Plak!!
“Aku ingin kita putus!” teriak seorang gadis berambut sebahu bergelombang dengan tatapan nanar, sakit hati, dan kecewa. “Gue enggak akan pernah mau putusin lo! Nayra!” tekan pria bertubuh tegap, dengan tatapan tajam, sambil mencengkeram pergelangan tangan gadis di depannya. Dia sepertinya sangat tidak ingin kehilangan Nayra.Plak!Satu tamparan lagi mendarat di pipi pria itu. “Aku benci kamu, Jordan! Lepasin aku sekarang juga atau aku teriak sekencangnya, supaya semua orang datang!”Pria itu malah semakin brutal, ia mengapit kedua pipi Nayra dengan jari tangannya. Air mata Nayra terus mengalir. Bagaimana tidak, baru saja ia melihat kekasihnya itu sedang bercumbu dengan wanita lain di sebuah kamar hotel, tapi ketika Nayra meminta putus, pria itu malah marah dan tidak terima diputuskan oleh Nayra. “Shit! Gue sampai kapan pun nggak akan pernah memutuskan hubungan dengan lo, Nay! Ini semua salah lo! Kenapa lo enggak pernah mau tidur dengan gue, Nay! Kenapa, hah? Sekarang lo enggak terima gue tidur dengan wanita lain, lo cemburu? Kalau gitu layani gue sekarang juga!” Nayra semakin geram, ia jijik dengan pria yang entah kenapa pernah sempat ia cintai. Rasanya harga dirinya hancur seketika, saat mendengar perkataan Jordan barusan. Tanpa berpikir ulang, Nayra menendang bagian vital pria yang masih menahannya. “Argggh! Nayra, sialan lo! Jangan lari!” pekik Jordan sambil menahan ngilu karena tendangan Nayra yang cukup kuat. Nayra berlarian keluar kamar hotel tersebut. Matanya basah karena terus menangis. Hatinya terluka, ternyata pria yang selama ini ia percaya, malah menyakitinya. Jordan berubah, tidak seperti dulu lagi—saat pertama kali mereka bertemu di kampusnya. Jordan berubah semenjak ia bergabung dengan sekelompok orang yang menurut Nayra bukan orang baik-baik, entah siapa mereka, tapi yang pasti orang-orang itu telah membuat Jordan yang dulu Nayra kenal, perlahan berubah bahkan sangat drastis sampai sekarang ini.Nayra melajukan mobilnya dengan perasaan kecewa dan sakit. “Jo, aku enggak sangka kamu perlakukan aku seperti ini, apa salahku terhadap kamu Jo? Kamu bilang karena aku enggak mau tidur sama kamu, kamu lalu memilih tidur dengan wanita murahan seperti itu? Jo, aku bukan wanita sampah! Aku punya harga diri!” teriak Nayra saat berada di mobilnya.Napas Nayra tercekat. Sudut matanya masih menggenang bulir hangat. Pedih, ketika Jo berhasil menorehkan luka, bahkan menjadi sebuah kebencian di hati Nayra. Saat ini hanya tersisa rasa jijik. Ketika Nayra mengingat lagi perbuatan Jo. Perbuatan saat pria itu mengkhianati cintanya saat berhubungan dengan wanita lain. Menjadi penyebab Nayra memergokinya di hotel. Seharusnya saat ini Nayra ada pemotretan untuk sebuah majalah, tapi karena masalah yang sedang dialami. Nayra tidak ada semangat melakukan apa pun. Nayra lebih memilih pulang ke apartemennya.Terdengar sejak tadi suara handphone berdering. Siapa lagi kalau bukan panggilan masuk dari manajer yang sudah menunggunya di lokasi pemotretan. Ya, Nayra Aghnia Gladys adalah seorang model yang namanya sedang naik daun saat ini. Bahkan beberapa tawaran film sempat datang kepadanya. Hal itu membuat Nayra super sibuk setiap hari. Mendadak ia malah mendapat masalah karena perbuatan Jordan. Pria yang setahun ini menjadi kekasihnya. Memang selama ini Nayra cenderung kurang memberikan perhatian untuk Jordan karena kesibukannya di dunia modelling, tapi perbuatan Jordan yang bermain wanita di belakangnya, itu sama sekali tidak bisa dimaafkan. Nayra menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, ia menghapus air mata yang menurutnya sia-sia saja ia tumpahkan demi pria kurang ajar seperti Jordan. Buat apa juga ia terus meratapi perbuatan pria yang tidak bisa menghargai perasaannya. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk berhenti menangis, untung saja selama ini Nayra selalu menolak kalau Jordan berusaha mengajaknya melakukan hal yang tidak seharusnya. Pernah suatu malam Jordan yang terpaksa menetap di apartemen Nayra karena hujan, seolah sengaja ingin menyentuh Nayra. Sontak hal itu membuat Nayra kesal, karena tidak mau Nayra marah, Jordan meminta maaf kepada Nayra. Saat itu Nayra masih memberikan toleransi, karena mungkin saja Jordan tidak bermaksud sengaja melakukannya, tapi semakin ke sini ia mulai sadar kalau Jordan bukan pria baik-baik, ia bersyukur bisa lepas dari Jordan. Walaupun tetap saja menyakitkan, karena Jordan pernah ada di hatinya. “Nay! lo di mana, sih? Ini udah jam berapa? lo kan, ada janji pemotretan hari ini.” Suara manajernya yang bernama Jessy, terdengar dari ujung telepon. “Gue enggak enak badan. Jes, bisa lo cancel dulu enggak jadwal pemotretan hari ini? Asli badan gue enggak enak banget,” sahut Nayra sambil mencabik-cabik foto Jordan yang masih tersimpan di dalam album foto miliknya. “Nay, lo sakit? Astaga! Ya udah gue ke sana sekarang juga,” “Arrgghhh!” teriak Nayra yang sudah tidak tahan lagi. “Nay lo kenapa? Kenapa teriak!” kaget Jessy yang terdengar sangat panik. “Gue butuh waktu sendiri. Jes, please. Okay!” Nayra mematikan sambungan telepon tersebut. “Aku benci kamu, Jordan!” Sambil meremas kain seprai, ia terus berteriak dengan segala macam sumpah serapah yang tidak henti mengutuk pria itu. “Aku menyesal mengenal kamu!”***"Sialan!" Jordan menggeram frustrasi setelah ditinggalkan dan diputuskan oleh Nayra. Padahal hubungannya dengan Nayra sebelumnya baik-baik saja. Lantas ia mengutuk siapapun yang telah membocorkan keberadaannya.Dalam keadaan acak-acakan. Jordan mencaritahu dari siapa Nayra mendapatkan informasi tentang hal itu."Goblok! kenapa gak diangkat!" Jordan kesal karena salah seorang temannya tidak mau menjawab. dia yakin Nayra tahu dari orang itu."Nayra sialan! Lo pikir bisa lepas dari gue gitu aja?!" Jordan menghancurkan apa pun yang ada di sekitarnya. Dia tak peduli meski tempat itu jadi berantakan."Nayra!!! Gue gak akan lepasin lo!" teriaknya dengan kemarahan yang meledak-ledak.Nayra merupakan tambang emas bagi Jordan. Mana mungkin dia melepaskan gadis itu begitu saja. Dan lagi, dia juga belum mendapatkan sesuatu yang berharga dari Nayra. Sekian banyak wanita yang pernah dikencaninya, hanya Nayra lah yang selalu menolak ketika diajak tidur bersama. Mungkin karena itu Jordan belum dapat melepaskan Nayra, merasa tak mendapatkan apa yang ingin dia dapatkan dari dara cantik yang berprofesi sebagai model tersebut."Kenapa aku bisa sebodoh itu." Nayra tidak berhenti menangis sejak tadi. Dia bukan menangisi kandasnya hubungan dengan Jordan. Tapi dia merasa sangat bodoh karena bisa diselingkuhi."Apa kurangnya aku, dibandingkan cewek itu." Nayra merasa sangat terhinakan. "Dia jelas gak berkelas."Tidak semudah itu memberikan hatinya pada pria. Nayra sudah pernah disukai oleh orang-orang hebat. Secara, dia adalah model terkenal. Kalau mau, dia bisa mendapatkan pria manapun sesuka hatinya. Tapi dia memilih Jordan. Laki-laki pengangguran yang ditemuinya tak sengaja beberapa tahun lalu.Pernah terlintas dia mungkin salah memilih pria. Tapi kebaikan Jordan membuat dirinya yakin, dia tidak salah. Ya, Jordan sangat baik dan perhatian di awal. Pria itu berubah belakangan. Hal itu juga yang membuatnya mencari tahu.Yang diinginkan Nayra bukan pria hebat dengan harta dan kedudukan. Dia hanya ingin dicintai secara tulus dan apa adanya. Perselingkuhan jelas salah. Nayra paling tak bisa memaafkan masalah yang satu itu. Untuk hal lain, dia coba mentolelir. Tapi tidak untuk sebuah pengkhianatan."Ayolah Nayraaaaaa!!" Nayra tidak mengerti kenapa dia tak dapat menghentikan tangisnya. "Dia gak pante kamu tangisin gini argh!"Matanya bukan lagi bengkak. Tapi dia tak bisa fokus sama sekali. Ingin tidur tak nyenyak, mau makan tapi tidak bernafsu.Ponselnya terus berdering. Jessy, manajernya tak ingin Nayra sampai terjadi apa-apa. Tapi Nayra tetap tidak mau menerima panggilan darinya. Jessy jadi makin panik. Dia tak berani mendatangi Nayra, kalau gadis itu bilang butuh waktu. Dia tahu siapa Nayra, mengenalnya dengan baik. Pasti tahu persis bagaimana Nayra jika sudah berkata tidak. Kalau dia tetap datang mencari Nayra, maka kemarahan Nayra tak dapat diatasi nantinya."Ya ampun Nay. Seenggaknya lo kasih tau gue, lo kenapa?" gumam Jessy sambil menatap layar ponselnya sendiri. "Kalau gini gue tuh takut lo kenapa-kenapa. Mau samperin lo ke apart, tapi gue gak mau jadi makin runyam. Gue tahu lo gak suka diganggu kalau bilang pengen sendiri.""Max, apa kabar?" Dia adalah Giska, wanita yang mengajak Maxime bertemu sore ini. "Baik," jawab Maxime singkat. Giska pun duduk di kursi yang ada di depan Maxime. "Makasih karena kamu mau datang.".Maxime sebenarnya malas menemui Giska. Tapi dia tidak punya alasan menolak untuk datang. Sudah ke sekian kali Giska mengajaknya ketemuan. Baru kali ini Max menerima ajakan gadis itu. "Ya, jadi apa yang ingin kamu katakan. "Santai saja dong, kita udah lama kan gak ketemu. Ngobrol santai aja dulu," kata Giska, ramah. "Ya, tapi saya tak punya banyak waktu." Maxime lantas berdiri sambil melihat arloji di tangannya. "Saya harus pergi sekarang." "Max, ayolah." Giska ikut berdiri dia memegang tangan Maxime.Kontan Maxime melepaskan genggaman tangan Giska."Maaf Max. Tapi masa kamu mau pergi sih? Kita gak bisa ngobrol dulu?" Max menggeleng. "Saya kira kamu punya tujuan mengajak saya datang." "Ya tujuan aku salah satunya untuk ngobrol sama kamu." "Tidak bisa, saya tak ada waktu." "Maxime,
Setelah satu minggu Nayra tidak mau diganggu. Pekerjaannya pun sudah menunggunya, janji pemotretan dan juga pertemuan dengan keluarga besar papanya tidak dapat ia hindari lagi. Nayra dibesarkan oleh keluarga seorang mantan mafia terkenal di kota. Papanya bernama Jack Pattinson adalah ketua mafia yang begitu ditakuti pada jamannya. Walau begitu, Nayra selama ini tidak terlalu terbuka tentang latar belakang keluarganya itu kepada orang lain. Papanya juga melarang Nayra ikut terjun dalam dunia gelap tersebut. Jack tidak ingin putri cantiknya menjadi kasar, itu adalah pesan dari mendiang mama Nayra yang sudah meninggal lima tahun silam, ia bernama Rose Marinka Gladys. Oleh sebab itu, Nayra tidak menyematkan nama Pattinson di belakang namanya, karena itu permintaan mamanya untuk yang terakhir kalinya, Rose ingin Nayra tumbuh menjadi gadis yang lemah lembut. Jack begitu mencintai Rose, sehingga apa pun yang diinginkannya diusahakan agar dapat ia kabulkan. Apa pun itu, segalanya, untuk is
Nayra tersenyum-senyum sendirian. Sambil memandangi pantulan dirinya di cermin. Saat ini Jessy, sahabat sekaligus manajernya sedang membantu mengatur rambutnya. Setelah ini ia akan menjalani pemotretan beberapa sesi, sedangkan di luar sana, seorang pria tampan yang begitu memukau masih menunggunya. Meski sulit dipercaya tapi sepertinya Nayra sudah jatuh pada pesona pria matang itu. “Jess, lo bisa agak cepetan dikit kek!” sentak Nayra sambil tercengir kecil kala teringat senyuman Max yang begitu memabukkan. “Dih, lo kenapa, heh! Gue juga biasanya segini kecepatannya. Kalau gue cepetin yang ada rambut lo berantakan!” komen Jessy. “Hih! Iya iya. Intinya agak cepetan biar pemotretannya cepet kelar, gue ditungguin di luar. Lo nggak tahu, sih.” Nayra lagi-lagi tersenyum-senyum dengan pipi merah merona malu. Jessy mengerutkan kening, sebelum akhirnya menyadari bahwa sahabatnya itu sedang kepincut pesona, duda keren yang bernama Maxime. “Ciye, lo udah kepincut duda keren, nih!” Jessy
Setelah pemotretan selesai. Nayra segera mengganti pakaian dengan make up yang sudah ia bersihkan. Menyisakan tampilannya yang natural dengan polesan lip balm di bibirnya saja. Nayra menarik napasnya dalam, saat melangkahkan kaki ke arah Max yang sedang duduk menunggunya yang baru selesai berganti pakaian. “Hm, maaf ya jadi bikin kamu nunggu,” ucap pelan Nayra, pria tampan itu melirik ke arah Nayra. Lalu, hal yang mengejutkan terjadi saat Max membulatkan matanya kaget, melihat penampilan Nayra tanpa make up. “Ah, apa aku jelek? Maaf, aku menghapus make up, jujur aku merasa kurang nyaman mengenakan make up tebal, kalau bukan karena tuntutan profesi.” Nayra begitu polos mengatakan hal itu pada Max. “Kamu, cantik.” Maxime memuji penampilan alami, Nayra. “Apa?” Nayra tampak kaget. “Astaga, kamu bilang aku cantik?” Max mengangguk. “Ya, kamu cantik, Nay.” Demi apa pun, saat ini jantung Nayra hampir meledak. Ia terasa melayang mendengar pujian dari pria itu. Padahal, selama ini su
“Oke, kita sudah sampai.”Max membuka safety belt-nya, begitu pula dengan Nayra. Gadis itu menatap sebuah rumah megah yang ada di hadapannya. Ia berpikir bahwa Max pasti bukan orang sembarangan, tapi di rumah yang sebesar itu sayang sekali, karena Max hanya tinggal bersama anaknya dan juga para pelayan yang bekerja padanya, tanpa seorang pendamping hidup.“Nay, ada masalah?” Max tersenyum melihat Nayra yang malah terbengong.“Eh, nggak kok.” Nayra langsung keluar dari mobil Max. Pria itu mempersilakan Nayra untuk berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Saat pintu terbuka, Max langsung mengajak Nayra masuk ke dalam rumahnya.Saat itu Natasha yang sudah menunggu Max, langsung menghambur memeluk daddy-nya itu.“Daddy!”Natasha begitu gembira, ia memeluk erat tubuh Max. Pandangannya tiba-tiba mengarah pada sosok gadis yang sangat cantik. Ia sedang tersenyum ke arah Natasha.“Dad, dia siapa?”Kepolosan Nat, begitu menggemaskan. Membuat Nayra penasaran ingin segera menegur gadis kec
Natasha, Kakak pulang dulu, ya. Kapan-kapan Kakak akan main lagi mengunjungi Nat, oke?” ujar Nayra.“Iya, janji ya. Kalau gitu sekarang biar Daddy yang antar Kak Nayra pulang,” balas Nat.“Tentu saja, Daddy yang mengajak Kak Nayra, maka Daddy yang bertanggung jawab mengantar,”sambung Max dengan lengkungan manis yang kembali berhasil mengobrak-abrik hati Nayra.“Ah, terima kasih, Max.” Nayra tersenyum tipis.“Daddy sangat cocok dengan Kak Nayra, apa Daddy menyukai Kakak Nayra?”Lagi-lagi pertanyaan Natasha itu membuat Max dan Nayra kikuk.“Hm, Nat sayang, Daddy harus segera mengantar Kak Nayra pulang, oke? Ini sudah malam,” tutur Max mengalihkan pembicaraan.Nayra menggaruk keningnya, ia juga tersipu, gadis polos seperti Natasha berhasil membuatnya diam membisu tak tahu harus berkata apa.“Oke, bos!” Natasha pun mengangguk.Max mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. “Oke, Daddy pergi dulu ya. Nat langsung tidur, besok kan sekolah.”“Siap, Daddy. Dadaah Kak Nayra,
Nayra baru saja berganti pakaian. Sementara Maxime sedang duduk di ruang tamu.Gadis berambut panjang itu terdiam sejenak untuk mengendalikan degup jantungnya yang terus berdentum kuat. Ia melirik sekilas, lalu kembali meremas tangan yang keringatan karna berdebar. Pria penyelamat itu masih ada di luar. Maxime, seolah takdir yang datang dalam hidupnya. Padahal bisa saja Max tidak memedulikan ponselnya yang ketinggalan di mobil. Mungkin dengan mengembalikannya di lain hari atau kesempatan. Tapi Max memilih langsung mengembalikan ponsel Nayra hari itu juga. Untunglah, Max datang tepat waktu.Nayra keluar dari kamar menemui Max yang sedang duduk di sofa.“Max, maaf jadi buat kamu repot,” sesal Nayra yang saat itu mengenakan kaos agak longgar dengan celana pendek, juga rambut yang diikat. Penampilan Nayra itu sedikit menarik perhatian Maxime. Tapi, segera pria itu mengalihkan pandangan, tak ingin membuat Nayra jadi tidak nyaman. “Ah, kamu udah baik-baik aja?” tanya Maxime masih cemas
Maxime berjalan di lorong yang gelap. Dia sendirian, tak ada siapa-siapa di sana. Kebingungan menyergapnya. Di pekatnya ruangan yang entah di mana, Maxime merasa sangat sunyi. Belum pernah ia mendapati tempat yang lebih sunyi dari tempat yang dipijaknya sekarang. Angin sejuk berhembus, bersama munculnya secercah cahaya yang membuat penglihatannya akhirnya berfungsi. Sinar itu kecil, tapi semakin Max berjalan, sinar itu makin membesar. Lama kelamaan, Max merasa silau, dia pun menutup matanya kontan setelah sinar itu bertambah terang. "Sayangku." Maxime perlahan membuka mata. Ia mengerjap tak percaya akan apa yang dilihat oleh kedua mata telanjangnya. "Maxime, cinta sejatiku." "Maria!" Maxime merasa sesak. Bulir bening jatuh membasahi pipinya. Rahangnya menegang kuat, alisnya bertaut, wajahnya panas dan memerah. Tak percaya, ini adalah sebuah ilusi yang membuat napasnya tercekat. Jelas sekali, sosok wanita dihadapannya adalah Maria. Tapi tak mungkin! "Kau bukan Maria!" Wanita itu
Derap langkah terdengar semakin dekat membuntuti Mala yang terus mempercepat langkah kakinya."Siapa sih, kenapa dia ngikutin aku?"Napas Mala terengah-engah setelah dia berhenti karena tak kuat lagi berlari. Ini semuanya karena Dewa tidak menjemputnya di acara reuni teman SMA Mala. Entah siapa orang yang mengikutinya tadi, yang jelas Mala ketakutan."Hallo, Kak. Kamu jemput aku dong, please, aku takut." Suara langkah kaki semakin dekat. Kedua bola mata Mala membulat sempurna saat lengan kekar melingkar di pinggangnya."Aaaaaaaaaaaaaaa....." teriaknya."Sayang, ini aku."Mala menutup mulutnya. Itu seperti suara..."Kak Dewa!"****"Jadi tadi beneran ada yang ikutin aku?" kaget Mala saat suaminya bilang bahwa seorang lelaki mencoba untuk membuntuti Mala. Beruntung Dewa sampai tepat waktu."Iya. Tadi aku emang ada urusan kerjaan di kantor. Semenjak kamu memutuskan untuk resain, aku kan hendel semuanya sendiri, Sayang.""Tapi kan itu keinginan kamu juga, Kak. Aku diminta resain.""Iya.
Mala merasa bersalah pada suaminya. Padahal Dewa bilang tidak apa-apa jika dia belum siap. Sejak tadi Dewa sibuk dengan pekerjaannya. Mala sebagai sekertaris Dewa saat di kantor tidak berani mengajak ngobrol suaminya itu tentang urusan pribadi."Huffffttt...." Mala menghela napas panjang sambil melirik ke arah suaminya yang tak menatapnya sama sekali.Apakah dia marah?Mala beranjak dari duduknya. Dia tidak bisa begitu terus, dia merasa sangat bersalah dan dia satu-satunya yang bersalah. Dewa boleh berkata tidak apa-apa, tapi tetap saja buat Mala sikap suaminya itu agak berbeda."Kak. Kamu marah kan?"Dewa menaruh bolpoin di tangannya. Lalu ia membuang napas perlahan, dengan senyuman tipis, dia menggelengkan kepala. "Enggak, Sayang.""Karena hal seperti itu aja, aku nggak mungkin marah," tambah Dewa.Mungkin suaminya tidak marah. Tapi tetap saja ia merasa bersalah. "Mala nggak konsen kerja.""Ini kan kamu yang minta, Sayang. Kamu bilang mau mulai kerja kan?" ucap Dewa."Iya. Tapi seka
Mala membuka matanya perlahan. Garis bibirnya melingkar cantik menatap pria yang sedang terpejam, nyenyak disampingnya. Mala mengambil cermin, melihat bibirnya agak bengkak dan rambutnya yang berantakan. Dia terkekeh sendirian, tapi pria di sampingnya tidak terusik sama sekali."Capek ya. Kamu sih, mainnya nggak kira-kira," ringisnya sambil menggerakkan perlahan kakinya."Ouch!" pekiknya merasakan tubuhnya sedikit perih dan tidak nyaman."Sayang!" Dewa langsung terkejut saat mendengar suara istrinya. "Kamu kenapa?"Mala menggigit bibir bawahnya sambil meringis, ia tidak berani menyibak selimut di atas tubuhnya. Hanya menggeleng pada suaminya. "Enggak. Aku cuma... Perih.""Perih? Yang mana?" tanya Dewa sambil menyentuh kedua pipi Mala. "Aku nyakitin kamu, ya?" ia menelisik."Bukan. Ini cuma agak perih di bagian--" putus Mala, malu."Bagian mana? Sini, biar aku obatin." Dewa memang polos atau pura-pura tidak tahu sih, bagian mana lagi kalau bukan bagian dimana dia menghujam Mala berulan
"Bun. Mala pulang ke rumah kan?""Mala. Kamu pulang ke apartemen Dewa dong. Masa mau pulang sama Bunda?""Bukannya biasanya tidur di rumah pengantin wanita dulu Bun?""Dewa maunya langsung ke apartemen. Lagi pula Bunda nggak bisa lama di Bandung, Sayang. Tapi, kalau Mala mau tinggal di rumah, Bunda seneng dan mengizinkan.""Bunda mau ke Korea lagi?"Delia mengusap bahu putrinya. "Mala kan udah ada yang jaga. Bunda dan Ayah udah merasa tenang. Tapi, bukan karena itu juga Bunda harus balik segera ke Korea. Bunda dan Ayah masih harus mengurus sesuatu di sana. Mala mengerti kan?""Mala ngerti kok," angguk Mala, memeluk bundanya. "Mala sayang Bunda. Maafin Mala ya, kalau selama ini Mala sering merepotkan Bunda dan Ayah.""Jangan ngomong gitu, Sayang. Mala nggak pernah merepotkan. Bunda dan ayah bahagia punya putri cantik seperti Mala," balas Delia.Begitulah obrolan Mala dengan Delia setelah acara selesai.Mala menghela napas panjang. Saat ini di sebelahnya ada Dewa yang sedang menyetir mo
Sampai detik ini Mala seolah tidak percaya bahwa di tempat ini dia sedang duduk menunggu kedatangan Dewa sebagai calon mempelai pria. Hari ini adalah hari pernikahan Mala Dewa.Gedung hotel sengaja di pesan Delia, ibunda Mala. Sebagai penyelenggara pesta untuk putri semata wayangnya. Delia dan Mahen merasa lega karena putrinya yang sempat berpisah dari Dewa akhirnya kembali bersatu dan hari ini mereka akan menikah.Teman-teman Mala pun berdatangan menghampiri Mala yang sudah terbalut kebaya khas Sunda, cantik dan menawan. Hanya saja Mala mencari keberadaan sahabatnya, Cilla. Gadis itu tidak terlihat hadir bersama Vina yang datang menggandeng kekasih barunya."Vin. Cilla mana? Kok nggak datang?"Vinna mendadak muram. "Dia kayaknya nggak bisa datang. Dia hari ini nemenin nyokapnya di RS. Lo tahu nggak, Mala? Bokapnya Cilla belum lama sakit, terus sekarang gantian deh nyokapnya sakit. Dia sedih banget, mana lo tahu kan, kalau dia suka sama Gilang? Tapi, Gilang malah menolak dia. Padahal
Masih dengan perasaan kesal. Dewa membuka pintu rumahnya. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini."Selamat malam," ucap seorang wanita yang tersenyum kecil pada Dewa."Kris? Mau apa kamu ke rumah saya?" tanya Dewa ketus.Ia memijat kening, apa lagi yang akan di perbuat Kristal kali ini. Kalau saja bukan karena Daddy-nya yang berteman dekat dengan orang tua Kristal, mungkin Dewa sudah lama memecat Kristal tanpa memutasikan nya."Aku kesini mau-" jawabnya terpotong saat melihat seorang gadis yang muncul di belakang Dewa."Kamu?" kata Kristal kaget. "Kamu sedang apa di rumah Dewa?"Mala menggelayut manja di lengan Dewa. "Sayang. Kamu udah ngantuk?" tanya Dewa sembari mengusap sulur anak rambut gadisnya."Iya. Kamu masih lama nggak?" balas Mala tanpa mempedulikan Kristal."Kris, kamu mau apa?" tanya Dewa."Kamu tinggal berdua dengan dia?" ucap Kristal, dia terlihat sangat kaget."Kalau iya, kenapa?" sahut Dewa. Mala hanya menatap sinis pada Kristal."Mbak. Tadi kenapa sih cium-cium p
"Tapi kamu suka kan, di mesumin Kakak?""Kakak! Apaan sih, udah ah pokoknya Mala pinjam baju Kakak!""Oke oke, Kakak ambil dulu ya.""Gitu dong." Mala mengangguk. Ia malas pulang ke rumahnya untuk sekedar ganti baju, padahal mereka bersebelahan. Mala berpikir akan menyenangkan jika mereka menikah nanti, selalu bersama dalam satu atap."Sayang. Pakai bajunya ya." Dewa menyerahkan kemeja miliknya dalam keadaan bertelanjang dada. Mala berteriak reflek. "Ahhhh..., Kakak! Porno ih!""Apa sih, hm? Masa gini doang porno. Aku masih pakai celana," bisiknya di telinga Mala.Gadis itu bertambah merona. "Sini kan bajunya. Aku mau ganti sekarang. Mala mengambil baju ditangan Dewa lalu berlari masuk ke kamar mandi. Dewa tertawa melihat Mala yang berlari dengan pipi merah. "Gemes banget. Sabar Wa. Ini ujian, tahan..."Dewa mengenakan kaos tanpa lengan miliknya lalu mulai memeriksa bahan masakan yang ada di dalam kulkas. Mala ingin memakan pasta, dia ingat kalau Mala sangat suka pasta buatannya.Ceri
"Mala!" Dewa berlari mengejar Mala yang berpamitan untuk pulang."Mala! Jangan lari, Sayang." Dewa terus mengejar Mala, sampai-sampai kakinya menyandung sebuah pembatas jalan hingga ia mengaduh kesakitan."Argh!" pekiknya. "Sial!"Mala berbalik, ia segera berlari menuju Dewa."Kakak nggak apa-apa kan? Mana yang sakit?" tanyanya sambil memegangi lutut Dewa. Terlihat baik-baik saja, syukurlah.Dewa langsung memeluk Mala dengan erat. "Jangan pergi. Jangan lari kayak gitu. Nanti kalau kamu jatuh gimana, sakit. Terus jangan cemburu, maafin aku untuk yang tadi."Mala tidak menangis, dia hanya kaget melihat pemandangan tadi. Mala juga tidak marah, dia percaya pada Dewa.Hanya saja Mala bingung, kenapa wanita tadi langsung mencium Dewa begitu saja.Siapa sebenarnya dia?"Mala cuma nggak betah di sana. Mala nggak suka lihat cewek tadi yang tiba-tiba cium kamu," sahut Mala dengan santai sambil menatap mata Dewa."Iya. Dia itu Kristal mantan sekertaris aku. Dia memang begitu, terlalu agresif den
Dewa sudah bersiap dengan setelan kemeja dan jas yang rapih. Tadinya Dewa pikir dia akan berangkat sendiri ke pesta pertunangan sahabatnya, Dika. Tentu rasanya amat bahagia, dia bisa datang bersama gadis yang paling dicintainya, Nirmala.Seutas senyum tak pudar menghiasi bibirnya. Dewa memperbaiki tuxedo dilehernya, lalu berbalik dari cermin menuju ke luar rumah menjemput Mala, tetangganya.Mala pun sudah siap dengan tampilan yang natural. Meski usianya 20 tahun, tetap saja gaya yang digunakan Mala tidak banyak berubah, dia tetap Mala manis yang lebih suka tampil apa adanya, minimalis."Kayak anak kecil nggak sih?" gumam Mala di hadapan cermin sambil memperhatikan penampilannya sendiri.Melihat pantulan dirinya sendiri membuatnya teringat sosok wanita yang pernah mengantar Dewa pulang dalam keadaan mabuk. Wanita dengan high heels merah, dia terlihat seksi dan cantik.Mendadak Mala kembali insecure dengan dirinya sendiri. Apakah Dewa menyukai wanita yang seksi seperti itu?Saat dia sed