"Tertarik, apa maksud kamu, Nayra?" Maxime mengusap wajah kasar. Dia menatap Nayra lebih serius lagi. "Kamu menyukaiku?"Nayra mengangguk polos. "Maaf kalau aku terlalu awal mengatakannya. Tapi memang aku menyukai kamu, Kak." Kembali, Nayra membuat Maxime kehabisan kata-kata. Gadis di depannya itu sangat sopan, baik hati dan menyenangkan. Nayra belum mengetahui bahwa tujuannya mendekati Nayra hanya ingin membuat Natasha, putrinya merasa tenang. Belum ada rasa semacam itu untuk Nayra, jujur saja, itu yang Maxime rasakan sekarang. "Nay, aku sangat tersanjung kamu menyukaiku." Maxime memegang sebelah pipi Nayra, saat itu Nayra menahan sekuat tenaga. Setiap kali Maxime menyentuh kulitnya, jujur memberikan reaksi alamiah yang memabukkan. "Tapi kita belum lama bertemu, kamu belum mengetahui siapa aku yang sebenarnya." Maxime berkata sambil tersenyum. "Kamu gadis yang baik, masa depan kamu masih panjang.""Max. Kenapa kamu berkata begitu? Apa kamu merasa kita gak cocok?" Di saat seperti i
Jordan meletakkan benda yang ia dapatkan dengan susah payah itu. Sebuah pistol yang sangat antik pesanan Brandon.Tentu itu adalah tindakan ilegal. Memiliki senjata api yang jelas-jelas dilarang di Indonesia, jika tanpa surat menyurat yang lengkap, tapi, apa pun bisa didapatkan Brandon dengan mudah. Ada dunia yang mendukungnya, ada orang-orang yang begitu setia untuk diperbudak olehnya. “Hm, baik. Kerja bagus. Setelah ini saya ada tugas baru untukmu.” Jordan tidak berani membantah. “Baik, Bos.” Brandon mengambil pistol tersebut dan mengisinya dengan satu buah peluru. Lalu ditodongkannya benda itu tepat pada dahi Jordan.“Cari wanita yang ada di foto tersebut, bawa ke hadapanku. Atau peluru yang sudah saya siapkan di dalam sini, akan berpindah ke dalam otak kecilmu, mengerti?” Jordan mengambil foto tersebut, lalu melihat siapa yang ada di sana.“Astaga, ini kan?” Jordan terkejut, ia mengenal siapa yang ada di foto itu.“Kenapa? Apa kamu kenal?” Brandon masih belum menurunk
“Nay, lo kenapa sih kemarin susah dihubungin, gue tuh udah diteror sama bos tau nggak!” Jessy baru saja datang menghampiri Nayra yang baru tiba di lokasi pemotretan.“Sorry, Sayang. Gue kemarin sibuk.” Nayra terlihat berbinar, hal itu membuat Jessy merasa agak berbeda.“Muka lo seger banget, kayaknya lagi bahagia nih? Kok lo nggak ada cerita apa-apa sama gue, biasanya ada kabar bahagia lo selalu cerita, iyakan?”“Hmm ... gue memang lagi bahagia, tapi sekaligus kesal juga.” Nayra teringat lagi dengan minuman yang membuatnya mabuk dan menggila.“Kenapa? Coba cerita.” Jessy duduk di sisi Nayra menunggu sahabatnya itu mau berbagi cerita dengannya.“Kesalnya dulu, ya. Lo kenal sama Pak Brandon?” Jessy mengernyitkan kening. “Pak Brandon produser baru? Yang kemarin gue nggak jadi nemenin lo ketemu dia, itu kan?”Nayra mengangguk. “Iya, yang itu.”“Dia kenapa?” tanya Jessy.“Gue curiga dia kasih sesuatu ke minuman gue. Gue memang nggak pernah coba alkohol selain wine, tapi reaksiny
Nayra yang sudah bersiap dengan pakaian formalnya. Ia sudah janji pada Jordan untuk menghadiri pesta ulang tahun yang diadakan mantan kekasihnya itu.Sama sekali tak ada rasa curiga. Nayra merasa aman-aman saja. Toh Jordan bilang, dia melakukan hal jahat waktu itu karena pengaruh alkohol dan stres berat. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, setidaknya walau Nayra tidak mungkin bersama lagi dengan mantan kekasihnya itu. Nayra merasa, Jordan pantas di maafkan, dan mereka bisa menjadi teman. Setelah selesai pemotretan, tepat pukul tujuh malam, Nayra segera menuju ke tempat tersebut. "Em, aku salah gak ya kalau gak ngasih kabar ke Max. Tapi, Max juga sibuk banget. Dia pasti lagi banyak kerjaan," gumam Nayra sambil melirik jalanan. Dia sedang di mobil, dalam perjalanan menuju alamat yang diberikan oleh Jordan. Terakhir kali dia berkirim pesan dengan Max adalah tiga hari lalu. Setelah itu Max belum memberi kabar lagi. Nayra berusaha memahami, apalagi Maxime adalah pebisnis,
Nayra menyipitkan mata, cahaya dari celah jendela membuat pandangannya terusik. Ia menutupi wajahnya dengan satu telapak tangan, lalu mulai mengingat kembali, tentang kejadian semalam. "Seharusnya gue ada di rumah, apa gue semalam pulang setelah acara Jordan?" ucapnya, agaknya dia belum sepenuhnya menyadari apa yang tlah terjadi. Bayangan kejadian semalam mulai muncul kembali. Nayra merasa pusing, sesekali ia memijat pelipisnya sambil memperjelas pandangan yang agak buyar. "Tapi gue semalam ... gue belum pulang, kan?" Akhirnya Nayra ingat. Dia langsung mengerjapkan mata sambil menutup mulut. "Ya Tuhan! Gue udah ketipu sama Jordan lagi rupanya. Dasar goblok lo Nayra!" Tak habis penyesalan dia lontarkan dalam bentuk kata-kata umpatan. Apakah dia tidak punya otak sehingga bisa tertipu lagi dengan laki-laki brengsek itu. Tapi, kenapa dia ada di hotel? Nayra segera memeriksa tubuhnya. Ia bernapas lega setelah memastikan tak ada yang kurang, tak ada yang berubah dari penampilannya. "
Nayra tidak mau menceritakan masalah Jordan, ia takut merusak suasana saat itu.Tapi ini sangat memalukan. Apa dia terlalu blak-blakan mengatakan kangen pada Maxime. Entahlah, tapi dia mendadak jadi berani, semenjak Maxime meminta dirinya jadi wanita pilihannya. "Iya, kangen."“Kangen? Jadi, kamu kangen sama aku?”"Em, apa gak boleh?" Maxime malah mendekati Nayra. Jangan-jangan dia terlalu gegabah, batin Nayra.Max menyentuh dagu Nayra, dengan mata yang terus menatap intens. Saat ini Nayra tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Maxime. "Maaf ya, apa aku—""Ssttt...." Maxime menutup bibir Nayra dengan telunjuknya.“Kalau gitu aku juga, Miss you.”Secara tiba-tiba, Max mencium bibir Nayra sekilas. Tentu saja, itu sangat mengejutkan. Seolah-olah ia terlempar ke tempat yang sangat indah, hanya ada Maxime dan dirinya di sana. Juga sebuah kelembutan yang barusan dia rasakan di bibirnya.“Kamu nggak keberatan kan, kalau aku cium kamu?” bisik Max di telinga Nayra dan berhasil membuat se
“Silakan duduk,” ucap pelayan pada Nayra dan Jessy agar duduk di kursi yang telah tersedia. Setelah prosesi pemotretan Nayra selesai tadi siang, Jessy memberondong pertanyaan, ke mana Nayra saat ia tidak ada di apartemen, dan di tengah-tengah obrolan mereka, tiba-tiba saja muncul sosok pria bernama Brandon yang ingin mengajaknya makan malam. Dengan berbagai perdebatan kecil dengan Jessy karena bagaimana pun juga Brandon adalah orang yang memberikan obat perangsang pada Nayra.Nayra boleh menerima undangan terbuka dari Brandon dengan syarat, Jessy ikut dengannya. Tentu menurut Jessy itu adalah hal gila, bertemu dengan orang yang sudah menjahatinya secara baik-baik. Jessy sempat menyuruh Nayra mengajak serta pengacara pribadinya. Ini merupakan tindakan kriminal menurutnya.Namun entah kenapa Nayra menolak tegas saran dari Jessy itu. Kata Nayra ingin melihat dulu bagaimana sikap Brandon. Begitulah Nayra, mudah sekali terbujuk dengan niat baik. Padahal bisa saja Brandon malah berniat ja
Nayra melirik ke samping. Brandon mengusap bahunya, sambil meneteskan air mata di hadapan pusara Jack dan Rose. “Kita pulang, ya. Jangan sampai mama dan papa sedih, melihat Uncle terus menangis,” ajak Nayra. Ada sesuatu yang membuat hati Nayra juga ikutan sedih saat pamannya itu menangis tersedu karena menyesali perbuatannya selama ini yang sudah membenci papanya. Di perjalanan Nayra hanya terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Brandon melirik sekilas sambil melihat jalanan. “Nay, kamu kenapa? Kok, kayaknya ada yang kamu pikirin?”“Eh, enggak kok. Aku Cuma heran kenapa Mama nggak pernah mengijinkan aku dekat dengan papa, bahkan mama bilang tidak ingin aku seperti papa, memangnya papa itu kenapa? Apa karena papa seorang ketua mafia?” “Jangan di pikirkan. Jack dan Rose keduanya sangat menyayangi kamu, Nayra.” “Iya, Uncle. Aku juga sangat menyayangi mereka. Kalau Uncle sendiri apakah sudah terlepas dari dunia mafia?” Brandon terkejut, dia tidak menyangka kalau Nayra akan bertanya tent