"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.
Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya.
"Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang.
Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget.
"Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira.
Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah.
"Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai.
"Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan yang bikin aku mau gigit jari?! Ah, dia emang aneh sejak lahir!"
Vira berdecak sabar, "Sekarang aku tanya. Kamu punya pacar?"
Nayla menggeleng.
"Punya Crush?"
Nayla menggeleng lagi.
"Punya gebetan yang ngebet mau ngelamar kamu?"
Jawaban Nayla masih sama.
"Yaudah berarti terima aja si Shaka. Dia ganteng, karir mapan, kalian sama-sama kenal sejak kecil dan nggak semua cewek bisa seberuntung kamu buat dapatin si Shaka." Vira memukul meja makan sampai seluruh penghuni kantin menoleh ke arahnya.
Nayla jadi meminta maaf pada semua orang lewat senyuman.
"Masalahnya aku nggak ada rasa sama dia." merebut dimsum Vira dan ayam goreng Gilang begitu saja.
Gilang ternganga ayamnya hilang.
"Nay, cinta itu bisa tumbuh seiring waktu. Banyak yang nikah tanpa dasar cinta, tapi ujung-ujungnya mereka awet, tuh, sampai tua," tutur Vira pelan.
"Kamu pikir hidup aku sama kayak drama?" Nayla berpangku tangan lemas.
Pikiran Nayla berkelana melihat lalu-lalang para karyawan yang sibuk memilih makan siang. Ada yang muda, tua, paruh baya, paling banyak yang sudah berkeluarga dan memiliki banyak anak. Setidaknya kehidupan terus berlanjut untuk mereka. Sedangkan dirinya berbeda.
Mungkinkah hidupnya akan berhenti sampai di titik ini bersama Shaka?
"Soal mantannya ... kamu nggak nanya lebih lanjut?" Vira membuyarkan lamunan Nayla.
"Enggak, buat apa."
"Hati-hati, Mbak Nay, kalau suaminya direbut gimana?" celetuk Gilang.
"Bocah bau kencur jangan sok nasehatin. Cari pacar sana biar tau gimana rasanya jadi aku." ledek Nayla ke Gilang.
"Ih, maaf, ya, aku udah punya gebetan, hehe." Gilang cengar-cengir.
Nayla saling lirik sama Vira, "Siapa? Anak sini, ya?"
Gilang mengangguk, "Udah cantik, baik, suka bersih-bersih, tapi aku belum tau namanya."
"Cie, cinta dalam diam ceritanya?" goda Nayla.
"Biarin aja yang penting nggak kayak Mbak Nayla yang nggak mau jatuh cinta sama suaminya sendiri," sindir Gilang tak mau kalah.
Nayla langsung terdiam.
"Hahaha, kena mental. Udah buruan makan keburu jam istirahat habis," kata Vira.
Rasanya ingin Nayla cincang Gilang sekarang juga andai mereka tidak berada di tempat keramaian.
Setelah kejadian pulang kerja waktu itu, Shaka menyuruh Nayla untuk meminta jemput dirinya mengingat jarak Bekasi dengan Jakarta lumayan jauh. Seperti saat ini dia membereskan seluruh isi mejanya dan menunggu jemputan Shaka.
"Perhatian-perhatian! Ada pengumuman baru dari bos! Buruan buka grup sekarang!"
Mendadak Gilang heboh setelah keluar dari ruangan pemimpin untuk menyerahkan laporan harian. Seketika Nayla mengecek grup chat perusahannya yang memang terjadi kehebohan.
"Apa?! Kita bakalan ada proyek besar-besaran buat mempromosikan produk baru? Oh, yang serum anti penuaan sekaligus mampu membuat wajah glowing dalam sebulan itu?" pekik Nayla.
Gilang langsung menghampiri Nayla sampai hampir terpeleset.
"Bukan cuma itu aja! Kita bakal tour promosi di Jakarta!"
"Hah?! Semuanya ikut?!" Nayla ikut teriak.
"Iya semuanya!" Gilang mengangguk ekstra sampai rambutnya rontok.
"Kapan dimulai?" Nayla menepis udara di depan mata Gilang.
"Ditetapkan satu minggu kemudian. Jadi semua diharapkan bersiap dan menyelesaikan pekerjaan semaksimal mungkin sampai acara tersebut dilaksanakan. Bakal ada banyak bonus menanti. Kabarnya kita juga ambil Brand Ambassador dari model ternama yang lagi Booming di majalah kecantikan. Astaga, aku nggak sabar buat ketemu sama modelnya!" mata Gilang berbinar sementara mata Nayla hijau penuh dengan uang.
"Bonus?! Wah, nggak sabar banget nungguin bonus! Eh, tour promosi maksudnya." cengir Nayla terlalu semangat.
Di dalam perjalanan Nayla senyum-senyum sendiri sehingga Shaka heran. Biasanya Nayla akan tenang jika sudah berada bersama Shaka.
"Kamu kesurupan?"
Nayla menoleh cepat, "Kamu kali kesurupan."
"Aku nggak senyum-senyum mengerikan kayak kamu."
Untungnya jalanan lancar tidak ada kendala seperti biasanya.
"Kantor aku bakal ada agenda besar minggu depan. Kita mau tour promosi besar-besaran di Jakarta. Aaa, aku seneng banget soalnya bakal dapat banyak bonus!" mata Nayla mengkilap.
Senyum Shaka tersungging. "Beneran? Kalau gitu aku nggak perlu jemput kamu."
"Ck, ngomong aja capek. Udah kubilang bisa pulang sendiri naik ojol."
"Kamu pulangnya hampir malam, Nay, takutnya kenapa-napa. Kalau kecelakaan kayak waktu itu gimana? Belum lagi rawan begal sama penculikan," tutur Shaka panjang.
Nayla berkedip pelan mendengarkan ocehan itu.
"Shaka ... ini perasaan aku doang apa gimana kalau kamu itu agak cerewet sejak kita nikah. Iya, 'kan?" goda Nayla ingin mencolek pipi Shaka.
Shaka melirik Nayla sebentar, "Ketularan kamu!"
Nayla tergelak pelan, "Terserah, lah, tapi kamu lucu. Emm, aku cuma tertarik sama bonusnya, sih, nggak ke acaranya. Kalau bukan karena tuntutan kerja aku pasti nggak bakal ikut."
"Ikut aja sekalian gabung sama karyawan lain biar traumamu terobati."
"Oh, tidak akan terjadi karena aku hanya berteman sama Vira dan si junior Gilang aja. Lainnya palsu semua." Nayla membuat tanda silang dengan tangan.
Shaka menoleh cukup lama memperhatikan Nayla yang terus tersenyum dengan mudah mengatakan hal itu. Namun, bagi Shaka itu terlalu pahit.
"Nayla," panggil Shaka.
"Hmm?" Nayla menatapnya.
"Separah apa dirimu saat kutinggal dulu?"
Garis manis di bibir Nayla seketika hancur. Dia tidak mengira jika Shaka akan mempertanyakan masa lalunya di saat dia tidak menghiraukan kedekatan Shaka dengan mantan kekasihnya.
"Kamu yakin mau tau?"
Shaka bisa merasakan getaran dari suara Nayla yang berubah. Gadis itu menunduk merubah atmosfer.
"Kalau kamu cari di kantor polisi sama cacatan psikiater, kamu bakal nemuin nama aku."
Shaka tersentak sampai mulutnya sedikit terbuka.
"Selebihnya aku cuma mau mikirin bonus sekarang, hehe. Gajinya lumayan besar, jadi aku harus kerja keras buat nuntasin kerjaan besok. Semangat!" mengepalkan tangan dengan wajah secerah mentari tak sanggup meredam keterkejutan Shaka.
Wajahnya sampai berkeringat membayangkan hal-hal yang tidak ingin dia bayangkan. Shaka menunduk memikirkan semuanya.
"Separah itu, kah, mental kamu, Nayla?"
Suara rendah Shaka menenangkan kepalan tangan Nayla hingga gadis itu kembali terdiam.
"Kerusakannya tidak bisa diperbaiki lagi," nadanya kian melirih.
Shaka menatapnya dengan pandangan lembut nan tajam yang tidak bisa Nayla mengerti.
"Jika hanya aku yang bisa kamu percaya, silahkan. Dambakan aku sesukamu. Pakai aku sesuka hatimu, jika itu obat terbaik untukmu."
Aliran darah Nayla seketika membeku. Dia terhipnotis oleh sepasang mata itu. Andai mereka bukan berada di dalam mobil pasti tatapan itu akan berlangsung sangat lama.
Keduanya terpaksa harus bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa meskipun sulit menyangkal jika detak jantung Nayla lebih cepat dari kecepatan mobil sekarang.
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg