Share

Kelemahan Nea

Aciel melempar tas miliknya ke sembarang arah yang berakibat vas bunga yang ada di atas nakas jatuh ke lantai. Suara pecahan vas yang menggema membuat beberapa orang yang ada di rumah langsung mencari sumber suara.

"Shit!" teriak Aciel.

Tidak ada yang berani menenangkan Aciel yang sedang marah, termasuk Dayana yang diam melihat anaknya terbakar emosi.

"Cari cara supaya dia nerima tawaran ini, saya tidak mau usaha saya selama ini sia-sia," titah Aciel pada Galen yang berdiri di belakangnya.

"Baik, pak. Saya mempunyai informasi yang bisa membuatnya menerima tawaran dari Pak El."

Kemarahan Aciel mulai mereda, ia menoleh ke belakang. Mata penuh amarah itu kian mereda berganti dengan rasa penasaran. Galen, orang yang berbicara tadi, maju dengan langkah hati-hati karena pecahan kaca yang bertebaran.

"Bahas di ruangan saya," ujar Aciel saat menyadari ibunya sedang mengawasi mereka sejak tadi.

"Baik pak."

Galen mengikuti langkah Aciel yang berjalan menuju ruangannya. Saat melewati Dayana, tangan Galen dicekat oleh wanita paruh baya itu.

"Ada apa dengan El?" tanya Dayana pada Galen.

Galen tersenyum sembari memegang pundak Dayana lembut. Walaupun dirinya hanya sekretaris tapi kedekatannya dengan Dayana sudah seperti ibu dan anak. "Tante tidak perlu khawatir, Pak El hanya stres karena pekerjaan biasa."

Emang ini bukan pertama kalinya Aciel bersikap seperti itu tetapi Dayana masih saja khawatir melihat putranya yang tidak dapat mengontrol emosi. "Tolong tenangkan dia, Tante khawatir."

Galen mengangguk dan pergi meninggalkan Dayana. Pintu cokelat yang tertutup rapat sempat ditatap oleh Galen cukup lama. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Galen harus tenang saat berhadapan dengan Aciel yang sedang emosi.

"Informasi apa yang kamu dapatkan?"  tanya Aciel to the point.

Galen langsung maju beberapa langkah dan merogoh tas hitam miliknya. Lalu ia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang akan diserahkan pada Aciel.

"Ini ada rincian hutang keluarga Nona Nea. Keluarganya dulu memiliki usaha di bidang tekstil yang cukup terkenal, tetapi sayang setelah ayah dari Nona Ne kecelakaan, usaha tekstil tersebut mengalami kebangkrutan. Mereka memiliki hutang yang cukup banyak hingga sekarang. Rentenir sudah beberapa kali memberi peringatan pada mereka dan besok adalah hari terakhir."

Penjelasan panjang yang diberikan Galen serta beberapa lembar, membuat kecemasan Aciel perlahan sirna. Ternyata Nea memiliki banyak celah yang bisa membuatnya tunduk. Aciel menarik salah satu ujung bibirnya sembari bersedekap.

Pria itu menarik napas lega dan memejamkan mata. "El, kali ini aku bicara sebagai teman. Kamu yakin akan memanfaatkan ini?" tanya Galen cemas, pria itu memang memiliki hati yang lembut dan sabar, sifatnya itulah yang membuat Galen bertahan bekerja dengan Aciel.

Tatapan tajam nan menusuk langsung tertuju pada Galen. "Kenapa tidak? Kamu tahu aku sampai di posisi ini butuh perjuangan, tidak akan kubiarkan kegagalan di satu proyek membuat karir yang sudah dirintis dari dulu hancur."

Sifat keras kepala dan ambisi inilah yang membuat Galen jengah pada sosok yang berada di hadapannya ini. Tidak tahu apa yang dikejar Aciel hingga berjuang sekeras ini.

"Kawin kontrak? Kamu gila sih. Hidup anak orang dipertaruhkan."

Aciel memukul meja dengan sangat kuat hingga Galen terperanjat. Wajahnya maju ke depan agar bisa memberi tatapan intimidasi pada Galen. "Aku juga nggak mau pernikahan ini, siapa yang mau menikah dengan gadis yang tidak di kenal? Pernikahan tidak pernah masuk ke dalam impianku."

"Kita bisa saja menemui Pak Broto dan mengatakan bahwa itu hanyalah kesalahpahaman."

"Tidak segampang itu! Kamu kira aku nggak berpikir ke situ? Kalau kita jelaskan ini hanyalah kesalahpahaman apakah kamu yakin Pak Broto nggak kecewa, kamu lihat kemarin kedekatan Pak Broto dengan gadis itu?"

Galen mengangguk paham walaupun dirinya masih tidak terima dengan ambisi Aciel. "Iya gue paham, tapi beliau akan lebih kecewa jika tau syaratnya membuat Nona Nea menderita."

"Menderita? Kenapa? Dia hanya akan tinggal di sini dengan statusnya sebagai istri tidak lebih. Aku akan kirim uang tiap bulan dan lunaskan semua hutangnya." Tidak ada sorot bersalah yang terlihat pada wajah Aciel, ia malah semakin marah pada Galen yang terus meragukan keputusannya.

Menyerah, Galen menyerah berbicara dengan Aciel. Ia memilih mengikuti semua keputusan pria itu. "Oke, aku ikut saja."

"Oke bagus, kamu siapin semuanya, besok aku akan ke rumahnya. Ingat, jangan sampe ada orang yang tahu termasuk mama."

"Iya, aku pamit dulu." Galen keluar meninggalkan ruangan Aciel. Tersisa pria itu sendirian di ruang yang dipenuhi oleh berkas-berkas.

Ekspresi Aciel berubah drastis. Ia memandangi sebuah foto lalu mengelusnya lembut. Senyum getir tercetak di wajahnya. Bukan hanya Nea yang tidak menginginkan pernikahan ini, Aciel pun.

"Sorry," ucapnya sambil mengelus bingkai foto berwarna hitam yang ditatapnya itu.

***

"Nea, kamu benar-benar tidak papa kan?" tanya Omar, ayah Nea.

Gadis itu yang sedang rebahan sambil bermain ponsel langsung bangkit dan duduk di bibir kasur.

"Ayah? Ada apa ke sini?" tanya Nea pada sang ayah.

"Ayah lihat kaki kamu terluka, terus wajah kamu terlihat kesal tadi," ucap Omar memandangi luka putrinya.

Nea langsung menutupinya dengan baju. Nea berdiri lalu mendorong kursi roda milik ayahnya ke luar kamar. Ia mengajak ayahnya ke teras rumah.

"Anak ayah ini udah besar, jatuh dikit aja nggak masalah. Tadi cuma jatuh dari motor, makanya Nea keliatan kesal tadi," jelas Nea.

Omar menoleh ke belakang, melihat wajah putrinya yang sedang fokus mendorong kursi roda miliknya. "Beneran? Udah diobatin?" tanya Omar.

Nea duduk di kursi teras setelah menempatkan sang ayah di sebelahnya.

"Seriusan ayah, tadi Rea udah kasih obat merah," ucap Nea sambil tersenyum.

Omar bernapas lega. Dipandanginya Nea yang sudah dewasa. Padahal dulu Nea masih suka memegang tangannya setiap kali keluar rumah, kini ia bisa pergi ke mana-mana sendiri.

Nea yang memandang lurus ke depan merasa seseorang menatapnya. Ia menoleh sesaat dan mendapatkan Omar yang sedang tersenyum.

"Ayah, jangan liatin Nea gitu. Nea jadi sedih."

Ya, setiap kali ditatap dengan sendu oleh Omar, Nea pasti menangis. Di antara ibu dan ayahnya, Nea lebih dekat dengan ayah. Gadis itu lebih bebas dan terbuka dengan ayahnya. Berbeda dengan Rea yang sangat dekat dengan ibu.

"Kapan kamu bertumbuh secepat ini?" tanya Omar membenarkan anak rambut Nea.

"Ayah," rengek Nea yang mulai berlinang air mata.

"Ayah berharap kamu mendapatkan suami yang dapat mencintaimu. Siapa pun itu, dia pasti beruntung. Ayah akan menjadi orang pertama yang mendampingimu dalam pernikahan nanti."

Nea tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis dengan kedua telapak tangan menutupi wajah.

"Ayah, Nea masih belum mau nikah," rengek Nea dengan suara tersedu-sedu.

Ia teringat akan Aciel. Seharusnya pria tersebut sadar, tidak ada ayah yang rela melihat putrinya menikah hanya karena sebuah kontrak. Tidak terbayang bila Nea menerimanya, akan sekecewa apa Omar nantinya.

"Kamu sudah banyak menolong keluarga ini, ayah cuma berharap pasangan hidup kamu dapat membahagiakanmu. Karena ayah kamu tidak pernah mendapatkan masa remaja seperti anak-anak lain." Omar menatap kakinya yang tinggal sebelah.

Kecelakaan yang merenggut kakinya memporak-porandakan semuanya.

"Kebahagian Nea cuma satu, melihat ayah, ibu, dan Rea bahagia. Siapa pun pasangan Nea nanti, dia harus menghormati dan menyayangi ayah  ibu. Nea janji akan berusaha lebih keras lagi untuk buat kalian bahagia."

Omar dan Nea saling berpelukan.

Di sisi lain, Rea mendengar semuanya. Jujur, Nea adalah sosok yang dijadikan sebagai inspirasi untuk Rea. Sosok yang tegar, pekerja keras, dan sayang akan keluarga.

"Rea juga berharap kak Nea dapat suami yang mencintai kakak dan memberikan semua kebahagiaan yang ada di dunia ini," gumam Rea sambil mengusap air mata yang jatuh ke pipi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status