Kekacauan hidup Nea dimulai saat Niko, sahabat Nea satu-satunya datang ke rumahnya. Nea sudah menyadari kehadiran Niko ke rumahnya bukan pertanda baik. Lihatlah saat ini Niko sedang berbincang dengan kedua orang tuanya, seakan mengambil hati orang tua Nea.
“Cih! Gayanya sok jadi anak lemah lembut,” cibir Nea melihat Niko yang terlihat kalem dibanding biasanya.
“Biasanya kayak topeng monyet aja pun berlagak jadi anak kalem.”
Nea sudah muak melihat Niko yang sedang berpura-pura. Ia memilih duduk di teras menikmati angin sore yang sejuk. Menjadi kebiasaan Nea jika tidak kerjaan di sore hari, ia akan duduk sambil menikmati angin yang membelai wajahnya.
“Nea,” panggil Niko saat gadis itu melewatinya.
“Ya?” Oleh karena Niko memanggilnya, Nea menoleh dengan sebelah alisnya terangka.
“Aku mau ngomong sama kamu,” ucap Niko memberi kode pada Nea untuk keluar terlebih dahulu.
Nea memutar bola mata malas dan berjalan ke teras rumah terlebih dahulu. Ya, memang awalnya ia ingin duduk di teras.
“Om Tante, Niko izin keluar dulu ya?” ucap Niko lembut, sembari berdiri membungkukkan tubuhnya.
“Ada apa?” sembur Nea saat Niko keluar dari rumah.
Lelaki itu duduk di sebelah Nea dan menghirup udara segar. Rumah Nea terbilang sejuk karena di kelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Ia begitu fokus menikmati udara sejuk ini dan mengabaikan tatapan Nea padanya.
“Tumben seorang Niko datang ke rumah kecil Aku.” Lagi dan lagi Nea menyudutkan Niko yang bahkan belum mengeluarkan satu patah kata pun.
“Dasar Gemini, kebiasaan nuduh orang mulu. Aku kangen sama Putri Gemini,” ucap Niko sembari tersenyum manis.
Nea rasanya ingin muntah melihat ekspresi itu terlebih lagi pada panggilan Niko padanya. “Aku tahu kedatanganmu ke rumah ini pasti ada sesuatu. Mana mungkin seorang pangeran dari rumah besar datang ke rumah kecil ini.”
Niko lelah melihat Nea yang terus merendahkan dirinya sendiri. Padahal gak ada salahnya rumah Nea ini. Mengapa gadis itu terus merendah seperti itu.
“Pangeran ini sudah lelah hidup di kerajaan dan mau memulai hidup di gubuk kecil milik putri Gemini.”
Nea melirik sinis. “Plis, berhenti panggil Aku Gemini. Benci banget dipanggil gitu.”
Niko tertawa renyah melihat ekspresi kesal Nea. Memang dirinya suka memanggil Nea dengan sebutan Gemini hanya untuk melihat ekspresi itu.
“Kamu kan emang Gemini.”
“Bodo amat.”
Setelah Niko selesai tertawa, keduanya sama-sama terdiam menatap lurus ke depan. Nea sengaja memejamkan mata menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Tidak lama kemudian, Indri, ibu Nea datang dengan secangkir teh dan semangkuk biskuit.
“Niko, diminum dulu tehnya. Pasti seret ya ngomong nggak minum. Maafin, Nea yang nggak peka, ya,” ucap Indri memukul pundak putri sulungnya.
Nea menatap tidak terima sambil memutar bola mata malasnya. Biasanya Niko akan datang ke dapur dan mengambil minum atau makanan sendiri.
“Saya paham Tante, Nea emang begitu. Makasih banyak Tante, jadi ngerepotin.”
“Nggak kok, di minum.” Indri kembali ke dalam meninggalkan mereka berdua.
Niko menatap wajah Nea dari samping. Ia bimbang untuk bicara. Ragu bila Nea akan menolak ajakannya. Nea adalah gadis yang sulit di tebak, tidak akan mudah membujuknya.
“Kalau mau ngomong, ngomong aja jangan natap Aku mulu,” ujar Nea dengan mata yang tetap lurus ke depan.
Niko menunjukkan deretan giginya. “Nanti malam bokap nyuruh datang ke acara pertemuan teman-teman bokap, nah masalahnya—“
Nea mengangkat telapak tangannya tepat di depan wajah Niko sehingga pria itu berhenti bicara. “Perasaan Aku nggak enak, Kamu lagi nggak ngerencanain sesuatu, kan?”
Nea memicingkan matanya.
“Ngg—nggak kok, sembarangan main nuduh aja.”
Nea menghela napas lega walaupun ada kecurigaan yang belum menghilang. Gadis itu berusaha berpikir positif.
“Temenin aku ke sana ya, Ne? Aku nggak ada temen di sana.”
Plak!
Nea spontan memukul pundak Niko. Ternyata tidak salah menaruh curiga pada laki-laki ini.
“Wah, nggak sopan sama Abang,” ucap Niko sambil mengelus pundaknya yang terasa perih.
Usia mereka berdua memang terpaut tiga tahun. Keduanya bertemu saat keduanya di bangku SD. Pertemanan mereka memang cukup lama.
“Bodo, pergi ya pergi aja jangan ngajak Aku,” ucap Nea tidak terima.
Niko meraih tangan Nea dan mengeluarkan Puppy eyes miliknya. Hanya Nea yang bisa menyelamatkan hidupnya kali ini.
“Ayolah Ne, kalau Aku nggak datang ke pertemuan itu, tamat hidupku. Semua kartu di blokir sama bokap.”
Nea memilih menutup telinga. Mendengarkan keluhan Niko yang tiada habisnya hanya akan menyusahkan hidup Nea. Ini bukan. Kali pertama Niko mengajaknya. Jawaban Nea selalu tidak. Niko tahu apa jawaban Nea, tetapi tetap saja semangatnya membujuk Nea tidak Sirna.
“Nona Gemini, tolonglah anak malang ini,” pinta Niko sambil memeluk lengan Nea.
Spontan Nea mendorong tubuh Niko. Kontak fisik dengan lelaki masih hal yang tabu untuk Nea, tetapi Niko masih saja tidak menyadari itu.
“Aku nggak peduli, kalau kamu malang Aku apa? Sekarat? Aku dah puyeng nyari kerja, jangan nambah beban hidupku lagi.”
Niko langsung berdiri sambil tersenyum cerah menghadap pada Nea. Gadis itu memicing curiga. Akal bulus apa lagi yang disiapkan Niko kali ini.
“Kali ini apa?”
Niko berlari menuju mobilnya. Setelah mengambil sesuatu dari dalam sana Niko kembali menghampiri Nea yang sedang melipat tangan di dada dengan alis terangkat.
“Abang Niko mau meringankan beban Nea.” Niko menyerahkan sebuah amplop coklat yang ia dapatkan dengan susah payah.
“Apa ini?” tanya Nea curiga.
“Buka aja.”
Masih dengan perasaan curiga Nea membuka amplop yang diberikan oleh Niko. Terdapat selembar kertas yang menyatakan bahwa Nea Halina mendapatkan tawaran pekerjaan. Mata Nea langsung berbinar. Ini adalah impiannya. Perusahaan yang sangat ia idam-idamkan menawarkan pekerjaan padanya.
“Bagaimana bisa?” tanya Nea menatap Niko.
“Apa yang nggak bisa, Kamu mau pergi sama Aku nanti malam kan?”
Nea memasukkan kembali kertas tersebut ke dalam amplop coklat, ia kembali menatap ke arah Niko. “Kali ini aku akan temanin,” ucap Nea dengan gembira.
Niko melotot tak percaya. Spontan dirinya melompat girang sambil memeluk Nea. Seperti biasa, Nea akan mendorong tubuh Niko sampai lelaki itu terjatuh. Mendengar suara benda terjatuh yang cukup kuat, Indri kembali ke luar.
“Ada apa?” tanya Indri pada Niko dan Nea.
“Maaf Tante, tadi Niko tersandung terus jatuh,” ucap Niko setelah berdiri.
“Hati-hati, ada yang sakit?” tanya Indri.
Niko menggeleng. “Tidak ada, Tante tenang aja. Oh iya Tante, entar malam pinjam anak Tante ya?”
Indri terkejut. Ia menatap pada Nea bertanya ada apa pada anaknya itu tetapi tidak dijawab oleh Nea.
“Sesekali ajak Nea jalan-jalan boleh kan Tante?” tanya Niko sekali lagi.
“Kalau sama kamu Tante nggak perlu khawatir lagi, bawa aja.”
Kebahagian Niko tidak dapat terkontrol, ia menarik tangan Nea menuju mobilnya.
“Woi, aku siap-siap dulu elah. Masa pergi ke acara gede kayak gitu pake daster.”
“Oh iya, Aku juga nggak mau diejek. Entar Aku beliin baju yang bagus, Kamu ganti baju, aku tunggu di mobil, gercep!”
Nea seketika menyesal mengiyakan permintaan lelaki itu.
“Bu, Nea siap-siap dulu. Oh iya, ibu mau nitip makanan?” tanya Nea.
“Nggak, kamu telepon adek kamu tanya jam berapa pulang ya? Ibu nelepon, enggak diangkat.”
“Oke nanti Nea telepon, Bu.”
Niko mulai gelisah saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi acara akan di mulai dan papanya sudah mulai mengirim pesan padanya.“Mbak, apa masih lama lagi?” tanya Niko pada salah satu pegawai salon. Pegawai tersebut tersenyum melihat Niko yang gelisah.“Mas tenang aja, sebentar lagi selesai. Oh iya, pacarnya cantik banget. Masnya cocok sama mbaknya.” Entah harus tertawa apa bahagia, Niko rasa pegawainya terlalu berlebihan.“Teman saja mbak, bukan pacar,” koreksi Niko.“Ha? Masih teman? Entar nyesal loh mas kalau ketikung,” kekeh pegawai tersebut.“Gimana mau ketikung orangnya aja jarang dekat sama cowok.”“Saya doakan yang terbaik aja deh, saya pamit dulu ya mas.”Seperginya pegawai tersebut Niko kembali menunggu Nea sambil bermain ponsel. Lelaki itu mulai larut dengan ponselnya hingga tidak menyadari Nea yang sudah berhadapan dengannya. Saat sebuah suara memanggil namanya barulah Niko mengangkat kepala menatap orang yang memangilnya.“Niko, gimana?” tan
Diam adalah emas tidak selalu membawa keberuntungan. Kali ini karena diamnya Nea, ia terjebak pada pria bernama Aciel ini. Pak Broto sudah salah paham mengira mereka memiliki hubungan."Om, Nea sama dia nggak punya hubung—"Ucapan Nea menggantung karena secara tiba-tiba tangannya digenggam oleh seseorang membuat dirinya terkejut."Rasanya tidak etis saat proyek ini diberikan karena sebuah hubungan. Saya ingin bersaing secara sehat dengan yang lain," ucap Aciel dengan tegas.Nea yang posisinya tidak memahami proyek apa yang di maksud hanya diam saja. Terlebih lagi Aciel seakan memberi kode pada dirinya untuk diam dengan terus menggenggam tangannya."Saya sudah tahu kemampuan Pak El dalam memanajemen pembangunan bagaimana. Oleh karena itu saya yakin memberikan proyek ini pada anda, dengan syarat yang telah ditentukan. Saya harap anda tidak mengecewakan saya."Aciel benar-benar terkepung dalam keadaan ini. Bergerak maju salah mundur juga salah."Nea, nanti sekretaris om akan menghubungi
Nea memandangi ponsel yang terus bergetar di hadapannya. Ini adalah panggilan keempat yang diabaikan olehnya. Helaan napas berat keluar dari mulutnya."Kenapa ngga diangkat sih," gerutu seorang gadis yang serangan dengan Nea."Nggak penting," ucap Nea sambil membalikkan layar ponselnya."Siapa sih?" Gadis itu penasaran sehingga merebut ponsel milik Nea.Terpampang jelas nama orang yang terus menelepon Nea. Pada layar terdapat nama 'Rentenir Sialan'."Rea, balikin ponsel kakak!" Nea merebut ponselnya dan membuat gadis itu menatap sendu padanya."Rea nggak usah kuliah aja ya, kak? Hutang kita akan tambah banyak dan kakak kesulitan ngelunasinnya."Inilah yang tidak disukainya. Rea adalah gadis yang memiliki sifat tidak enakan. Jika melihat kakaknya susah, maka dia akan menganggap semuanya adalah salahnya."Kagak, Kamu tetap kuliah. Anak-anak ayah dan ibu harus sarjana semua, bukan hanya Kakak, Kamu juga harus sarjana." Nea memegang pundak Rea sambil tersenyum.Nea kembali melihat ke pons
Aciel melempar tas miliknya ke sembarang arah yang berakibat vas bunga yang ada di atas nakas jatuh ke lantai. Suara pecahan vas yang menggema membuat beberapa orang yang ada di rumah langsung mencari sumber suara."Shit!" teriak Aciel.Tidak ada yang berani menenangkan Aciel yang sedang marah, termasuk Dayana yang diam melihat anaknya terbakar emosi."Cari cara supaya dia nerima tawaran ini, saya tidak mau usaha saya selama ini sia-sia," titah Aciel pada Galen yang berdiri di belakangnya."Baik, pak. Saya mempunyai informasi yang bisa membuatnya menerima tawaran dari Pak El."Kemarahan Aciel mulai mereda, ia menoleh ke belakang. Mata penuh amarah itu kian mereda berganti dengan rasa penasaran. Galen, orang yang berbicara tadi, maju dengan langkah hati-hati karena pecahan kaca yang bertebaran."Bahas di ruangan saya," ujar Aciel saat menyadari ibunya sedang mengawasi mereka sejak tadi."Baik pak."Galen mengikuti langkah Aciel
“Apa yang terjadi, Nea?”Ini ketiga kalinya Indri bertanya pada Nea dan lagi dan lagi gadis itu bungkam.“Jangan hanya diam! Jawab Nea!” Kesabaran Indri mulai habis. Ia mengguncang tubuh Nea.Apa yang harus Nea jawab? Ia saja terkejut dengan apa yang terjadi.“Nea jawab Ibu! Siapa Aciel, kenapa dia datang dan bilang akan melunaskan semua hutang kita?”Helaan napas panjang keluar dari mulut Nea. Apa pun yang terjadi Nea harus tegar. Kepalanya terangkat lalu menatap ayah dan ibunya sambil tersenyum.“Kalian jangan khawatir, dia bukan orang jahat.” Hanya itu yang bisa Nea katakan.“Kamu kenal dia?” tanya Omar.Nea mengangguk ragu. Mau sekuat apa pun berbohong, mata Nea tidak bisa menutupinya. Omar memahami ada yang disembunyikan oleh Nea.“Semuanya pasti terkejut dengan apa yang terjadi, biarkan Nea istirahat dulu.” Omar menyuruh Indri untuk masuk ke da
Kepulangan seorang pria disambut dengan beberapa pelayan. Masing-masing pelayan mempunyai tugas yang berbeda. Hari ini tidak biasanya Aciel pulang lebih awal.Dayana yang beberapa hari ini menginap di rumah Aciel pun ikut menyambut putranya."El, kamu sudah pulang? Kenapa tidak mengabari lebih awal biar mama masak untuk kamu," ucap Dayana mengikuti ke mana Aciel pergi.Hening, tidak ada respons dari Aciel. Ini bukan pertama kalinya Dayana diabaikan oleh sang putra."Gimana kalau mama pesankan makanan untuk kamu?""El mau istirahat," ucap Aciel tanpa menoleh sedikit pun pada Dayana.Hati ibu mana yang tidak hancur saat melihat anaknya berpaling darinya. Ia tahu Aciel bersikap seperti ini ada alasannya. Namun, sampai kapan Aciel akan seperti ini?"Ya ampun, Zeline masih di kamar." Dayana menepuk jidatnya dan berlari mengejar Aciel. Namun iya sudah terlambat, Aciel sudah masuk ke dalam kamar."Papa El." Teriakan anak kecil bergaun
Sejak pagi Indri sudah sibuk dengan bahan makanan. Wanita itu ingin memasak makanan yang enak untuk Nea hari ini, sup tulang sapi, perkedel, dan ayam goreng kesukaan Nea menjadi menu utama. Tadi pagi Rea sempat meminta dibuatkan bakwan juga, tapi sayang bahan makanan Indri tidak memadai membuat bakwan.“Ma, tepung terigu di warung depan udah habis.” Omar yang harus saja pulang dari warung tetangga memberikan sekantong belanjaan pada Indri.“Rea minta dibuatin bakwan, yaudah mama ke pasar sebentar. Cabe sama bawang juga tinggal sedikit.”Omar mengangguk. “Yaudah, hati-hati. Biar papa bantu buat bumbunya,” ucap Omar yang hendak memasuki dapur.“Nggak usah, papa istiraha—““Udah ke pasar aja sana!” sela Omar.Indri tersenyum dan terburu-buru ke pasar. Jarak pasar dan rumah tidak begitu jauh, Indri memilih untuk berjalan kaki.“Ke mana Bu Indri?” tanya salah sat
"Kenapa kamu nggak cerita dekat sama Nak El?" tanya Indri mulai mengintrogasi Nea."Emangnya ada apa, ma? Kenapa pria berjas itu nganterin kalian sampai rumah? Motor Nea ke mana?""Ceritanya panjang, pa. Pokoknya tadi Nak El yang nolongin mama, terus katanya dia mau jemput Nea karena ban motor Nea bocor."Uhuk! Uhuk!Nea yang sedang makan langsung tersedak. Ban bocor? Seingatnya Aciel yang mengabarinya secara tiba-tiba bahwa dia berada di depan perusahaan tempat Nea wawancara. Aciel juga yang mengatakan untuk meninggalkan motornya di sana karena akan ada yang mengantarkan sampai rumah."Ternyata pria itu ahli dalam berbohong," gumam Nea sambil tersenyum miring."Kamu bilang apa, Ne?""Nggak ada," jawab Nea dengan senyum paksa."Katanya kalian ketemu di seminar? Kok kamu nggak cerita, pas kami tanya siapa dia kemaren kenapa kamu diam aja, Nea?" tanya Indri menggebu-gebu.Ya ampun apalagi ini? Nea tidak tahu berap
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega