipun mereka sudah tidak bertemu cukup lama.
Satu minggu telah berlalu. Tidak ada yang istimewa, setiap hari berjalan seperti hari-hari biasanya. Tidur seranjang, tinggal di atap yang sama, dan makan bersama. Nayla membuatnya seolah-olah mereka teman seasrama, bukan pasangan suami-istri.
"Eh, ada manten baru, nih," goda seseorang yang membocorkan pernikahannya ke perusahaan.
"Diam kamu!"
Teman kerja Nayla itu tertawa sembari mencatat anggaran harian. Dia bernama Vira Lusiana Putri, ibu muda dengan satu anak dengan usia yang sama dengan Nayla. Vira bertanggungjawab atas administrasi keuangan kantor, sedangkan Nayla menjabat sebagai administrasi umum. Dia yang mengatur keluar-masuknya surat dan kerapihan dokumentasi.
Nayla fokus mengetik data sambil bolak-balik melihat cacatan arsip yang telah dia tinggal selama cuti.
"Aku masih nggak nyangka, ya, kamu tiba-tiba nikah. Kok, bisa." Vira berhenti sejenak dari pekerjaannya.
"Kamu nggak tau, sih, gimana risihnya dibilang perawan tua. Diceramahi tiap hari gara-gara keluarga malu sama tetangga. Aku, sih, masa bodoh, tapi gendang telingaku hampir jebol, nih."
"Oh, terus kamu mutusin buat nikah sama temenmu gitu?" tanya Vira.
Nayla mengangguk.
"Kok, temenmu mau?" Vira mengernyit heran.
Nayla menoleh, "Iya, ya? Kok, dia mau?"
Vira menggeleng kembali bekerja. Suara ketikan di Keyboard sampai terdengar ke luar.
"Tapi Shaka bilang dia juga lagi di keadaan yang sama kayak aku, jadi yaudah jalani aja." Nayla mengendikkan bahu.
Vira menggebrak meja membuat Nayla terlonjat kaget. "Itu yang namanya jodoh dari lahir, Nay! Lama-lama kamu menjomblo ujung-ujungnya juga nikah sama temen sendiri, 'kan?"
Nayla mengusap dada sabar, "Sesantai itu memang. Bisa nggak jangan bikin jantungan? Aku pusing, nih, kutinggal cuti jadi berantakan begini. Emangnya siapa yang gantiin kerjaan aku kemarin?"
Vira menunjuk meja kerja bagian pendatang baru.
"Tuh, si Gilang Rahardika, anak baru dari admin pemasaran. Kasihan anaknya bolak-balik ngurusin tugasnya sama kerjaan kamu."
Nayla langsung memicing ke arah jari telunjuk Vira. Memang tidak asing lagi dengan sosok remaja berusia dua puluh lima tahun itu. Gilang bekerja di sana sudah hampir tiga bulan.
Perusahaan Skincare tempat Nayla bekerja memang tidak memandang bulu untuk memperkerjakan karyawannya. Gilang cukup pintar dalam bekerja, tetapi kurang rapi.
Mau teriak memarahi Gilang, tetapi melihat wajah pusingnya Nayla menjadi kasihan. Dia hanya bisa menghela napas sabar dan menuntaskan semuanya sendirian.
"Dokumenku acak-acakan banget. Kayaknya aku nggak bakal bisa istirahat sampai pulang ntar," gumamnya lelah.
Disibukkan dengan pekerjaan membuat Nayla bertanya-tanya bagaimana tentang pekerjaan Shaka. Orang itu juga baru masuk pertama kali kerja setelah liburan. Menjadi kepala manajer pemasaran pasti membuat Shaka sangat sibuk.
Sempat berpikir memberi kabar mau pulang jam berapa, tetapi Nayla urungkan. Dia bergidik geli mengapa bisa tersemat pemikiran seperti gaya pacaran anak SMA.
Meskipun terlambat pulang, rasanya Shaka tidak akan menjemputnya. Nayla cukup tahu diri bagaimana hubungan di antara mereka. Lagipula dia tidak ingin merepotkan laki-laki itu.
Berkas-berkas dokumentasi selesai dirapikan. Tinggal mengurus surat online yang masuk di email perusahaan dan laporan lainnya.
Semua orang di dekat mejanya juga tahu kalau Nayla sedang melamun berat sambil bekerja. Nayla sampai tidak sadar kalau sedang dihujani banyak lirikan.
Tiba di penghujung hari rasa lelah bertumpuk di pundak Nayla. Mendung kembali menutupi langit. Kali ini angin hanya sebatas tiupan kecil, tetapi dedaunan kering dan debu-debu di sekitar trotoar masih mampu diterbangkan.
Di depan kantor Nayla diam berdiri menunggu ojek online yang sudah dia pesan.
"Nayla, aku pulang dulu, ya. Bentar lagi hujan, nih." seru Vira yang dijemput suaminya pakai motor.
"Iya kamu duluan aja. Hati-hati di jalan!" balas Nayla berteriak karena kebisingan orang-orang yang berkendara.
Sekarang memang jam pulang para pekerja, sehingga jalan raya lebih padat kendaraan.
"Kamu kalau ojol-nya belum datang minta jemput Shaka aja. Dia pasti juga cemas mikirin kamu. Mendungnya gelap banget." Vira menunjuk langit dengan dagu.
"Ce-cemas? Mana mungkin Shaka khawatir sama aku." Nayla mengibaskan tangan.
"Terserah kamu, deh. Aku duluan, ya!" Vira menepuk pundak suaminya dan mereka pun bergabung dengan ramainya kendaraan.
Hiruk-pikuk kota kalau sudah dilanda mendung, semua pada ribut mencari tempat berlindung.
"Duh, ojek aku mana, sih?" Nayla memeriksa kembali pesanan ojek di Handphone-nya dan ternyata si sopir tidak jadi datang karena takut hujannya akan lebat hampir menyerupai badai seperti beberapa hari lalu di Jakarta.
"Yah, kok, mendadak banget? Terus aku gimana pulangnya?"
Gemuruh langit mulai terdengar menambah pacu detak jantung Nayla. Dia terus berdoa dalam hati agar petir tidak menyertai pusaran awan.
Air pun turun dengan deras mengguyur siapapun yang berani melewati jalannya. Nayla mundur hampir menabrak pintu masuk kantor yang sudah terkunci rapat.
Dia mendesah pasrah harus rela menunggu sampai keadaan kembali cerah.
"Nggak mungkin juga aku ngabarin Shaka. Aku kerja di Bekasi, sedangkan dia di Jakarta. Mana mau dia nerjang hujan cuma buat jemput aku," gumamnya sendu.
Namun, matanya yang sibuk menikmati pemandangan kelabu di depan tidak sengaja mendapati seseorang yang sangat familiar baginya. Sosok itu turun dari mobil membuat Nayla maju selangkah memastikan dirinya tidak salah melihat.
Kemudian, seorang perempuan juga turun setelah sosok tersebut membukakan pintunya.
Tidak salah lagi, Nayla tahu siapa orang itu.
"Shaka?"
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg