Diam adalah emas tidak selalu membawa keberuntungan. Kali ini karena diamnya Nea, ia terjebak pada pria bernama Aciel ini. Pak Broto sudah salah paham mengira mereka memiliki hubungan.
"Om, Nea sama dia nggak punya hubung—"
Ucapan Nea menggantung karena secara tiba-tiba tangannya digenggam oleh seseorang membuat dirinya terkejut.
"Rasanya tidak etis saat proyek ini diberikan karena sebuah hubungan. Saya ingin bersaing secara sehat dengan yang lain," ucap Aciel dengan tegas.
Nea yang posisinya tidak memahami proyek apa yang di maksud hanya diam saja. Terlebih lagi Aciel seakan memberi kode pada dirinya untuk diam dengan terus menggenggam tangannya.
"Saya sudah tahu kemampuan Pak El dalam memanajemen pembangunan bagaimana. Oleh karena itu saya yakin memberikan proyek ini pada anda, dengan syarat yang telah ditentukan. Saya harap anda tidak mengecewakan saya."
Aciel benar-benar terkepung dalam keadaan ini. Bergerak maju salah mundur juga salah.
"Nea, nanti sekretaris om akan menghubungi kamu. Om duluan ya." Pak Broto mengelus kepala Nea dan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Hati-hati di jalan, pak," ucap Aciel saat pak Broto pergi meninggalkan mereka.
Nea langsung menoleh ke arah Aciel. Sejujurnya ia marah dengan sikap Aciel yang diam saja sejak tadi. Jika ia menjelaskannya lebih awal, semua ini tidak akan terjadi.
"Maaf, mengapa anda menyuruh saya diam?" tanya Nea kesal.
"Sekretaris saya akan menghubungi kamu." Aciel pergi meninggalkan Nea.
Apa-apaan ini, mengapa semua orang menyuruh sekretaris menemuinya. Menerima ajakan Niko ke tempat ini adalah sebuah petaka.
Hentakan kaki Nea yang dapat di dengar semua orang menjadikannya sebagai pusat perhatian.
Niko sejak tadi kehilangan jejak Nea langsung berkeliling mencari gadis itu hingga melihat sahabatnya itu tengah berjalan dengan wajah kesal.
"Ne, ada apa?" tanya Niko.
"Kamu mau nyuruh sekretaris Kamu nemuin aku juga?" kesal Nea.
Niko mengerutkan kening. Ada apa dengan gadis ini?
"Ha? Apaan sih, Ne. Kamu tadi ke mana?" tanya Niko sambil merangkul Nea.
Nea menghela napas panjang. "Aku tadi ketemu Om Broto."
"Serius? Dari tadi aku nggak ngeliat om Broto."
"Om Broto udah sesukses itu sekarang ya?" tanya Nea sambil menatap mata Niko.
Niko mengangguk. "Bokap cerita banyak tentang om Broto. Katanya bisnis pakaian miliknya berkembang pesat sehingga Om Broto mencoba bisnis-bisnis yang lainnya dan puncak bisnisnya saat hotel yang baru saja dibangunnya menjadi viral dan dikenal banyak orang. Yang aku dengar sekarang banyak perusahaan konstruksi yang sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek mall dan apartemen milik Om Broto."
Nea sangat terkejut mendengar fakta mengenai Pak Broto. Dulu beliau merupakan salah satu rekan bisnis ayahnya. Kini kesuksesannya membuat Nea sedikit iri.
"Banyak hal yang Aku lewati," gumam Nea.
"Makanya Ne, sesekali update informasi jangan sibuk kerja Mulu."
Nea menatap tajam Niko. "Aku bukan Kamu yang punya koneksi banyak," kesal Nea sambil memajukan bibirnya.
Niko menarik tangan Nea keluar dari Aula. Acara sudah hampir selesai dan Niko juga sudah bosan berada di sini.
"Adelard Construction, Kamu tahu?" tanya Nea saat mereka berjalan menuju parkiran.
"Tahu, kenapa emangnya?"
"Coba cerita."
Niko berdeham beberapa saat, seakan mengingat sesuatu. "Adelard Construction adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang properti dan konstruksi. Pemilik perusahaan tersebut meninggal 10 tahun yang lalu setelah itu anaknya yang masih duduk di bangku kuliah melanjutkan perusahaan tersebut. Bisa dibilang semenjak berpindah tangan, Adelard Construction semakin bertambah maju. Nama pemiliknya Aciel Cale."
Ternyata pria yang ditemui Nea bukanlah orang biasa. Melihat perjuangannya Nea cukup kagum. "Kamu pernah ketemu CEO-nya?"
Niko memicing curiga. "Ini bukan Nea yang aku kenal," curiga Niko.
"Aku cuma bertanya."
"Aku nggak pernah bicara langsung, tapi pernah lihat dia beberapa kali. Orangnya sangat berkarisma dan juga kaku."
Nea membulatkan mulutnya sambil mengangguk.
"Oh ya, dia juga berusaha mendapatkan proyek Om Broto. Kamu tahu, sampai-sampai temen aku yang kerja di sana beberapa hari ini lembur untuk menyiapkan proyek ini."
Niko memberi sedikit jeda. "Satu hal lagi, katanya dia ngga pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Ada yang bilang dia punya kelainan, tapi aku nggak tahu pasti."
Mendengar itu membuat Nea cukup terkejut. Pria dengan paras yang cukup tampan sepertinya tidak tertarik pada wanita? Padahal dengan menjual wajahnya itu, pasti banyak wanita yang akan mengantre kecuali dirinya. Nea cukup selektif dalam menilai orang dan Aciel masih belum masuk ke dalam kriterianya.
"Banyak berita tentang dia, aku rasa artis aja kalah tenar sama dia."
"Ah sudahlah, ngapain bahas dia. Aku laper, makan nasi goreng mang Ujang yuk."
Ucapan Nea membuat Niko terkekeh. "Padahal di dalam banyak makanan enak dan mewah tetapi Kamu tetap aja milih nasi goreng mang Ujang." Lelaki itu mengacak rambut Nea yang dihadiahi pukulan pada lengannya oleh Nea.
"Aku nggak selera lihat makanan di dalam sana, mending beli nasi goreng pinggir jalan."
Langsung saja Nea dan Niko memasuki mobil berjalan menuju nasi goreng yang diminta oleh Nea.
Di sisi lain, Aciel duduk di atas mobil dengan mata yang menatap lurus ke depan.
"Maaf tuan El, sekarang kita mau ke mana ya?" Ini adalah pertanyaan ketiga yang dilayangkan oleh sopir Aciel. Pria tersebut masih bungkam.
Tidak mendapatkan respons sang tuan, sopir Aciel pun berinisiatif menelepon Galen selaku sekretaris Aciel.
"Syukurlah, Pak Galen sudah datang," gumam Didin, sopir Aciel.
Suara pintu mobil terbuka membuyarkan lamunan Aciel. Pria tersebut menatap sekretarisnya yang terlihat kelelahan.
"Bagaimana?" tanya Aciel.
"Maaf, pak. Saya kehilangan jejaknya."
"Sialan!" Aciel melayangkan tinjuan ke jendela mobil. Untung saja tidak ada keretakan ataupun luka.
Semuanya buyar. Perjuangan Aciel mempersiapkan proyek ini hancur hanya karena syarat bodoh itu. Mau bagaimana pun proyek ini harus jatuh ke tangannya. Hanya proyek ini yang mampu mengangkat nama Adelard Construction melambung tinggi.
"Kamu tahu bukan proyek ini sangat penting. Saya harus buat kesepakatan dengan wanita itu. Besok, kamu harus mendapatkan identitas dan juga latar belakangnya!" titah Aciel membuat Galen menunduk sambil mengangguk.
"Baik pak, saya akan mencari informasi sebanyak mungkin."
"Jangan sampai perjuangan saya sia-sia, dengar!"
Aciel memalingkan wajah menatap ke luar jendela. Ia menghela napas berat. Malam ini terasa berat.
"Antar saya ke rumah!"
"Ke rumah mana ya, pak?" tanya Galen yang ragu akan tujuan bosnya itu.
Aciel sempat terdiam. "Mama."
Satu kata itu malah membuat Galen semakin khawatir, walaupun begitu ia tidak bisa membantah permintaan Aciel.
"Pak, jalan ke rumah nyonya ya!"
"Baik, Pak Galen."
Sepanjang jalan Aciel tidak hentinya menghela napas berat. Entah apa yang dipikirkan pria tersebut hingga terlihat gelisah.
Nea memandangi ponsel yang terus bergetar di hadapannya. Ini adalah panggilan keempat yang diabaikan olehnya. Helaan napas berat keluar dari mulutnya."Kenapa ngga diangkat sih," gerutu seorang gadis yang serangan dengan Nea."Nggak penting," ucap Nea sambil membalikkan layar ponselnya."Siapa sih?" Gadis itu penasaran sehingga merebut ponsel milik Nea.Terpampang jelas nama orang yang terus menelepon Nea. Pada layar terdapat nama 'Rentenir Sialan'."Rea, balikin ponsel kakak!" Nea merebut ponselnya dan membuat gadis itu menatap sendu padanya."Rea nggak usah kuliah aja ya, kak? Hutang kita akan tambah banyak dan kakak kesulitan ngelunasinnya."Inilah yang tidak disukainya. Rea adalah gadis yang memiliki sifat tidak enakan. Jika melihat kakaknya susah, maka dia akan menganggap semuanya adalah salahnya."Kagak, Kamu tetap kuliah. Anak-anak ayah dan ibu harus sarjana semua, bukan hanya Kakak, Kamu juga harus sarjana." Nea memegang pundak Rea sambil tersenyum.Nea kembali melihat ke pons
Aciel melempar tas miliknya ke sembarang arah yang berakibat vas bunga yang ada di atas nakas jatuh ke lantai. Suara pecahan vas yang menggema membuat beberapa orang yang ada di rumah langsung mencari sumber suara."Shit!" teriak Aciel.Tidak ada yang berani menenangkan Aciel yang sedang marah, termasuk Dayana yang diam melihat anaknya terbakar emosi."Cari cara supaya dia nerima tawaran ini, saya tidak mau usaha saya selama ini sia-sia," titah Aciel pada Galen yang berdiri di belakangnya."Baik, pak. Saya mempunyai informasi yang bisa membuatnya menerima tawaran dari Pak El."Kemarahan Aciel mulai mereda, ia menoleh ke belakang. Mata penuh amarah itu kian mereda berganti dengan rasa penasaran. Galen, orang yang berbicara tadi, maju dengan langkah hati-hati karena pecahan kaca yang bertebaran."Bahas di ruangan saya," ujar Aciel saat menyadari ibunya sedang mengawasi mereka sejak tadi."Baik pak."Galen mengikuti langkah Aciel
“Apa yang terjadi, Nea?”Ini ketiga kalinya Indri bertanya pada Nea dan lagi dan lagi gadis itu bungkam.“Jangan hanya diam! Jawab Nea!” Kesabaran Indri mulai habis. Ia mengguncang tubuh Nea.Apa yang harus Nea jawab? Ia saja terkejut dengan apa yang terjadi.“Nea jawab Ibu! Siapa Aciel, kenapa dia datang dan bilang akan melunaskan semua hutang kita?”Helaan napas panjang keluar dari mulut Nea. Apa pun yang terjadi Nea harus tegar. Kepalanya terangkat lalu menatap ayah dan ibunya sambil tersenyum.“Kalian jangan khawatir, dia bukan orang jahat.” Hanya itu yang bisa Nea katakan.“Kamu kenal dia?” tanya Omar.Nea mengangguk ragu. Mau sekuat apa pun berbohong, mata Nea tidak bisa menutupinya. Omar memahami ada yang disembunyikan oleh Nea.“Semuanya pasti terkejut dengan apa yang terjadi, biarkan Nea istirahat dulu.” Omar menyuruh Indri untuk masuk ke da
Kepulangan seorang pria disambut dengan beberapa pelayan. Masing-masing pelayan mempunyai tugas yang berbeda. Hari ini tidak biasanya Aciel pulang lebih awal.Dayana yang beberapa hari ini menginap di rumah Aciel pun ikut menyambut putranya."El, kamu sudah pulang? Kenapa tidak mengabari lebih awal biar mama masak untuk kamu," ucap Dayana mengikuti ke mana Aciel pergi.Hening, tidak ada respons dari Aciel. Ini bukan pertama kalinya Dayana diabaikan oleh sang putra."Gimana kalau mama pesankan makanan untuk kamu?""El mau istirahat," ucap Aciel tanpa menoleh sedikit pun pada Dayana.Hati ibu mana yang tidak hancur saat melihat anaknya berpaling darinya. Ia tahu Aciel bersikap seperti ini ada alasannya. Namun, sampai kapan Aciel akan seperti ini?"Ya ampun, Zeline masih di kamar." Dayana menepuk jidatnya dan berlari mengejar Aciel. Namun iya sudah terlambat, Aciel sudah masuk ke dalam kamar."Papa El." Teriakan anak kecil bergaun
Sejak pagi Indri sudah sibuk dengan bahan makanan. Wanita itu ingin memasak makanan yang enak untuk Nea hari ini, sup tulang sapi, perkedel, dan ayam goreng kesukaan Nea menjadi menu utama. Tadi pagi Rea sempat meminta dibuatkan bakwan juga, tapi sayang bahan makanan Indri tidak memadai membuat bakwan.“Ma, tepung terigu di warung depan udah habis.” Omar yang harus saja pulang dari warung tetangga memberikan sekantong belanjaan pada Indri.“Rea minta dibuatin bakwan, yaudah mama ke pasar sebentar. Cabe sama bawang juga tinggal sedikit.”Omar mengangguk. “Yaudah, hati-hati. Biar papa bantu buat bumbunya,” ucap Omar yang hendak memasuki dapur.“Nggak usah, papa istiraha—““Udah ke pasar aja sana!” sela Omar.Indri tersenyum dan terburu-buru ke pasar. Jarak pasar dan rumah tidak begitu jauh, Indri memilih untuk berjalan kaki.“Ke mana Bu Indri?” tanya salah sat
"Kenapa kamu nggak cerita dekat sama Nak El?" tanya Indri mulai mengintrogasi Nea."Emangnya ada apa, ma? Kenapa pria berjas itu nganterin kalian sampai rumah? Motor Nea ke mana?""Ceritanya panjang, pa. Pokoknya tadi Nak El yang nolongin mama, terus katanya dia mau jemput Nea karena ban motor Nea bocor."Uhuk! Uhuk!Nea yang sedang makan langsung tersedak. Ban bocor? Seingatnya Aciel yang mengabarinya secara tiba-tiba bahwa dia berada di depan perusahaan tempat Nea wawancara. Aciel juga yang mengatakan untuk meninggalkan motornya di sana karena akan ada yang mengantarkan sampai rumah."Ternyata pria itu ahli dalam berbohong," gumam Nea sambil tersenyum miring."Kamu bilang apa, Ne?""Nggak ada," jawab Nea dengan senyum paksa."Katanya kalian ketemu di seminar? Kok kamu nggak cerita, pas kami tanya siapa dia kemaren kenapa kamu diam aja, Nea?" tanya Indri menggebu-gebu.Ya ampun apalagi ini? Nea tidak tahu berap
Niko memandangi penampilan Nea dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Penampilannya dipercantik dengan senyum bahagia yang tak kendur sedikit pun.“Kenapa?” tanya Nea sembari melihat penampilannya dari atas sampai bawah.“Gue ngerasa ada yang beda,” ucap Niko.“Apa yang beda?”Niko memutar badan Nea dan meneliti satu persatu yang dikenakan oleh Nea hingga menemukan apa yang berbeda.“Baju, kamu beli baju baru?” tanya Niko.Nea membulatkan mulutnya. “Oh baju, hadiah dari temen,” jawab Nea.Jawaban Nea malah membuat Niko memicingkan mata curiga. “Sejak kapan Nea punya teman?”“Sembarangan, emangnya Cuma kamu doang teman aku?” kesal Nea, senyumnya mulai luntur.“Ya nggak gitu, tapi siapa sih? Tapi pilihannya bagus juga, cocok di badan kamu.”Alis Nea terangkat. “Benarkah? Warnanya sangat be
Aciel duduk dengan mata terpejam di dalam mobil. Ia terus mendengar suara anak kecil yang terus bercerita tiada henti, walaupun tidak ada respon sama sekali dari Aciel.“Papa, temen Zee beli mainan baru. Dia beli Barbie yang bisa bicara, bagus banget.” Sepanjang jalan Zee terus bercerita tak peduli bila lawan bicaranya sedang tertidur.“Besok Zee juga ada lomba, tadi udah latihan sama sus.” Zee menggoyangkan tubuh Aciel kuat. “Papa lihat Zee lomba, ya?” pintanya.Mata pria itu terbuka dan menatap wajah kecil Zee. Ia mengelus rambutnya dan berkata, “Papa besok pagi ada rapat, sama sus aja.”Raut wajahnya langsung berubah. Bahunya turun ke bawah dan bibirnya maju beberapa senti.“Padahal Zee pengen papa datang,” lirihnya.“Zee, nanti sus temanin ya? Papa kerja dulu, ya?” Suster yang menjaga Zee mencoba membujuk gadis kecil itu.“Nggak, papa harus datang!&rdquo
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega