Setelah berusaha menemui Niko berkali-kali, hari ini akhirnya Nea bisa bertatapan langsung dengan laki-laki ini. Nea sempat ingin memukul bahunya karena kesal Niko tidak mau bertemu dengannya tapi urung mengingat hubungan mereka yang sedang retak.“Tumben banget nyariin, biasanya aku yang nyariin,” sindir Niko.Tentu Nea merasa tersindir dan tertohok. Jika dipikir-pikir benar apa yang dikatakan Niko, selama ini Nea terlalu tidak peduli pada keadaan sekitar.“Sorry, aku minta maaf udah bicara sembarangan.” Nea menangkupkan kedua telapak tangannya dan menatap kedua mata Niko dengan wajah melasnya.Niko memalingkan wajahnya. Kali ini ia bertekad tidak akan mudah termakan rayuan Nea. “Maaf? Besok diulangi lagi.”Nea menarik napas dan membuangnya peralahan. Matanya kembali menatap ke arah Niko yang enggan menatapnya.“Aku minta maaf, aku berusaha untuk tidak mengulanginya. Nik, Minggu aku nikah dan kamu masih marah? Aku mau kamu datang ke nikahan aku,” bujuk Nea.“Jadi datang ke sini supa
Flashback OnAkad nikah sepasang kekasih baru saja selesai, semua orang mengucap syukur dan menangis haru. Kini semua orang sedang menikmati hidangan yang telah disediakan oleh keluarga pengantin tak terkecuali ke keluarga Nea. Nea yang saat itu berusia 6 tahun terus memandangi pengantin yang duduk di pelaminan. Gadis kecil itu menarik baju ayahnya dan mendongak menatap kedua bola mata sang ayah. “Ayah, nikah itu apa? Kenapa mereka senang?” tanya Nea.Omar menunduk lalu menarik hidung Nea gemas. Anaknya ini memang selalu menanyakan setiap hal. “Pernikahan adalah ritual sakral antara sepasang kekasih.”Penjelasan Omar yang cukup berat tentu sulit diterima gadis kecil itu. Ia membuka mulut dengan alis menyatu. “Apa itu ayah?”Omar terkekeh. “Kayak ibu sama ayah yang hidup berdua selamanya, sama seperti teman? Mereka akan hidup bersama seumur hidupnya. Bisa bermain sama, bercerita, jalan-jalan, dan hal lain yang dilakukan bersamaan,” jelas Omar dengan kata-kata yang mudah dimengerti o
Sebuah tarikan napas yang cukup panjang oleh Nea membuat orang yang duduk di sebelahnya sempat melirik sekilas. Gadis itu tak hentinya menghela napas lalu bergerak gelisah. Mereka berdua kini dilihat oleh banyak orang yang membuat Nea menjadi gugup dan gelisah, apalagi saat ini adalah detik-detik dirinya menjadi lajang.Matanya menatap pada ayah yang menjabat tangan Aciel dan mata mereka saling beradu. Gadis itu semakin bertambah gugup saat ayahnya mulai bersuara.“ Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Aciel Cale bin Adelard Cale dengan anak saya yang bernama Nea Halina dengan maskawinnya berupa uang tunai senilai 500 juta, tunai.” Suara tegas nan lantang membuat atmosfer semakin tegang.Darah Nea berdesir hebat bersama dengan detak jantungnya diluar batas normal. Sesaat gadis itu sulit untuk meraih oksigen. Beberapa tamu undangan dan keluarga ikut merasakan kegugupan yang dirasakan Nea. Suasana hening dan hanya terfokus pada Omar dan Aciel.“Saya terima nikahnya dan kawinn
Indri dan Omar sibuk menyapa para tamu yang datang. Tamu datang silih berganti membuat sepasang suami istri tersebut tidak berhenti berkeliling. Rea pun begitu, mereka tidak melewatkan satu tamu pun.“Kak Mira, Indri senang lihat kakak datang.” Indri berjalan dengan semangat melihat sang kakak yang tinggal di luar kota menyempatkan untuk datang di pernikahan putrinya.“Masa Nea nikah kakak nggak datang, mana Nea nya? Kok nggak kelihatan?” Mira melihat ke kanan dan kiri tetapi tidak menemukan Nea serta suami. “Oh, Nea lagi ganti baju. Sebentar lagi juga keluar, kakak nikmatin hidangan yang sudah disediakan saja dulu.” Mira mengangguk, matanya masih sibuk mencari sesuatu. Indri pun mengikuti arah pandang Mira namun ia tidak menemukan apa yang dicari wanita itu. “Kakak nyari apa?” tanya Indri. “Mertua Nea ke mana? Dari tadi kakak lihat Cuma kalian yang sibuk nyapa tamu.” Pertanyaan yang diberikan sang kakak membuat Indri diam mematung, ia hanya tersenyum tipis. “Orang tua Nak El be
Suara tangisan Zee menggema pada setiap sudut ruangan, gadis kecil itu terus memeluk leher Nea yang tanpa mau melepaskan walaupun Indri, Omar, Rea, dan juga Galen mencoba membujuk gadis kecil itu. “Zee, ayo main ke taman.” Rea tersenyum hangat pada gadis kecil itu ambil mengulurkan kedua tangannya hendak menggendong Zee. Usaha Rea dibalas penolakan oleh Zee. Kini Galen maju beberapa langkah, ia sedikit menunduk untuk menyamakan tingginya dengan Zee. “Kamu sudah besar, kan? Kenapa masih digendong sama mama? Sini sama om, kasian mamanya capek.” Galen sempat menggoyahkan pendirian Zee untuk sesaat namun kemudian gadis kecil itu malah menenggelamkan wajahnya di leher Nea. Nea mengelus lembut rambut anak sambungnya itu. “Ma, biarin aja Nea bawa, kasian dia nanti nangis di tinggal.”Indri menggeleng, ia dan pendiriannya berusaha keras membujuk Zee agar mau bersama mereka dan membiarkan Nea serta Aciel pergi ke hotel berdua saja. “Zee, sama nenek aja, ya? Mama mau pergi sama papa. Tenang
Hari ini begitu panjang dan melelahkan. Diawali dari bangun pagi persiapan make up dan segala macam, lalu akad nikah dan berlanjut ke resepsi setelah itu berpamitan dengan keluarga membuat tubuh wanita yang sejak tadi memeluk Zee merasa lelah. Ingin mengeluh tetapi saat melihat Aciel yang masih fit dan terlihat baik-baik saja membuat Nea merasa minder dan mengabaikan rasa capeknya. “Biar saya gendong,” ucap Aciel saat Nea kesusahan berdiri menggendong Zee. Nea kembali duduk dan membiarkan Aciel mengangkat tubuh gadis kecil itu lalu merebahkannya di atas ranjang. “Terima kasih,” ucap Nea lalu berdiri meregangkan badannya. “Zee sudah tidur, saya mau kembali ke kamar. Jika Zee bertanya katakan saja saya sedang di luar.” Aciel mengambil laptop yang sempat dipandanginya beberapa saat lalu. “Sebentar.” Nea memberi kode pada Aciel untuk menunggu sementara dirinya sedang membongkar tas yang dibawanya tadi. Setelah menemukan apa yang dicarinya, Nea langsung menghampiri Aciel sembari member
Mata Nea tak bisa berlatih menatap perkarangan rumah yang dipenuhi oleh tanaman tersusun rapi serta beberapa furniture yang menambah kesan klasik dan modern. Perkarangan luas yang bisa dijadikan lapangan bola membuat wanita itu kagum. Bahkan rumahnya saat ia masih kecil tidak sebesar dan semegah ini. Pria yang menuntun jalan Nea terus berjalan tanpa menoleh ke belakang dan seorang gadis kecil memegang tangan Nea.“Selamat datang, nyonya,” sambut beberapa pelayan di rumah Aciel pada Nea. Wanita itu tersenyum merespon sambutan tersebut sementara Zee ikutan melambaikan tangan sambil terkekeh kecil.Saat matanya langsung dihadapkan dengan pintu yang ukurannya sangat besar berwarna putih dan lantai yang berkilau mampu membuat mulut gadis itu menganga sesaat. “Mama, kenapa diam? Ayo masuk!” Zee menarik-narik tangan Nea, saat wanita itu terdiam di depan pintu.Tentu ucapan Zee membuat Aciel berhenti dan menoleh ke belakang. “Nea, ayo masuk!” Barulah Nea tersadar dan melangkah memasuki ruma
Hari sudah memasuki pukul 3 subuh dan sudah menjadi kebiasaan untuk mbak Ani ke dapur menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan yang akan dimasak setelah itu ia kembali ke kamar untuk melaksanakan ibadah tetapi saat hendak memasuki kamar, ia mendapati sebuah suara seseorang berjalan. Takut bila orang asing masuk ke dalam rumah. Saat dirinya mendekati sumber suara, Mbak Ani mendapati Aciel yang sedang berjalan sempoyongan sambil memijit pelipis. “Tuan El, baru pulang. Mau dibuatkan teh?” tawar Mbak Ira. “Tidak perlu, bi. Mau langsung istirahat.” Aciel melenggang pergi tetapi sesaat kemudian ia menyadari satu hal. Ia pun berbalik menghampiri Mbak Ani. “Nea tidur di mana, bi?” tanya Aciel.“Nyonya di kamar tuan, tadi sempat ketiduran di kamar Nona Zee tapi langsung pindah ke kamar tuan. Nyonya sempat menunggu tuan pulang.”Aciel menghela napas. “Tolong bersihkan kamar tamu, Bi. Saya tidur di sana saja. Saya mau kamar Zee sebentar.” “Kenapa kamar tamu tuan?” tanya Mbak Ani. “Saya tidak ma
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega