Nayra baru saja berganti pakaian. Sementara Maxime sedang duduk di ruang tamu.
Gadis berambut panjang itu terdiam sejenak untuk mengendalikan degup jantungnya yang terus berdentum kuat. Ia melirik sekilas, lalu kembali meremas tangan yang keringatan karna berdebar.Pria penyelamat itu masih ada di luar. Maxime, seolah takdir yang datang dalam hidupnya. Padahal bisa saja Max tidak memedulikan ponselnya yang ketinggalan di mobil. Mungkin dengan mengembalikannya di lain hari atau kesempatan. Tapi Max memilih langsung mengembalikan ponsel Nayra hari itu juga. Untunglah, Max datang tepat waktu.Nayra keluar dari kamar menemui Max yang sedang duduk di sofa. “Max, maaf jadi buat kamu repot,” sesal Nayra yang saat itu mengenakan kaos agak longgar dengan celana pendek, juga rambut yang diikat. Penampilan Nayra itu sedikit menarik perhatian Maxime. Tapi, segera pria itu mengalihkan pandangan, tak ingin membuat Nayra jadi tidak nyaman. “Ah, kamu udah baik-baik aja?” tanya Maxime masih cemas karena kejadian tadi.Nayra melihat sisi kanan pipi Maxime, ada sedikit memar di sana. "Max, kamu terluka?"Maxime menyentuh pipinya. "Tidak, Nay, ini hanya luka kecil. Kamu sebaiknya memikirkan kondisi kamu. Saya antar ke dokter, ya?"Memang Nayra mengalami trauma karena kejadian tadi. Tapi kalau dia ke dokter, itu hanya semakin menggirik opini publik nantinya. Urusannya akan panjang, mengingat dirinya adalah seorang publik figur. “Aku udah tenang kok, sini biar aku kompres wajah kamu yang terkena pukulan tadi, maafin aku ya, karena nolongin aku, kamu jadi terkena pukulan si brengsek itu.”"Tidak perlu, Nayra. Luka ini tidak seberapa," tolak Maxime.Nayra menghela napas. "Tunggu sebentar."Ia mengambil kotak obat yang ada di dapur. Tak lupa mengambil alat kompres yang diisi air es untuk menghilangkan memarnya.Maxime melihat Nayra membawa kotak obat serta alat kompres. Ia jadi tidak enak, karena jadinya malah membuat gadis itu repot."Nayra padahal saya sudah katakan, ini tidak masalah. Besok saya akan obati lukanya—" Nayra pelan-pelan menempelkan ice bag pada pipi Max yang memar."Ini semua karena kamu menolongku, Max. Maaf, ya," ucap Nayra kedengaran menyesal.Maxime sedikit meringis. Ternyata rasanya lumayan perih."Perih, kan?" Nayra ikut meringis. "Tahan sebentar.""Tidak apa-apa, Nayra." Maxime memegang tangan Nayra yang sedang membantu mengompresnya.Nayra menatap Max, ia lalu menarik napas. "Aku mau bantu kompres aja kok."Maxime mengangguk lalu melepaskan sentuhan di tangan Nayra."Kenapa kamu memilih mengembalikan ponselku langsung? Padahal, kamu bisa meminta orang suruhan," kata Nayra.Maxime tersenyum. "Repot sekali jika harus menyuruh orang. Kebetulan saya menemukan ponsel kamu saat kamu baru saja turun dari mobil saya."Nayra mengangguk canggung. "Hem, tapi kamu jadi kena pukul. Aku tidak enak, Max." “Itu bukan apa-apa, saya malah menyesal kalau aku tadi nggak datang, saya hanya mau mengembalikan handphone kamu yang tertinggal, tak disangka malah ada pria kurang ajar yang nekat mau menjahati kamu. Ada untungnya juga ponsel kamu tertinggal, Nay. Saya jadi tahu kamu ada bahaya." Max menatap wajah Nayra yang masih fokus mengompres wajahnya yang memar.Nayra tidak menyangka akan ada kebetulan yang sangat luar biasa seperti ini dalam hidupnya. Mungkin ini merupakan keberuntungan langka yang dia miliki."Kalau gak ada kamu, aku gak tau tadi gimana." Nayra menatap Max sekilas. Ia kelihatan sedih.Maxime memperhatikan Nayra yang masih terbawa suasana tadi. Jelas saja, itu pasti menyisakan trauma mendalam bagi Nayra. Pria brengsek itu tak bisa di biarkan begitu saja. “Nay, dia mantan pacar kamu?”Max tiba-tiba merasa penasaran siapa sebenarnya pria tadi.Nayra mengangguk. “Iya, dia brengsek. Dia sangat kurang ajar. Waktu itu aku menemukan dia main perempuan. Sekarang, gak tahu kenapa dia malah datang lagi."Ada bulir bening yang tertahan di ujung mata Nayra. Bagaimana bisa gadis sebaik itu mendapatkan pria yang sangat tidak bermoral, pikir Max."Maaf, kalau pertanyaan saya bikin kamu jadi teringat lagi akan orang dan hal yang tidak mengenakkan.""Gapapa, Max. It's okay. Lagi pula, itu sudah berlalu.""Nayra, kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali." Maxime menatap tulus gadis di depannya."Iya, tidak boleh, tidak akan," angguk Nayra."Menurut saya, apartemen kamu sudah tidak aman lagi, Nay."Nayra juga berpikir begitu. Karena Jordan bahkan tahu kombinasi sandi apartemen miliknya. Kalaupun diganti, sewaktu-waktu Jordan bisa datang lagi."Kamu sebaiknya pindah," ujar Maxime memberi masukan. "Pindah ke tempat yang lebih privasi dan terjaga keamanannya."Namun di mana tempat yang semacam itu ada? Tetap saja dia tinggal sendirian, kemungkinan Jordan akan mengganggu lagi juga masih sangat terbuka lebar selama Nayra masih ada di sekitar ibukota. Maxime meraih tangan Nayra. Saat itu wajah Nayra memerah, keduanya pun saling menatap.Deg Jantung Nayra terus berdegup kencang. Tatapan mata Max begitu memperdayainya. Seolah waktu terhenti, bahkan detak jarum jam pun dikalahkan oleh suara detak jantungnya saat ini. Maxime mengusap pipi Nayra, kemudian tersenyum. “Dia nggak pantas untuk kamu, Nay.” Nayra makin meleleh ketika mendengar ucapan Maxime."Kamu beruntung sudah bisa lepas dari orang semacam itu."Nayra terpaku dengan tatapan Maxime. Dia juga melihat ke tangannya yang sedang digenggam oleh pria itu. Tangan Maxime menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Nyaman sekali, membuatnya merasa aman di dalam genggaman itu."Saya rasa dia akan datang lagi. Tapi kalau boleh saya beri nasihat, kamu jangan terbuai dengan bujuk rayu pria yang sudah berbuat tak layak kepada kamu, Nayra."Nayra mengangguk. “Ah, tentu saja, dia brengsek dan siapa yang mau dengan pria yang seperti itu. Lagi pula banyak pria yang jauh lebih baik darinya,” jawab Nayra yang mendadak jadi salah tingkah. “Hm, kamu benar. Kamu baik, kamu cantik, pasti akan ada pria yang tepat untuk kamu.” Maxime begitu tenang. Ia mengambil ice bag yang ada di tangan Nayra. “Aku bisa sendiri kok, makasih ice bag-nya,” ucapnya. Apa ini? Max baru saja mengubah cara bicaranya. Tidak lagi menggunakan kata 'saya' melainkan 'aku' dan itu terdengar lebih akrab di telinganya. Nayra selalu gugup, ketika berbicara dengan Maxime. Karisma pria itu begitu kuat, bahkan Nayra dibuat diam membisu, terutama karena sikap Max yang begitu tenang. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nayra merasa tidak tega jika Max pulang selarut ini. Tapi bukankah Maxime ada di sana karena dia yang menahannya. Karena kondisinya, Max jadi belum pulang. Nayra jadi tidak enak pada duda satu anak itu. “Max, kamu nggak pulang kan? Ini udah malam,” tanya Nayra canggung. “Maksudku, aku cemas aja kalau kamu pulang selarut ini,” tambah Nayra. “Enggak apa-apa, aku pulang saja. Lagi pula tidak baik kalau kita berduaan seperti ini.” Maxime masih dengan senyumannya dan pembawaannya yang begitu bersahaja. Nayra mengangguk ragu. “Iya,” jawabnya kaku.Kalau boleh, Nayra ingin terus ada Maxime disampingnya. Tapi hubungan mereka berdua tidak sedekat itu.Maxime memperhatikan gerak-gerik Nayra yang tampak gelisah. Mungkinkah gadis itu masih diliputi ketakutan karena tadi, pikirnya. “Nay, kamu masih takut?""T-tidak kok." Nayra menggeleng. "Aku akan antar kamu sampai ke depan," lanjutnya berbicara pada Maxime sambil berjalan ke pintu.Tapi Maxime yakin Nayra ketakutan sendirian. Mendadak dia juga jadi kepikiran bagaimana jika sesuatu yang buruk tadi, terulang kembali. Ada baiknya kalau dia menemani Nayra dulu."Nayra, maaf, tapi apa aku boleh menginap?” Tentu saja Nayra terkejut. Tidakkah dia salah dengar? Max ingin menginap? Tapi bukankah itu tadi yang diharapkan Nayra agar pria itu tetap tinggal. “Me-menginap?” Nayra sampai gagap. "Kamu mau tidur di apart aku?" Maxime mengangguk. “Maksudku, aku bisa tidur di sofa. Asalkan kamu nggak ketakutan. Aku paham kamu pasti masih syok."Nayra terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Dia memang ingin Maxime menemaninya. Ada rasa tidak enak menahan lebih lama. Tapi bukankah itu tidak baik. Maxime dan dirinya tidak ada ikatan, tapi mereka berduaan di satu tempat. Nayra takut Max berpikir bahwa dirinya bukan wanita baik-baik. “Aku nggak ada niat jelek, aku hanya tidak mau kamu ketakutan,” ucap Maxime.Nayra menyadari hal itu. Maxime sosok yang sangat baik, pasti pria itu tidak bermaksud buruk terhadapnya. Apalagi Maxime sudah melindunginya. “Baiklah, kalau tidak merepotkan. Tapi, Natasha?” Nayra mendadak teringat putri Maxime, mungkin saja anaknya itu menunggu daddy-nya pulang ke rumah. “Aku akan menyampaikan pesan pada pelayan di rumah, tidak perlu cemas lagipula Nath pasti sudah tidur sejak tadi,” balas Maxime. “Ah kalau begitu baiklah.""Hem. Dengan begitu aku merasa lebih lega.""Lega?""Ya, aku cemas terjadi sesuatu dengan kamu kalau sendirian, Nayra."Siapa yang tidak meleleh jika diberikan perhatian yang luar biasa semacam itu. Nayra jadi terkesima dengan perlakukan Maxime padanya. "Terima kasih, Max, maaf aku udah bikin kamu repot.""Santai saja." Maxime duduk kembali di sofa."Em, Max, apa kamu mau mandi? Aku ada pakaian pria, kebetulan waktu itu untuk keperluan shooting.” “Apa kamu pernah berperan jadi pria?” “Iya, waktu itu peranku menyamar, kurasa bajunya seukuran denganmu karena di badanku kebesaran, apa kamu nggak keberatan?” Maxime tersenyum. “Iya, boleh.” Nayra pun segera mengambil handuk dan juga pakaian ganti untuk Maxime. Saat itu juga Maxime pun bergegas untuk mandi, rasanya kurang nyaman tidur dengan pakaian formal batin Max yang akhirnya menerima tawaran Nayra. Demi apa pun juga, saat itu degup jantung Nayra terus berpacu dengan cepat. Rasanya seperti mimpi, ia berada dalam satu atap dengan pria sekeren Maxime. “Nayra kendalikan dirimu. Astaga kenapa dia begitu mempesona, bahkan dia sangat jantan.” Puji-pujian untuk Max terus terucap dari bibir Nayra, gadis itu merasa gugup dan salah tingkah. “Nggak mungkin aku suka sama dia, kan?”Ia mengambil pakaian untuk Maxime, kemudian kembali ke ruang tamu. "Max, ini pakaiannya. Kamu bisa langsung mandi.""Terima kasih, Nayra. Kalau begitu, aku mandi dulu." Maxime mengambil pakaian di tangan Nayra lalu pergi ke kamar mandi yang ada di kamar Nayra.Sewaktu Maxime masuk ke kamar Nayra, ia tersenyum melihat dekorasi kamar Nayra yang mirip dengan dekorasi kamar Natasha."Lucu sekali, rupanya dia memang berbeda," kata Maxime.Sementara Nayra masih berusaha menenangkan diri. Siapa yang tidak gelagapan jika di dalam rumahnya ada seorang pria tampan. Apalagi sikap heroik Maxime membuat pandangan Nayra semakin kagum saja."Nayra, lo bisa tenang kan. Inget, dia udah punya anak."Namun sebeenarnya Nayra merasa semakin menyukai Maxime setelah tahu pria itu seorang ayah yang baik. Padahal seumur hidupnya, dia tak pernah menyukai tipikal pria sugar daddy sepeerti Maxime. Kalau mau dia bisa mendapatkan pria seperrti itu mengingat profesinya yang cukup mendukung.Beberapa waktu kemudian... Saat Nayra sedang bersemu, sambil memegangi kedua pipinya yang terasa panas. Maxime tiba-tiba keluar dari toilet dengan bertelanjang dada. Tampak jelas bentuk otot-otot yang begitu banyak di tubuh Max yang atletis itu.Rambut Max yang basah membuat tetesan airnya mengenai otot perutnya yang terlihat seksi. Hal itu membuat Nayra membelalak dan seketika langsung menutup matanya. Maxime melihat reaksi Nayra dan secepatnya ia segera mengenakan pakaian yang diberikan Nayra tadi."Maaf Max, apa kamu udah pakai baju?" tanya Nayra tersipu. “Udah, kok,” Max duduk tepat di sini Nayra.Nayra pun perlahan membuka mata. “Maaf ya, aku nggak terbiasa.” Max terkekeh pelan. “Iya, aku yang minta maaf, ingat di rumah. Lupa kalau ini di apartemen gadis. Maaf, ya.” Maxime begitu sopan, tentu saja Nayra semakin tidak tahan, rasanya detik itu juga Nayra ingin mengatakan bahwa ia menyukai Maxime. Tapi, hal itu di urungkan nya, apa kata Max nanti terhadapnya. Masa baru bertemu sudah bilang suka, gengsi. “Kamu nggak apa-apa, tidur di sofa?” Max mengangguk. “Tidak masalah, mana mungkin aku tidur di ranjang bersama kamu. Itu namanya kurang ajar,” ujarnya. Nayra kembali tersenyum. “Kamu baik, Max.” Maxime menyentuh telapak tangan Nayra. “Kamu tidur, ya. Jangan dipikirkan masalah yang tadi, ada aku di sini, kamu nggak perlu takut lagi.”Nayra hampir pingsan rasanya saat tangan Max kembali menyentuh tangannya. “Iya, aku tidur dulu, ya. Ini selimut dan bantal untuk kamu. Semoga kamu tidur nyenyak, ya.” “Iya, good night, Nayra. Semoga mimpi indah.” Nayra ingin sekali memeluk Maxime saat itu juga, ia malah merasa gemas dengan sikap manis Max yang sungguh membuatnya terbuai. “Iya, kamu juga.”Maxime berjalan di lorong yang gelap. Dia sendirian, tak ada siapa-siapa di sana. Kebingungan menyergapnya. Di pekatnya ruangan yang entah di mana, Maxime merasa sangat sunyi. Belum pernah ia mendapati tempat yang lebih sunyi dari tempat yang dipijaknya sekarang. Angin sejuk berhembus, bersama munculnya secercah cahaya yang membuat penglihatannya akhirnya berfungsi. Sinar itu kecil, tapi semakin Max berjalan, sinar itu makin membesar. Lama kelamaan, Max merasa silau, dia pun menutup matanya kontan setelah sinar itu bertambah terang. "Sayangku." Maxime perlahan membuka mata. Ia mengerjap tak percaya akan apa yang dilihat oleh kedua mata telanjangnya. "Maxime, cinta sejatiku." "Maria!" Maxime merasa sesak. Bulir bening jatuh membasahi pipinya. Rahangnya menegang kuat, alisnya bertaut, wajahnya panas dan memerah. Tak percaya, ini adalah sebuah ilusi yang membuat napasnya tercekat. Jelas sekali, sosok wanita dihadapannya adalah Maria. Tapi tak mungkin! "Kau bukan Maria!" Wanita itu
"Bos, bisa bicara sebentar?" "Jessy, tumben. Ada apa? Duduk yuk." "Makasih, Bos." "Emh, ada apa? Lo kok kayaknya serius amat." "Gini, Bos. Mengenai orang yang waktu itu datang. Yang ajak kenalan Nayra, lho," kata Jessy. Hanung tersenyum. "Kenapa? Apa Nayra gak suka sama Maxime?" "Bukan gitu. Ya, kali, dia pasti suka. Itumah jangan Nayra, gue aja mau." Jessy mengekeh geli. Hanung mendengkus. "Elu mah ngapain. Kerja aja dulu, jangan duluin Nayra, gue tahu, dia baru putus dari cowoknya, kan?" "Lho. Kok lo tahu, Bos?" Jessy kaget. Padahal dia saja tahu belum lama ini. "Gue udah yakin sih, lambat laun mereka akan bubar. Jordan sama sekali gak cocok buat Nayra soalnya," sahut Hanung. Jessy saja tidak kepikiran sampai ke sana. Kok bisa Hanung malah sampai menebak begitu. "Gue malah gak ada feeling apa-apa. Gak tau kalau mereka akhirnya akan putus." Hanung menggeleng. "Mungkin karena gue sesama cowok. Keliatan sih, mana cowok yang baik mana yang enggak." "Hem, gitu, ya. Lain kali
Sepasang iris yang menatap tajam ke arah Jordan membuat pria berumur dua puluh delapan tahun itu bergidik ngeri.“Besok saya akan dapatkan barangnya Bos.” Jordan pun menjawabnya dengan perasaan takut. Orang yang menjadi lawan bicaranya kali ini bukan orang sembarangan.Brandon Pattinson adalah salah seorang yang cukup berpengaruh di kalangan gengster. Posisinya sebagai pimpinan gengster yang di segani oleh berbagai kelompok. Hal itu membuat Jordan tidak dapat berkutik dan membantahnya. Belum lagi, setelah bergabung dengan kelompok gengster membuat Jordan mau tidak mau harus tunduk, kalau tidak nyawanya yang jadi taruhan.“Baik, besok dan saya tidak mau mendengar berita kegagalan kamu mendapatkan benda tersebut. Saya mau yang paling antik dan juga paling berkualitas, sekali tembak bisa menembus tempurung hingga masuk ke dalam otak kecil orang tersebut.”Brandon menyunggingkan seringainya. Tangannya masih fokus mengelus benda yang begitu ia sayangi, jangan sampai ada debu sedikitpun
Nayra berjalan menyusuri koridor hotel, tempat pertemuan dirinya dan Brandon tadi. Rasanya ia kesulitan untuk menopang tubuhnya sendiri. Kedua kakinya gemetar dan tidak bisa berjalan normal, bagian tubuh sensitifnya terus berkedut basah di bawah sana.Rencananya berantakan. Nayra sendiri tidak ada tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Tapi satu hal yang dicurigai adalah tamunya malam ini. Meski belum ada bukti, tapi dia yakin ini semua telah direncanakan. Kejadian semacam ini bukan pertama kali, hanya saja Nayra lengah malam ini, sehingga akhirnya dia pun masuk ke dlaam jebakan.“Ada apa denganku? Kenapa aku jadi seperti ini, ke mana Jessy, kenapa dia belum juga datang menjemputku.”Nayra meraih ponselnya dan ternyata Jessy bilang tidak bisa hadir karena mendadak ada kepentingan.Kenapa di saat seperti ini Jessy malah ada kepentingan. Padahal dia sudah bingung harus meminta tolong siapa. Tak sempat menghubungi Jessy melalui telepon, tubuh Nayra sudah nyaris ambruk saat itu. “Ya Tu
Apa kalian bilang? Nayra ditolong seorang pria? Lalu, apa saja kerja kalian, hah! Kenapa melawan seorang pria saja tidak becus! Kalian berdua apa tidak bisa melumpuhkannya!”Brandon geram, karena rencananya membawa Nayra digagalkan.Dorrr!!Satu tembakan melesat dan berhasil membuat salah satu pengawal seketika itu juga tewas. Tentu itu adalah hal yang mudah untuk Brandon. Itu juga yang menjadi alasan dia sempat mendekam di penjara. Brandon yang gemar mengoleksi senjata api, acapkali menggunakan senjata itu untuk menghukum anak buahnya yang tidak becus menjalankan apa yang dia tugaskan.“Apa yang kamu lihat? Kamu mau berakhir seperti dia!”Brandon menajamkan mata pada pengawalnya yang lain.“Ti-tidak, Tuan,” jawab pengawal itu dan langsung pergi keluar dari ruangan Brandon.“Aarrrgggghh!! Nayra! Lihat saja aku akan mendapatkan kamu bagaimana pun caranya, dan aku akan membuat hidupmu hancur!”Padahal rencananya sudah sangat matang. Jelas ini adalah kelalaian dan kelambatan orang su
"Tertarik, apa maksud kamu, Nayra?" Maxime mengusap wajah kasar. Dia menatap Nayra lebih serius lagi. "Kamu menyukaiku?"Nayra mengangguk polos. "Maaf kalau aku terlalu awal mengatakannya. Tapi memang aku menyukai kamu, Kak." Kembali, Nayra membuat Maxime kehabisan kata-kata. Gadis di depannya itu sangat sopan, baik hati dan menyenangkan. Nayra belum mengetahui bahwa tujuannya mendekati Nayra hanya ingin membuat Natasha, putrinya merasa tenang. Belum ada rasa semacam itu untuk Nayra, jujur saja, itu yang Maxime rasakan sekarang. "Nay, aku sangat tersanjung kamu menyukaiku." Maxime memegang sebelah pipi Nayra, saat itu Nayra menahan sekuat tenaga. Setiap kali Maxime menyentuh kulitnya, jujur memberikan reaksi alamiah yang memabukkan. "Tapi kita belum lama bertemu, kamu belum mengetahui siapa aku yang sebenarnya." Maxime berkata sambil tersenyum. "Kamu gadis yang baik, masa depan kamu masih panjang.""Max. Kenapa kamu berkata begitu? Apa kamu merasa kita gak cocok?" Di saat seperti i
Jordan meletakkan benda yang ia dapatkan dengan susah payah itu. Sebuah pistol yang sangat antik pesanan Brandon.Tentu itu adalah tindakan ilegal. Memiliki senjata api yang jelas-jelas dilarang di Indonesia, jika tanpa surat menyurat yang lengkap, tapi, apa pun bisa didapatkan Brandon dengan mudah. Ada dunia yang mendukungnya, ada orang-orang yang begitu setia untuk diperbudak olehnya. “Hm, baik. Kerja bagus. Setelah ini saya ada tugas baru untukmu.” Jordan tidak berani membantah. “Baik, Bos.” Brandon mengambil pistol tersebut dan mengisinya dengan satu buah peluru. Lalu ditodongkannya benda itu tepat pada dahi Jordan.“Cari wanita yang ada di foto tersebut, bawa ke hadapanku. Atau peluru yang sudah saya siapkan di dalam sini, akan berpindah ke dalam otak kecilmu, mengerti?” Jordan mengambil foto tersebut, lalu melihat siapa yang ada di sana.“Astaga, ini kan?” Jordan terkejut, ia mengenal siapa yang ada di foto itu.“Kenapa? Apa kamu kenal?” Brandon masih belum menurunk
“Nay, lo kenapa sih kemarin susah dihubungin, gue tuh udah diteror sama bos tau nggak!” Jessy baru saja datang menghampiri Nayra yang baru tiba di lokasi pemotretan.“Sorry, Sayang. Gue kemarin sibuk.” Nayra terlihat berbinar, hal itu membuat Jessy merasa agak berbeda.“Muka lo seger banget, kayaknya lagi bahagia nih? Kok lo nggak ada cerita apa-apa sama gue, biasanya ada kabar bahagia lo selalu cerita, iyakan?”“Hmm ... gue memang lagi bahagia, tapi sekaligus kesal juga.” Nayra teringat lagi dengan minuman yang membuatnya mabuk dan menggila.“Kenapa? Coba cerita.” Jessy duduk di sisi Nayra menunggu sahabatnya itu mau berbagi cerita dengannya.“Kesalnya dulu, ya. Lo kenal sama Pak Brandon?” Jessy mengernyitkan kening. “Pak Brandon produser baru? Yang kemarin gue nggak jadi nemenin lo ketemu dia, itu kan?”Nayra mengangguk. “Iya, yang itu.”“Dia kenapa?” tanya Jessy.“Gue curiga dia kasih sesuatu ke minuman gue. Gue memang nggak pernah coba alkohol selain wine, tapi reaksiny
Derap langkah terdengar semakin dekat membuntuti Mala yang terus mempercepat langkah kakinya."Siapa sih, kenapa dia ngikutin aku?"Napas Mala terengah-engah setelah dia berhenti karena tak kuat lagi berlari. Ini semuanya karena Dewa tidak menjemputnya di acara reuni teman SMA Mala. Entah siapa orang yang mengikutinya tadi, yang jelas Mala ketakutan."Hallo, Kak. Kamu jemput aku dong, please, aku takut." Suara langkah kaki semakin dekat. Kedua bola mata Mala membulat sempurna saat lengan kekar melingkar di pinggangnya."Aaaaaaaaaaaaaaa....." teriaknya."Sayang, ini aku."Mala menutup mulutnya. Itu seperti suara..."Kak Dewa!"****"Jadi tadi beneran ada yang ikutin aku?" kaget Mala saat suaminya bilang bahwa seorang lelaki mencoba untuk membuntuti Mala. Beruntung Dewa sampai tepat waktu."Iya. Tadi aku emang ada urusan kerjaan di kantor. Semenjak kamu memutuskan untuk resain, aku kan hendel semuanya sendiri, Sayang.""Tapi kan itu keinginan kamu juga, Kak. Aku diminta resain.""Iya.
Mala merasa bersalah pada suaminya. Padahal Dewa bilang tidak apa-apa jika dia belum siap. Sejak tadi Dewa sibuk dengan pekerjaannya. Mala sebagai sekertaris Dewa saat di kantor tidak berani mengajak ngobrol suaminya itu tentang urusan pribadi."Huffffttt...." Mala menghela napas panjang sambil melirik ke arah suaminya yang tak menatapnya sama sekali.Apakah dia marah?Mala beranjak dari duduknya. Dia tidak bisa begitu terus, dia merasa sangat bersalah dan dia satu-satunya yang bersalah. Dewa boleh berkata tidak apa-apa, tapi tetap saja buat Mala sikap suaminya itu agak berbeda."Kak. Kamu marah kan?"Dewa menaruh bolpoin di tangannya. Lalu ia membuang napas perlahan, dengan senyuman tipis, dia menggelengkan kepala. "Enggak, Sayang.""Karena hal seperti itu aja, aku nggak mungkin marah," tambah Dewa.Mungkin suaminya tidak marah. Tapi tetap saja ia merasa bersalah. "Mala nggak konsen kerja.""Ini kan kamu yang minta, Sayang. Kamu bilang mau mulai kerja kan?" ucap Dewa."Iya. Tapi seka
Mala membuka matanya perlahan. Garis bibirnya melingkar cantik menatap pria yang sedang terpejam, nyenyak disampingnya. Mala mengambil cermin, melihat bibirnya agak bengkak dan rambutnya yang berantakan. Dia terkekeh sendirian, tapi pria di sampingnya tidak terusik sama sekali."Capek ya. Kamu sih, mainnya nggak kira-kira," ringisnya sambil menggerakkan perlahan kakinya."Ouch!" pekiknya merasakan tubuhnya sedikit perih dan tidak nyaman."Sayang!" Dewa langsung terkejut saat mendengar suara istrinya. "Kamu kenapa?"Mala menggigit bibir bawahnya sambil meringis, ia tidak berani menyibak selimut di atas tubuhnya. Hanya menggeleng pada suaminya. "Enggak. Aku cuma... Perih.""Perih? Yang mana?" tanya Dewa sambil menyentuh kedua pipi Mala. "Aku nyakitin kamu, ya?" ia menelisik."Bukan. Ini cuma agak perih di bagian--" putus Mala, malu."Bagian mana? Sini, biar aku obatin." Dewa memang polos atau pura-pura tidak tahu sih, bagian mana lagi kalau bukan bagian dimana dia menghujam Mala berulan
"Bun. Mala pulang ke rumah kan?""Mala. Kamu pulang ke apartemen Dewa dong. Masa mau pulang sama Bunda?""Bukannya biasanya tidur di rumah pengantin wanita dulu Bun?""Dewa maunya langsung ke apartemen. Lagi pula Bunda nggak bisa lama di Bandung, Sayang. Tapi, kalau Mala mau tinggal di rumah, Bunda seneng dan mengizinkan.""Bunda mau ke Korea lagi?"Delia mengusap bahu putrinya. "Mala kan udah ada yang jaga. Bunda dan Ayah udah merasa tenang. Tapi, bukan karena itu juga Bunda harus balik segera ke Korea. Bunda dan Ayah masih harus mengurus sesuatu di sana. Mala mengerti kan?""Mala ngerti kok," angguk Mala, memeluk bundanya. "Mala sayang Bunda. Maafin Mala ya, kalau selama ini Mala sering merepotkan Bunda dan Ayah.""Jangan ngomong gitu, Sayang. Mala nggak pernah merepotkan. Bunda dan ayah bahagia punya putri cantik seperti Mala," balas Delia.Begitulah obrolan Mala dengan Delia setelah acara selesai.Mala menghela napas panjang. Saat ini di sebelahnya ada Dewa yang sedang menyetir mo
Sampai detik ini Mala seolah tidak percaya bahwa di tempat ini dia sedang duduk menunggu kedatangan Dewa sebagai calon mempelai pria. Hari ini adalah hari pernikahan Mala Dewa.Gedung hotel sengaja di pesan Delia, ibunda Mala. Sebagai penyelenggara pesta untuk putri semata wayangnya. Delia dan Mahen merasa lega karena putrinya yang sempat berpisah dari Dewa akhirnya kembali bersatu dan hari ini mereka akan menikah.Teman-teman Mala pun berdatangan menghampiri Mala yang sudah terbalut kebaya khas Sunda, cantik dan menawan. Hanya saja Mala mencari keberadaan sahabatnya, Cilla. Gadis itu tidak terlihat hadir bersama Vina yang datang menggandeng kekasih barunya."Vin. Cilla mana? Kok nggak datang?"Vinna mendadak muram. "Dia kayaknya nggak bisa datang. Dia hari ini nemenin nyokapnya di RS. Lo tahu nggak, Mala? Bokapnya Cilla belum lama sakit, terus sekarang gantian deh nyokapnya sakit. Dia sedih banget, mana lo tahu kan, kalau dia suka sama Gilang? Tapi, Gilang malah menolak dia. Padahal
