Setelah satu minggu Nayra tidak mau diganggu. Pekerjaannya pun sudah menunggunya, janji pemotretan dan juga pertemuan dengan keluarga besar papanya tidak dapat ia hindari lagi.
Nayra dibesarkan oleh keluarga seorang mantan mafia terkenal di kota. Papanya bernama Jack Pattinson adalah ketua mafia yang begitu ditakuti pada jamannya. Walau begitu, Nayra selama ini tidak terlalu terbuka tentang latar belakang keluarganya itu kepada orang lain. Papanya juga melarang Nayra ikut terjun dalam dunia gelap tersebut. Jack tidak ingin putri cantiknya menjadi kasar, itu adalah pesan dari mendiang mama Nayra yang sudah meninggal lima tahun silam, ia bernama Rose Marinka Gladys. Oleh sebab itu, Nayra tidak menyematkan nama Pattinson di belakang namanya, karena itu permintaan mamanya untuk yang terakhir kalinya, Rose ingin Nayra tumbuh menjadi gadis yang lemah lembut. Jack begitu mencintai Rose, sehingga apa pun yang diinginkannya diusahakan agar dapat ia kabulkan. Apa pun itu, segalanya, untuk istri tercinta. Sampai akhirnya Jack meninggal dunia setelah ia melepaskan dunia gelap yang ia jalani selama kurang lebih 20 tahun belakangan.*** “Nay, lo udah baikan? Beneran nih?” tanya Jessy, manajernya.Nayra mengangguk. “Hm, mau gimana lagi, Jes, gue kan enggak boleh terus menerus libur,”sahutnya sambil menatap cermin kecil yang ada di tangannya. “Bener sih, si bos aja udah ngeluh terus. Bilang suruh gue bujuk lo, katanya ada tamu istimewa mau ketemu sama lo, Nay,” terang Jessy. “Tamu istimewa? Siapa dia? Kok, mau ketemu sama gue?” Sambil menatap sekilas ke arah Jessy. “Jangan-jangan si bos mulai yang aneh-aneh lagi, kok gue jadi curiga,” imbuh Nayra. “Curiga apa? Itu tamu kayaknya temen deket si bos. Mungkin aja si bos mau comblangin lo, Nay,” cengir Jessy meledek Nayra. “What? Jodohin gitu maksud lo? Halo, Jess. Ini bukan jaman dulu, buat apa si bos jodoh-jodohin gue, emangnya gue nggak laku!” Jessy terkekeh. “Iya-iya gue paham, lo kan ada Jordan. Iya, kan?”Nayra membuang napas kasar. Nama itu lagi, dia bahkan sangat muak mendengarnya. “Nggak usah sebut nama tuh cowok brengsek!” sahutnya dengan wajah kesal. Jessy kaget. “Kok?” Nayra enggan membahas hal itu lagi. Kali ini ia bertekad untuk melupakan Jordan, pria bajingan yang sudah mengkhianatinya. “Udah ah, malas gue, sekarang lo cukup tau! Kalau gue dan Jordan udah nggak ada hubungan apa-apa lagi.”Jessy mengangguk, “oke, gue nggak bahas dia lagi. Please, mood lo jangan berubah, okey, sorry. Gue beneran nggak tau, suer!” Nayra mengangguk. “Udah, sekarang mendingan kita jalan aja deh.”Jessy pun setuju. Keduanya segera menuju lokasi pemotretan Nayra, di sana Nayra sudah di tunggu oleh bosnya yang memiliki tamu spesial untuk Nayra, entahlah siapa tamu tersebut. Di lokasi pemotretan. Bosnya sudah menunggu Nayra sejak tadi. Saat itu bosnya berdiri bersama seorang pria yang memiliki postur tubuh bak model pria dewasa, begitu tegap dan atletis. “Jess yang bersama dengan bos itu, siapa? Apa dia model?”Jessy menggeleng. “Nggak tau gue. Ya, udah kita langsung ke sana aja deh. Yuk!”Nayra pun berjalan menuju ke tempat bosnya yang sedang serius mengobrol dengan pria tersebut. “Nayraa ... lo akhirnya datang juga! Sini gue mau kenalin lo sama seseorang,” ucap Hanung, bos Nayra.Nayra mengernyit. “Kenalin, sama siapa?” tanyanya sambil mencoba memperhatikan pria yang saat ini sedang membelakanginya, sepertinya ia sedang menerima panggilan telepon. “Sini dulu, lo jauh amat, nggak usah takut. Yang mau gue kenalin sama lo ini pria keren, lo pasti suka,” bisik Hanung di dekat Nayra. Jessy terkikik melihat raut Nayra yang terkejut. Pria itu pun sedetik kemudian segera berbalik, dan seketika itu juga Nayra dan Jessy terperangah. Pria gagah dengan tubuh tegap dan atletis. Tingginya sekitar 186 cm, memiliki mata biru yang memesona. Tatapannya tajam, tapi sudut bibirnya yang terangkat tipis membuatnya semakin bertambah manis. “Siapa dia bos?” Jessy yang pertama kali membuka suara. Sedangkan Nayra masih bergeming di posisinya. “Nay, kenalin nih. Namanya Maxime, panggil aja Max, dan lo Max, kenalin dia Nayra, lo bisa panggil Nay aja,” terang Hanung memperkenalkan keduanya. Max tersenyum tipis sambil mengulurkan tangan ke arah Nayra. “Hai, Nay. Saya Max,” ucapnya dengan suara tegas yang terdengar merdu di telinga Nayra. Sikapnya sangat tenang, sangat kontras dengan sikap Nayra yang terlihat begitu gugup. “Nay! Itu dia ngajakin salaman, Astaga! Nay, lo jan kumat.” Senggol Jessy, Nayra pun terkejut. “So-Sorry. Hai aku Nayra, salam kenal.” Ia meraih jabatan tangan Max, dan mereka saling melempar senyuman. Jessy tertawa pelan melihat tatapan Nayra yang sangat terlihat menyimpan kekaguman pada Maxime. Begitu juga dengan Maxime, ia terlihat terpesona dengan kecantikan Nayra.Max memperhatikan wajah Nayra, ia merasa wajah itu tidak asing buatnya. ‘Kenapa aku seperti pernah melihatnya, nama Nayra, aku juga merasa pernah mendengarnya.’ “Nama kamu Nayra, kayaknya saya pernah kenal gadis yang namanya sama seperti kamu, dulu banget,” ucap Max.Nayra mengernyit. “Oh, ya? Masa sih?” Jessy dan Hanung pelan-pelan menyingkir, sengaja membiarkan agar keduanya lebih leluasa mengobrol. “Iya, kamu kenal nggak sama yang namanya Laura?” tanya Max yang seketika teringat sepupunya.Max sepertinya tidak salah mengira. Nayra bahkan memiliki senyuman yang sama dengan gadis kecil yang pernah dia lihat dulu. Ya, Max baru ingat Nayra adalah nama teman dekat adik sepupu jauhnya yang bernama Laura. “Laura? Aku punya teman namanya Laura, tapi dia udah lama pindah. Kok bisa kenal sama Laura?” Max mengangguk sambil menyentuh bibirnya dengan ibu jarinya, membuat Nayra meneguk saliva dengan keras. So Sexy!! batinnya memberontak. “Berarti kamu benar teman Laura, sepupu jauh saya,” sahut Maxime. “Hah? Sepupu?” Tiba-tiba Nayra jadi teringat, kalau ia dulunya pernah bertemu dengan sepupu Laura, dan saat itu Nayra lupa-lupa ingat dengan wajah sepupu Laura tersebut. “Ah, aku ingat sekarang. Sepupu Laura, iyah, cuma maaf aku agak lupa dengan wajahnya, apa kamu sepupu Laura?” Max mengangguk. “Iya, aku Max. Sepupu Laura, dunia sempit ya. Kita malah ketemu lagi di sini, nggak nyangka,” timpal Max. Nayra tertawa kecil menyetujui perkataan Max barusan. Laura sendiri sekarang sudah pindah dan tidak lagi di Indonesia. Maxime pun sudah lama tidak mendengar kabar Laura lagi, dikarenakan Max sudah benar-benar meninggalkan keluarga besarnya. Terakhir sekali Max mendengar bahwa Laura sudah pindah ke suatu negara untuk memulai hidup baru bersama dengan pasangannya. “Lalu, kamu sendiri di sini ada perlu apa? Aku tadi sempat mengira kamu itu model, hehe.” Max terkekeh mendengarnya. “Model apa, mana mungkin. Saya hanya sekedar mampir, kebetulan Hanung adalah teman saya, dia seorang sutradara yang terkenal juga seorang fotografer yang cukup hebat, jadi saya ke sini hanya penasaran saja,” terangnya. “Oh, jadi begitu. Aku kira kamu model, habisnya kamu ....” Nayra menutup mulutnya, hampir saja ia mengatakan bahwa Max itu tampan. Bisa mati, kalau sampai ia kelepasan batinnya. “Saya kenapa?” tanya Max penasaran kenapa Nayra tidak melanjutkan. “Ah, enggak kok, kalau gitu kita duduk aja, biar ngobrolnya enak,” kilah Nayra. “Okey, makasih.” Nayra mempersilakan Max duduk di kursi yang sudah tersedia, hingga keduanya melanjutkan obrolan mereka. Maxime cukup enak di ajak ngobrol, walaupun ia terlihat dewasa dan matang, tapi Max dapat menyesuaikan diri berbicara dengan Nayra yang cenderung lebih kekinian. Semoga saja, karena Max datang untuk tujuan itu. Ingin mencari seseorang yang mau menjadi mama untuk putrinya. "Em...." Max mengelus tengkuk. Kenapa dia jadi kikuk begini. Ini sama sekali bukan gayanya. Apa karena yang ada di hadapannya merupakan seorang gadis muda?"Ya? Are you okay, Max?" tanya Nayra sambil menyengir kaku. "Maaf ya, aku agak kaku saat bicara dengan kamu. Gak tau kenapa, hehe.""Oh tidak. Justru saya yang merasa sangat tidak asyik diajak bicara. Maaf, mungkin faktor U.""U? Umur maksud kamu?"Maxime tersenyum memukau. "Ya, saya sadar umur saya dan kamu terpaut lumayan.""Ah, tidak kok." Nayra menggeleng. "Aku pernah berteman dengan pria yang lebih tua diatasku. Sama sekali tidak ada masalah," lanjutnya. Entah kenapa Nayra ingin menjelaskan hal itu.Maxime lalu menatap Nayra agak berbeda. Sambil menyentuh bibir bagian atasnya, Maxime kelihatan begitu sensual. Nayra mulai gugup, kenapa Maxime malah menatapnya begitu."Em, rupanya begitu. Bagus kalau begitu, Nayra. Karena saya takut membuat kamu tak nyaman."Jujur iya. Tapi bukan tak nyaman melainkan sesak napas karena kegugupan yang luar biasa."Tidak kok." Nayra sampai bingung harus menjawab apa. Kemana diri Nayra yang sangat luwes ketika mengobrol dengan orang baru. Ini jelas bukan seperti Nayra yang biasanya."Uhh, kenapa jadi gerah yah," ucap Nayra polos."Kamu kegerahan?" Padahal saat itu pendingin ruangan cukup terasa menurut Maxime."Em, pipiku panas, apa boleh aku ke toilet sebentar?"Maxime menahan senyum. Ia memang melihat pipi Nayra yang memerah sejak tadi. "Oh silakan, Nay.""Em, terima kasih. Hanya sebentar. Tunggu, ya."Maxime tersenyum lagi sambil mengangguk pelan.Oh My God! Dia tetep ganteng gak ketolong! Nayra menjerit dalam hati.Nayra tersenyum-senyum sendirian. Sambil memandangi pantulan dirinya di cermin. Saat ini Jessy, sahabat sekaligus manajernya sedang membantu mengatur rambutnya. Setelah ini ia akan menjalani pemotretan beberapa sesi, sedangkan di luar sana, seorang pria tampan yang begitu memukau masih menunggunya. Meski sulit dipercaya tapi sepertinya Nayra sudah jatuh pada pesona pria matang itu. “Jess, lo bisa agak cepetan dikit kek!” sentak Nayra sambil tercengir kecil kala teringat senyuman Max yang begitu memabukkan. “Dih, lo kenapa, heh! Gue juga biasanya segini kecepatannya. Kalau gue cepetin yang ada rambut lo berantakan!” komen Jessy. “Hih! Iya iya. Intinya agak cepetan biar pemotretannya cepet kelar, gue ditungguin di luar. Lo nggak tahu, sih.” Nayra lagi-lagi tersenyum-senyum dengan pipi merah merona malu. Jessy mengerutkan kening, sebelum akhirnya menyadari bahwa sahabatnya itu sedang kepincut pesona, duda keren yang bernama Maxime. “Ciye, lo udah kepincut duda keren, nih!” Jessy
Setelah pemotretan selesai. Nayra segera mengganti pakaian dengan make up yang sudah ia bersihkan. Menyisakan tampilannya yang natural dengan polesan lip balm di bibirnya saja. Nayra menarik napasnya dalam, saat melangkahkan kaki ke arah Max yang sedang duduk menunggunya yang baru selesai berganti pakaian. “Hm, maaf ya jadi bikin kamu nunggu,” ucap pelan Nayra, pria tampan itu melirik ke arah Nayra. Lalu, hal yang mengejutkan terjadi saat Max membulatkan matanya kaget, melihat penampilan Nayra tanpa make up. “Ah, apa aku jelek? Maaf, aku menghapus make up, jujur aku merasa kurang nyaman mengenakan make up tebal, kalau bukan karena tuntutan profesi.” Nayra begitu polos mengatakan hal itu pada Max. “Kamu, cantik.” Maxime memuji penampilan alami, Nayra. “Apa?” Nayra tampak kaget. “Astaga, kamu bilang aku cantik?” Max mengangguk. “Ya, kamu cantik, Nay.” Demi apa pun, saat ini jantung Nayra hampir meledak. Ia terasa melayang mendengar pujian dari pria itu. Padahal, selama ini su
“Oke, kita sudah sampai.”Max membuka safety belt-nya, begitu pula dengan Nayra. Gadis itu menatap sebuah rumah megah yang ada di hadapannya. Ia berpikir bahwa Max pasti bukan orang sembarangan, tapi di rumah yang sebesar itu sayang sekali, karena Max hanya tinggal bersama anaknya dan juga para pelayan yang bekerja padanya, tanpa seorang pendamping hidup.“Nay, ada masalah?” Max tersenyum melihat Nayra yang malah terbengong.“Eh, nggak kok.” Nayra langsung keluar dari mobil Max. Pria itu mempersilakan Nayra untuk berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Saat pintu terbuka, Max langsung mengajak Nayra masuk ke dalam rumahnya.Saat itu Natasha yang sudah menunggu Max, langsung menghambur memeluk daddy-nya itu.“Daddy!”Natasha begitu gembira, ia memeluk erat tubuh Max. Pandangannya tiba-tiba mengarah pada sosok gadis yang sangat cantik. Ia sedang tersenyum ke arah Natasha.“Dad, dia siapa?”Kepolosan Nat, begitu menggemaskan. Membuat Nayra penasaran ingin segera menegur gadis kec
Natasha, Kakak pulang dulu, ya. Kapan-kapan Kakak akan main lagi mengunjungi Nat, oke?” ujar Nayra.“Iya, janji ya. Kalau gitu sekarang biar Daddy yang antar Kak Nayra pulang,” balas Nat.“Tentu saja, Daddy yang mengajak Kak Nayra, maka Daddy yang bertanggung jawab mengantar,”sambung Max dengan lengkungan manis yang kembali berhasil mengobrak-abrik hati Nayra.“Ah, terima kasih, Max.” Nayra tersenyum tipis.“Daddy sangat cocok dengan Kak Nayra, apa Daddy menyukai Kakak Nayra?”Lagi-lagi pertanyaan Natasha itu membuat Max dan Nayra kikuk.“Hm, Nat sayang, Daddy harus segera mengantar Kak Nayra pulang, oke? Ini sudah malam,” tutur Max mengalihkan pembicaraan.Nayra menggaruk keningnya, ia juga tersipu, gadis polos seperti Natasha berhasil membuatnya diam membisu tak tahu harus berkata apa.“Oke, bos!” Natasha pun mengangguk.Max mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. “Oke, Daddy pergi dulu ya. Nat langsung tidur, besok kan sekolah.”“Siap, Daddy. Dadaah Kak Nayra,
Nayra baru saja berganti pakaian. Sementara Maxime sedang duduk di ruang tamu.Gadis berambut panjang itu terdiam sejenak untuk mengendalikan degup jantungnya yang terus berdentum kuat. Ia melirik sekilas, lalu kembali meremas tangan yang keringatan karna berdebar. Pria penyelamat itu masih ada di luar. Maxime, seolah takdir yang datang dalam hidupnya. Padahal bisa saja Max tidak memedulikan ponselnya yang ketinggalan di mobil. Mungkin dengan mengembalikannya di lain hari atau kesempatan. Tapi Max memilih langsung mengembalikan ponsel Nayra hari itu juga. Untunglah, Max datang tepat waktu.Nayra keluar dari kamar menemui Max yang sedang duduk di sofa.“Max, maaf jadi buat kamu repot,” sesal Nayra yang saat itu mengenakan kaos agak longgar dengan celana pendek, juga rambut yang diikat. Penampilan Nayra itu sedikit menarik perhatian Maxime. Tapi, segera pria itu mengalihkan pandangan, tak ingin membuat Nayra jadi tidak nyaman. “Ah, kamu udah baik-baik aja?” tanya Maxime masih cemas
Maxime berjalan di lorong yang gelap. Dia sendirian, tak ada siapa-siapa di sana. Kebingungan menyergapnya. Di pekatnya ruangan yang entah di mana, Maxime merasa sangat sunyi. Belum pernah ia mendapati tempat yang lebih sunyi dari tempat yang dipijaknya sekarang. Angin sejuk berhembus, bersama munculnya secercah cahaya yang membuat penglihatannya akhirnya berfungsi. Sinar itu kecil, tapi semakin Max berjalan, sinar itu makin membesar. Lama kelamaan, Max merasa silau, dia pun menutup matanya kontan setelah sinar itu bertambah terang. "Sayangku." Maxime perlahan membuka mata. Ia mengerjap tak percaya akan apa yang dilihat oleh kedua mata telanjangnya. "Maxime, cinta sejatiku." "Maria!" Maxime merasa sesak. Bulir bening jatuh membasahi pipinya. Rahangnya menegang kuat, alisnya bertaut, wajahnya panas dan memerah. Tak percaya, ini adalah sebuah ilusi yang membuat napasnya tercekat. Jelas sekali, sosok wanita dihadapannya adalah Maria. Tapi tak mungkin! "Kau bukan Maria!" Wanita itu
"Bos, bisa bicara sebentar?" "Jessy, tumben. Ada apa? Duduk yuk." "Makasih, Bos." "Emh, ada apa? Lo kok kayaknya serius amat." "Gini, Bos. Mengenai orang yang waktu itu datang. Yang ajak kenalan Nayra, lho," kata Jessy. Hanung tersenyum. "Kenapa? Apa Nayra gak suka sama Maxime?" "Bukan gitu. Ya, kali, dia pasti suka. Itumah jangan Nayra, gue aja mau." Jessy mengekeh geli. Hanung mendengkus. "Elu mah ngapain. Kerja aja dulu, jangan duluin Nayra, gue tahu, dia baru putus dari cowoknya, kan?" "Lho. Kok lo tahu, Bos?" Jessy kaget. Padahal dia saja tahu belum lama ini. "Gue udah yakin sih, lambat laun mereka akan bubar. Jordan sama sekali gak cocok buat Nayra soalnya," sahut Hanung. Jessy saja tidak kepikiran sampai ke sana. Kok bisa Hanung malah sampai menebak begitu. "Gue malah gak ada feeling apa-apa. Gak tau kalau mereka akhirnya akan putus." Hanung menggeleng. "Mungkin karena gue sesama cowok. Keliatan sih, mana cowok yang baik mana yang enggak." "Hem, gitu, ya. Lain kali
Sepasang iris yang menatap tajam ke arah Jordan membuat pria berumur dua puluh delapan tahun itu bergidik ngeri.“Besok saya akan dapatkan barangnya Bos.” Jordan pun menjawabnya dengan perasaan takut. Orang yang menjadi lawan bicaranya kali ini bukan orang sembarangan.Brandon Pattinson adalah salah seorang yang cukup berpengaruh di kalangan gengster. Posisinya sebagai pimpinan gengster yang di segani oleh berbagai kelompok. Hal itu membuat Jordan tidak dapat berkutik dan membantahnya. Belum lagi, setelah bergabung dengan kelompok gengster membuat Jordan mau tidak mau harus tunduk, kalau tidak nyawanya yang jadi taruhan.“Baik, besok dan saya tidak mau mendengar berita kegagalan kamu mendapatkan benda tersebut. Saya mau yang paling antik dan juga paling berkualitas, sekali tembak bisa menembus tempurung hingga masuk ke dalam otak kecil orang tersebut.”Brandon menyunggingkan seringainya. Tangannya masih fokus mengelus benda yang begitu ia sayangi, jangan sampai ada debu sedikitpun
Derap langkah terdengar semakin dekat membuntuti Mala yang terus mempercepat langkah kakinya."Siapa sih, kenapa dia ngikutin aku?"Napas Mala terengah-engah setelah dia berhenti karena tak kuat lagi berlari. Ini semuanya karena Dewa tidak menjemputnya di acara reuni teman SMA Mala. Entah siapa orang yang mengikutinya tadi, yang jelas Mala ketakutan."Hallo, Kak. Kamu jemput aku dong, please, aku takut." Suara langkah kaki semakin dekat. Kedua bola mata Mala membulat sempurna saat lengan kekar melingkar di pinggangnya."Aaaaaaaaaaaaaaa....." teriaknya."Sayang, ini aku."Mala menutup mulutnya. Itu seperti suara..."Kak Dewa!"****"Jadi tadi beneran ada yang ikutin aku?" kaget Mala saat suaminya bilang bahwa seorang lelaki mencoba untuk membuntuti Mala. Beruntung Dewa sampai tepat waktu."Iya. Tadi aku emang ada urusan kerjaan di kantor. Semenjak kamu memutuskan untuk resain, aku kan hendel semuanya sendiri, Sayang.""Tapi kan itu keinginan kamu juga, Kak. Aku diminta resain.""Iya.
Mala merasa bersalah pada suaminya. Padahal Dewa bilang tidak apa-apa jika dia belum siap. Sejak tadi Dewa sibuk dengan pekerjaannya. Mala sebagai sekertaris Dewa saat di kantor tidak berani mengajak ngobrol suaminya itu tentang urusan pribadi."Huffffttt...." Mala menghela napas panjang sambil melirik ke arah suaminya yang tak menatapnya sama sekali.Apakah dia marah?Mala beranjak dari duduknya. Dia tidak bisa begitu terus, dia merasa sangat bersalah dan dia satu-satunya yang bersalah. Dewa boleh berkata tidak apa-apa, tapi tetap saja buat Mala sikap suaminya itu agak berbeda."Kak. Kamu marah kan?"Dewa menaruh bolpoin di tangannya. Lalu ia membuang napas perlahan, dengan senyuman tipis, dia menggelengkan kepala. "Enggak, Sayang.""Karena hal seperti itu aja, aku nggak mungkin marah," tambah Dewa.Mungkin suaminya tidak marah. Tapi tetap saja ia merasa bersalah. "Mala nggak konsen kerja.""Ini kan kamu yang minta, Sayang. Kamu bilang mau mulai kerja kan?" ucap Dewa."Iya. Tapi seka
Mala membuka matanya perlahan. Garis bibirnya melingkar cantik menatap pria yang sedang terpejam, nyenyak disampingnya. Mala mengambil cermin, melihat bibirnya agak bengkak dan rambutnya yang berantakan. Dia terkekeh sendirian, tapi pria di sampingnya tidak terusik sama sekali."Capek ya. Kamu sih, mainnya nggak kira-kira," ringisnya sambil menggerakkan perlahan kakinya."Ouch!" pekiknya merasakan tubuhnya sedikit perih dan tidak nyaman."Sayang!" Dewa langsung terkejut saat mendengar suara istrinya. "Kamu kenapa?"Mala menggigit bibir bawahnya sambil meringis, ia tidak berani menyibak selimut di atas tubuhnya. Hanya menggeleng pada suaminya. "Enggak. Aku cuma... Perih.""Perih? Yang mana?" tanya Dewa sambil menyentuh kedua pipi Mala. "Aku nyakitin kamu, ya?" ia menelisik."Bukan. Ini cuma agak perih di bagian--" putus Mala, malu."Bagian mana? Sini, biar aku obatin." Dewa memang polos atau pura-pura tidak tahu sih, bagian mana lagi kalau bukan bagian dimana dia menghujam Mala berulan
"Bun. Mala pulang ke rumah kan?""Mala. Kamu pulang ke apartemen Dewa dong. Masa mau pulang sama Bunda?""Bukannya biasanya tidur di rumah pengantin wanita dulu Bun?""Dewa maunya langsung ke apartemen. Lagi pula Bunda nggak bisa lama di Bandung, Sayang. Tapi, kalau Mala mau tinggal di rumah, Bunda seneng dan mengizinkan.""Bunda mau ke Korea lagi?"Delia mengusap bahu putrinya. "Mala kan udah ada yang jaga. Bunda dan Ayah udah merasa tenang. Tapi, bukan karena itu juga Bunda harus balik segera ke Korea. Bunda dan Ayah masih harus mengurus sesuatu di sana. Mala mengerti kan?""Mala ngerti kok," angguk Mala, memeluk bundanya. "Mala sayang Bunda. Maafin Mala ya, kalau selama ini Mala sering merepotkan Bunda dan Ayah.""Jangan ngomong gitu, Sayang. Mala nggak pernah merepotkan. Bunda dan ayah bahagia punya putri cantik seperti Mala," balas Delia.Begitulah obrolan Mala dengan Delia setelah acara selesai.Mala menghela napas panjang. Saat ini di sebelahnya ada Dewa yang sedang menyetir mo
Sampai detik ini Mala seolah tidak percaya bahwa di tempat ini dia sedang duduk menunggu kedatangan Dewa sebagai calon mempelai pria. Hari ini adalah hari pernikahan Mala Dewa.Gedung hotel sengaja di pesan Delia, ibunda Mala. Sebagai penyelenggara pesta untuk putri semata wayangnya. Delia dan Mahen merasa lega karena putrinya yang sempat berpisah dari Dewa akhirnya kembali bersatu dan hari ini mereka akan menikah.Teman-teman Mala pun berdatangan menghampiri Mala yang sudah terbalut kebaya khas Sunda, cantik dan menawan. Hanya saja Mala mencari keberadaan sahabatnya, Cilla. Gadis itu tidak terlihat hadir bersama Vina yang datang menggandeng kekasih barunya."Vin. Cilla mana? Kok nggak datang?"Vinna mendadak muram. "Dia kayaknya nggak bisa datang. Dia hari ini nemenin nyokapnya di RS. Lo tahu nggak, Mala? Bokapnya Cilla belum lama sakit, terus sekarang gantian deh nyokapnya sakit. Dia sedih banget, mana lo tahu kan, kalau dia suka sama Gilang? Tapi, Gilang malah menolak dia. Padahal
Masih dengan perasaan kesal. Dewa membuka pintu rumahnya. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini."Selamat malam," ucap seorang wanita yang tersenyum kecil pada Dewa."Kris? Mau apa kamu ke rumah saya?" tanya Dewa ketus.Ia memijat kening, apa lagi yang akan di perbuat Kristal kali ini. Kalau saja bukan karena Daddy-nya yang berteman dekat dengan orang tua Kristal, mungkin Dewa sudah lama memecat Kristal tanpa memutasikan nya."Aku kesini mau-" jawabnya terpotong saat melihat seorang gadis yang muncul di belakang Dewa."Kamu?" kata Kristal kaget. "Kamu sedang apa di rumah Dewa?"Mala menggelayut manja di lengan Dewa. "Sayang. Kamu udah ngantuk?" tanya Dewa sembari mengusap sulur anak rambut gadisnya."Iya. Kamu masih lama nggak?" balas Mala tanpa mempedulikan Kristal."Kris, kamu mau apa?" tanya Dewa."Kamu tinggal berdua dengan dia?" ucap Kristal, dia terlihat sangat kaget."Kalau iya, kenapa?" sahut Dewa. Mala hanya menatap sinis pada Kristal."Mbak. Tadi kenapa sih cium-cium p
"Tapi kamu suka kan, di mesumin Kakak?""Kakak! Apaan sih, udah ah pokoknya Mala pinjam baju Kakak!""Oke oke, Kakak ambil dulu ya.""Gitu dong." Mala mengangguk. Ia malas pulang ke rumahnya untuk sekedar ganti baju, padahal mereka bersebelahan. Mala berpikir akan menyenangkan jika mereka menikah nanti, selalu bersama dalam satu atap."Sayang. Pakai bajunya ya." Dewa menyerahkan kemeja miliknya dalam keadaan bertelanjang dada. Mala berteriak reflek. "Ahhhh..., Kakak! Porno ih!""Apa sih, hm? Masa gini doang porno. Aku masih pakai celana," bisiknya di telinga Mala.Gadis itu bertambah merona. "Sini kan bajunya. Aku mau ganti sekarang. Mala mengambil baju ditangan Dewa lalu berlari masuk ke kamar mandi. Dewa tertawa melihat Mala yang berlari dengan pipi merah. "Gemes banget. Sabar Wa. Ini ujian, tahan..."Dewa mengenakan kaos tanpa lengan miliknya lalu mulai memeriksa bahan masakan yang ada di dalam kulkas. Mala ingin memakan pasta, dia ingat kalau Mala sangat suka pasta buatannya.Ceri
"Mala!" Dewa berlari mengejar Mala yang berpamitan untuk pulang."Mala! Jangan lari, Sayang." Dewa terus mengejar Mala, sampai-sampai kakinya menyandung sebuah pembatas jalan hingga ia mengaduh kesakitan."Argh!" pekiknya. "Sial!"Mala berbalik, ia segera berlari menuju Dewa."Kakak nggak apa-apa kan? Mana yang sakit?" tanyanya sambil memegangi lutut Dewa. Terlihat baik-baik saja, syukurlah.Dewa langsung memeluk Mala dengan erat. "Jangan pergi. Jangan lari kayak gitu. Nanti kalau kamu jatuh gimana, sakit. Terus jangan cemburu, maafin aku untuk yang tadi."Mala tidak menangis, dia hanya kaget melihat pemandangan tadi. Mala juga tidak marah, dia percaya pada Dewa.Hanya saja Mala bingung, kenapa wanita tadi langsung mencium Dewa begitu saja.Siapa sebenarnya dia?"Mala cuma nggak betah di sana. Mala nggak suka lihat cewek tadi yang tiba-tiba cium kamu," sahut Mala dengan santai sambil menatap mata Dewa."Iya. Dia itu Kristal mantan sekertaris aku. Dia memang begitu, terlalu agresif den
Dewa sudah bersiap dengan setelan kemeja dan jas yang rapih. Tadinya Dewa pikir dia akan berangkat sendiri ke pesta pertunangan sahabatnya, Dika. Tentu rasanya amat bahagia, dia bisa datang bersama gadis yang paling dicintainya, Nirmala.Seutas senyum tak pudar menghiasi bibirnya. Dewa memperbaiki tuxedo dilehernya, lalu berbalik dari cermin menuju ke luar rumah menjemput Mala, tetangganya.Mala pun sudah siap dengan tampilan yang natural. Meski usianya 20 tahun, tetap saja gaya yang digunakan Mala tidak banyak berubah, dia tetap Mala manis yang lebih suka tampil apa adanya, minimalis."Kayak anak kecil nggak sih?" gumam Mala di hadapan cermin sambil memperhatikan penampilannya sendiri.Melihat pantulan dirinya sendiri membuatnya teringat sosok wanita yang pernah mengantar Dewa pulang dalam keadaan mabuk. Wanita dengan high heels merah, dia terlihat seksi dan cantik.Mendadak Mala kembali insecure dengan dirinya sendiri. Apakah Dewa menyukai wanita yang seksi seperti itu?Saat dia sed