Mala membuka matanya perlahan. Garis bibirnya melingkar cantik menatap pria yang sedang terpejam, nyenyak disampingnya. Mala mengambil cermin, melihat bibirnya agak bengkak dan rambutnya yang berantakan. Dia terkekeh sendirian, tapi pria di sampingnya tidak terusik sama sekali."Capek ya. Kamu sih, mainnya nggak kira-kira," ringisnya sambil menggerakkan perlahan kakinya."Ouch!" pekiknya merasakan tubuhnya sedikit perih dan tidak nyaman."Sayang!" Dewa langsung terkejut saat mendengar suara istrinya. "Kamu kenapa?"Mala menggigit bibir bawahnya sambil meringis, ia tidak berani menyibak selimut di atas tubuhnya. Hanya menggeleng pada suaminya. "Enggak. Aku cuma... Perih.""Perih? Yang mana?" tanya Dewa sambil menyentuh kedua pipi Mala. "Aku nyakitin kamu, ya?" ia menelisik."Bukan. Ini cuma agak perih di bagian--" putus Mala, malu."Bagian mana? Sini, biar aku obatin." Dewa memang polos atau pura-pura tidak tahu sih, bagian mana lagi kalau bukan bagian dimana dia menghujam Mala berulan
Mala merasa bersalah pada suaminya. Padahal Dewa bilang tidak apa-apa jika dia belum siap. Sejak tadi Dewa sibuk dengan pekerjaannya. Mala sebagai sekertaris Dewa saat di kantor tidak berani mengajak ngobrol suaminya itu tentang urusan pribadi."Huffffttt...." Mala menghela napas panjang sambil melirik ke arah suaminya yang tak menatapnya sama sekali.Apakah dia marah?Mala beranjak dari duduknya. Dia tidak bisa begitu terus, dia merasa sangat bersalah dan dia satu-satunya yang bersalah. Dewa boleh berkata tidak apa-apa, tapi tetap saja buat Mala sikap suaminya itu agak berbeda."Kak. Kamu marah kan?"Dewa menaruh bolpoin di tangannya. Lalu ia membuang napas perlahan, dengan senyuman tipis, dia menggelengkan kepala. "Enggak, Sayang.""Karena hal seperti itu aja, aku nggak mungkin marah," tambah Dewa.Mungkin suaminya tidak marah. Tapi tetap saja ia merasa bersalah. "Mala nggak konsen kerja.""Ini kan kamu yang minta, Sayang. Kamu bilang mau mulai kerja kan?" ucap Dewa."Iya. Tapi seka
Derap langkah terdengar semakin dekat membuntuti Mala yang terus mempercepat langkah kakinya."Siapa sih, kenapa dia ngikutin aku?"Napas Mala terengah-engah setelah dia berhenti karena tak kuat lagi berlari. Ini semuanya karena Dewa tidak menjemputnya di acara reuni teman SMA Mala. Entah siapa orang yang mengikutinya tadi, yang jelas Mala ketakutan."Hallo, Kak. Kamu jemput aku dong, please, aku takut." Suara langkah kaki semakin dekat. Kedua bola mata Mala membulat sempurna saat lengan kekar melingkar di pinggangnya."Aaaaaaaaaaaaaaa....." teriaknya."Sayang, ini aku."Mala menutup mulutnya. Itu seperti suara..."Kak Dewa!"****"Jadi tadi beneran ada yang ikutin aku?" kaget Mala saat suaminya bilang bahwa seorang lelaki mencoba untuk membuntuti Mala. Beruntung Dewa sampai tepat waktu."Iya. Tadi aku emang ada urusan kerjaan di kantor. Semenjak kamu memutuskan untuk resain, aku kan hendel semuanya sendiri, Sayang.""Tapi kan itu keinginan kamu juga, Kak. Aku diminta resain.""Iya.
