Nea memperhatikan seorang gadis kecil yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Hatinya merasa iba melihat kondisi gadis itu, terlebih lagi ia terus mengigau dengan menyebut kata ‘mama’.
Tidak mau mengganggu tidur Zee, Nea memilih melihat-lihat kamar gadis kecil itu. Ada banyak sekali foto Zee dipajang di sini, dimulai saat ia memenangkan kontes menggambar, fashion show, ulang tahun, dan masih banyak momen lainnya.
“Ternyata Zee anak yang berbakat,” gumam Nea melihat sekumpulan piala milik Zee.
“Tapi siapa mereka? Wajah Zee mirip sekali dengan pria yang menggendongnya. Kalau dipikir-pikir Zee tidak mirip dengan Pak El, malahan wanita yang ada di foto ini mirip Pak El.”
Nea mulai bertanya-tanya mengenai sebuah foto yang mana memperlihatkan Zee, seorang wanita, dan pria yang menggendong Zee. Mereka lebih mirip sebuah keluarga.
“Apakah mereka orang tua Zee? Tapi Pak El?” Nea menggelengkan kepalanya sa
Rumah Nea kini terasa hidup. Suara Zee terdengar hingga ke sudut rumah. Panas Zee langsung turun dan kini gadis itu tengah bermain dengan Rea, sementara Nea sibuk dengan laptopnya di meja makan. Ia mengerjakan pekerjaannya yang tertinggal. “Ne, ibu merasa Nak El adalah malaikat yang datang untuk membantu kita,” ucap Indri setelah tahu mengenai Zee. Mendengar ibunya mengatakan bahwa Aciel malaikat membuat Nea ingin protes. “Kenapa ibu berpikir begitu?” Indri melihat ke arah Nea bingung. “Kenapa tidak? Kamu belum menyadarinya. Tidak ada yang kebetulan, sepertinya kalian memegang berjodoh.” Konsentrasi Nea akan pekerjaan langsung buyar, ia menatap sang ibu. “Tadi malaikat sekarang jodoh, ibu kenapa sih?” kesal Nea. Menurut Nea reaksinya wajar, tetapi berbeda dengan Indri. “Kenapa kamu marah? Kan kalian memang berjodoh.”Nea menggigit bibir bagian bawahnya sambil merutuk di dalam hati. “Kepala Nea sakit banget, Bu. Nggak konsen jadinya.”Indri merasa iba melihat anaknya yang beker
“Ne, apa aku seasing itu sampe kamu nggak cerita apa pun? Masa iya harus dengar dari mulut orang lain, sih? Jelasin ke aku ada apa sebenarnya.” Niko yang datang tiba-tiba ke kantor Nea hanya untuk memarahi gadis itu. “Ne, kenapa diam aja!” Niko terus memaksa Nea berbicara. Nea yang sedang fokus pada laptopnya langsung melirik tajam. “Bisa nggak biarin aku selesaikan pekerjaan ini dulu terus ngobrol?” tanya Nea geram.Niko malah menggeleng membuat emosi Nea melonjak. “Nik! Plis, aku lagi ngejar deadline. Nanti aku jelasin, seriusan,” pinta Nea dengan wajah memelas. “Nea ini istirahat, simpan aja laptopnya!” Niko mengambil laptop Nea dan memegang kedua bahu gadis itu, lalu mengarahkan tubuh gadis ke arahnya. “Oke, apa pertanyaannya? Aku nggak bisa lama.” Tarikan napas yang panjang dari Niko membuat Nea bergidik ngeri, sepertinya tidak akan sebentar. Niko pasti langsung menyerbunya dengan puluhan pertanyaan. “Kamu dilamar sama CEO Adelard Construction itu?” tanya Niko memulai intr
Malam ini Nea begitu sibuk. Setelah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Ayu, kini dia diberikan pekerjaan baru oleh Pak Adi. Tubuhnya mulai lemah karena bekerja seharian tetapi semangatnya masih penuh. Rasa lelah sedikit tidak mempengaruhi semangat Nea yang menggebu-gebu. Masalah Niko, Nea menjadi lebih tenang setelah Rea mengatakan bahwa pria itu akan datang ke rumah malam ini. "Nea, sudah malam. Lebih baik kamu pulang dan kerjakan di rumah saja, saya pamit duluan." Pak Adi terburu-buru untuk pulang. Nea, Ayu, dan sejumlah karyawan lainnya bernapas lega. Setelah bekerja seharian akhirnya mereka bisa pulang. "Akhirnya, capek banget," ucap Ayu sembari meregangkan tubuhnya. Teman kantor Nea mulai grasak-grusuk untuk pulang. Mereka mulai sibuk menyusun barang-barangnya sementara Nea memilih memejamkan mata sesaat."Ne, pulang sama siapa?" tanya Ayu melirik ke arah Nea yang kelelahan."Biasa, mbak. Naik motor sendiri, mbak mau diantar?" Mata Nea mulai terbuka dan ia menegakkan pun
Mata Niko tidak bisa beralih, tubuhnya membeku serta matanya terus menatap ke satu tempat. Setelah duduk sekitar setengah jam, Niko dikejutkan dengan kehadiran Nea. Nea yang di hadapannya kali ini berbeda, ia terlihat anggun mengenakan gaun putih panjang hingga menyapu lantai serta rambut yang disanggul. Waktu seakan melambat begitu juga dengan Nea yang berjalan ke arah Niko. Senyuman yang terpancar ditambah gerakan lambat yang dilihat Niko membuat pria itu menahan napas sesaat.“Cantik,” gumamnya.Nea mendengar ucapan Niko langsung tersenyum. “Tidak perlu minta pendapat, lewat tatapan aja udah tahu jawabannya apa,” kekeh Nea sembari mengangkat gaunnya yang sempat terinjaknya. Niko tersadar langsung memalingkan wajah. “Sok tahu, tapi bajunya emang bagus jadi pas kamu pakai ya cantik-cantik aja,” alibi Niko.Ucapan Niko tentu tidak bisa meyakinkan Nea. Jelas wajah Niko tadi terpesona sama dirinya. “Aku pilih ini aja? Atau coba yang lain ya?” Nea mulai melihat ke sekeliling. Ia sudah
Pernikahan tinggal menghitung beberapa hari lagi. Rumah Nea mulai ramai didatangi oleh tetangga serta kerabat. Pernikahan memang diselenggarakan di gedung tetapi ada beberapa persiapan yang dilakukan di rumah yang dibantu oleh kerabat Nea serta tetangga. Rea baru saja kembali membagikan undangan. Sesuai keinginan Nea, pernikahannya tidak dihadiri banyak orang dan hanya orang terpilih yang diundang. “Bu, undangan udah Rea antar.” Rea duduk selonjoran di sebelah Indri yang sedang menyiapkan souvernir. “Rumah Tante kamu, Nisa, udah?” tanya Indri. Rea mengangguk. “Udah semua.”“Oke, bantu ibu susun souvernir ini ke dalam kotak,” ucap Indri. Rea menghela napas. Nea sudah menawarkan Indri untuk memesan souvernir yang sudah jadi tanpa harus kita siapkan terlebih dahulu, tetapi Indri menolak. Ia ingin orang yang mendapatkan souvernir merasakan usaha dan kebahagiaan mereka.“Ibu, ibu, dikasih kemudahan malah minta yang ribet.” Rea memulai pekerjaan dengan mengomeli ibunya.“Kerjakan aja,
Zee terus berlarian ke sana ke mari, ia begitu antusias saat di sekelilingnya dipenuhi oleh permainan. Saat ini Aciel mengajak gadis kecil itu ke wahana permainan di salah satu mall yang berada di dekat rumah. "Sus, tolong jaga Zee. Saya ingin jemput Nea sebentar.""Baik, pak." Aciel langsung pergi menuju parkiran. Hari ini ia berencana menjemput Nea dari kantor. Ada beberapa hal yang harus dibahas sebelum pernikahan dan sampai sekarang Aciel belum sempat membahasnya. Setelah sampai di parkiran, Aciel disambut dengan Pak Didin, sopir Aciel. Pak Didin membukakan pintu untuk tuannya lalu kembali masuk ke dalam mobil."Antar kan saya ke kantor Nea, tolong dipercepat." Aciel melirik sekilas jam tangan yang melingkar di tangannya. Ia dia takut kalau Nea sudah lebih dulu pulang. "Baik, tuan.""Galen, di mana dia?" tanya Aciel saat menyadari tidak ada Galen sejak tadi."Pak Galen baru saja pulang, dia bilang ada yang mau di urus.""Oke." Mobil mulai melaju membelah jalanan kota, sepanjan
Setelah berusaha menemui Niko berkali-kali, hari ini akhirnya Nea bisa bertatapan langsung dengan laki-laki ini. Nea sempat ingin memukul bahunya karena kesal Niko tidak mau bertemu dengannya tapi urung mengingat hubungan mereka yang sedang retak.“Tumben banget nyariin, biasanya aku yang nyariin,” sindir Niko.Tentu Nea merasa tersindir dan tertohok. Jika dipikir-pikir benar apa yang dikatakan Niko, selama ini Nea terlalu tidak peduli pada keadaan sekitar.“Sorry, aku minta maaf udah bicara sembarangan.” Nea menangkupkan kedua telapak tangannya dan menatap kedua mata Niko dengan wajah melasnya.Niko memalingkan wajahnya. Kali ini ia bertekad tidak akan mudah termakan rayuan Nea. “Maaf? Besok diulangi lagi.”Nea menarik napas dan membuangnya peralahan. Matanya kembali menatap ke arah Niko yang enggan menatapnya.“Aku minta maaf, aku berusaha untuk tidak mengulanginya. Nik, Minggu aku nikah dan kamu masih marah? Aku mau kamu datang ke nikahan aku,” bujuk Nea.“Jadi datang ke sini supa
Flashback OnAkad nikah sepasang kekasih baru saja selesai, semua orang mengucap syukur dan menangis haru. Kini semua orang sedang menikmati hidangan yang telah disediakan oleh keluarga pengantin tak terkecuali ke keluarga Nea. Nea yang saat itu berusia 6 tahun terus memandangi pengantin yang duduk di pelaminan. Gadis kecil itu menarik baju ayahnya dan mendongak menatap kedua bola mata sang ayah. “Ayah, nikah itu apa? Kenapa mereka senang?” tanya Nea.Omar menunduk lalu menarik hidung Nea gemas. Anaknya ini memang selalu menanyakan setiap hal. “Pernikahan adalah ritual sakral antara sepasang kekasih.”Penjelasan Omar yang cukup berat tentu sulit diterima gadis kecil itu. Ia membuka mulut dengan alis menyatu. “Apa itu ayah?”Omar terkekeh. “Kayak ibu sama ayah yang hidup berdua selamanya, sama seperti teman? Mereka akan hidup bersama seumur hidupnya. Bisa bermain sama, bercerita, jalan-jalan, dan hal lain yang dilakukan bersamaan,” jelas Omar dengan kata-kata yang mudah dimengerti o