Nea memandangi ponsel yang terus bergetar di hadapannya. Ini adalah panggilan keempat yang diabaikan olehnya. Helaan napas berat keluar dari mulutnya.
"Kenapa ngga diangkat sih," gerutu seorang gadis yang serangan dengan Nea.
"Nggak penting," ucap Nea sambil membalikkan layar ponselnya.
"Siapa sih?" Gadis itu penasaran sehingga merebut ponsel milik Nea.
Terpampang jelas nama orang yang terus menelepon Nea. Pada layar terdapat nama 'Rentenir Sialan'.
"Rea, balikin ponsel kakak!" Nea merebut ponselnya dan membuat gadis itu menatap sendu padanya.
"Rea nggak usah kuliah aja ya, kak? Hutang kita akan tambah banyak dan kakak kesulitan ngelunasinnya."
Inilah yang tidak disukainya. Rea adalah gadis yang memiliki sifat tidak enakan. Jika melihat kakaknya susah, maka dia akan menganggap semuanya adalah salahnya.
"Kagak, Kamu tetap kuliah. Anak-anak ayah dan ibu harus sarjana semua, bukan hanya Kakak, Kamu juga harus sarjana." Nea memegang pundak Rea sambil tersenyum.
Nea kembali melihat ke ponsel yang tadi dipegang oleh Rea, ia pun bergegas pergi ke suatu tempat setelah berpikir beberapa saat.
"Ke mana kak?"
"Keluar bentar." Nea terburu-buru pergi membawa motor.
Tujuannya adalah ke kantor rentenir itu. Di dalam tasnya terdapat sejumlah uang hasil kerjanya selama kuliah. Jumlahnya tidaklah banyak tetapi Nea berharap ini akan cukup membuat rentenir itu berhenti menghubunginya beberapa hari ini.
Sampailah dia di depan kantornya, saat menuruni motor, Nea langsung dihampiri pria berbadan kekar.
"Ha! Ini dia gadis kurang ajar yang nggak angkat telepon."
Melihat pria tersebut nyali Nea sedikit menciut, tetapi keinginannya menyelesaikan masalah ini lebih besar dibanding rasa takutnya.
"Saya datang untuk bernegosiasi," ucap Nea.
Ucapan Nea dibalas dengan gelak tawa mengejek.
"Negosiasi? Kamu pikir ini pasar. Besok kalau Kamu nggak bayar, kalian semua harus keluar dari rumah itu."
Nea spontan menggeleng. "Jangan, saya bawa uang. Kasih saya waktu."
Bruk!
Pria tersebut mendorong Nea hingga terjatuh. "Waktu? Sampai kapan? Dari kemaren kamu minta perpanjangan waktu Mulu, didiemin malah ngelunjak."
"Besok Saya mau semuanya lunas!"
Lunas? Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu.
"Tolong beri saya keringanan." Nea berusaha berdiri di saat kakinya terasa perih.
"Kamu pulang aja sana, siapin uang buat besok." Pria tersebut mendorong Nea lagi, kali ini gadis itu tidak jatuh.
"Aku harus apa lagi?" gumam Nea frustrasi. Hutang Nea pada rentenir bukanlah jumlah yang sedikit. Bagaimana Nea yang pengangguran ini dapat melunaskan semuanya.
Nea kembali ke parkiran dan mulai melajukan kembali motornya. Ia bingung akan ke mana. Kembali ke rumah dengan kondisi dirinya yang berantakan seperti ini? Hanya akan menambah beban.
Tin! Tin!
"Siapa sih heboh banget klakson-klakson," gerutu Nea.
Ia melihat ke arah spion, sebuah mobil hitam terus mengikutinya. Nea pun menepikan motornya setelah sang sopir memberi aba-aba agar Nea minggir.
"Masalah apa lagi ini?" gumam Nea sambil melepas Helm.
Sopir mobil tersebut turun. "Nona Nea?"
Nea merasa heran. Dari mana dia tahu namanya?
"Iya? Ada apa?"
"Ada yang mau bicara dengan nona, ayo masuk ke dalam."
Apakah ini modus penculikan terbaru? "Maaf saya sibuk." Nea memilih mengabaikannya dan kembali menaiki mobil.
"Saya mau bicara."
Suara yang terdengar tidak asing di telinga Nea, membuat gadis itu membalikkan badan. Matanya tidak sengaja bertatapan dengan sosok pria bermata tajam.
"Bentar, dia pria yang kemaren," gumam Nea.
Gadis itu pun maju mendekat ke arah pria tersebut. Tanpa diduga, tubuh Nea ditarik paksa masuk ke dalam mobil oleh pria itu. "Shit! Kamu mau ngapain!" teriak Nea.
"Saya Aciel Cale," ucap pria yang menarik Nea tersebut.
Setelah memaksa Nea masuk ke dalam mobilnya, dia malah berkenalan seakan tidak ada rasa bersalah.
"Wah, kok ada pria seperti anda, yang narik cewek masuk ke dalam mobil terus memperkenalkan namanya."
"Saya tidak mau berlama-lama, saya mau membuat kesepakatan dengan kamu." Ucapan tanpa ekspresi itu membuat Nea tersenyum miring.
"Kesepakatan? Kenapa saya?"
Aciel menyerahkan amplop berwarna cokelat pada Nea. Namun, gadis itu tidak mau membacanya.
"Saya lagi malas baca, langsung saja."
Aciel kembali mengambil amplop yang ada di tangan Nea. "Kejadian kemarin adalah kesalahpahaman, tetapi saya ingin melanjutkannya."
Alis Nea menyatu. Ia tidak paham akan ucapan pria bermata tajam itu. Apa maksudnya? Melanjutkan apa?
"Yang jelas!" ujar Nea.
"Saya ingin kamu dan saya menikah."
Uhuk! Uhuk!
Seakan tersedak sesuatu, Nea batuk beberapa kali mendengar pernyataan Aciel. "Menikah? Kalau anda mau nikah silakan, tapi kenapa harus saya."
"Karena kamu adalah syaratnya."
Awalnya Nea merasa bingung dengan kata-kata Aciel tetapi sesaat kemudian ia menyadarinya. "Jadi anda mengajak saya menikah karena ingin mendapatkan proyek itu? Sayang sekali, sebelumnya saya sempat kagum sama anda karena kerja keras dan kegigihan anda, tetapi ternyata anda juga rela melakukan hal seperti ini."
Ucapan Nea tidak diambil hati oleh Aciel. Malahan sepertinya pria tersebut tidak mendengarkannya.
"Hanya empat bulan, setelah itu saya akan mengurus perceraiannya. Tenang, setelah perceraian saya akan mengirimkan sejumlah uang untuk kehidupan kamu."
Gelak tawa Nea menggema di setiap sudut mobil. Lucu saat Aciel mengatakan hal seperti itu. Saat hubungan pernikahan untuk Nea adalah hal yang sakral malah kebalikannya untuk Aciel. Nikah pun ada waktunya. Seakan kata cerai adalah hal yang biasa untuknya.
"Maaf, mungkin saya terbilang kuno, tapi saya tidak mau jadi janda. Oleh karena itu saya tidak akan menerima tawaran anda." Nea hendak keluar dari mobil tetapi di tahan oleh Aciel.
"Jika begitu kita tidak akan bercerai, tetapi saya akan mencarikan rumah yang jauh dari sini agar kamu bisa menikmati hidup."
Inilah puncaknya. Nea sudah tidak tahan lagi berada di mobil ini. "Terima kasih atas tawaran anda, saya tidak suka hidup seperti itu. Masalah om Broto? Saya bisa bantu bicara dan jelaskan kalau semuanya hanya kesalahpahaman. Saya akan menikah dengan orang yang saya cinta, bukan seperti anda." Nea keluar dari mobil dengan perasan kesal.
Bagaimana bisa ada pria dengan pemikiran seperti itu. Di otaknya hanya ada pekerjaan dan pekerjaan. Untung saja tidak memiliki istri, jika tidak istrinya dijamin akan menyesal. Nea membuang napas kasar.
"Tunggu."
Suara itu lagi. Nea malas membalikkan badan.
"Jangan katakan apa pun pada pak Broto, saya akan menyelesaikannya."
Terserah apa katanya, Nea tidak peduli. Gadis itu memilih kembali menaiki motornya dan hendak kembali ke rumah.
Memang rumah satu-satunya tujuan sekarang. Jika ada yang bertanya mengenai pakaiannya yang kotor, Nea akan katakan dirinya terjatuh dari motor.
"Semoga ini terakhir kalinya aku ketemu tuh orang. Mentang-mentang punya kuasa seenaknya aja permainkan hidup anak orang."
Sepanjang jalan Nea terus menggerutu kesal.
Aciel melempar tas miliknya ke sembarang arah yang berakibat vas bunga yang ada di atas nakas jatuh ke lantai. Suara pecahan vas yang menggema membuat beberapa orang yang ada di rumah langsung mencari sumber suara."Shit!" teriak Aciel.Tidak ada yang berani menenangkan Aciel yang sedang marah, termasuk Dayana yang diam melihat anaknya terbakar emosi."Cari cara supaya dia nerima tawaran ini, saya tidak mau usaha saya selama ini sia-sia," titah Aciel pada Galen yang berdiri di belakangnya."Baik, pak. Saya mempunyai informasi yang bisa membuatnya menerima tawaran dari Pak El."Kemarahan Aciel mulai mereda, ia menoleh ke belakang. Mata penuh amarah itu kian mereda berganti dengan rasa penasaran. Galen, orang yang berbicara tadi, maju dengan langkah hati-hati karena pecahan kaca yang bertebaran."Bahas di ruangan saya," ujar Aciel saat menyadari ibunya sedang mengawasi mereka sejak tadi."Baik pak."Galen mengikuti langkah Aciel
“Apa yang terjadi, Nea?”Ini ketiga kalinya Indri bertanya pada Nea dan lagi dan lagi gadis itu bungkam.“Jangan hanya diam! Jawab Nea!” Kesabaran Indri mulai habis. Ia mengguncang tubuh Nea.Apa yang harus Nea jawab? Ia saja terkejut dengan apa yang terjadi.“Nea jawab Ibu! Siapa Aciel, kenapa dia datang dan bilang akan melunaskan semua hutang kita?”Helaan napas panjang keluar dari mulut Nea. Apa pun yang terjadi Nea harus tegar. Kepalanya terangkat lalu menatap ayah dan ibunya sambil tersenyum.“Kalian jangan khawatir, dia bukan orang jahat.” Hanya itu yang bisa Nea katakan.“Kamu kenal dia?” tanya Omar.Nea mengangguk ragu. Mau sekuat apa pun berbohong, mata Nea tidak bisa menutupinya. Omar memahami ada yang disembunyikan oleh Nea.“Semuanya pasti terkejut dengan apa yang terjadi, biarkan Nea istirahat dulu.” Omar menyuruh Indri untuk masuk ke da
Kepulangan seorang pria disambut dengan beberapa pelayan. Masing-masing pelayan mempunyai tugas yang berbeda. Hari ini tidak biasanya Aciel pulang lebih awal.Dayana yang beberapa hari ini menginap di rumah Aciel pun ikut menyambut putranya."El, kamu sudah pulang? Kenapa tidak mengabari lebih awal biar mama masak untuk kamu," ucap Dayana mengikuti ke mana Aciel pergi.Hening, tidak ada respons dari Aciel. Ini bukan pertama kalinya Dayana diabaikan oleh sang putra."Gimana kalau mama pesankan makanan untuk kamu?""El mau istirahat," ucap Aciel tanpa menoleh sedikit pun pada Dayana.Hati ibu mana yang tidak hancur saat melihat anaknya berpaling darinya. Ia tahu Aciel bersikap seperti ini ada alasannya. Namun, sampai kapan Aciel akan seperti ini?"Ya ampun, Zeline masih di kamar." Dayana menepuk jidatnya dan berlari mengejar Aciel. Namun iya sudah terlambat, Aciel sudah masuk ke dalam kamar."Papa El." Teriakan anak kecil bergaun
Sejak pagi Indri sudah sibuk dengan bahan makanan. Wanita itu ingin memasak makanan yang enak untuk Nea hari ini, sup tulang sapi, perkedel, dan ayam goreng kesukaan Nea menjadi menu utama. Tadi pagi Rea sempat meminta dibuatkan bakwan juga, tapi sayang bahan makanan Indri tidak memadai membuat bakwan.“Ma, tepung terigu di warung depan udah habis.” Omar yang harus saja pulang dari warung tetangga memberikan sekantong belanjaan pada Indri.“Rea minta dibuatin bakwan, yaudah mama ke pasar sebentar. Cabe sama bawang juga tinggal sedikit.”Omar mengangguk. “Yaudah, hati-hati. Biar papa bantu buat bumbunya,” ucap Omar yang hendak memasuki dapur.“Nggak usah, papa istiraha—““Udah ke pasar aja sana!” sela Omar.Indri tersenyum dan terburu-buru ke pasar. Jarak pasar dan rumah tidak begitu jauh, Indri memilih untuk berjalan kaki.“Ke mana Bu Indri?” tanya salah sat
"Kenapa kamu nggak cerita dekat sama Nak El?" tanya Indri mulai mengintrogasi Nea."Emangnya ada apa, ma? Kenapa pria berjas itu nganterin kalian sampai rumah? Motor Nea ke mana?""Ceritanya panjang, pa. Pokoknya tadi Nak El yang nolongin mama, terus katanya dia mau jemput Nea karena ban motor Nea bocor."Uhuk! Uhuk!Nea yang sedang makan langsung tersedak. Ban bocor? Seingatnya Aciel yang mengabarinya secara tiba-tiba bahwa dia berada di depan perusahaan tempat Nea wawancara. Aciel juga yang mengatakan untuk meninggalkan motornya di sana karena akan ada yang mengantarkan sampai rumah."Ternyata pria itu ahli dalam berbohong," gumam Nea sambil tersenyum miring."Kamu bilang apa, Ne?""Nggak ada," jawab Nea dengan senyum paksa."Katanya kalian ketemu di seminar? Kok kamu nggak cerita, pas kami tanya siapa dia kemaren kenapa kamu diam aja, Nea?" tanya Indri menggebu-gebu.Ya ampun apalagi ini? Nea tidak tahu berap
Niko memandangi penampilan Nea dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Penampilannya dipercantik dengan senyum bahagia yang tak kendur sedikit pun.“Kenapa?” tanya Nea sembari melihat penampilannya dari atas sampai bawah.“Gue ngerasa ada yang beda,” ucap Niko.“Apa yang beda?”Niko memutar badan Nea dan meneliti satu persatu yang dikenakan oleh Nea hingga menemukan apa yang berbeda.“Baju, kamu beli baju baru?” tanya Niko.Nea membulatkan mulutnya. “Oh baju, hadiah dari temen,” jawab Nea.Jawaban Nea malah membuat Niko memicingkan mata curiga. “Sejak kapan Nea punya teman?”“Sembarangan, emangnya Cuma kamu doang teman aku?” kesal Nea, senyumnya mulai luntur.“Ya nggak gitu, tapi siapa sih? Tapi pilihannya bagus juga, cocok di badan kamu.”Alis Nea terangkat. “Benarkah? Warnanya sangat be
Aciel duduk dengan mata terpejam di dalam mobil. Ia terus mendengar suara anak kecil yang terus bercerita tiada henti, walaupun tidak ada respon sama sekali dari Aciel.“Papa, temen Zee beli mainan baru. Dia beli Barbie yang bisa bicara, bagus banget.” Sepanjang jalan Zee terus bercerita tak peduli bila lawan bicaranya sedang tertidur.“Besok Zee juga ada lomba, tadi udah latihan sama sus.” Zee menggoyangkan tubuh Aciel kuat. “Papa lihat Zee lomba, ya?” pintanya.Mata pria itu terbuka dan menatap wajah kecil Zee. Ia mengelus rambutnya dan berkata, “Papa besok pagi ada rapat, sama sus aja.”Raut wajahnya langsung berubah. Bahunya turun ke bawah dan bibirnya maju beberapa senti.“Padahal Zee pengen papa datang,” lirihnya.“Zee, nanti sus temanin ya? Papa kerja dulu, ya?” Suster yang menjaga Zee mencoba membujuk gadis kecil itu.“Nggak, papa harus datang!&rdquo
“Saya Aciel Cale datang ke rumah ini bermaksud untuk—“Ucapannya menggantung, ia merasa gugup seakan apa yang dilakukannya asli. Padahal ini hanyalah formalitas semata. Sebuah tarikan napas panjang mengawali Aciel kembali berbicara.“Saya bermaksud meminang putri bapak, Nea Halina.” Aciel melihat ke arah Nea yang menunduk. Raut wajah sedih terpampang jelas. Ia teringat akan kata-kata Nea yang ingin menikah dengan orang yang dicintainya.“Kedatangan kami yang mendadak serta maksud dan tujuan datang ke sini dapat diterima dengan baik oleh keluarga Pak Omar,” ucap Aciel setelah memalingkan wajah dari Nea.Omar tersenyum. “Saya senang ada laki-laki yang berniat baik meminang putri saya. Nea memang putri saya, saya yang membesarkannya akan tetapi untuk keputusan ini saya tidak dapat memberikan jawaban. Hanya Nea yang berhak memutuskan,” ucap Omar memegang tangan Nea.Wajah gadis itu terangkat sehingg