“Ini adalah rumah saya dan di sini hanya ada aturan saya, orang asing sudah semestinya tidak ikut campur. Anda kira apa? Saya akan menerima perjanjian bodoh itu? Cuih! Saya tidak seburuk itu sampai menjual diri pada pria tidak tahu diri seperti anda!” Amarah yang berapi-api tidak membuat sang lawan bicara merasa terpojok.
Pria yang berpenampilan rapi maju beberapa langkah, mengunci pergerakan gadis yang ada di hadapannya.
“Apa yang anda lakukan!”
Tubuh mereka semakin mendekat hingga gadis itu tidak ada pilihan lain selain mundur sampai punggungnya menabrak tembok. Matanya melotot dan tangan yang memeluk tubuh adalah cara gadis itu mempertahankan kehormatannya. Perasaannya tidak enak saat melihat mata tajam milik pria berjas itu menatapnya.
“Mundur!” lirihnya.
Reaksi yang ditampilkan gadis mungil di depannya membuat ujung bibir pria tersebut tertarik sebelah.
Tubuh yang saling berdekatan hingga deru napas masing-masing dapat terdengar membuat sang gadis kian merasa dirinya dalam bahaya. “Anda jangan kurang ajar, saya bukan perempuan yang bisa anda dekati dengan sesukanya,” ucapnya dengan bibir gemetar.
Tidak ada reaksi dari lawan bicara. Hanya mata yang menatap Nea tanpa tahu arti dari tatapan aneh itu. “Ini rumah saya, kapan saja saya bisa berteriak.” Suara bergetar yang dikeluarkan Nea tentu tidak mengancam pria itu.
“Silakan, jika kamu ingin dicap wanita nggak baik.” Tentu saja, pria itu mempunyai banyak cara untuk menyerang balik lawan bicaranya.
Akhirnya setelah diam cukup lama, gadis itu mendengar suaranya. Suara tegas dan berat yang entah mengapa sangat memanjakan telinga. Untuk sesaat gadis itu kagum hanya dengan mendengar suaranya saja, tetapi ia langsung menggeleng dan fokus akan apa yang ada di hadapannya.
“Nea Halina, saya tidak meminta banyak. Hanya tanda tangan surat itu dan selesai.”
Gadis yang dipanggil Nea tersebut langsung mendorong tubuh kekar yang mendekat ke tubuhnya. Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya, Nea dengan mata bergejolak maju beberapa langkah.
“Atas dasar apa anda mempermainkan sebuah pernikahan?” tanya Nea pada pria itu.
“Saya tidak lagi bermain,” jawabnya enteng.
“Apakah anda tidak pernah sekali saja terbesit untuk punya pernikahan yang didasarkan oleh cinta? Atau punya pernikahan impian? Kenapa pria terhormat seperti Anda mengemis pada gadis miskin seperti saya?”
Terlihat wajah pria berjas itu memerah padam dan tangannya terkepal kuat. Sepertinya ucapan Nea mampu membuat harga dirinya terluka.
“Saya datang bukan untuk mengemis, tetapi memberikan penawaran. Jika kamu menolak, saya tidak akan memaksa,” ucapnya tegas.
Sesaat napas Nea tertahan mendengar suara tegas nan lantang tersebut. Nyalinya menciut. Walaupun begitu ia tidak bisa menunjukkan wajah takutnya pada pria itu.
Di sela perdebatan panjang mereka, terdengar suara gaduh dari luar. Mereka yang saat ini berada di halaman belakang rumah langsung bertanya-tanya. Apa yang terjadi di luar sana?
Suara teriakan perempuan dan barang yang jatuh ke lantai membuat Nea panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari sekencang mungkin meninggalkan pria yang berbicara padanya.
“Saya janji besok akan dibayar,” ucap seorang wanita paruh baya pada pria bertubuh kekar yang terus melempar semua barang yang ada di ruang tamu ke luar.
“Besok, besok, besok. Setiap kali ke sini selalu saja besok. Keluar dari rumah ini sebelum saya suruh anak buah saya bergerak,” ucapnya tegas membuat wanita paruh baya itu terduduk lemas.
“Setidaknya biarkan kami tinggal di sini sampai menemukan tempat tinggal baru,” bujuk seorang pria yang duduk di kursi roda.
“Menunggu? Mau sampai kapan?! Saya udah nggak bisa lagi kasih kalian kesempatan.” Pria itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk mengeluarkan semua barang yang ada di dalam rumah ini serta mengusir wanita dan pria yang terus memohon itu.
Nea tidak tahan lagi, ia maju beberapa langkah mendekat ke arah pria berbadan kekar tersebut. “Tolong beri kami waktu, kami bukan orang yang tidak bertanggung jawab sampai-sampai tidak membayar hutang. Saya masih belum mendapatkan pekerjaan—“
“Menunggu kamu dapat kerjaan? Kalaupun dapat seyakin apa dapat gaji gede?”
“Lusa saya ada wawancara kerja di salah satu perusahan besar, saya yakin bisa lolos dan bekerja di sana.”
“Cih! Gaya keterima di perusahaan besar. Kamu bakal kalah sama yang masuk pake orang dalam.”
Mereka kembali mendorong tubuh kedua orang tua Nea hingga gadis itu tidak ada pilihan lain selain meminta bantuan pada pria berjas hitam yang berdiri santai di pojok ruangan.
Nea tidak peduli lagi akan harga dirinya yang hancur.
“Pak saya mohon, tolong orang tua saya,” pinta Nea. Ia tidak sanggup melihat mereka diseret oleh pria berbadan kekar. Selain tidak ingin melihat orang tuanya diusir, Nea ingin mempertahankan rumah yang menjadi kenang-kenangan terakhir almarhumah neneknya.
“Saya akan lakukan apa pun, saya rela kerja jadi pembantu sekali pun di rumah anda. Saya mohon, bantu saya,” pinta Rea sambil menangkupkan kedua telapak tangannya sambil menatap harap.
“Kamu memilih menjadi pembantu ketimbang jadi istri saya?” tanyanya mengejek.
Sungguh Nea ingin sekali memukul wajah pria di hadapannya, jika bukan karena orang tuanya ia tidak akan menurunkan harga dirinya seperti ini.
“Pak, saya mohon.”
“Tanda tangan kontrak dan menikah dengan saya atau melihat orang tua kamu diusir dan menjadi gelandangan.”
Kepalan tangan Nea kian erat, wajahnya memerah padam. Apakah ini akhir hidupnya? Siapa sangka, Nea yang memiliki sejuta keinginan mengenai pernikahan harus berakhir seperti ini.
“Pertimbangkan semuanya baik-baik, saya tidak akan memberikan penawaran lagi setelah ini.”
Gadis itu menoleh ke belakang menatap pada orang tuanya yang menangis sambil memohon. “Baik, saya akan lakukan apa pun itu.”
Jawaban Nea sudah cukup bagi pria itu. Ia pun langsung menghampiri debkolektor yang terus memaksa orang tua Nea keluar rumah.
“Berapa jumlah semua hutang mereka?” tanyanya pada pria berbadan kekar yang sibuk pada ponselnya.
“Siapa kamu? Mau jadi pahlawan?”
“Saya Aciel Cale, CEO dari Adelard Construction. Anda bisa datang ke kantor saya dan membahas semua hutang yang dimiliki keluarga ini.”
Hadirnya Aciel di antara mereka menjadikannya sebagai pusat perhatian. Terutama orang tua Nea yang merasa heran orang asing yang baru pertama kali datang ke rumah ini mau membayarkan semua hutang yang dimiliki mereka.
“Siapa dia? Kenapa muncul dan mau melunaskan hutang kita?” tanya ibu Nea pada suaminya yang duduk di kursi roda.
Ayah Nea melihat ke arah anaknya yang berdiri dengan kepala menunduk. “Sepertinya terjadi sesuatu, setelah mereka keluar tanyakan Nea apa yang terjadi.”
“Iya.”
“Wah, keren. Anak kalian sangat mahir dalam memanfaatkan tubuhnya,” ucap pria berbadan kekar itu sambil bertepuk tangan.
Ucapan sembrono menuduh Nea yang tidak-tidak mampu membuat orang tuanya melotot tidak terima.
“Jaga ucapan anda, anak saya tidak akan pernah melakukan sesuatu yang tidak benar!” tegas ibu Nea.
“Bukankah masalahnya sudah selesai, apakah kalian akan menginap di sini? Ah iya, sebelum pulang saya harap kalian membersihkan kerusuhan ini sebelum saya melaporkannya pada pihak yang berwajib,” tegas Aciel.
Ucapan Aciel tentunya tidak dibantah sedikit pun. Mereka membenarkan letak benda-benda yang berantakan.
Nea menarik napas dalam dan mengembuskannya berat. “Hidup aku udah hancur,” gumam Nea.
Apakah dengan menerima tawaran ini sama saja Nea menjual tubuhnya? Nea takut, sangat takut. Apa tanggapan orang-orang akan dirinya saat mengetahui faktanya.
Kekacauan hidup Nea dimulai saat Niko, sahabat Nea satu-satunya datang ke rumahnya. Nea sudah menyadari kehadiran Niko ke rumahnya bukan pertanda baik. Lihatlah saat ini Niko sedang berbincang dengan kedua orang tuanya, seakan mengambil hati orang tua Nea.“Cih! Gayanya sok jadi anak lemah lembut,” cibir Nea melihat Niko yang terlihat kalem dibanding biasanya.“Biasanya kayak topeng monyet aja pun berlagak jadi anak kalem.”Nea sudah muak melihat Niko yang sedang berpura-pura. Ia memilih duduk di teras menikmati angin sore yang sejuk. Menjadi kebiasaan Nea jika tidak kerjaan di sore hari, ia akan duduk sambil menikmati angin yang membelai wajahnya.“Nea,” panggil Niko saat gadis itu melewatinya.“Ya?” Oleh karena Niko memanggilnya, Nea menoleh dengan sebelah alisnya terangka.“Aku mau ngomong sama kamu,” ucap Niko memberi kode pada Nea untuk keluar terlebih dahulu.Nea memutar bola mata malas dan berjalan ke teras rumah terlebih dahulu. Ya, memang awalnya ia ingin duduk di teras.“Om
Niko mulai gelisah saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi acara akan di mulai dan papanya sudah mulai mengirim pesan padanya.“Mbak, apa masih lama lagi?” tanya Niko pada salah satu pegawai salon. Pegawai tersebut tersenyum melihat Niko yang gelisah.“Mas tenang aja, sebentar lagi selesai. Oh iya, pacarnya cantik banget. Masnya cocok sama mbaknya.” Entah harus tertawa apa bahagia, Niko rasa pegawainya terlalu berlebihan.“Teman saja mbak, bukan pacar,” koreksi Niko.“Ha? Masih teman? Entar nyesal loh mas kalau ketikung,” kekeh pegawai tersebut.“Gimana mau ketikung orangnya aja jarang dekat sama cowok.”“Saya doakan yang terbaik aja deh, saya pamit dulu ya mas.”Seperginya pegawai tersebut Niko kembali menunggu Nea sambil bermain ponsel. Lelaki itu mulai larut dengan ponselnya hingga tidak menyadari Nea yang sudah berhadapan dengannya. Saat sebuah suara memanggil namanya barulah Niko mengangkat kepala menatap orang yang memangilnya.“Niko, gimana?” tan
Diam adalah emas tidak selalu membawa keberuntungan. Kali ini karena diamnya Nea, ia terjebak pada pria bernama Aciel ini. Pak Broto sudah salah paham mengira mereka memiliki hubungan."Om, Nea sama dia nggak punya hubung—"Ucapan Nea menggantung karena secara tiba-tiba tangannya digenggam oleh seseorang membuat dirinya terkejut."Rasanya tidak etis saat proyek ini diberikan karena sebuah hubungan. Saya ingin bersaing secara sehat dengan yang lain," ucap Aciel dengan tegas.Nea yang posisinya tidak memahami proyek apa yang di maksud hanya diam saja. Terlebih lagi Aciel seakan memberi kode pada dirinya untuk diam dengan terus menggenggam tangannya."Saya sudah tahu kemampuan Pak El dalam memanajemen pembangunan bagaimana. Oleh karena itu saya yakin memberikan proyek ini pada anda, dengan syarat yang telah ditentukan. Saya harap anda tidak mengecewakan saya."Aciel benar-benar terkepung dalam keadaan ini. Bergerak maju salah mundur juga salah."Nea, nanti sekretaris om akan menghubungi
Nea memandangi ponsel yang terus bergetar di hadapannya. Ini adalah panggilan keempat yang diabaikan olehnya. Helaan napas berat keluar dari mulutnya."Kenapa ngga diangkat sih," gerutu seorang gadis yang serangan dengan Nea."Nggak penting," ucap Nea sambil membalikkan layar ponselnya."Siapa sih?" Gadis itu penasaran sehingga merebut ponsel milik Nea.Terpampang jelas nama orang yang terus menelepon Nea. Pada layar terdapat nama 'Rentenir Sialan'."Rea, balikin ponsel kakak!" Nea merebut ponselnya dan membuat gadis itu menatap sendu padanya."Rea nggak usah kuliah aja ya, kak? Hutang kita akan tambah banyak dan kakak kesulitan ngelunasinnya."Inilah yang tidak disukainya. Rea adalah gadis yang memiliki sifat tidak enakan. Jika melihat kakaknya susah, maka dia akan menganggap semuanya adalah salahnya."Kagak, Kamu tetap kuliah. Anak-anak ayah dan ibu harus sarjana semua, bukan hanya Kakak, Kamu juga harus sarjana." Nea memegang pundak Rea sambil tersenyum.Nea kembali melihat ke pons
Aciel melempar tas miliknya ke sembarang arah yang berakibat vas bunga yang ada di atas nakas jatuh ke lantai. Suara pecahan vas yang menggema membuat beberapa orang yang ada di rumah langsung mencari sumber suara."Shit!" teriak Aciel.Tidak ada yang berani menenangkan Aciel yang sedang marah, termasuk Dayana yang diam melihat anaknya terbakar emosi."Cari cara supaya dia nerima tawaran ini, saya tidak mau usaha saya selama ini sia-sia," titah Aciel pada Galen yang berdiri di belakangnya."Baik, pak. Saya mempunyai informasi yang bisa membuatnya menerima tawaran dari Pak El."Kemarahan Aciel mulai mereda, ia menoleh ke belakang. Mata penuh amarah itu kian mereda berganti dengan rasa penasaran. Galen, orang yang berbicara tadi, maju dengan langkah hati-hati karena pecahan kaca yang bertebaran."Bahas di ruangan saya," ujar Aciel saat menyadari ibunya sedang mengawasi mereka sejak tadi."Baik pak."Galen mengikuti langkah Aciel
“Apa yang terjadi, Nea?”Ini ketiga kalinya Indri bertanya pada Nea dan lagi dan lagi gadis itu bungkam.“Jangan hanya diam! Jawab Nea!” Kesabaran Indri mulai habis. Ia mengguncang tubuh Nea.Apa yang harus Nea jawab? Ia saja terkejut dengan apa yang terjadi.“Nea jawab Ibu! Siapa Aciel, kenapa dia datang dan bilang akan melunaskan semua hutang kita?”Helaan napas panjang keluar dari mulut Nea. Apa pun yang terjadi Nea harus tegar. Kepalanya terangkat lalu menatap ayah dan ibunya sambil tersenyum.“Kalian jangan khawatir, dia bukan orang jahat.” Hanya itu yang bisa Nea katakan.“Kamu kenal dia?” tanya Omar.Nea mengangguk ragu. Mau sekuat apa pun berbohong, mata Nea tidak bisa menutupinya. Omar memahami ada yang disembunyikan oleh Nea.“Semuanya pasti terkejut dengan apa yang terjadi, biarkan Nea istirahat dulu.” Omar menyuruh Indri untuk masuk ke da
Kepulangan seorang pria disambut dengan beberapa pelayan. Masing-masing pelayan mempunyai tugas yang berbeda. Hari ini tidak biasanya Aciel pulang lebih awal.Dayana yang beberapa hari ini menginap di rumah Aciel pun ikut menyambut putranya."El, kamu sudah pulang? Kenapa tidak mengabari lebih awal biar mama masak untuk kamu," ucap Dayana mengikuti ke mana Aciel pergi.Hening, tidak ada respons dari Aciel. Ini bukan pertama kalinya Dayana diabaikan oleh sang putra."Gimana kalau mama pesankan makanan untuk kamu?""El mau istirahat," ucap Aciel tanpa menoleh sedikit pun pada Dayana.Hati ibu mana yang tidak hancur saat melihat anaknya berpaling darinya. Ia tahu Aciel bersikap seperti ini ada alasannya. Namun, sampai kapan Aciel akan seperti ini?"Ya ampun, Zeline masih di kamar." Dayana menepuk jidatnya dan berlari mengejar Aciel. Namun iya sudah terlambat, Aciel sudah masuk ke dalam kamar."Papa El." Teriakan anak kecil bergaun
Sejak pagi Indri sudah sibuk dengan bahan makanan. Wanita itu ingin memasak makanan yang enak untuk Nea hari ini, sup tulang sapi, perkedel, dan ayam goreng kesukaan Nea menjadi menu utama. Tadi pagi Rea sempat meminta dibuatkan bakwan juga, tapi sayang bahan makanan Indri tidak memadai membuat bakwan.“Ma, tepung terigu di warung depan udah habis.” Omar yang harus saja pulang dari warung tetangga memberikan sekantong belanjaan pada Indri.“Rea minta dibuatin bakwan, yaudah mama ke pasar sebentar. Cabe sama bawang juga tinggal sedikit.”Omar mengangguk. “Yaudah, hati-hati. Biar papa bantu buat bumbunya,” ucap Omar yang hendak memasuki dapur.“Nggak usah, papa istiraha—““Udah ke pasar aja sana!” sela Omar.Indri tersenyum dan terburu-buru ke pasar. Jarak pasar dan rumah tidak begitu jauh, Indri memilih untuk berjalan kaki.“Ke mana Bu Indri?” tanya salah sat