Niko memandangi penampilan Nea dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Penampilannya dipercantik dengan senyum bahagia yang tak kendur sedikit pun.
“Kenapa?” tanya Nea sembari melihat penampilannya dari atas sampai bawah.
“Gue ngerasa ada yang beda,” ucap Niko.
“Apa yang beda?”
Niko memutar badan Nea dan meneliti satu persatu yang dikenakan oleh Nea hingga menemukan apa yang berbeda.
“Baju, kamu beli baju baru?” tanya Niko.
Nea membulatkan mulutnya. “Oh baju, hadiah dari temen,” jawab Nea.
Jawaban Nea malah membuat Niko memicingkan mata curiga. “Sejak kapan Nea punya teman?”
“Sembarangan, emangnya Cuma kamu doang teman aku?” kesal Nea, senyumnya mulai luntur.
“Ya nggak gitu, tapi siapa sih? Tapi pilihannya bagus juga, cocok di badan kamu.”
Alis Nea terangkat. “Benarkah? Warnanya sangat be
Aciel duduk dengan mata terpejam di dalam mobil. Ia terus mendengar suara anak kecil yang terus bercerita tiada henti, walaupun tidak ada respon sama sekali dari Aciel.“Papa, temen Zee beli mainan baru. Dia beli Barbie yang bisa bicara, bagus banget.” Sepanjang jalan Zee terus bercerita tak peduli bila lawan bicaranya sedang tertidur.“Besok Zee juga ada lomba, tadi udah latihan sama sus.” Zee menggoyangkan tubuh Aciel kuat. “Papa lihat Zee lomba, ya?” pintanya.Mata pria itu terbuka dan menatap wajah kecil Zee. Ia mengelus rambutnya dan berkata, “Papa besok pagi ada rapat, sama sus aja.”Raut wajahnya langsung berubah. Bahunya turun ke bawah dan bibirnya maju beberapa senti.“Padahal Zee pengen papa datang,” lirihnya.“Zee, nanti sus temanin ya? Papa kerja dulu, ya?” Suster yang menjaga Zee mencoba membujuk gadis kecil itu.“Nggak, papa harus datang!&rdquo
“Saya Aciel Cale datang ke rumah ini bermaksud untuk—“Ucapannya menggantung, ia merasa gugup seakan apa yang dilakukannya asli. Padahal ini hanyalah formalitas semata. Sebuah tarikan napas panjang mengawali Aciel kembali berbicara.“Saya bermaksud meminang putri bapak, Nea Halina.” Aciel melihat ke arah Nea yang menunduk. Raut wajah sedih terpampang jelas. Ia teringat akan kata-kata Nea yang ingin menikah dengan orang yang dicintainya.“Kedatangan kami yang mendadak serta maksud dan tujuan datang ke sini dapat diterima dengan baik oleh keluarga Pak Omar,” ucap Aciel setelah memalingkan wajah dari Nea.Omar tersenyum. “Saya senang ada laki-laki yang berniat baik meminang putri saya. Nea memang putri saya, saya yang membesarkannya akan tetapi untuk keputusan ini saya tidak dapat memberikan jawaban. Hanya Nea yang berhak memutuskan,” ucap Omar memegang tangan Nea.Wajah gadis itu terangkat sehingg
Nea berusaha untuk fokus akan tetapi gagal. Nyeri pada perutnya tidak bisa diajak kompromi. Sejak tadi ia terus memegangi perut. Sesekali terdengar suara ringisan kecil dari mulut gadis itu. “Ne, kamu nggak papa?” tanya teman kerja Nea yang duduk bersebelahan dengannya. Kepalanya menggeleng tetapi mulutnya berkata lain. “Iya.” Teman kantor Nea pun merasa bingung. Ia mendekat ke arah gadis itu dan memeriksa suhu tubuhnya, tidak ada yang salah. Suhu tubuhnya normal. “Kamu lagi datang bulan?” bisiknya. Nea mengangguk. “Sebentar aku ambilkan air hangat dulu.” Nea mengangguk. “Mbak Ay, aku tidur bentaran ya.” “Tidur aja, aku pergi ambil bentar.” Ayu teman sekantor Nea pun terburu-buru keluar ruangan untuk mengambilkan air hangat dan obat untuk Nea. Sementara gadis itu sudah merebahkan kepala di atas meja dengan kepala terpejam. “Nea, ini airnya.” Ayu menggoyangkan lengan Nea. “Taruh di atas meja aja, mbak. Nea mau tidur bentaran,” lirihnya. “Oke, tiduran aja. Kerjaan kamu juga ud
Nea memperhatikan seorang gadis kecil yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Hatinya merasa iba melihat kondisi gadis itu, terlebih lagi ia terus mengigau dengan menyebut kata ‘mama’.Tidak mau mengganggu tidur Zee, Nea memilih melihat-lihat kamar gadis kecil itu. Ada banyak sekali foto Zee dipajang di sini, dimulai saat ia memenangkan kontes menggambar, fashion show, ulang tahun, dan masih banyak momen lainnya.“Ternyata Zee anak yang berbakat,” gumam Nea melihat sekumpulan piala milik Zee.“Tapi siapa mereka? Wajah Zee mirip sekali dengan pria yang menggendongnya. Kalau dipikir-pikir Zee tidak mirip dengan Pak El, malahan wanita yang ada di foto ini mirip Pak El.”Nea mulai bertanya-tanya mengenai sebuah foto yang mana memperlihatkan Zee, seorang wanita, dan pria yang menggendong Zee. Mereka lebih mirip sebuah keluarga.“Apakah mereka orang tua Zee? Tapi Pak El?” Nea menggelengkan kepalanya sa
Rumah Nea kini terasa hidup. Suara Zee terdengar hingga ke sudut rumah. Panas Zee langsung turun dan kini gadis itu tengah bermain dengan Rea, sementara Nea sibuk dengan laptopnya di meja makan. Ia mengerjakan pekerjaannya yang tertinggal. “Ne, ibu merasa Nak El adalah malaikat yang datang untuk membantu kita,” ucap Indri setelah tahu mengenai Zee. Mendengar ibunya mengatakan bahwa Aciel malaikat membuat Nea ingin protes. “Kenapa ibu berpikir begitu?” Indri melihat ke arah Nea bingung. “Kenapa tidak? Kamu belum menyadarinya. Tidak ada yang kebetulan, sepertinya kalian memegang berjodoh.” Konsentrasi Nea akan pekerjaan langsung buyar, ia menatap sang ibu. “Tadi malaikat sekarang jodoh, ibu kenapa sih?” kesal Nea. Menurut Nea reaksinya wajar, tetapi berbeda dengan Indri. “Kenapa kamu marah? Kan kalian memang berjodoh.”Nea menggigit bibir bagian bawahnya sambil merutuk di dalam hati. “Kepala Nea sakit banget, Bu. Nggak konsen jadinya.”Indri merasa iba melihat anaknya yang beker
“Ne, apa aku seasing itu sampe kamu nggak cerita apa pun? Masa iya harus dengar dari mulut orang lain, sih? Jelasin ke aku ada apa sebenarnya.” Niko yang datang tiba-tiba ke kantor Nea hanya untuk memarahi gadis itu. “Ne, kenapa diam aja!” Niko terus memaksa Nea berbicara. Nea yang sedang fokus pada laptopnya langsung melirik tajam. “Bisa nggak biarin aku selesaikan pekerjaan ini dulu terus ngobrol?” tanya Nea geram.Niko malah menggeleng membuat emosi Nea melonjak. “Nik! Plis, aku lagi ngejar deadline. Nanti aku jelasin, seriusan,” pinta Nea dengan wajah memelas. “Nea ini istirahat, simpan aja laptopnya!” Niko mengambil laptop Nea dan memegang kedua bahu gadis itu, lalu mengarahkan tubuh gadis ke arahnya. “Oke, apa pertanyaannya? Aku nggak bisa lama.” Tarikan napas yang panjang dari Niko membuat Nea bergidik ngeri, sepertinya tidak akan sebentar. Niko pasti langsung menyerbunya dengan puluhan pertanyaan. “Kamu dilamar sama CEO Adelard Construction itu?” tanya Niko memulai intr
Malam ini Nea begitu sibuk. Setelah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Ayu, kini dia diberikan pekerjaan baru oleh Pak Adi. Tubuhnya mulai lemah karena bekerja seharian tetapi semangatnya masih penuh. Rasa lelah sedikit tidak mempengaruhi semangat Nea yang menggebu-gebu. Masalah Niko, Nea menjadi lebih tenang setelah Rea mengatakan bahwa pria itu akan datang ke rumah malam ini. "Nea, sudah malam. Lebih baik kamu pulang dan kerjakan di rumah saja, saya pamit duluan." Pak Adi terburu-buru untuk pulang. Nea, Ayu, dan sejumlah karyawan lainnya bernapas lega. Setelah bekerja seharian akhirnya mereka bisa pulang. "Akhirnya, capek banget," ucap Ayu sembari meregangkan tubuhnya. Teman kantor Nea mulai grasak-grusuk untuk pulang. Mereka mulai sibuk menyusun barang-barangnya sementara Nea memilih memejamkan mata sesaat."Ne, pulang sama siapa?" tanya Ayu melirik ke arah Nea yang kelelahan."Biasa, mbak. Naik motor sendiri, mbak mau diantar?" Mata Nea mulai terbuka dan ia menegakkan pun
Mata Niko tidak bisa beralih, tubuhnya membeku serta matanya terus menatap ke satu tempat. Setelah duduk sekitar setengah jam, Niko dikejutkan dengan kehadiran Nea. Nea yang di hadapannya kali ini berbeda, ia terlihat anggun mengenakan gaun putih panjang hingga menyapu lantai serta rambut yang disanggul. Waktu seakan melambat begitu juga dengan Nea yang berjalan ke arah Niko. Senyuman yang terpancar ditambah gerakan lambat yang dilihat Niko membuat pria itu menahan napas sesaat.“Cantik,” gumamnya.Nea mendengar ucapan Niko langsung tersenyum. “Tidak perlu minta pendapat, lewat tatapan aja udah tahu jawabannya apa,” kekeh Nea sembari mengangkat gaunnya yang sempat terinjaknya. Niko tersadar langsung memalingkan wajah. “Sok tahu, tapi bajunya emang bagus jadi pas kamu pakai ya cantik-cantik aja,” alibi Niko.Ucapan Niko tentu tidak bisa meyakinkan Nea. Jelas wajah Niko tadi terpesona sama dirinya. “Aku pilih ini aja? Atau coba yang lain ya?” Nea mulai melihat ke sekeliling. Ia sudah