Share

Marga Kuromori
Marga Kuromori
Author: Suci AD

01. Baju Hanyut

Seperti doktrin yang ditanam turun temurun, dua marga saling membenci dan membunuh dengan sebab yang masih bias. Para penerusnya harus melakukan hal serupa; disuruh membenci lewat mulut kedua orang tuanya. Tidak ada seorang yang ingin menelisik permusuhan ini. Walau marga Makigara sudah melemah kekuatannya, tetapi marga Kuromori harus waspada, bisa jadi Makigara berbuat ulah seperti kemarin. Sebab itulah tetua marga Kuromori—Tuan Ikada, menerapkan sistem penjagaan ketat sebagai gubuk sederhana posnya. Kadang penjaga ini membuat suara bising kala Kokok ayam terdengar pertama kali di awal hari. 

Para wanita berlaku seperti biasa; memasak hasil buruan para pria berupa kelinci liar, burung, dan jika beruntung rusa di dapat. Namun, jika tidak sempat mereka akan membelinya di kota Yokohama sembari sang suami berjualan hasil panen ladang maupun peternakan kecil-kecilan mereka menggunakan pedati sebagai kendaraan mereka menuju kota. Pedati itu mereka buat hasil gotong royong, tapi jika pedati rusak, mereka tidak akan membuangnya melainkan memperbaikinya. 

Para gadis sibuknya tidak mau kalah dengan wanita yang sudah berumah tangga dan pria yang menyiapkan barang jualan ke kota, para gadis disibukkan dengan pergi ke sungai bersama teman sebaya untuk mencuci baju. Remaja laki-laki yang bernasib yatim piatu dan yang masih lengkap keluarganya, bersama-sama memasak sarapan di dapur utama dan menentukan rumah mana yang dijadikan tempat bersantap. 

Memang begitulah adanya di desa ini, menjadi yatim dan yatim piatu sudah begitu lumrah. Ayah yang harus berkalang tanah akibat peperangan antar marga yang tak kunjung usai, serta ada ibu yang harus menanggung luka batin  dan fisik akibat kekerasan dari suami sehingga mereka memutuskan mengambil jalan pintas—gantung diri di pohon besar yang terletak di tengah-tengah pemukiman. 

Dan salah satu remaja yang mengalami semua tragedi ini adalah Kuromori Isae—remaja dua belas tahun ini melatih fisiknya dengan katana, terkadang tangannya yang meliuk dibarengi langkah kuda-kuda, terkadang badan yang meliuk seakan musuh datang dari belakang. Latihannya terhenti kala seorang wanita berumur kepala empat yang dihormati di desa ini memanggilnya sehingga remaja itu tersenyum dan tak ragu untuk mendekati. 

“Sudah kubilang sarapan dulu lantas latihan!” tegur Nyonya Ikada, istri dari tetua marga Kuromori. 

“Sudah matang?” heran si remaja, tidak menyangka Nyonya Ikada bisa secepat ini memasak. 

“Sudah. Aku lebih dulu bangun diantara ibu-ibu disini.” 

“Tak apa jika aku makan setelah Kak Yosihara dan Tuan Ikada bangun?” 

“Makan sekarang pun tak apa. Kami sudah menganggapmu sebagai anak sendiri. Bukankah Yosihara juga sudah menganggapmu sebagai adik?” 

“Aku menunggu Tuan Ikada dan Kak Yosihara bangun terlebih dahulu. Biar bisa makan bersama.” 

“Baiklah kalau begitu, memang susah merayu remaja keras kepala. Ngomong-ngomong, cucianmu sudah dititipkan?” 

Isae mengangguk. Dan anggukannya tanda bagi Nyonya Ikada selesai memperhatikan remaja ini, lantas kembali ke rumah. Isae pun demikian—kembali ke rumah karena tidak semangat lagi berlatih katana. Sebentar, dia menghampiri pohon besar dan memori kecil berputar—asal mula dia menjadi yatim piatu. Sang ayah sudah jelas kematiannya karena berperang, waktu itu mendiang ayahnya memaksakan diri kala sakit, balas dendam kematian kakeknya lah yang menjadi alasan. Seminggu kematian ayahnya, ibunya turut menyusul—gantung diri di pohon besar. Isae tidak tahu kenapa ibunya memilih jalan pintas seperti itu. Apakah sang ibu tidak sanggup menghidupi dirinya dan Isae yang masih berumur sembilan tahun kala itu? Lebih miris adalah omongan sekelompok orang yang beranggapan bagus ibunya gantung diri daripada membunuh putranya lalu kabur ke kota. 

