Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu.
Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.
Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka.
Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan.
"Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."
Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk.
"Mungkin ... aku orang ketiganya di sini."
Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berada di posisi yang salah.
"Nayla!"
Suara bariton terdengar di sela-sela gemericik hujan beserta sebuah payung besar menutupi kepalanya.
Nayla mendongak perlahan.
"Shaka?"
Kala payung itu sedikit terangkat, wajah rupawan suaminya muncul begitu risau.
"Ke-kenapa kamu ke sini?" Nayla berpaling pandang.
Syok sangat tidak menduga kalau Shaka melihatnya. Seharusnya dia bersama mantan kekasihnya sekarang.
"Kenapa?" Shaka justru meneleng.
"Bukannya lagi sama mantanmu?" Nayla cemberut.
"Oh, dia cuma numpang sampai toko roti sekalian aku mau jemput kamu," jawab Shaka santai.
"Jemput ... aku?" Nayla kembali menatap Shaka.
Shaka mengangguk, "Aku pikir cuma Jakarta aja yang dilanda hujan, ternyata Bekasi juga." mengulurkan tangan untuk membantu Nayla berdiri, tetapi Nayla segera bangkit sendiri.
"Kenapa nggak ngabarin aku kalau kamu udah pulang? Kan, bisa aku jemput lebih awal," sambung Shaka.
"Nggak perlu. Ntar aku ganggu kalian. Lagian kamu pasti sibuk ini itu, mana sempat buat jemput aku." Nayla menepis payung Shaka.
Shaka diam sejenak sebelum menutup payungnya.
"Kamu cemburu?"
Pipi Nayla memerah, "Ha?! Ce-cemburu? Haha, mana mungkin! Udah, yuk, pulang. Sebelum hujannya makin parah."
Tanpa basa-basi Nayla pergi ke mobil lebih dulu meninggal Shaka yang bingung sendirian.
"Tapi dia kedengaran kayak cemburu." pangkal hidung Shaka berkerut.
Sekitar satu jam lebih mereka tiba di rumah. Ternyata di Jakarta hujannya jauh lebih parah.
Nayla tidak sungkan lagi untuk menggunakan semua perabotan di rumah Shaka. Mulai dari peralatan dapur sampai televisi di ruang tamu dia kuasai.
Ketika Nayla hendak memasak, pergerakannya dihentikan Shaka saat di depan kulkas.
"Kamu marah, ya?" heran Shaka.
Nayla tersenyum kaku, "Nggak, kok, marah kenapa coba. Awas, aku mau ambil bahan buat masak. Kamu mau makan apa? Malam-malam hujan-hujan begini enaknya yang berkuah, hehe."
Tingkah sok biasa dari Nayla membuat Shaka membiarkan gadis itu membuka kulkas.
"Bohong!"
Tangan Nayla berhenti ketika mengambil mie instan.
"Kamu bohong, Nay."
Nayla menoleh seperti robot, "A-apa?"
Shaka mendengkus pasrah, "Lupakan mie-nya. Kamu bersih-bersih dulu terus tunggu aku di sofa."
Shaka mengambil mie Nayla begitu saja dan mendorong Nayla ke ruang tamu.
"Eh, eh, 'kan, aku yang mau masak!"
Garuk-garuk kepala karena tugasnya diambil alih paksa. Lebih baik dirinya menikmati mandi air hangat saja sampai mie buatan Shaka tercium baunya.
Dua mangkuk mie instan lengkap dengan sayuran dan telur mata sapi siap di meja depan TV. Saluran berita di tengah cuaca buruk menjadi tontonan dengan volume rendah, juga tirai jendela yang terikat menampilkan kondisi malam yang masih diterjang hujan.
Namun, yang paling buruk adalah dia duduk berdua dengan Shaka di sofa yang sama. Hati Nayla menjerit karena jarak mereka terlalu dekat.
Lirik-lirik pandang yang dilihat sibuk meniup mie yang masih panas. Auranya terasa seperti mau disidang.
"Nggak mau dimakan mie-nya?"
Suara berat Shaka mendentumkan jantung Nayla.
"Aku makan, kok, aku makan."
Nayla memakan mie itu dan rasa hangat menjalar di tenggorokannya.
"Aku mau ngomong." mata melototi berita di layar kaca.
Dalam hati Nayla syok membenarkan asumsinya.
Shaka menoleh datar, "Kamu pasti mikir yang enggak-enggak soal aku sama Verlin. Iya, 'kan?"
Nayla kehabisan kata-kata. Seharusnya Shaka tidak perlu menebaknya karena Nayla bingung bagaimana harus menjawab.
Melarikan diri pun percuma. Nayla menghembuskan napas panjang dan menyeruput kuah mie.
"Cewek mana yang nggak kesal lihat pasangannya jalan sama cewek lain." bibir Nayla mengerucut.
Shaka menahan tawa hampir tersedak. "Maaf, maaf, aku kelepasan. Kamu ... jujur banget."
Pada akhirnya Shaka melepaskan tawanya. Nayla meletakkan sendok begitu saja dan menunjuk Shaka dengan wajah menahan malu.
"Kan, kamu ketawa! Aku tau ini bakal terjadi! Huh! Aku nggak mau ngomong lagi sama kamu!"
Shaka masih tertawa geli. Air matanya hampir keluar. Melihat Nayla mengamuk memukuli udara, Shaka mencekal tangannya dan menarik Nayla lebih dekat.
"Nayla, nggak peduli seberapa panjang masa lalu aku dengannya, tapi aku melihat masa depan di matamu."
Sontak Nayla terbelalak.
"Dan masa depan itu sangat panjang selagi ada harapan."
Napas Nayla tercekat.
"Harapanku adalah bersamamu. Di sisimu selama yang aku bisa. Sampai utusan tuhan datang memisahkan kita."
Wajah Nayla memanas sampai ubun-ubun refleks menarik diri menjauh di tepi sofa sambil membawa mie.
"Ka-kamu ngomong apa, sih? Haha, ngaco, deh."
"Aku serius." Shaka kembali pada acara makannya.
Wajah Nayla berubah pucat. Mana ada muka serius sambil nyeruput mie?
Perkataan Shaka memang keterlaluan. Ekspresinya sangat tidak mendukung jika ucapannya bisa dinalar. Namun, pada hakikatnya berhasil membuat Nayla mudah terpikat.
Nayla masih cemberut melihat Shaka.
"Emangnya boleh kata-katamu kupegang?"
"Kamu makan pun juga boleh." angguk Shaka.
Seketika bantal sofa melayang menghantam wajah rupawan itu.
"Shaka, kamu gombalin aku?!"
Shaka tersenyum mengambil bantalnya, "Hmm? Masa iya?"
"Tuh, 'kan, kamu sengaja godain aku! Jahil banget, sih, jadi orang!" Nayla memukuli Shaka membuat empunya terkekeh geli.
"Haha, akhirnya kamu ketawa?"
"Masa bodoh! Tau, ah!" Nayla berpaling setelah memukul Shaka dengan bantal terakhir.
"Malam ini aku mau bagian kasur yang lebih besar. Badan aku pegal semua gara-gara kamu pukul." Shaka sok kecapean meregangkan tangan.
"Nggak mau! Tidur aja di dapur!" tatapan memicing tajam ala Nayla memundurkan keberanian Shaka.
"Ha?! Kamu tega?" ekspresi Shaka memelas.
Nayla tidak peduli dan memilih pergi ke dapur untuk menghabiskan makanannya. Lalu, pertengkaran ala anak kecil itu berlanjut hingga beberapa hari.
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Hatinya terbakar saat Shaka mengaku. Sedetik kemudian Shaka memeluknya membuat Nayla hampir tak bernyawa. Dia terkejut bukan kepalang sampai jantungnya berhenti berdetak. "Tapi ... aku tetap suamimu. Tolong jangan jauhi aku." Shaka menggosokkan wajahnya di pipi Nayla kemudian menjadikan pundak Nayla seperti bantal. Dia pun tertidur di sana. Mata Nayla terbuka dan napasnya berpacu tak karuan. Melirik Shaka seolah ingin mencongkel matanya saja. Sikap egois itu membuatnya ingin memukul kepala Shaka. Orang itu benar-benar membuatnya marah hampir gila. Sayangnya kepalan tangan yang hampir melayang ke wajah tampan itu kembali lemas. Nayla tidak akan pernah mampu memukul Shaka sampai kapanpun. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang melilitnya seperti ular. Untuk bergerak saja Nayla kesusahan. Dia hanya bisa terus bersandiwara hingga akhirnya benar-benar terlelap. Keesokan paginya adalah pagi terheboh yang pernah ada dalam sejarah mereka. "Aaaa, aku megang Cicak!" Nayla berteriak menatap
"Ja-jangan. Kamu jangan macem-macem, deh. Jangan punya pemikiran aneh." Nayla menggeleng sampai sesak napas. "Buat kamu ... membuat mereka membayar seratus kali lipat atas apa yang mereka lakukan itu hal mudah bagiku." Shaka tersenyum smirk. Nayla tercekat, "Shaka, kamu jangan ngaco." Tak urung Nayla takut. Shaka sangat mengerikan saat serius. Jika dia mengarahkan satu hal pasti akan dia lakukan.Kini kedua tangannya dipegang Shaka seolah tidak ingin dilepas. Nayla bisa merasakannya, itu sama ketika mereka masih kecil dan Nayla mengingatnya. Dulu ketika bermain di taman kecil dekat rumah mereka, Nayla sering diejek karena ayahnya seorang narapidana. Shaka selalu membela dan menghadang umpatan-umpatan itu di depan Nayla seperti ksatria dan tangannya tidak akan lepas menggenggam tangan Nayla hingga Nayla merasa aman. Kini Nayla terkejut, cara Shaka melindungi dirinya masih sama seperti dahulu. Hanya saja, balas dendam itu terlalu ekstrem. "Kenapa kamu mau balas dendam untukku?" Nay
"Aku juga mendapat banyak pukulan. Tendangan, tamparan, bahkan sayatan di mana-mana. Jari ini pernah patah. Saat pelajaran olahraga, guru menyuruh kita untuk pemanasan berpasangan dan pasanganku mematahkan jari telunjuk ini dengan sengaja. Aku masih ingat sekali sampai sekarang." Nayla menunjukkan jari telunjuk kanannya."Jarimu patah?" Shaka segera mengamatinya. "Haha, sekarang sudah sembuh." Nayla menariknya, tetapi kembali berpegangan tangan dengan Shaka. "Aku sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat karena pingsan di dalam bak kamar mandi. Mereka menahan kepalaku di dalam air selama mungkin sampai aku kehabisan napas." Shaka meraih wajah Nayla, "Kamu masih hidup?" kilauan matanya sangat khawatir. Nayla menjauhkan tangan Shaka dari wajahnya, "Kamu pikir sekarang aku hantu?" Shaka memundurkan tangannya dan berganti memeluk Nayla dari belakang, "Oh, lanjutkan." "Kamu bodoh, ya?" heran Nayla tak habis pikir. Di saat seperti ini pikiran Shaka berubah seratus delapan puluh derajat
Bagaimana cara mengatakannya kepada Vira? Ingatan Nayla hanya perihal cacing pribadi Shaka tadi pagi. Beberapa kali pelukan juga terlintas, tetapi itu tidak lebih dari bentuk kasih sayang seorang teman. Bahkan lebih dari sekadar teman. "Huft, percuma juga aku nanya. Kamu nggak bakal jujur sama diri kamu sendiri." Vira mendesah pasrah membuat Nayla tersentak. Kenyataan dirinya tidak bisa jujur terhadap diri sendiri memang tidak bisa dibantah. Namun, perihal satu ini terlalu di luar nalarnya. Nayla tersenyum manis semanis madu, "Nggak apa-apa aku bisa mengatasi semuanya." Ekspresi Vira seperti makan batu, "Nggak nyambung!" Hari sibuk pun berlalu dari waktu ke waktu. Satu minggu menuju promosi besar-besaran telah usai, besok akan menjadi hari yang spektakuler. Semua karyawan sedang sibuk bekerja mati-matian demi tugas membludak usai acara. Kalang kabut bukan pilihan terbaik bagi Nayla. "Semuanya sudah rapi sesuai divisi masing-masing, jangan diotak-atik lagi tanpa seizinku! Ingat i
Apa alasan untuk tidak bertemu jika hubungan telah retak? Itu adalah hati. Shaka tahu hal itu, tetapi hati juga sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Meskipun situasinya telah berubah Shaka masih menemui Verlin. Jika gadis itu meminta, jika ada waktu longgar laki-laki itu tak ragu untuk datang. Di sisi lain di sudut hati yang terdalam dia memikirkan bagaimana perasaan Nayla. Gadis itu sudah tahu fakta yang memalukan ini. Shaka mengakuinya, dirinya sangat memalukan. Masih berhubungan dengan wanita lain meskipun sudah menikah, walaupun hubungan itu tanpa nama dan tanpa dasar. Setiap saat, setiap hari, setiap detik kala Shaka melihat Nayla, teringat betapa manisnya gadis itu waktu kecil dulu. Tanpa ragu mereka bermain dari fajar hingga petang bahkan diam-diam keluar dari rumah hanya untuk menangkap belalang di taman. Mereka bahagia dan senyum Shaka terlintas di setiap matanya. Hanya Nayla yang bisa membuatnya seperti itu. Namun, Verlin berbeda. Hatinya berdegup kencang ketika berada di
Daripada terus berlarut dalam ketakutan yang tiada sebab, Nayla menyeret Shaka untuk angkat kaki dari kost tersebut. Laki-laki itu menurut saja daripada Nayla terserang trauma kegelapan listrik padam. Akhirnya mereka berujung di jalanan. Mata sudah seperti bohlam rusak, bahaya jika terus berkendara. "Huft, kita ke hotel." Shaka menghela napas lelah. Nayla menoleh, "Tapi itu lumayan jauh, loh." "Lebih jauh rumah orang tua kita yang sama-sama di Bekasi. Daripada mengumbar malu balik dan tidur di kantor, lebih aman kita ke hotel," terang Shaka. Nayla menatap kaca depan yang sepi, "Kenapa nggak dari tadi aja? Bikin jantung aku mau copot rasanya. Kost satu hari itu mengerikan." bulu kuduk Nayla berdiri lagi. "Itu karena mati listrik tau," kilah Shaka. "Tapi suara di balkon nyata tau," balas Nayla seolah ketakutannya akan bangkit. Shaka menghela napas saja mengakhiri pembicaraan. Jika dipaksa bicara mereka berdua bisa pingsan kelelahan. Benar, sekarang pukul dua dini hari. Akhirnya
Nayla menggigil bukan karena sikap dingin Shaka, melainkan hawa malam tiba-tiba dingin seperti es. "Sshhh, Shaka ... ini masih di tenah kota, 'kan? Kenapa rasanya kayak di pegunungan?" Nayla menggosok kedua lengannya sambil mendesis. Hembusan napas pun menjadi asap. "Itu karena kami berdiri di balkon. Cepat masuk. Aku ajak kamu pulang supaya bisa tidur, bukan bergadang." Shaka mengayunkan tangannya memanggil Nayla dari ambang pintu kamar. Nayla mendekat dn pintu pun ditutup Shaka. "Haaaa! Kipasnya nyala!" Teriakan Nayla membuat bulu kuduk Shaka berdiri . "Apa, sih?!" Shaka kaget. "Se-sejak kapan ada kipas di situ? Perasaan tadi nggak ada. Kenapa juga bisa nyala?!" jari Nayla gemetaran menunjuk kipas berdiri di pojokan. Wajah Shaka pucat seketika. "Nayla, sejak kapan kamu buta?" geleng-geleng kepala memilih tidur dan menutup kepala dengan bantal. Membiarkan Nayla heboh dengan pikiran negatifnya. Gadis itu sibuk menunjuk semua hal dengan mata tajam dan leher yang dingin. "Apa
Atmosfer ruangan kantor yang sepi memperkuat ikatan batin. Telepati menembus jantung itu bisa Nayla rasakan. Apa Shaka bodoh dan tidak bisa membacanya? Nayla sudah menahan gejolak ingin bunuh diri ditelan malu menggoda seperti itu meskipun membolak-balikkan kata"A-aku beri waktuku setiap hari ke kamu, 'kan?" Shaka membuang pandangannya. Nayla makin cemberut, "Bohong! Jangan lupa kalau kita lagi pacaran, ya." Seketika heran dengan ucapannya sendiri. "Emangnya orang kalau pacaran itu kayak gimana?" Shaka tersenyum tipis, "Ah, aku paham." Nayla masih meneleng. "Akan kuberikan sebanyak yang kamu mau." Shaka menggenggam tangan Nayla. Wajah Nayla menghangat, "Eh?!" Kemudian, Shaka membawanya masuk kembali ke ruangan Nayla dan pamit untuk pulang atas nama Nayla membuat Nayla kebingungan harus menghentikannya sekaligus geram karena orang-orang terutama Vira menggodanya dengan cuitan apa anak ABG. Nayla hendak melepas tautan tangan mereka, tetapi mustahil. Daya cengkeram Shaka melebi
Nayla menceritakan tentang kebakaran kemarin sore. Reaksi Gilang hampir membuat seisi kantin memarahinya karena Gilang hampir berteriak. Beruntung saja Nayla menjejali es batu ke mulut Gilang sehingga laki-laki itu kedinginan dan tutup mulut. "Yang bener aja Mbak Nayla sama Verlin ngerebutin mas Shaka berdua?! Orang ganteng emang beda level. Nggak heran aku." Gilang geleng-geleng sampai pusing. "Nggak heran, kok, mangap." Nayla cemberut agak malu. "Sshhh, terus mbak Vira bilang Verlin bakal dateng ke sini sekarang gitu?" Gilang sok berpikir. Nayla manggut-manggut. "Artinya ...," ucapan Gilang mengambang. Keduanya saling pandang dengan mata melebar. "Insiden laporan keuangan ada kaitannya dengan Verlin?" terkadang Gilang. Nayla membuang napas cepat, "Ya, aku sempat berpikir begitu." Meminum es sampai habis dan menimbulkan suara, "Semoga aja nggak benar." Bahkan ketika waktunya pulang Vira masih berkutat di mejanya. Berkas-berkas dan juga tabel penuh perhitungan dan angka yang
Nayla tak henti-hentinya mengomel sampai Shaka diamkan saja karena tahu gadis itu cemburu lagi. Shaka harus curi-curi tawa dalam hati dan memasang wajah datar. Sampai Nayla melihat ada pedagang es kelapa muda dari jendela. "Oh, Shaka, aku mau es itu." menunjuk jendela polos membuat Shaka melirik mengikuti arahnya. Tidak diduga Nayla sangat bahagia meminum es kelapa muda di tempatnya langsung. Meskipun ini di luar trotoar sekalipun. "Haha, seger banget! Padahal mau magrib, loh, ini. Kelapa muda emang terbaik!" Shaka heran Nayla memekik demikian. "Sejak kapan mie instan tergantikan sama es kelapa muda? Lagian kenapa matamu berbinar begitu? Tiba-tiba pengen minum ini kayak lagi ngidam aja." Shaka juga meminumnya perlahan. "Apaan ngidam? Aku nggak hamil tau." Nayla masih semangat meminumnya. "Aku tau. Aku, 'kan, belum berbuat apa-apa." Shaka memakan isian itu dengan santai. Seketika acara minum Nayla berhenti, "Ha? Artinya kamu pengen ngelakuin hal-hal begituan sama aku?" Shaka
"Kamu nggak apa-apa? Ada yang terluka?" Shaka mengecek seluruh tubuh Verlin dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Nggak apa-apa. Untung aja ada kamu. Kalau enggak aku nggak tau bakal minta tolong siapa." Verlin menggeleng elegan ala wanita berkelas yang kepanikan. Shaka menghela napas panjang menatap oven yang hangus terbakar dan juga perabotan lain serta dinding gosong bahkan kabel-kabel yang terputus karena api. Untung saja Shaka mematikan listriknya tadi. "Tapi gimana bisa kebakaran? Semua karyawan udah pulang, 'kan?" Shaka mengetuk dagu. "Eee, kayaknya salah satu koki lupa matiin ovennya," elak Verlin. Mereka terus berbincang di depan Nayla. Sedangkan Nayla sudah meremas pinggiran pintu sampai hampir remuk. Di sisi satunya Vira gigit-gigit jari melihat Nayla cemburu. "Wah, wah! Cemburu sebesar itu masih nggak sadar juga? Kamu bodoh apa polos sebenarnya?" gumam Vira menatap Nayla bingung. Lalu, mobil pemadam kebakaran datang. Meskipun terlambat merek tetap mencatat laporanny
Seakan hari tenang berlalu, minggu terakhir acara promosi di Jakarta pun berakhir. Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nayla dengan senyum tenang mulai bekerja seperti biasanya di kantor bersama karyawan lain. "Hebat banget, 'kan, kita. Acaranya sukses besar. Aku dapat bonus banyak, hahaha." Vira memamerkan jumlah saldo yang baru saja ditransfer pihak perusahaan atas acara promosi itu. Nayla mencebikkan bibir tak peduli. Jarinya terus memilah surat yang terus berdatangan sejak kantor dibuka. "Aku udah nggak peduli lagi, tuh, sama bonus." Nayla menjulurkan lidahnya. "Ha? Ya, 'kan, kamu lagi main kejar-kejaran sama Shaka. Jelas cowok mu, lah, yang lebih penting daripada uang," goda Vira. Nayla menoleh sejenak dengan pipi memerah, "Tapi kita jadian, loh, sekarang." "Hah?!" Vira mendekat. Meja kubikelnya sampai bergeser. Deritannya membuat beberapa orang menoleh. "Ssttt, kerja jangan berisik," desisi Nayla. Vira masih dengan wajah heran membenahi letak mejanya. Komputer
Untaian ajakan yang terdengar seperti perintah. Nayla berhasil menghentikan waktu beberapa detik pada laki-laki itu."Kamu ... nggak bercanda, 'kan?" Shaka berkedip dua kali. Nayla menggeleng, "Aku serius." Namun, terdengar seperti bercanda. Apalagi gadis itu asik makan padahal pembahasan mereka seekstrim ini. Shaka merengut menatap Nayla dalam dan memalingkan muka. "Nggak mau!" Sontak Nayla terbatuk, melotot, dan menoleh, "Hah?! Kenapa nggak mau?" "Kamu ngomongnya nggak serius! Jangan mempermainkan aku." Sudut bibir Nayla berkedut, "Apanya yang mempermainkan kamu? Aku nahan malunya setengah mati tau!" Shaka menoleh, "Masa?" "Iya, lah! Lagian kita udah nikah juga. Apa salahnya pacaran?!" kesal Nayla. Pipi Shaka memerah tipis, Nayla bisa melihatnya dari tatapan Shaka. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak pacaran?" menunduk melihat telur dadar, "Kamu beneran suka sama aku, ya?" "Hmm, bener banget!" Nayla mengangguk mantap. "Apa?!" Shaka terkejut lagi. "Eerrrr, udah, dong pasang m
"Nayla!" "Huaaaa!" Nayla terjingkat Shaka memanggilnya lantang di balik pintu mobil saat dirinya melamun duduk bersandar tiang. "S-Shaka?" Nayla segera menegakkan badan. Shaka berlari menghampiri setelah membanting pintu mobil."Dasar keterlaluan! Kenapa teleponku nggak diangkat?! Aku panik tau, nggak?!" Shaka terengah menunjuk Nayla kesal."Aaaa, aku minta maaf. Habisnya aku asik melamun." Nayla menangkupkan tangan sambil terpejam erat. "Ha?! Alasan macam apa itu?!" suara Shaka sampai tercekik. Nayla meringis dan menyuruh Shaka duduk di sebelahnya kemudian memberikan sebotol air mineral sisa dari nasi kotak tadi siang. "Minum dulu, Bos, biar tenang." Shaka meraihnya cepat dan meminum semuanya. "Wah, kamu kayak habis lari maraton." Nayla berkedip dua kali. "Ck, kalau mau berangkat kerja bilang biar aku nggak kelagapan. Kalau kamu hilang gimana?" Shaka meremas botol air itu sampai remuk. "Eee, maaf-maaf, habisnya tadi Urgent banget jadi nggak bisa jelasin secara langsung." d