“Apa yang terjadi, Nea?”
Ini ketiga kalinya Indri bertanya pada Nea dan lagi dan lagi gadis itu bungkam.
“Jangan hanya diam! Jawab Nea!” Kesabaran Indri mulai habis. Ia mengguncang tubuh Nea.
Apa yang harus Nea jawab? Ia saja terkejut dengan apa yang terjadi.
“Nea jawab Ibu! Siapa Aciel, kenapa dia datang dan bilang akan melunaskan semua hutang kita?”
Helaan napas panjang keluar dari mulut Nea. Apa pun yang terjadi Nea harus tegar. Kepalanya terangkat lalu menatap ayah dan ibunya sambil tersenyum.
“Kalian jangan khawatir, dia bukan orang jahat.” Hanya itu yang bisa Nea katakan.
“Kamu kenal dia?” tanya Omar.
Nea mengangguk ragu. Mau sekuat apa pun berbohong, mata Nea tidak bisa menutupinya. Omar memahami ada yang disembunyikan oleh Nea.
“Semuanya pasti terkejut dengan apa yang terjadi, biarkan Nea istirahat dulu.” Omar menyuruh Indri untuk masuk ke dalam kamar dan membiarkan Nea sendiri di kamarnya.
“Tapi—“
“Biarin Nea sendiri,” tegas Omar.
Indri tidak bisa berkata lagi. Ia pun mendorong kursi roda Omar meninggalkan kamar Nea.
Setelah orang tuanya pergi, Nea menangis sejadi-jadinya. Membayangkan masa depannya menikah dengan orang yang tidak dicintainya cukup membuatnya gentar.
“Maafin Nea harus bohong,” lirihnya di sela tangis.
“Nea rela lakukan apa pun asal kalian bahagia, Nea akan jalani semuanya dengan baik.”
Entah itu kata penyemangat atau keyakinan Nea, ia terus berusaha untuk tegar.
Tok! Tok!
Dengan cekatan Nea menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
“Masuk!” teriak Nea sambil merebahkan tubuhnya.
“Kak Nea,” panggil Rea yang baru saja masuk ke dalam kamar.
“Hmm,” deham Nea yang sedang membelakangi Rea.
Tanpa disangka, Rea memeluk erat tubuh Nea. Sesaat Nea terkejut lalu matanya terpejam menahan semburan air mata yang mendorong keluar.
“Terima kasih udah berjuang untuk keluarga ini, kakak hebat. Rea akan ada di samping kakak,” ucap Rea dengan suara gemetar.
Kakak mana yang tidak menangis mendengar adiknya berkata demikian. Rea yang dulunya sering Nea gendong, sekarang tumbuh jadi anak yang pengertian dan bijak.
Nea membalikkan tubuhnya dan dapat melihat dengan jelas wajah adiknya yang memerah karena menangis.
“Kamu tahu apa yang hal yang paling disyukuri selain mempunyai orang tua seperti ayah dan ibu?”
Rea menggeleng.
“Punya adik yang pengertian dan mendukung setiap langkah kakak.” Nea menghapus air mata Rea. “Kakak janji, kamu tidak akan jadi seperti kakak. Kamu akan kuliah dan dapat pekerjaan yang layak, menikmati gaji hasil kerja, beli makanan ataupun baju yang kamu mau.”
Suara tangis Rea semakin kuat. Ia memeluk erat Nea.
“Nggak, Rea berharap itu terjadi sama kakak. Dari kecil kakak udah bekerja untuk keluarga, udah saatnya kakak menikmati hidup sendiri tanpa tanggungan.”
Nea menggeleng. “Kakak bahagia seperti sekarang,” ucap Nea dengan senyuman tulus.
“Siapa bilang?” tanya Rea. “Rea tahu setiap malam kakak nangis karena merasa capek,” ucap Rea.
Napas Nea tertahan sesaat. Jadi selama ini Rea mengetahuinya. Ia pikir Rea tertidur saat dirinya menangis. Memang sesekali Nea merasa lelah, tetapi ia sangat menikmati hidupnya.
“Setiap orang pasti akan merasa lelah, termasuk kakak. Lelah bukan berarti tidak bahagia, kakak bahagia.”
“Udah, jangan nangis begini. Kamu tukar baju dulu,” titah Nea melihat adiknya memakai seragam.
“Oke,” jawab Rea dengan suara serak.
Nea menghapus jejak air matanya setelah Rea masuk ke kamar mandi.
Nea mencari keberadaan ponsel miliknya. Saat membuka benda pintar tersebut, terdapat beberapa notifikasi yang muncul tetapi hanya satu notifikasi yang menyita perhatiannya.
“Apa aku telepon aja?” gumam Nea melihat nomor tidak dikenal mengirim pesan padanya yang berisi ‘simpan nomor ini, Aciel’.
“Aku harus bertemu dengannya secepat mungkin.”
Nea memutuskan menelepon Aciel. Ia menunggu panggilan tersambung hingga terdengar suara bariton milik Aciel.
“Ada apa?”
Gadis itu menarik napas panjang sebelum berbicara.
“Saya ingin bertemu dengan anda, di mana kita bisa bertemu?” tanya Nea memberanikan diri.
“Oke, saya kirim orang ke rumah sekarang.”
Panggilan terputus. Nea menganga tidak menyangka, bahkan Nea saja belum menjawab ataupun mengatakan hal yang lain.
“Dasar pemaksa!” gerutu Nea kesal.
“Siapa kak?” tanya Rea yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Nea langsung menyembunyikan ponselnya sambil tersenyum.
“Niko, biasa dia nyebelin banget,” ucap Nea terbata-bata.
“Oh, kakak mau pergi?” tanya Rea saat melihat Nea mengambil tas.
“Iya, mau ke rumah Niko. Dia kemaren nawarin pekerjaan, jadi kakak mau mastiin.”
Rea mengangguk paham.
“Hati-hati kak, jangan sampai jatuh lagi.”
“Iya.”
***
Beberapa kertas yang sengaja di tata rapi di atas meja terus dipandangi Nea. Matanya tak beralih sedikit pun. Kehidupannya sekarang bergantung pada kertas tersebut.
“Silakan dibaca, saya sudah menyuruh pengacara mengurus kontrak pernikahannya,” titah Aciel.
Tangan Nea mengambil salah satu kertas yang di mana terdapat beberapa aturan yang diajukan oleh Aciel.
“Yang pertama, pernikahan hanya akan berlangsung selama empat bulan. Kedua, selama empat bulan kedua belah pihak harus bersikap layaknya suami istri. Ketiga, tidak boleh ada yang mengetahui kontrak pernikahan ini kecuali pengacara dan sekretaris saya. Keempat, kamu harus menjaga nama baik saya di depan Pak Broto dan yang lain—“
Nea mengangkat telapak tangannya, memberi kode pada Aciel untuk berhenti. “Saya sudah membacanya, kenapa hanya anda yang diuntungkan? Pernikahan ini seharusnya menguntungkan kedua belah pihak!” ucap Nea tidak terima.
Aciel sudah menebak Nea akan berkata demikian. Tangan kanan pria tersebut yang sejak tadi memegang pena langsung terulur dan tangan kirinya memberikan kertas kosong.
“Saya tidak mau ada yang dirugikan, silakan isi apa saja di kertas ini.”
Pena dan kertas tersebut kini berada di tangan Nea. Gadis itu hanya menatap kedua benda itu. Apa yang akan ditulisnya?
Setelah berpikir sesaat, Nea menambahkan tiga point tambahan.
“Saya hanya meminta tiga, yang pertama, anda tidak berhak mencampuri kehidupan pribadi saya. Kedua, setelah menikah saya akan bekerja, anda tidak boleh melarangnya. Dan yang ketiga, setiap point yang anda cantumkan pada surat perjanjian itu harus berlaku juga untuk saya, bagaimana?”
Aciel tertawa kecil. Nea bisa saja meminta sebagian hartanya atau sesuatu yang besar tetapi gadis bodoh itu hanya meminta hal yang tidak berguna seperti itu.
“Baiklah, saya tidak keberatan.”
Uluran tangan yang ditujukan pada Nea sebagai tanda mereka sepakat dibalas oleh gadis itu. Mereka sama-sama saling bertatapan sesaat.
“Oke, semua sudah selesai. Saya pamit.” Aciel membereskan semua kertas yang berserakan di meja.
“Saya akan menyusun ulang kontrak ini dan menghubungi kamu kembali untuk tanda tangan. Selain itu, saya akan datang ke rumah kamu Minggu ini untuk melamar. Saya harap kamu mempersiapkannya.”
Secepat itukah? Nea masih ingin menikmati masa mudanya.
Kepulangan seorang pria disambut dengan beberapa pelayan. Masing-masing pelayan mempunyai tugas yang berbeda. Hari ini tidak biasanya Aciel pulang lebih awal.Dayana yang beberapa hari ini menginap di rumah Aciel pun ikut menyambut putranya."El, kamu sudah pulang? Kenapa tidak mengabari lebih awal biar mama masak untuk kamu," ucap Dayana mengikuti ke mana Aciel pergi.Hening, tidak ada respons dari Aciel. Ini bukan pertama kalinya Dayana diabaikan oleh sang putra."Gimana kalau mama pesankan makanan untuk kamu?""El mau istirahat," ucap Aciel tanpa menoleh sedikit pun pada Dayana.Hati ibu mana yang tidak hancur saat melihat anaknya berpaling darinya. Ia tahu Aciel bersikap seperti ini ada alasannya. Namun, sampai kapan Aciel akan seperti ini?"Ya ampun, Zeline masih di kamar." Dayana menepuk jidatnya dan berlari mengejar Aciel. Namun iya sudah terlambat, Aciel sudah masuk ke dalam kamar."Papa El." Teriakan anak kecil bergaun
Sejak pagi Indri sudah sibuk dengan bahan makanan. Wanita itu ingin memasak makanan yang enak untuk Nea hari ini, sup tulang sapi, perkedel, dan ayam goreng kesukaan Nea menjadi menu utama. Tadi pagi Rea sempat meminta dibuatkan bakwan juga, tapi sayang bahan makanan Indri tidak memadai membuat bakwan.“Ma, tepung terigu di warung depan udah habis.” Omar yang harus saja pulang dari warung tetangga memberikan sekantong belanjaan pada Indri.“Rea minta dibuatin bakwan, yaudah mama ke pasar sebentar. Cabe sama bawang juga tinggal sedikit.”Omar mengangguk. “Yaudah, hati-hati. Biar papa bantu buat bumbunya,” ucap Omar yang hendak memasuki dapur.“Nggak usah, papa istiraha—““Udah ke pasar aja sana!” sela Omar.Indri tersenyum dan terburu-buru ke pasar. Jarak pasar dan rumah tidak begitu jauh, Indri memilih untuk berjalan kaki.“Ke mana Bu Indri?” tanya salah sat
"Kenapa kamu nggak cerita dekat sama Nak El?" tanya Indri mulai mengintrogasi Nea."Emangnya ada apa, ma? Kenapa pria berjas itu nganterin kalian sampai rumah? Motor Nea ke mana?""Ceritanya panjang, pa. Pokoknya tadi Nak El yang nolongin mama, terus katanya dia mau jemput Nea karena ban motor Nea bocor."Uhuk! Uhuk!Nea yang sedang makan langsung tersedak. Ban bocor? Seingatnya Aciel yang mengabarinya secara tiba-tiba bahwa dia berada di depan perusahaan tempat Nea wawancara. Aciel juga yang mengatakan untuk meninggalkan motornya di sana karena akan ada yang mengantarkan sampai rumah."Ternyata pria itu ahli dalam berbohong," gumam Nea sambil tersenyum miring."Kamu bilang apa, Ne?""Nggak ada," jawab Nea dengan senyum paksa."Katanya kalian ketemu di seminar? Kok kamu nggak cerita, pas kami tanya siapa dia kemaren kenapa kamu diam aja, Nea?" tanya Indri menggebu-gebu.Ya ampun apalagi ini? Nea tidak tahu berap
Niko memandangi penampilan Nea dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Penampilannya dipercantik dengan senyum bahagia yang tak kendur sedikit pun.“Kenapa?” tanya Nea sembari melihat penampilannya dari atas sampai bawah.“Gue ngerasa ada yang beda,” ucap Niko.“Apa yang beda?”Niko memutar badan Nea dan meneliti satu persatu yang dikenakan oleh Nea hingga menemukan apa yang berbeda.“Baju, kamu beli baju baru?” tanya Niko.Nea membulatkan mulutnya. “Oh baju, hadiah dari temen,” jawab Nea.Jawaban Nea malah membuat Niko memicingkan mata curiga. “Sejak kapan Nea punya teman?”“Sembarangan, emangnya Cuma kamu doang teman aku?” kesal Nea, senyumnya mulai luntur.“Ya nggak gitu, tapi siapa sih? Tapi pilihannya bagus juga, cocok di badan kamu.”Alis Nea terangkat. “Benarkah? Warnanya sangat be
Aciel duduk dengan mata terpejam di dalam mobil. Ia terus mendengar suara anak kecil yang terus bercerita tiada henti, walaupun tidak ada respon sama sekali dari Aciel.“Papa, temen Zee beli mainan baru. Dia beli Barbie yang bisa bicara, bagus banget.” Sepanjang jalan Zee terus bercerita tak peduli bila lawan bicaranya sedang tertidur.“Besok Zee juga ada lomba, tadi udah latihan sama sus.” Zee menggoyangkan tubuh Aciel kuat. “Papa lihat Zee lomba, ya?” pintanya.Mata pria itu terbuka dan menatap wajah kecil Zee. Ia mengelus rambutnya dan berkata, “Papa besok pagi ada rapat, sama sus aja.”Raut wajahnya langsung berubah. Bahunya turun ke bawah dan bibirnya maju beberapa senti.“Padahal Zee pengen papa datang,” lirihnya.“Zee, nanti sus temanin ya? Papa kerja dulu, ya?” Suster yang menjaga Zee mencoba membujuk gadis kecil itu.“Nggak, papa harus datang!&rdquo
“Saya Aciel Cale datang ke rumah ini bermaksud untuk—“Ucapannya menggantung, ia merasa gugup seakan apa yang dilakukannya asli. Padahal ini hanyalah formalitas semata. Sebuah tarikan napas panjang mengawali Aciel kembali berbicara.“Saya bermaksud meminang putri bapak, Nea Halina.” Aciel melihat ke arah Nea yang menunduk. Raut wajah sedih terpampang jelas. Ia teringat akan kata-kata Nea yang ingin menikah dengan orang yang dicintainya.“Kedatangan kami yang mendadak serta maksud dan tujuan datang ke sini dapat diterima dengan baik oleh keluarga Pak Omar,” ucap Aciel setelah memalingkan wajah dari Nea.Omar tersenyum. “Saya senang ada laki-laki yang berniat baik meminang putri saya. Nea memang putri saya, saya yang membesarkannya akan tetapi untuk keputusan ini saya tidak dapat memberikan jawaban. Hanya Nea yang berhak memutuskan,” ucap Omar memegang tangan Nea.Wajah gadis itu terangkat sehingg
Nea berusaha untuk fokus akan tetapi gagal. Nyeri pada perutnya tidak bisa diajak kompromi. Sejak tadi ia terus memegangi perut. Sesekali terdengar suara ringisan kecil dari mulut gadis itu. “Ne, kamu nggak papa?” tanya teman kerja Nea yang duduk bersebelahan dengannya. Kepalanya menggeleng tetapi mulutnya berkata lain. “Iya.” Teman kantor Nea pun merasa bingung. Ia mendekat ke arah gadis itu dan memeriksa suhu tubuhnya, tidak ada yang salah. Suhu tubuhnya normal. “Kamu lagi datang bulan?” bisiknya. Nea mengangguk. “Sebentar aku ambilkan air hangat dulu.” Nea mengangguk. “Mbak Ay, aku tidur bentaran ya.” “Tidur aja, aku pergi ambil bentar.” Ayu teman sekantor Nea pun terburu-buru keluar ruangan untuk mengambilkan air hangat dan obat untuk Nea. Sementara gadis itu sudah merebahkan kepala di atas meja dengan kepala terpejam. “Nea, ini airnya.” Ayu menggoyangkan lengan Nea. “Taruh di atas meja aja, mbak. Nea mau tidur bentaran,” lirihnya. “Oke, tiduran aja. Kerjaan kamu juga ud
Nea memperhatikan seorang gadis kecil yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Hatinya merasa iba melihat kondisi gadis itu, terlebih lagi ia terus mengigau dengan menyebut kata ‘mama’.Tidak mau mengganggu tidur Zee, Nea memilih melihat-lihat kamar gadis kecil itu. Ada banyak sekali foto Zee dipajang di sini, dimulai saat ia memenangkan kontes menggambar, fashion show, ulang tahun, dan masih banyak momen lainnya.“Ternyata Zee anak yang berbakat,” gumam Nea melihat sekumpulan piala milik Zee.“Tapi siapa mereka? Wajah Zee mirip sekali dengan pria yang menggendongnya. Kalau dipikir-pikir Zee tidak mirip dengan Pak El, malahan wanita yang ada di foto ini mirip Pak El.”Nea mulai bertanya-tanya mengenai sebuah foto yang mana memperlihatkan Zee, seorang wanita, dan pria yang menggendong Zee. Mereka lebih mirip sebuah keluarga.“Apakah mereka orang tua Zee? Tapi Pak El?” Nea menggelengkan kepalanya sa