Masih dengan perasaan kesal. Dewa membuka pintu rumahnya. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini."Selamat malam," ucap seorang wanita yang tersenyum kecil pada Dewa."Kris? Mau apa kamu ke rumah saya?" tanya Dewa ketus.Ia memijat kening, apa lagi yang akan di perbuat Kristal kali ini. Kalau saja bukan karena Daddy-nya yang berteman dekat dengan orang tua Kristal, mungkin Dewa sudah lama memecat Kristal tanpa memutasikan nya."Aku kesini mau-" jawabnya terpotong saat melihat seorang gadis yang muncul di belakang Dewa."Kamu?" kata Kristal kaget. "Kamu sedang apa di rumah Dewa?"Mala menggelayut manja di lengan Dewa. "Sayang. Kamu udah ngantuk?" tanya Dewa sembari mengusap sulur anak rambut gadisnya."Iya. Kamu masih lama nggak?" balas Mala tanpa mempedulikan Kristal."Kris, kamu mau apa?" tanya Dewa."Kamu tinggal berdua dengan dia?" ucap Kristal, dia terlihat sangat kaget."Kalau iya, kenapa?" sahut Dewa. Mala hanya menatap sinis pada Kristal."Mbak. Tadi kenapa sih cium-cium p
"Tapi kamu suka kan, di mesumin Kakak?""Kakak! Apaan sih, udah ah pokoknya Mala pinjam baju Kakak!""Oke oke, Kakak ambil dulu ya.""Gitu dong." Mala mengangguk. Ia malas pulang ke rumahnya untuk sekedar ganti baju, padahal mereka bersebelahan. Mala berpikir akan menyenangkan jika mereka menikah nanti, selalu bersama dalam satu atap."Sayang. Pakai bajunya ya." Dewa menyerahkan kemeja miliknya dalam keadaan bertelanjang dada. Mala berteriak reflek. "Ahhhh..., Kakak! Porno ih!""Apa sih, hm? Masa gini doang porno. Aku masih pakai celana," bisiknya di telinga Mala.Gadis itu bertambah merona. "Sini kan bajunya. Aku mau ganti sekarang. Mala mengambil baju ditangan Dewa lalu berlari masuk ke kamar mandi. Dewa tertawa melihat Mala yang berlari dengan pipi merah. "Gemes banget. Sabar Wa. Ini ujian, tahan..."Dewa mengenakan kaos tanpa lengan miliknya lalu mulai memeriksa bahan masakan yang ada di dalam kulkas. Mala ingin memakan pasta, dia ingat kalau Mala sangat suka pasta buatannya.Ceri
"Mala!" Dewa berlari mengejar Mala yang berpamitan untuk pulang."Mala! Jangan lari, Sayang." Dewa terus mengejar Mala, sampai-sampai kakinya menyandung sebuah pembatas jalan hingga ia mengaduh kesakitan."Argh!" pekiknya. "Sial!"Mala berbalik, ia segera berlari menuju Dewa."Kakak nggak apa-apa kan? Mana yang sakit?" tanyanya sambil memegangi lutut Dewa. Terlihat baik-baik saja, syukurlah.Dewa langsung memeluk Mala dengan erat. "Jangan pergi. Jangan lari kayak gitu. Nanti kalau kamu jatuh gimana, sakit. Terus jangan cemburu, maafin aku untuk yang tadi."Mala tidak menangis, dia hanya kaget melihat pemandangan tadi. Mala juga tidak marah, dia percaya pada Dewa.Hanya saja Mala bingung, kenapa wanita tadi langsung mencium Dewa begitu saja.Siapa sebenarnya dia?"Mala cuma nggak betah di sana. Mala nggak suka lihat cewek tadi yang tiba-tiba cium kamu," sahut Mala dengan santai sambil menatap mata Dewa."Iya. Dia itu Kristal mantan sekertaris aku. Dia memang begitu, terlalu agresif den
Dewa sudah bersiap dengan setelan kemeja dan jas yang rapih. Tadinya Dewa pikir dia akan berangkat sendiri ke pesta pertunangan sahabatnya, Dika. Tentu rasanya amat bahagia, dia bisa datang bersama gadis yang paling dicintainya, Nirmala.Seutas senyum tak pudar menghiasi bibirnya. Dewa memperbaiki tuxedo dilehernya, lalu berbalik dari cermin menuju ke luar rumah menjemput Mala, tetangganya.Mala pun sudah siap dengan tampilan yang natural. Meski usianya 20 tahun, tetap saja gaya yang digunakan Mala tidak banyak berubah, dia tetap Mala manis yang lebih suka tampil apa adanya, minimalis."Kayak anak kecil nggak sih?" gumam Mala di hadapan cermin sambil memperhatikan penampilannya sendiri.Melihat pantulan dirinya sendiri membuatnya teringat sosok wanita yang pernah mengantar Dewa pulang dalam keadaan mabuk. Wanita dengan high heels merah, dia terlihat seksi dan cantik.Mendadak Mala kembali insecure dengan dirinya sendiri. Apakah Dewa menyukai wanita yang seksi seperti itu?Saat dia sed