“Isae! Isae!” Seruan gadis yang seumuran dengannya sambil berlari menciptakan suara bising, membuat Isae memalingkan wajah ke belakang dengan cepat. 

“Kasami, ada apa?” Isae segera menghampiri Kasami, takut hal buruk terjadi kepadanya. 

“Bajumu .... bajumu ... hanyut,” ucap Kasami setelah mengatur napasnya. 

“Kenapa bisa hanyut?!” 

“Aku tidak sengaja menyenggol keranjang, dan arus sungai begitu deras. Jadi satu bajumu hanyut.” 

Penjelasan itu sudah cukup bagi Isae untuk bergegas menuju sungai dan menelusuri tiap jengkalnya, kadang dia harus memalingkan muka saat tidak sengaja melihat wanita muda berkemban kain putih yang menurutnya sama saja melihat wanita telanjang bulat. Untunglah Kasami saat menghampiri Isae memakai yukata. 

“Isae tunggu! Bukan disitu tempat aku mencuci!” seru Kasami yang mengekor Isae dari belakang. 

“Lalu dimana?” tanya Isae. 

“Disana!” Kasami menunjuk sebuah hutan yang tidak begitu lebat sehingga sinar matahari bisa masuk ke rimbun pepohon bahkan masih bisa dimasuki sedikit cahaya matahari, itulah alasan sebagian gadis memilih tempat ini untuk mencuci agar terhindar dari terik, namun, tantangan mencuci di bagian ini adalah arus sungai yang derasnya berasal dari air terjun. 

“Jika kau mencuci disana, maka akan hanyut disekitaran sini,” ucap Isae. 

Kasami mendengkus mendengar pernyataan Isae, seperti mengajari kepada anak kecil. Kemudian dia mulai memberanikan diri bertanya kepada para gadis berkemban. “Permisi, kalian lihat baju yang hanyut tidak?” 

Salah satu dari gadis berkemban menjawab tidak dan akan memberikannya kepada Isae jika dapat. 

“Bagaimana ini Isae? Bajumu hanyut karena kecerobohanku,” ucap Kasami kembali. 

“Mau bagaimana lagi. Mungkin aku akan ikut perang dengan marga Makigara. Siapa tahu disana ada baju layak yang bisa dirampas.” 

“Marga Makigara bikin ulah apalagi?” 

“Baru-baru ini salah satu warganya merusak kebun milik Pak Rogiku. Bahkan aksi mereka sampai membuat leher Pak Rogiku sobek.” 

Kasami mengangguk mengerti. Syahdan gadis itu segera pamit kepada Isae dan kembali ke hutan yang dia tunjuk tadi untuk mencuci kembali. 

Asap mengepul di tengah-tengah meja makan bikin perut meronta-ronta minta diisi makanan yang sudah tersaji dengan rapi, sang ibu yang telah berjasa memasak makanan lezat ini akhirnya duduk setelah selesai menyiapkan ini semua, Tuan Ikada—selaku pemimpin keluarga ini berdoa sebelum menyantap. Menu sarapan hari ini adalah nasi hangat dengan ikan. Ada pula sayur bayam sebagai pelengkap. Sesederhana ini mampu menggugah Isae untuk menyantapnya sampai lupa dia ada dimana dan dengan siapa dia makan, apalagi jika hidangan itu makanan mewah berupa daging rusa atau semacamnya. 

“Makanlah yang lahap,” ucap Tuan Ikada. 

“Kami senang kau ada disini, Isae,” timpal Nyonya Ikada. “Nah ini, tambah lagi nasi dan lauknya. Suatu saat kau akan menjadi pria dewasa, kau tahu apa yang pria dewasa Kuromori lakukan?” 

Isae mengangguk sambil melahap, lantas berbicara usai mengunyah. “Berburu dan melakukan perang kala marga Makigara berbuat ulah.” 

“Benar sekali!” girang Tuan Ikada. “Tidak salah aku mengurusmu!” 

“Tuan Ikada, nanti malam akan ada perang dengan Makigara kan?” 

“Ya, memang kenapa?” 

“Boleh aku ikut?” 

Tuan dan Nyonya Ikada terdiam sejenak dan saling pandang. Rasa bangga bercampur khawatir menyeruak dalam benak. Bangga jika Isae begitu antusias dengan peperangan yang sudah menjadi tradisi dan kebanggaan para pria dewasa kala menang, lantas kebanggaan itu diselimuti kekhawatiran bila Isae terus menerus memaksa Tuan Ikada merestui dirinya untuk ikut serta berperang dan tanpa sengaja Isae melihat buruknya perilaku pria Kuromori jika berhasil menaklukkan Makigara. 

“Tidak!” tegas Tuan Ikada. “Umurmu dua belas tahun. Masih kecil untuk ikut perang.” 

Mata binar Isae seketika layu setelah mendengar penolakan. 

“Berlatih pedang dan tingkatkan ilmu bela dirimu dulu bersama Yosihara. Jika umurmu menginjak enam belas tahun, kau boleh ikut,” lanjut Tuan Ikada sambil melihat Yosihara—putra semata wayangnya yang sedang mengajari anak-anak dan remaja bela diri. 

“Baik, Tuan Ikada,” ucap Isae dan melanjutkan sarapannya. 

*** 

Semasih Kuromori Yosihara melajang, ada harapan para gadis untuk mengagumi ketampanan dan gagahnya sang putra tetua marga. Yosihara sebenarnya merasa risih jika para gadis diam-diam mengamatinya mengajari ilmu pedang serta bela diri kepada anak-anak serta remaja. Pemuda dua puluh tahun itu pun tidak ada niat menikahi gadis sini, bahkan setiap ada gadis beserta kedua orang tuanya berusaha membujuk Yosihara menikahi putrinya, Yosihara hanya bisa menolak dan tidak bisa di ganggu gugat oleh Tuan dan Nyonya Ikada dengan alasan belum sanggup menjadi tulang punggung keluarga, terlebih jika memiliki anak yang senantiasa mengekori kemanapun dia pergi. Tapi, itu hanya alasan semata agar terhindar dari menikahi gadis yang tidak dia cintai, sejujurnya Yosihara sudah siap membina rumah tangga, tapi bukan bersama gadis di sini, melainkan seorang gadis yang dia temui secara tidak sengaja di perbatasan hutan Kuromori dengan Makigara. Gadis itu dalam keadaan tak berpakaian dan berendam di sungai jernih, hanya gadis itu seorang, tidak ada kawan yang menemani. Kecantikan dan merdu senandung membuat Yosihara terpana; kulit putih mulus, dan rambut hitam sepinggang yang lurus. Menurut Yosihara wajahnya bagai Putri Kaguya—tokoh legenda masyarakat Jepang yang sering Yosihara dengar ceritanya dari mendiang nenek maupun Ibu. 

Karena menemukan harta karun, Yosihara selalu mengamati gadis itu di atas pohon dengan jarak sedikit jauh. Seperti sore ini, pamit kepada ayahnya dengan alasan berburu, diam-diam Yosihara mengintai sang pujaan hati. Tidak lupa dia memegang erat busur dengan mata awas sebagai bentuk siap siaga jika ada hewan buas menyerang sang gadis. 

“Kak Mirae!” 

Suara yang begitu akrab di telinga Yosihara dalam kehidupannya di desa, bisa membuatnya berani untuk menengok sedikit dari balik dedaunan pohon. Ternyata gadis itu terkejut di waktu yang bersamaan dengan sesegera mungkin memakai kainnya kembali. 

“Hei! Kenapa kau membawaku melihat wanita dewasa yang sedang mandi!” 

Benar dugaan Yosihara.Kasami yang memanggil nama gadis itu dan Isae turut bersamanya. 

“Kenapa kau protes terus! Ini demi bajumu yang hanyut!” tegas Kasami. 

“Tapi tidak sampai ke wilayah Makigara, kan? Bagaimana kalau ada yang tahu kita kemari?” tanya Isae. 

“Bilang saja kalau kita mencari bajumu yang hanyut. Dan kenapa kau membelakangi?“ 

“Kau menyuruhku melihat wanita dewasa telanjang?!” 

“Dia berkemban!” 

“Tetap saja telanjang dimataku!” 

“Permisi.” gadis berusia tujuh belas tahun itu rupanya sudah tidak sabar maksud kedatangan dua remaja ini. “Ada apa kalian kemari? Kalian tidak takut dimarahi?” 

“Kak Mirae, Kakak melihat baju yang hanyut disekitaran sini?” tanya Kasami, sedangkan Isae sedang sibuk menembak burung dengan ketapel. 

“Maaf, aku tidak melihatnya.” 

“Begitu ya, maaf mengganggu. Hei Isae, Kak Mirae tidak menemukannya. Jadi mau cari dimana lagi?” 

Tidak ada jawaban dari Isae yang larut memburu burung dengan ketapel andalannya. 

“Sepertinya dia sudah mengikhlaskan bajunya yang hanyut,” ucap Kasami. “Kalau begitu kami pamit. Isae, ayo!” 

“Tunggu sebentar!” Buru-buru Isae mengambil dua ekor burung korban sasaran ketapel yang jitu dari Isae. Susah payah dia samakan langkah kakinya dengan Kasami yang berada di depan. “Hei, aku yang ada di depan! Wanita di belakang!” 

“Salah sendiri lamban!” ejek Kasami. 

"Tunggu lah! Biar aku yang bisa di depan! Wanita tidak cocok menjadi pemimpin! Kasami!" 

"Berisik!" 

"Hei Kasami, kau kenal wanita itu dari mana?" 

Kasami menceritakan jika setahun yang lalu dirinya hampir jatuh dari air terjun yang terletak di kawasan Makigara, beruntung Mirae melihatnya dan menyelamatkan dirinya. “Setelah di tolong, aku meminta Kak Mirae untuk dicarikan lobak. Kau tahu sendiri kalau mata pencaharian marga Makigara adalah berjualan lobak,” lanjut Kasami. 

“Kau hampir jatuh dari air terjun? Kenapa aku tidak tahu, dan kenapa kau tidak bercerita? Ralat, orang-orang Makigara lebih suka berjualan kerajinan.” 

“Waktu itu kau demam, jadi percuma menceritakannya. Dan berhenti berbicara!” 

Isae terdiam. Dia sudah tidak sengaja mengungkit mendiang ibunda Kasami yang berasal dari Makigara dan sudah senang hati menemani Pak Haede—ayahanda Kasami, walau sebentar, tetapi bisa memberikan sebuah hadiah perpisahan yang indah. 

*** 

Bagi Pak Haede, Kasami layaknya batu mulia yang harus di jaga ketat dari orang-orang yang ambisius menginginkannya. Walau orang itu telah membawanya pergi lalu mengembalikannya ke pemilik tanpa goresan setitik pun, Pak Haede tetap tidak menerima batu mulia itu dibawa kesana-kemari. Sehingga Pak Haede harus berulang kali berceramah tentang kodrat perempuan yang harus diam di rumah dan mematuhi perintah dari para pria, tentu ocehan dari ayahnya adalah hal pertama yang Kasami tidak suka. Menurut Kasami, ayahnya terlalu cemas walau Kasami sendiri terkadang selalu cemas kala ayahnya telat datang ke rumah. 

“Kau seharusnya tahu posisimu! Kau wanita, wanita yang harus tinggal di rumah dan tidak keluyuran hampir malam begini! Wanita tidak di izinkan untuk masuk hutan kecuali mencuci pakaian!” Itulah teguran dari Pak Haede yang telah kelimpungan mencari anak gadisnya—bertanya sana-sini tanpa hasil. Lalu dibuat geram saat Kasami berteriak memanggil ayahnya dengan Isae disampingnya. 

“Aku sudah bilang, aku membantu mencari baju Isae yang ha–" 

"Alasan! Sekarang masak makan malam untuk kita, cepat!” 

“Kenapa ayah–” 

“Kasami!” 

Tidak berarti lagi, berdebat dengan sang ayah sama saja menyerahkan leher ke Makigara untuk ditebas. Segera dia menuju dapur dan mulai menyiapkan bahan yang ada di lemari penyimpanan, tak lupa membersihkan burung untuk dijadikan santapan malam. Pak Haede tahu benar putrinya kesal, terbukti dari caranya dia memotong burung dengan sekali hentak yang menimbulkan bunyi gaduh dari dapur. 

“Jika kau tahu kenapa ayah begini keras kepadamu, karena ayah tidak ingin kehilanganmu seperti ayah kehilangan ibumu,” lirih Pak Haede.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Purnamasari
Seru ceritanya, beda dg yang biasa. Walau harus menambah ekstra konsentrasi. Tapi bagus.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status