Tidak ada yang tahu takdir manusia selain yang maha pencipta. Termasuk jodoh dan kematian. Begitu juga yang dirasakan Maxime, setelah mengalami kehilangan, dia baru menyadari satu hal bahwa dirinya telah jatuh cinta.“Maria!”Pria itu menangis, melihat sosok yang di cintanya terbujur kaku tak bernyawa lagi. Maria telah tiada. Dokter itu mencoba menguatkan pria bertubuh tegap yang masih tertunduk menciumi kening wanita cantik yang bernama Maria. Ia harus meregang nyawa setelah melahirkan putri pertamanya. Padahal momen itu adalah hal yang paling mereka nantikan, kelahiran putri pertama mereka, tapi Tuhan berkehendak lain, Maria Wilhelmina harus pergi untuk selamanya.“Maria. Sudah kukatakan, kau harus memikirkan nyawamu! Kenapa kau tidak mendengarkan aku? Sekarang apa kau tega membiarkanku membesarkan bayi perempuan kita sendirian? Maria! Jawab aku!”Max bukanlah pria yang lemah. Selama ini, baru kali pertama ia menjatuhkan air matanya. Walaupun pernikahan dia dan Maria hanyalah se
Plak!! “Aku ingin kita putus!” teriak seorang gadis berambut sebahu bergelombang dengan tatapan nanar, sakit hati, dan kecewa. “Gue enggak akan pernah mau putusin lo! Nayra!” tekan pria bertubuh tegap, dengan tatapan tajam, sambil mencengkeram pergelangan tangan gadis di depannya. Dia sepertinya sangat tidak ingin kehilangan Nayra.Plak!Satu tamparan lagi mendarat di pipi pria itu. “Aku benci kamu, Jordan! Lepasin aku sekarang juga atau aku teriak sekencangnya, supaya semua orang datang!”Pria itu malah semakin brutal, ia mengapit kedua pipi Nayra dengan jari tangannya. Air mata Nayra terus mengalir. Bagaimana tidak, baru saja ia melihat kekasihnya itu sedang bercumbu dengan wanita lain di sebuah kamar hotel, tapi ketika Nayra meminta putus, pria itu malah marah dan tidak terima diputuskan oleh Nayra. “Shit! Gue sampai kapan pun nggak akan pernah memutuskan hubungan dengan lo, Nay! Ini semua salah lo! Kenapa lo enggak pernah mau tidur dengan gue, Nay! Kenapa, hah? Sekarang lo engg
"Max, apa kabar?" Dia adalah Giska, wanita yang mengajak Maxime bertemu sore ini. "Baik," jawab Maxime singkat. Giska pun duduk di kursi yang ada di depan Maxime. "Makasih karena kamu mau datang.".Maxime sebenarnya malas menemui Giska. Tapi dia tidak punya alasan menolak untuk datang. Sudah ke sekian kali Giska mengajaknya ketemuan. Baru kali ini Max menerima ajakan gadis itu. "Ya, jadi apa yang ingin kamu katakan. "Santai saja dong, kita udah lama kan gak ketemu. Ngobrol santai aja dulu," kata Giska, ramah. "Ya, tapi saya tak punya banyak waktu." Maxime lantas berdiri sambil melihat arloji di tangannya. "Saya harus pergi sekarang." "Max, ayolah." Giska ikut berdiri dia memegang tangan Maxime.Kontan Maxime melepaskan genggaman tangan Giska."Maaf Max. Tapi masa kamu mau pergi sih? Kita gak bisa ngobrol dulu?" Max menggeleng. "Saya kira kamu punya tujuan mengajak saya datang." "Ya tujuan aku salah satunya untuk ngobrol sama kamu." "Tidak bisa, saya tak ada waktu." "Maxime,
Setelah satu minggu Nayra tidak mau diganggu. Pekerjaannya pun sudah menunggunya, janji pemotretan dan juga pertemuan dengan keluarga besar papanya tidak dapat ia hindari lagi. Nayra dibesarkan oleh keluarga seorang mantan mafia terkenal di kota. Papanya bernama Jack Pattinson adalah ketua mafia yang begitu ditakuti pada jamannya. Walau begitu, Nayra selama ini tidak terlalu terbuka tentang latar belakang keluarganya itu kepada orang lain. Papanya juga melarang Nayra ikut terjun dalam dunia gelap tersebut. Jack tidak ingin putri cantiknya menjadi kasar, itu adalah pesan dari mendiang mama Nayra yang sudah meninggal lima tahun silam, ia bernama Rose Marinka Gladys. Oleh sebab itu, Nayra tidak menyematkan nama Pattinson di belakang namanya, karena itu permintaan mamanya untuk yang terakhir kalinya, Rose ingin Nayra tumbuh menjadi gadis yang lemah lembut. Jack begitu mencintai Rose, sehingga apa pun yang diinginkannya diusahakan agar dapat ia kabulkan. Apa pun itu, segalanya, untuk is
Nayra tersenyum-senyum sendirian. Sambil memandangi pantulan dirinya di cermin. Saat ini Jessy, sahabat sekaligus manajernya sedang membantu mengatur rambutnya. Setelah ini ia akan menjalani pemotretan beberapa sesi, sedangkan di luar sana, seorang pria tampan yang begitu memukau masih menunggunya. Meski sulit dipercaya tapi sepertinya Nayra sudah jatuh pada pesona pria matang itu. “Jess, lo bisa agak cepetan dikit kek!” sentak Nayra sambil tercengir kecil kala teringat senyuman Max yang begitu memabukkan. “Dih, lo kenapa, heh! Gue juga biasanya segini kecepatannya. Kalau gue cepetin yang ada rambut lo berantakan!” komen Jessy. “Hih! Iya iya. Intinya agak cepetan biar pemotretannya cepet kelar, gue ditungguin di luar. Lo nggak tahu, sih.” Nayra lagi-lagi tersenyum-senyum dengan pipi merah merona malu. Jessy mengerutkan kening, sebelum akhirnya menyadari bahwa sahabatnya itu sedang kepincut pesona, duda keren yang bernama Maxime. “Ciye, lo udah kepincut duda keren, nih!” Jessy