Nayra tersenyum-senyum sendirian. Sambil memandangi pantulan dirinya di cermin. Saat ini Jessy, sahabat sekaligus manajernya sedang membantu mengatur rambutnya. Setelah ini ia akan menjalani pemotretan beberapa sesi, sedangkan di luar sana, seorang pria tampan yang begitu memukau masih menunggunya. Meski sulit dipercaya tapi sepertinya Nayra sudah jatuh pada pesona pria matang itu.
“Jess, lo bisa agak cepetan dikit kek!” sentak Nayra sambil tercengir kecil kala teringat senyuman Max yang begitu memabukkan. “Dih, lo kenapa, heh! Gue juga biasanya segini kecepatannya. Kalau gue cepetin yang ada rambut lo berantakan!” komen Jessy. “Hih! Iya iya. Intinya agak cepetan biar pemotretannya cepet kelar, gue ditungguin di luar. Lo nggak tahu, sih.” Nayra lagi-lagi tersenyum-senyum dengan pipi merah merona malu. Jessy mengerutkan kening, sebelum akhirnya menyadari bahwa sahabatnya itu sedang kepincut pesona, duda keren yang bernama Maxime. “Ciye, lo udah kepincut duda keren, nih!” Jessy mencubit pipi Nayra gemas. “What?” Nayra terkaget. “Du-duda? Duda gimana?” tambahnya dengan mata membesar. “Oops, lo belum tahu ya? Dia, kan. Hm, dia itu ....” “Dia, dia apa? Kasih tahu!” desak Nayra. “Dia itu seorang duda!” jawab Jessy sambil menyemprotkan hair spray ke rambut Nayra yang selesai di tata rapi. “Astaga!”Nayra benar-benar terkejut saat ini. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pria yang ia kagumi itu, adalah seorang duda. “Ya Tuhan, dia duda? Oh my Lord! Gue udah gila, barangkali gue ngigau, ya!” Nayra bergumam sambil menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin dia duda!” Nayra masih terus menolak fakta yang dikatakan Jessy itu. “Nayra, memangnya kalau Maxime duda kenapa? Toh, dia itu good looking malahan dia itu hot banget, kan? Bisa dibilang dia itu hot Daddy tahu nggak!” Jessy tertawa kecil sambil menatap kedua mata sahabatnya yang bertambah membulat. “What? Daddy? Memangnya dia udah punya anak, serius lo!” Nayra bertambah shock. “YES! BIG YES! He already has a beautiful daughter, seven years old.” “OMG! I can’t believe it!” Nayra menutup wajahnya, ia tampak frustrasi, tapi Jessy malah terkikik geli. “Apa yang salah, Nay? Gue denger dari bos. Anaknya minta dia menikah lagi, bayangkan Nayra, betapa setianya dia dengan almarhum istrinya, dia menduda selama kurang lebih tujuh tahun. Jadi, istrinya meninggal saat anaknya itu lahir,” ungkap Jessy. Nayra bergeming. Ia masih menangkap semua cerita Jessy. Saat itu ia mendengarkan dengan seksama penuturan manajernya. Jessy menceritakan apa yang diketahuinya tentang Maxime. Hal itu membuat pandangan Nayra terhadap Max berubah. Ia mungkin kaget, saat mengetahui bahwa Max bukan seorang single, terlebih pria itu memiliki anak, tapi mendengar Jessy menceritakan tentang Max, ia malah merasa kagum terhadap pria yang umurnya terpaut dua belas tahun lebih tua darinya itu. “Nayra, udah siap nih. Pemotretannya udah mau dimulai!” teriak salah seorang kru. “Ah, iya. Oke sip. Sebentar lagi Nayra siap,” sahut Jessy. “Nay, lo udah di panggil tuh!” Jessy membuyarkan lamunan Nayra. “Ya Tuhan, iya iya. Sebentar,” jawab Nayra yang langsung bergegas bangun. Ia pun melakukan tugasnya sebagai model. Meskipun jujur saja pikirannya terus tertuju pada sosok Max yang saat ini masih menunggunya menyelesaikan pemotretan. Seseorang yang sedang memenuhi pikiran Nayra saat ini, tiba-tiba muncul mengagetkannya. Ya, Max melihat Nayra yang sedang melakukan sesi pemotretan, sambil tersenyum ringan, Max melambaikan tangan ke arah Nayra, gadis itu tersenyum kaku dengan pipi memerah malu. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat senyuman pria itu. Astaga, apa aku jatuh cinta padanya? Mustahil, tidak ada cinta pandangan pertama. Itu omong kosong! Kamu hanya sedang terpesona. Ya, kamu terpesona padanya, Nayra, batinnya. “Nayra? Lihat ke sini dong,” kata salah satu kru mengarahkan Nayra yang terlihat bengong. Jessy menepuk jidatnya. Melihat Nayra yang terlihat seperti orang terhipnotis, ia tercengir ketika melirik ke sebelahnya. Pantas saja, sahabatnya itu terlihat seperti orang bodoh, ternyata pria yang begitu digilai sahabatnya itu yang baru beberapa saat dikenal oleh Nayra berada di hadapan Nayra, sedang memperhatikan Nayra yang melakukan pemotretan. “Break dulu deh.” Akhirnya waktunya untuk Nayra beristirahat sejenak.Nayra tampak kikuk, sambil berjalan ke arah Max. Senyumnya kaku, karena jantungnya yang terus-menerus berdetak tidak karuan. Aliran darahnya mengalir deras, kala berpapasan dengan pria yang beberapa waktu lalu, ia ketahui sebagai seorang duda beranak satu itu. “Hai, saya cuma mau liat kamu pemotretan, nggak apa-apa, kan?” Senyum Max lagi-lagi membuat Nayra tertegun. “Hm, iya nggak apa-apa, kok.” Nayra membalas senyuman Max dengan pipi bersemu.Maxime tampak seperti merasa lucu. Ketika melihat pipi Nayra merona saat itu. “Pipi kamu cantik,” puji Max malah membuat gadis berumur dua puluh tahun itu salah tingkah. “Pipiku? Astaga, pipiku kenapa?” Nayra segera mengambil cermin di atas meja. Ia terbelalak saat melihat pipinya yang memerah seperti kepiting rebus. “Ya Tuhan, Nayra, pipi lo kayak udang rebus!” Sontak, Naya langsung memegangi kedua pipinya yang terasa panas saat itu. Maxime melihatnya sambil tertawa kecil. “Kamu, lucu.” Max menatap kedua mata bulat Nayra yang berwarna keunguan, karena kontak lens yang dikenakannya. Bulu mata lentik Nayra berayun, ketika itu waktu seolah terhenti. Nayra terpaku, dengan senyuman Max yang teramat membuatnya mabuk. “Nay, satu kali lagi, setelah itu selesai.” Jessy menarik tangan Nayra, membawanya ke posisi di mana ia harus melakukan sesi pemotretan selanjutnya. Max hanya memandangi Nayra yang masih terbengong sendirian. Sampai-sampai Jessy harus menepuk pipinya untuk sekadar menyadarkan lamunan Nayra. “Ngelamunnya nanti lagi, Neng. Setelah ini, lo bebas deh ngelamunin pria pujaan lo itu!” ucap Jessy. Nayra melotot ke arah manajernya. “Ish, gue sumpel juga mulut lo!”Jessy terkekeh. “Udah sana! Cuma tiga kali foto kok.” Nayra pun akhirnya melakukan pekerjaannya. Tidak munafik, ia memang ingin segera menyelesaikan pemotretannya kali ini, agar bisa kembali mengobrol bebas dengan Maxime.**"Hem, dia masih terlalu muda, Hanung," kata Maxime pada teman dekatnya."Emangnya kamu suka yang lebih tua?" tanya Hanung meledek.Maxime tersenyum samar. "Bukan begitu. Apa kamu yakin dia sudah siap jadi istri duda?" tanyanya serius. Maxime bukan tipe yang suka berbelit-belit. Dia sangat to the point."Karena itu kamu harus tanya. Asal kamu tahu, Nayra itu banyak yang suka. Tapi dia kelihatan biasa-biasa dengan orang itu. Hanya saat melihat kamu, saya langsung yakin, tatapan dia beda."Perkataan Hanung membuat Maxime diam sebentar."Maksud kamu berbeda gimana?" Maxime perlu penjelasan yang lebih dari itu."Dia suka kamu, kayaknya sih," jelas Hanung. "Ah nggak! Kelihatan jelas malah."Maxime menggeleng sambil tertawa renyah. "Terlalu awal menyimpulkan. Bisa saja dia hanya ramah.""Nayra ramah?" Hanung ikut tertawa."Ya, apa ada yang salah? dia memang kelihatan ramah," jawab Maxime. Kenapa Hanung malah tertawa karena perkataannya."Max, asal kamu tahu. Nayra sangat jutek. Kalau dia ramah, berarti fix, dia hanya ramah sama kamu saja."Apa benar begitu? Maxime lalu memperhatikan Nayra kembali dari jauh. "Masa sih.""Max, Max, percaya sama saya. Dia tertarik dengan kamu. Ayolah, kamu tahu saya tidak akan memperkenalkan orang yang salah."Namun tidak semudah itu bagi Maxime untuk memutuskan. Dia harus melakukan banyak hal sampai dia yakin bahwa dia bisa menikah lagi. Ada banyak pertimbangan, tak bisa diputuskan semena-mena menurut keinginannya sendiri."Dia harus disukai oleh Natasha dulu, Nung." Maxime menarik napas pelan. "Bukan saya yang memutuskan."Hanung mengerti. Maxime ingin menikah lagi bukan karena keinginannya sendiri tapi demi putri semata wayangnya. "Ya, kamu benar Max. Kamu harus tanya Natasha, tapi saya yakin Natasha akan menyukai Nayra."Max mengusap dagu seperti menimbang sesuatu. "Dia model, saya tidak pernah membayangkan menikah dengan profesi itu.""Hei, ada apa dengan model?" Hanung tak paham."Banyak pria yang memujanya. Saya tak terlalu suka."Hanung tahu maksud Maxime sekarang. "Semua dapat diatur Max. Pertama-tama kamu pendekatan saja dulu."Mungkin karena dari awal dia tidak ingin menikah lagi. Jadi sangat sulit untuk memulai hubungan baru. Maxime banyak sekali pertimbangan, kadang itu yang membuat dirinya pada akhirnya menyerah untuk menikah lagi. Kali ini Natasha mendesak lebih parah dari sebelumnya. Hal itulah yang membuat Maxime memaksakan dirinya lebih dari sebelumnya."Baiklah, saya akan berusaha mengenalnya dulu."Setelah pemotretan selesai. Nayra segera mengganti pakaian dengan make up yang sudah ia bersihkan. Menyisakan tampilannya yang natural dengan polesan lip balm di bibirnya saja. Nayra menarik napasnya dalam, saat melangkahkan kaki ke arah Max yang sedang duduk menunggunya yang baru selesai berganti pakaian. “Hm, maaf ya jadi bikin kamu nunggu,” ucap pelan Nayra, pria tampan itu melirik ke arah Nayra. Lalu, hal yang mengejutkan terjadi saat Max membulatkan matanya kaget, melihat penampilan Nayra tanpa make up. “Ah, apa aku jelek? Maaf, aku menghapus make up, jujur aku merasa kurang nyaman mengenakan make up tebal, kalau bukan karena tuntutan profesi.” Nayra begitu polos mengatakan hal itu pada Max. “Kamu, cantik.” Maxime memuji penampilan alami, Nayra. “Apa?” Nayra tampak kaget. “Astaga, kamu bilang aku cantik?” Max mengangguk. “Ya, kamu cantik, Nay.” Demi apa pun, saat ini jantung Nayra hampir meledak. Ia terasa melayang mendengar pujian dari pria itu. Padahal, selama ini su
“Oke, kita sudah sampai.”Max membuka safety belt-nya, begitu pula dengan Nayra. Gadis itu menatap sebuah rumah megah yang ada di hadapannya. Ia berpikir bahwa Max pasti bukan orang sembarangan, tapi di rumah yang sebesar itu sayang sekali, karena Max hanya tinggal bersama anaknya dan juga para pelayan yang bekerja padanya, tanpa seorang pendamping hidup.“Nay, ada masalah?” Max tersenyum melihat Nayra yang malah terbengong.“Eh, nggak kok.” Nayra langsung keluar dari mobil Max. Pria itu mempersilakan Nayra untuk berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Saat pintu terbuka, Max langsung mengajak Nayra masuk ke dalam rumahnya.Saat itu Natasha yang sudah menunggu Max, langsung menghambur memeluk daddy-nya itu.“Daddy!”Natasha begitu gembira, ia memeluk erat tubuh Max. Pandangannya tiba-tiba mengarah pada sosok gadis yang sangat cantik. Ia sedang tersenyum ke arah Natasha.“Dad, dia siapa?”Kepolosan Nat, begitu menggemaskan. Membuat Nayra penasaran ingin segera menegur gadis kec
Natasha, Kakak pulang dulu, ya. Kapan-kapan Kakak akan main lagi mengunjungi Nat, oke?” ujar Nayra.“Iya, janji ya. Kalau gitu sekarang biar Daddy yang antar Kak Nayra pulang,” balas Nat.“Tentu saja, Daddy yang mengajak Kak Nayra, maka Daddy yang bertanggung jawab mengantar,”sambung Max dengan lengkungan manis yang kembali berhasil mengobrak-abrik hati Nayra.“Ah, terima kasih, Max.” Nayra tersenyum tipis.“Daddy sangat cocok dengan Kak Nayra, apa Daddy menyukai Kakak Nayra?”Lagi-lagi pertanyaan Natasha itu membuat Max dan Nayra kikuk.“Hm, Nat sayang, Daddy harus segera mengantar Kak Nayra pulang, oke? Ini sudah malam,” tutur Max mengalihkan pembicaraan.Nayra menggaruk keningnya, ia juga tersipu, gadis polos seperti Natasha berhasil membuatnya diam membisu tak tahu harus berkata apa.“Oke, bos!” Natasha pun mengangguk.Max mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. “Oke, Daddy pergi dulu ya. Nat langsung tidur, besok kan sekolah.”“Siap, Daddy. Dadaah Kak Nayra,
Nayra baru saja berganti pakaian. Sementara Maxime sedang duduk di ruang tamu.Gadis berambut panjang itu terdiam sejenak untuk mengendalikan degup jantungnya yang terus berdentum kuat. Ia melirik sekilas, lalu kembali meremas tangan yang keringatan karna berdebar. Pria penyelamat itu masih ada di luar. Maxime, seolah takdir yang datang dalam hidupnya. Padahal bisa saja Max tidak memedulikan ponselnya yang ketinggalan di mobil. Mungkin dengan mengembalikannya di lain hari atau kesempatan. Tapi Max memilih langsung mengembalikan ponsel Nayra hari itu juga. Untunglah, Max datang tepat waktu.Nayra keluar dari kamar menemui Max yang sedang duduk di sofa.“Max, maaf jadi buat kamu repot,” sesal Nayra yang saat itu mengenakan kaos agak longgar dengan celana pendek, juga rambut yang diikat. Penampilan Nayra itu sedikit menarik perhatian Maxime. Tapi, segera pria itu mengalihkan pandangan, tak ingin membuat Nayra jadi tidak nyaman. “Ah, kamu udah baik-baik aja?” tanya Maxime masih cemas
Maxime berjalan di lorong yang gelap. Dia sendirian, tak ada siapa-siapa di sana. Kebingungan menyergapnya. Di pekatnya ruangan yang entah di mana, Maxime merasa sangat sunyi. Belum pernah ia mendapati tempat yang lebih sunyi dari tempat yang dipijaknya sekarang. Angin sejuk berhembus, bersama munculnya secercah cahaya yang membuat penglihatannya akhirnya berfungsi. Sinar itu kecil, tapi semakin Max berjalan, sinar itu makin membesar. Lama kelamaan, Max merasa silau, dia pun menutup matanya kontan setelah sinar itu bertambah terang. "Sayangku." Maxime perlahan membuka mata. Ia mengerjap tak percaya akan apa yang dilihat oleh kedua mata telanjangnya. "Maxime, cinta sejatiku." "Maria!" Maxime merasa sesak. Bulir bening jatuh membasahi pipinya. Rahangnya menegang kuat, alisnya bertaut, wajahnya panas dan memerah. Tak percaya, ini adalah sebuah ilusi yang membuat napasnya tercekat. Jelas sekali, sosok wanita dihadapannya adalah Maria. Tapi tak mungkin! "Kau bukan Maria!" Wanita itu
"Bos, bisa bicara sebentar?" "Jessy, tumben. Ada apa? Duduk yuk." "Makasih, Bos." "Emh, ada apa? Lo kok kayaknya serius amat." "Gini, Bos. Mengenai orang yang waktu itu datang. Yang ajak kenalan Nayra, lho," kata Jessy. Hanung tersenyum. "Kenapa? Apa Nayra gak suka sama Maxime?" "Bukan gitu. Ya, kali, dia pasti suka. Itumah jangan Nayra, gue aja mau." Jessy mengekeh geli. Hanung mendengkus. "Elu mah ngapain. Kerja aja dulu, jangan duluin Nayra, gue tahu, dia baru putus dari cowoknya, kan?" "Lho. Kok lo tahu, Bos?" Jessy kaget. Padahal dia saja tahu belum lama ini. "Gue udah yakin sih, lambat laun mereka akan bubar. Jordan sama sekali gak cocok buat Nayra soalnya," sahut Hanung. Jessy saja tidak kepikiran sampai ke sana. Kok bisa Hanung malah sampai menebak begitu. "Gue malah gak ada feeling apa-apa. Gak tau kalau mereka akhirnya akan putus." Hanung menggeleng. "Mungkin karena gue sesama cowok. Keliatan sih, mana cowok yang baik mana yang enggak." "Hem, gitu, ya. Lain kali
Sepasang iris yang menatap tajam ke arah Jordan membuat pria berumur dua puluh delapan tahun itu bergidik ngeri.“Besok saya akan dapatkan barangnya Bos.” Jordan pun menjawabnya dengan perasaan takut. Orang yang menjadi lawan bicaranya kali ini bukan orang sembarangan.Brandon Pattinson adalah salah seorang yang cukup berpengaruh di kalangan gengster. Posisinya sebagai pimpinan gengster yang di segani oleh berbagai kelompok. Hal itu membuat Jordan tidak dapat berkutik dan membantahnya. Belum lagi, setelah bergabung dengan kelompok gengster membuat Jordan mau tidak mau harus tunduk, kalau tidak nyawanya yang jadi taruhan.“Baik, besok dan saya tidak mau mendengar berita kegagalan kamu mendapatkan benda tersebut. Saya mau yang paling antik dan juga paling berkualitas, sekali tembak bisa menembus tempurung hingga masuk ke dalam otak kecil orang tersebut.”Brandon menyunggingkan seringainya. Tangannya masih fokus mengelus benda yang begitu ia sayangi, jangan sampai ada debu sedikitpun
Nayra berjalan menyusuri koridor hotel, tempat pertemuan dirinya dan Brandon tadi. Rasanya ia kesulitan untuk menopang tubuhnya sendiri. Kedua kakinya gemetar dan tidak bisa berjalan normal, bagian tubuh sensitifnya terus berkedut basah di bawah sana.Rencananya berantakan. Nayra sendiri tidak ada tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Tapi satu hal yang dicurigai adalah tamunya malam ini. Meski belum ada bukti, tapi dia yakin ini semua telah direncanakan. Kejadian semacam ini bukan pertama kali, hanya saja Nayra lengah malam ini, sehingga akhirnya dia pun masuk ke dlaam jebakan.“Ada apa denganku? Kenapa aku jadi seperti ini, ke mana Jessy, kenapa dia belum juga datang menjemputku.”Nayra meraih ponselnya dan ternyata Jessy bilang tidak bisa hadir karena mendadak ada kepentingan.Kenapa di saat seperti ini Jessy malah ada kepentingan. Padahal dia sudah bingung harus meminta tolong siapa. Tak sempat menghubungi Jessy melalui telepon, tubuh Nayra sudah nyaris ambruk saat itu. “Ya Tu