Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa.
Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh.
Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut.
"Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya.
"Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir.
"A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.
Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka.
"Aaaaa!" teriak Nayla.
Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka baik-baik saja. Beruntung kecepatan Shaka di bawah rata-rata sehingga kecelakaan itu tidak serius. Hanya bagian depan mobil Shaka yang penyok.
Namun, si pelaku tidak bertanggungjawab dan melarikan diri. Nayla panik melepas Seat Belt mereka.
"Shaka, kamu nggak apa-apa?"
"Nayla, kamu baik-baik aja? Ada yang luka? Ada yang sakit?"
Awalnya Nayla hendak memeriksa keadaan Shaka, tapi Shaka terlebih dahulu memotong pergerakannya dan mengoreksi seluruh wajah Nayla.
"Aku nggak apa-apa. Cuma syok aja." geleng Nayla.
Shaka mengangguk cepat, "Syukurlah!"
Shaka menarik Nayla dan memeluknya erat membuat Nayla melotot. Dia bisa merasakan detak jantung Shaka yang berdegup sangat cepat.
"Aku juga oke."
Ini pertama kalinya mereka bersentuhan begitu dekat. Mungkin karena refleks akibat kecelakaan atau karena saling takut kehilangan. Nayla tidak mengerti.
Guntur kembali menyambar cukup keras mengejutkan Nayla.
"Shaka, kita terjebak. Mobil kamu udah nggak bisa jalan."
"Ayo cari tempat aman. Hati-hati." Shaka membuka pintu tanpa melepaskan tangan Nayla.
Mereka buru-buru keluar hujan-hujanan tanpa payung berlari ke sebuah bangunan terdekat dan berteduh di terasnya. Tidak ada seorang pun di sana. Bangunan itu tutup, bahkan jalan raya pun sepi. Hanya mobil mereka yang terpojok menabrak pohon saja yang terlihat.
"Woah, pemandangan yang sangat mengerikan." Nayla mengusap lengannya kedinginan. Napasnya saja berasap karena terlalu dingin.
Shaka melepas jaketnya dan menaruhnya ke pundak Nayla.
"Pakai aja."
Shaka sendiri menggosok telapak tangan sambil meniupnya pelan.
"Tapi kamu juga kedinginan," heran Nayla.
"Aku cowok, lebih kuat dari kamu."
Nayla melongo, "Oh, sombong, tapi maaf aku bukan cewek lemah, ya. Makasih!" mengembalikan jaket itu pada Shaka.
"Ck!" decak Shaka.
Ujung-ujungnya dipakai payung untuk mereka berdua. Nayla terpaku dengan perilaku Shaka. Dia memutar ingatan beberapa tahun lalu ketika mereka masih bermain bersama. Apakah sikap Shaka memang sebaik ini.
Nayla tahu sosok yang telah menjadi suaminya itu pendiam, hangat, baik, dan juga terlalu santai menanggapi apapun, tetapi sejak menikah kemarin rasanya Shaka agak berubah menjadi lebih pengertian bahkan terlalu baik.
Nayla harap itu hanya perasannya saja. Dia terus mencuri pandang pada suaminya itu sambil memikirkan masa lalu.
Dua jam lamanya hujan menerjang kota Jakarta.
Setibanya di rumah Nayla merebahkan diri di kamar Shaka dan tidak sengaja tertidur sampai sore menjelang malam. Bangun-bangun mendengar suara kran air menyala dari kamar mandi yang pintunya tertutup, artinya Shaka sedang mandi. Nayla langsung kembali ke kamar menutup kepala dengan bantal.
"Aku harus gimana sekarang?"
Melihat sekeliling perabotan dan aroma ruangan sangat berbeda dengan miliknya.
"Ini kamar Shaka?!" Nayla tepuk jidat.
Dia tidak sadar mengapa bisa ketiduran di situ. Saking lelahnya sampai menurunkan penjagaan diri dan langsung tidur di kamar seorang pria.
Pintu pun terbuka mengejutkan Nayla yang sibuk melamun. Shaka muncul dengan penampilan yang lebih segar nan sederhana dengan kaos oblong serta celana olahraga. Tersenyum berjalan menuju ke arah Nayla sambol membawa segelas air dan beberapa obat-obatan.
"Masih syok?" tanya Shaka.
"Eee, udah mendingan." Nayla garuk-garuk kepala.
Shaka duduk di tepi ranjang membuat Nayla mundur.
"Minum obat dulu, buat jaga-jaga kalau ada bagian dalam yang sakit. Besok kita periksa aja sekalian."
"Periksa? Nggak, nggak perlu periksa segala, haha. Minum obat aja udah cukup, kok, lagian aku nggak kenapa-napa." Nayla buru-buru mengambil obat itu dan meminumnya meskipun sulit ditelan.
"Kamu sendiri gimana?" menaruh air dan obat itu di nakas.
"Dengan kekebalan tubuhku apa yang bisa membuatku terluka?" senyum Shaka mengejek.
Nayla menganga. Tidak mengira Shaka bisa setengil itu.
Nayla membuang pandangan ke jendela, "Nggak bertanggung jawab banget orang barusan. Udah nabrak main langsung kabur."
"Biarin aja, lagian udah berlalu," balas Shaka.
"Ngomong-ngomong aku tidurnya di mana?" celetuk Nayla.
Shaka mengernyit, "Ya ... di sini. Di mana lagi?"
Nayla berkedip polos, "Di sini?"
Shaka mengangguk.
"Sama kamu?"
Shaka mengangguk lagi.
Rahang Nayla hampir jatuh menimpa lantai. Ini mengganggu pikirannya sejak kemarin. Bagaimana bisa dia tidur dengan laki-laki yang sejak kecil dia kenal.
"Enggak, nggak bisa, mendingan aku tidur di gudang. Minggir, aku mau beresin gudang kamu." Nayla sibuk mau turun dari ranjang.
"Ck, Nay, ini yang membuat kamu bermasalah sampai nggak bisa dekat sama laki-laki. Kamu kurang membiarkan dirimu terbuka. Sama aku aja begini gimana sama cowok lain."
Nayla terdiam di tempat ketika Shaka menahannya untuk pergi.
"Pokoknya kita tidur seranjang, titik, nggak menerima bantahan. Ini aku Shaka, bukan orang asing," lanjut Shaka.
Kedua bola mata Nayla melebar kala pandangan mereka bertemu. Jarak mereka hanya beberapa inci membuat Nayla menunduk.
"Setelah sekian lama nggak bertemu rasanya tetap aja kayak orang asing," cicitnya.
"Hmm?" alis Shaka terangkat.
Bibir Nayla menekuk, "Berapa tahun kamu sekolah terus kerja di Jakarta nggak pulang-pulang. Sekalinya pulang cuma beberapa hari waktu liburan. Hubungan kita nggak sedekat dulu waktu kecil. Sejak remaja rasanya kita sudah terpisah ... sangat jauh. Jangankan bicara, buat menyapa kamu aja hanya cukup dengan senyum di depan teras. Gimana aku bisa kembali nyaman sama kamu?"
Napas Shaka tertahan mendengar keluh kesah Nayla secara terbuka, sedangkan dalam hati Nayla ingin mengubur diri hidup-hidup lantaran malu, tetapi dia tidak menyesal, Shaka berhak mengetahui belenggu di hatinya.
Nayla mundur kembali memeluk bantal, "Kamu berasa sangat jauh dari jangkauanku, Shaka."
Shaka berkedip-kedip tak percaya. Lalu, tersenyum manis memegang tangan Nayla.
"Tapi kamu tetap menikahi ku, 'kan?"
Nayla kaget menatapnya tak berkedip karena yang dikatakan Shaka itu benar.
"Dan aku ada di depanmu sekarang."
Tatapan mereka semakin mengikis kekosongan. Manik hitam pekat menyerupai berlian hitam itu telah menyihirnya.
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg
"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit." Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap. "Wow, anginnya kencang banget." Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin. Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak. Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang. Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang. "Shaka?" Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya. Shaka t
Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu. Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu."Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka."O-obat?" Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah."Untuk trauma?" Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya. Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang." Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang. "Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun." Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya. Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayl
"Argh, rasanya aku mau gulung bumi! Dia itu nyebelin banget jahilin aku terus!" wajah Nayla memerah lantaran geram.Sudah tiga hari Nayla menghadapi candaan Shaka yang terus menaikkan alur panas di wajahnya."Artinya dia sayang kamu." Vira memesan dua dimsum dan jus stroberi di kantin kantor, kemudian duduk bergabung dengan Gilang. Gilang yang sedang memakan ayam goreng sampai tersedak kaget. "Tapi .... tapi nggak harus setiap hari juga, dong. Setiap kali ada celah dia pasti jahilin aku! Nggak sesuai sama mukanya yang diam sedingin es!" Nayla merengut duduk di sebelah Gilang mengikuti Vira. Gilang menatap kedua seniornya bergantian. Nasib menjadi junior yang terlalu baik dan menurut pasti akan diajak ghibah. "Lah, aku kalau punya pasangan jahil malah seneng kali, Mbak. Enak diajak bercanda daripada marah-marah mulu," sabut Gilang santai. "Diam kamu mulut jigong. Jangan nambah beban perasaan aku." tunjuk Nayla membuat Gilang bergidik. "Emangnya rasa suka bisa tumbuh dengan candaan
Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. "Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk."Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berad
Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. "Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. Hanya Shaka yang bisa dia percaya
Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. "Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. "Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. "A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. "Aaaaa!" teriak Nayla.Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka ba
Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya. "Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!" Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang. Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka. "Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!" Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang. Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarg