Nayra tidak mau menceritakan masalah Jordan, ia takut merusak suasana saat itu.Tapi ini sangat memalukan. Apa dia terlalu blak-blakan mengatakan kangen pada Maxime. Entahlah, tapi dia mendadak jadi berani, semenjak Maxime meminta dirinya jadi wanita pilihannya. "Iya, kangen."“Kangen? Jadi, kamu kangen sama aku?”"Em, apa gak boleh?" Maxime malah mendekati Nayra. Jangan-jangan dia terlalu gegabah, batin Nayra.Max menyentuh dagu Nayra, dengan mata yang terus menatap intens. Saat ini Nayra tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Maxime. "Maaf ya, apa aku—""Ssttt...." Maxime menutup bibir Nayra dengan telunjuknya.“Kalau gitu aku juga, Miss you.”Secara tiba-tiba, Max mencium bibir Nayra sekilas. Tentu saja, itu sangat mengejutkan. Seolah-olah ia terlempar ke tempat yang sangat indah, hanya ada Maxime dan dirinya di sana. Juga sebuah kelembutan yang barusan dia rasakan di bibirnya.“Kamu nggak keberatan kan, kalau aku cium kamu?” bisik Max di telinga Nayra dan berhasil membuat se
“Silakan duduk,” ucap pelayan pada Nayra dan Jessy agar duduk di kursi yang telah tersedia. Setelah prosesi pemotretan Nayra selesai tadi siang, Jessy memberondong pertanyaan, ke mana Nayra saat ia tidak ada di apartemen, dan di tengah-tengah obrolan mereka, tiba-tiba saja muncul sosok pria bernama Brandon yang ingin mengajaknya makan malam. Dengan berbagai perdebatan kecil dengan Jessy karena bagaimana pun juga Brandon adalah orang yang memberikan obat perangsang pada Nayra.Nayra boleh menerima undangan terbuka dari Brandon dengan syarat, Jessy ikut dengannya. Tentu menurut Jessy itu adalah hal gila, bertemu dengan orang yang sudah menjahatinya secara baik-baik. Jessy sempat menyuruh Nayra mengajak serta pengacara pribadinya. Ini merupakan tindakan kriminal menurutnya.Namun entah kenapa Nayra menolak tegas saran dari Jessy itu. Kata Nayra ingin melihat dulu bagaimana sikap Brandon. Begitulah Nayra, mudah sekali terbujuk dengan niat baik. Padahal bisa saja Brandon malah berniat ja
Nayra melirik ke samping. Brandon mengusap bahunya, sambil meneteskan air mata di hadapan pusara Jack dan Rose. “Kita pulang, ya. Jangan sampai mama dan papa sedih, melihat Uncle terus menangis,” ajak Nayra. Ada sesuatu yang membuat hati Nayra juga ikutan sedih saat pamannya itu menangis tersedu karena menyesali perbuatannya selama ini yang sudah membenci papanya. Di perjalanan Nayra hanya terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Brandon melirik sekilas sambil melihat jalanan. “Nay, kamu kenapa? Kok, kayaknya ada yang kamu pikirin?”“Eh, enggak kok. Aku Cuma heran kenapa Mama nggak pernah mengijinkan aku dekat dengan papa, bahkan mama bilang tidak ingin aku seperti papa, memangnya papa itu kenapa? Apa karena papa seorang ketua mafia?” “Jangan di pikirkan. Jack dan Rose keduanya sangat menyayangi kamu, Nayra.” “Iya, Uncle. Aku juga sangat menyayangi mereka. Kalau Uncle sendiri apakah sudah terlepas dari dunia mafia?” Brandon terkejut, dia tidak menyangka kalau Nayra akan bertanya tent
Flashback Nayra menemukan secarik kertas yang ada di atas nakas. Kamar hotel itu kosong, tak ada siapa-siapa selain dirinya. Lantas siapa yang menaruh kertas di sana. Apa jangan-jangan itu catatan yang ditinggalkan oleh Jordan. Ia pun mengambil kertas tersebut karena ingin tahu apa yang tertulis di sana. "Nayra, maafkan saya. Jujur, memang saya yang menjebak kamu sewaktu di hotel waktu itu. Minuman yang kamu minum saya beri obat tidur. Malam ini, kejadian yang menimpa kamu pun karena ulah saya. Yang menyuruh Jordan adalah saya, demi bisa membalas sesuatu kepada kamu. Maafkan saya. Kalau boleh, saya akan jelaskan saat bertemu nanti." Di sana juga ditemukan catatan tentang tanggal kapan Nayra harus menemui orang itu. "Ini dari Brandon? Tapi, kenapa dia bisa ada di kamar hotel ini." Nayra memegang kepalanya, lantas memijatnya karena sempat linglung sebentar. "Apa dia melakukan sesuatu ke gue juga semalam?" Namun Nayra memastikan lagi dirinya di kamar mandi. Dia takut kecolongan. S
“COPET! HEI KEMBALIKAN TASKU! BRENGSEK!”"Woyy!!!" Jessy mengumpat tak habis melihat tasnya dibawa lari laki-laki kurus dengan pakaian compang-camping. "Balikin woy! Lo mau duit gue kasih! Tapi jangan tas gueh!" teriaknya sambil berlari mengejar si copet. Lelah berlari, Jessy berjongkok hampir kehabisan napas. Jessy baru saja pulang dari berbelanja, ketika ia hendak mencari kunci mobil, tasnya dirampas paksa oleh seseorang, ia pun segera berteriak keras dan mengejar orang tersebut. "Gila kali, tuh orang larinya cepet amat," ucap Jessy sudah putus asa. Dia yakin ini adalah hari apesnya. Sayangnya, Jessy tak boleh menyerah. Meski orang itu terlalu kencang berlari sehingga Jessica tidak dapat mengejarnya. Di dalam tas itu ada benda-benda penting yang tidak boleh hilang.Entah kebetulan atau apa, tapi Brandon ada di sana saat kejadian kecopetan yang dialami Jessica. Saat itu Brandon melihat pria yang berlari kencang membawa sebuah tas, dari jauh ia juga melihat seorang wanita yang me
Nayra terus terbayang ucapan Marina tadi yang mengatakan dirinya adalah kembaran Maria, ibunda Natasha yang telah meninggal dunia.Lantas dia berpikir mungkin saja Maxime akan teringat kembali akan sosok mendiang istrinya. Bagaimana dengan posisinya sekarang? “Ya Tuhan, bagaimana jika Max ...,” gumamnya sambil memukul kepalanya dengan tangannya. “Jangan berpikir yang tidak-tidak, Nayra!”Misalkan Marina benar-benar kembaran Maria, lalu memiliki sikap yang baik seperti ibu Natasha, tak masalah kalau memang Maxime ingin bersama dengan Marina. Walau mungkin itu artinya dia harus berkorban, yakni mengorbankan perasaan cintanya untuk Maxime. Jessica masih fokus menyetir, ia bingung kenapa sejak tadi Nayra terus tampak gelisah. “Lo kenapa sih, Nay?”Nayra menggelengkan kepalanya, Jessy tidak akan paham perasaannya saat ini, pikirnya. “Nggak kok, gue cuma capek kepengen istirahat, anterin gue pulang, ya.”“Pulang?” Mendadak Jessy tersenyum sumringah, ia teringat bahwa Nayra saat ini t
Maxime terus mengikuti ke mana taksi yang membawa Nayra pergi. Nayra pasti cemburu dan berpikir yang tidak-tidak saat ini.Semua karena kedatangan Marina yang membuat kesalahpahaman itu terjadi. Wanita itu mungkin saja sengaja, pikir Maxime. Ia juga sudah tahu tentang hubungan dirinya dengan Nayra. Marina merupakan tipikal perempuan penganggu dan harus segera ia singkirkan. Seandainya Max masih bisa memakai cara lama saat menyingkirkan orang dengan mudah. Tapi sayangnya Maxime sudah benar-benar keluar dari dunia hitam tersebut. Nayra berhenti di sebuah taman, bukan di apartemennya. Maxime pun segera menghentikan mobilnya, ia berjalan ke arah Nayra, gadis itu duduk sambil memegangi dadanya dengan tangisan yang terisak-isak.Melihat Nayra menangis membuatnya jadi teringat Maria. Dulu, dia sering membuat Maria menangis sendirian karena ulahnya. Maxime bingung, apakah sebegitu menyakitkan? Padahal dia sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Marina. Meskipun Marina adalah
Apartement Nayra.Entah kenapa saat itu ia ingin mengajak Maxime mengobrol di apartemennya. Karena tidak mungkin kalau ia mengajak Max ke rumah pamannya, Brandon. Saat ini Uncle Nayra itu juga sedang tidak di rumah, karena ada urusan yang tidak tahu apa, Nayra sama sekali tidak tahu apa urusan uncle-nya itu.“Kak, kamu mau minum?”“Tidak usah, Nayra, nanti merepotkan." "Gapapa, aku gak repot kok." Maxime tersenyum. "Kamu duduk saja, Nayra." "Sebentar kok, minum itu gak lama.""Hem, yasudah kalau begitu," jawab Maxime. Nayra duduk di sisi Maxime. “Aku ajak kamu ke sini, karena aku mau mengobrol lebih santai. Kamu nggak apa-apa kan?”Tentu saja Max tidak keberatan, hanya saja ia malah cemas kalau dia tidak dapat menahan diri ketika berdekatan dengan Nayra. Dia berusaha bersikap sebaik mungkin demi menjaga harga diri Nayra. Kalau saja Nayra tahu, sebenarnya saat berdekatan Nayra, libidonya kerap muncul.“Iya, aku enggak masalah kok. Kamu udah nggak marah, kan, sama aku?” tanya M