Aciel duduk dengan mata terpejam di dalam mobil. Ia terus mendengar suara anak kecil yang terus bercerita tiada henti, walaupun tidak ada respon sama sekali dari Aciel.
“Papa, temen Zee beli mainan baru. Dia beli Barbie yang bisa bicara, bagus banget.” Sepanjang jalan Zee terus bercerita tak peduli bila lawan bicaranya sedang tertidur.
“Besok Zee juga ada lomba, tadi udah latihan sama sus.” Zee menggoyangkan tubuh Aciel kuat. “Papa lihat Zee lomba, ya?” pintanya.
Mata pria itu terbuka dan menatap wajah kecil Zee. Ia mengelus rambutnya dan berkata, “Papa besok pagi ada rapat, sama sus aja.”
Raut wajahnya langsung berubah. Bahunya turun ke bawah dan bibirnya maju beberapa senti.
“Padahal Zee pengen papa datang,” lirihnya.
“Zee, nanti sus temanin ya? Papa kerja dulu, ya?” Suster yang menjaga Zee mencoba membujuk gadis kecil itu.
“Nggak, papa harus datang!&rdquo
“Saya Aciel Cale datang ke rumah ini bermaksud untuk—“Ucapannya menggantung, ia merasa gugup seakan apa yang dilakukannya asli. Padahal ini hanyalah formalitas semata. Sebuah tarikan napas panjang mengawali Aciel kembali berbicara.“Saya bermaksud meminang putri bapak, Nea Halina.” Aciel melihat ke arah Nea yang menunduk. Raut wajah sedih terpampang jelas. Ia teringat akan kata-kata Nea yang ingin menikah dengan orang yang dicintainya.“Kedatangan kami yang mendadak serta maksud dan tujuan datang ke sini dapat diterima dengan baik oleh keluarga Pak Omar,” ucap Aciel setelah memalingkan wajah dari Nea.Omar tersenyum. “Saya senang ada laki-laki yang berniat baik meminang putri saya. Nea memang putri saya, saya yang membesarkannya akan tetapi untuk keputusan ini saya tidak dapat memberikan jawaban. Hanya Nea yang berhak memutuskan,” ucap Omar memegang tangan Nea.Wajah gadis itu terangkat sehingg
Nea berusaha untuk fokus akan tetapi gagal. Nyeri pada perutnya tidak bisa diajak kompromi. Sejak tadi ia terus memegangi perut. Sesekali terdengar suara ringisan kecil dari mulut gadis itu. “Ne, kamu nggak papa?” tanya teman kerja Nea yang duduk bersebelahan dengannya. Kepalanya menggeleng tetapi mulutnya berkata lain. “Iya.” Teman kantor Nea pun merasa bingung. Ia mendekat ke arah gadis itu dan memeriksa suhu tubuhnya, tidak ada yang salah. Suhu tubuhnya normal. “Kamu lagi datang bulan?” bisiknya. Nea mengangguk. “Sebentar aku ambilkan air hangat dulu.” Nea mengangguk. “Mbak Ay, aku tidur bentaran ya.” “Tidur aja, aku pergi ambil bentar.” Ayu teman sekantor Nea pun terburu-buru keluar ruangan untuk mengambilkan air hangat dan obat untuk Nea. Sementara gadis itu sudah merebahkan kepala di atas meja dengan kepala terpejam. “Nea, ini airnya.” Ayu menggoyangkan lengan Nea. “Taruh di atas meja aja, mbak. Nea mau tidur bentaran,” lirihnya. “Oke, tiduran aja. Kerjaan kamu juga ud
Nea memperhatikan seorang gadis kecil yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Hatinya merasa iba melihat kondisi gadis itu, terlebih lagi ia terus mengigau dengan menyebut kata ‘mama’.Tidak mau mengganggu tidur Zee, Nea memilih melihat-lihat kamar gadis kecil itu. Ada banyak sekali foto Zee dipajang di sini, dimulai saat ia memenangkan kontes menggambar, fashion show, ulang tahun, dan masih banyak momen lainnya.“Ternyata Zee anak yang berbakat,” gumam Nea melihat sekumpulan piala milik Zee.“Tapi siapa mereka? Wajah Zee mirip sekali dengan pria yang menggendongnya. Kalau dipikir-pikir Zee tidak mirip dengan Pak El, malahan wanita yang ada di foto ini mirip Pak El.”Nea mulai bertanya-tanya mengenai sebuah foto yang mana memperlihatkan Zee, seorang wanita, dan pria yang menggendong Zee. Mereka lebih mirip sebuah keluarga.“Apakah mereka orang tua Zee? Tapi Pak El?” Nea menggelengkan kepalanya sa
Rumah Nea kini terasa hidup. Suara Zee terdengar hingga ke sudut rumah. Panas Zee langsung turun dan kini gadis itu tengah bermain dengan Rea, sementara Nea sibuk dengan laptopnya di meja makan. Ia mengerjakan pekerjaannya yang tertinggal. “Ne, ibu merasa Nak El adalah malaikat yang datang untuk membantu kita,” ucap Indri setelah tahu mengenai Zee. Mendengar ibunya mengatakan bahwa Aciel malaikat membuat Nea ingin protes. “Kenapa ibu berpikir begitu?” Indri melihat ke arah Nea bingung. “Kenapa tidak? Kamu belum menyadarinya. Tidak ada yang kebetulan, sepertinya kalian memegang berjodoh.” Konsentrasi Nea akan pekerjaan langsung buyar, ia menatap sang ibu. “Tadi malaikat sekarang jodoh, ibu kenapa sih?” kesal Nea. Menurut Nea reaksinya wajar, tetapi berbeda dengan Indri. “Kenapa kamu marah? Kan kalian memang berjodoh.”Nea menggigit bibir bagian bawahnya sambil merutuk di dalam hati. “Kepala Nea sakit banget, Bu. Nggak konsen jadinya.”Indri merasa iba melihat anaknya yang beker
“Ne, apa aku seasing itu sampe kamu nggak cerita apa pun? Masa iya harus dengar dari mulut orang lain, sih? Jelasin ke aku ada apa sebenarnya.” Niko yang datang tiba-tiba ke kantor Nea hanya untuk memarahi gadis itu. “Ne, kenapa diam aja!” Niko terus memaksa Nea berbicara. Nea yang sedang fokus pada laptopnya langsung melirik tajam. “Bisa nggak biarin aku selesaikan pekerjaan ini dulu terus ngobrol?” tanya Nea geram.Niko malah menggeleng membuat emosi Nea melonjak. “Nik! Plis, aku lagi ngejar deadline. Nanti aku jelasin, seriusan,” pinta Nea dengan wajah memelas. “Nea ini istirahat, simpan aja laptopnya!” Niko mengambil laptop Nea dan memegang kedua bahu gadis itu, lalu mengarahkan tubuh gadis ke arahnya. “Oke, apa pertanyaannya? Aku nggak bisa lama.” Tarikan napas yang panjang dari Niko membuat Nea bergidik ngeri, sepertinya tidak akan sebentar. Niko pasti langsung menyerbunya dengan puluhan pertanyaan. “Kamu dilamar sama CEO Adelard Construction itu?” tanya Niko memulai intr
Malam ini Nea begitu sibuk. Setelah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Ayu, kini dia diberikan pekerjaan baru oleh Pak Adi. Tubuhnya mulai lemah karena bekerja seharian tetapi semangatnya masih penuh. Rasa lelah sedikit tidak mempengaruhi semangat Nea yang menggebu-gebu. Masalah Niko, Nea menjadi lebih tenang setelah Rea mengatakan bahwa pria itu akan datang ke rumah malam ini. "Nea, sudah malam. Lebih baik kamu pulang dan kerjakan di rumah saja, saya pamit duluan." Pak Adi terburu-buru untuk pulang. Nea, Ayu, dan sejumlah karyawan lainnya bernapas lega. Setelah bekerja seharian akhirnya mereka bisa pulang. "Akhirnya, capek banget," ucap Ayu sembari meregangkan tubuhnya. Teman kantor Nea mulai grasak-grusuk untuk pulang. Mereka mulai sibuk menyusun barang-barangnya sementara Nea memilih memejamkan mata sesaat."Ne, pulang sama siapa?" tanya Ayu melirik ke arah Nea yang kelelahan."Biasa, mbak. Naik motor sendiri, mbak mau diantar?" Mata Nea mulai terbuka dan ia menegakkan pun
Mata Niko tidak bisa beralih, tubuhnya membeku serta matanya terus menatap ke satu tempat. Setelah duduk sekitar setengah jam, Niko dikejutkan dengan kehadiran Nea. Nea yang di hadapannya kali ini berbeda, ia terlihat anggun mengenakan gaun putih panjang hingga menyapu lantai serta rambut yang disanggul. Waktu seakan melambat begitu juga dengan Nea yang berjalan ke arah Niko. Senyuman yang terpancar ditambah gerakan lambat yang dilihat Niko membuat pria itu menahan napas sesaat.“Cantik,” gumamnya.Nea mendengar ucapan Niko langsung tersenyum. “Tidak perlu minta pendapat, lewat tatapan aja udah tahu jawabannya apa,” kekeh Nea sembari mengangkat gaunnya yang sempat terinjaknya. Niko tersadar langsung memalingkan wajah. “Sok tahu, tapi bajunya emang bagus jadi pas kamu pakai ya cantik-cantik aja,” alibi Niko.Ucapan Niko tentu tidak bisa meyakinkan Nea. Jelas wajah Niko tadi terpesona sama dirinya. “Aku pilih ini aja? Atau coba yang lain ya?” Nea mulai melihat ke sekeliling. Ia sudah
Pernikahan tinggal menghitung beberapa hari lagi. Rumah Nea mulai ramai didatangi oleh tetangga serta kerabat. Pernikahan memang diselenggarakan di gedung tetapi ada beberapa persiapan yang dilakukan di rumah yang dibantu oleh kerabat Nea serta tetangga. Rea baru saja kembali membagikan undangan. Sesuai keinginan Nea, pernikahannya tidak dihadiri banyak orang dan hanya orang terpilih yang diundang. “Bu, undangan udah Rea antar.” Rea duduk selonjoran di sebelah Indri yang sedang menyiapkan souvernir. “Rumah Tante kamu, Nisa, udah?” tanya Indri. Rea mengangguk. “Udah semua.”“Oke, bantu ibu susun souvernir ini ke dalam kotak,” ucap Indri. Rea menghela napas. Nea sudah menawarkan Indri untuk memesan souvernir yang sudah jadi tanpa harus kita siapkan terlebih dahulu, tetapi Indri menolak. Ia ingin orang yang mendapatkan souvernir merasakan usaha dan kebahagiaan mereka.“Ibu, ibu, dikasih kemudahan malah minta yang ribet.” Rea memulai pekerjaan dengan mengomeli ibunya.“Kerjakan aja,
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega