Pak Zukida kesal bukan main melihat persediaan kayu bakar di gudang mulai sedikit akibat sekelompok anak muda yang seenaknya memakai kayu bakar untuk membuat api unggun kemarin malam dan Ichida pun turut andil dalam sekelompok anak muda tidak bertanggung jawab. Omelan Pak Zukida untuk si anak sulung sampai terdengar oleh orang yang lalu lalang diluar rumah. Mereka tampaknya sudah maklum mengingat pria itu kadang memarahi putranya seperti ini.
“Aku tidak mau tahu, ambil kayu bakar banyak-banyak!” titah Pak Zukida usai mengomel.
Ichida mengerucutkan bibirnya, dia mengambil gerobak yang tersimpan di belakang gudang. Langkah gontai sambil mendorong gerobak dengan mimik muka masam, sudah cukup tahu yang melihatnya jika remaja ini begitu terpaksa menuruti perintah ayahnya. Kala netranya melihat secara acak untuk mendapatkan teman agar tidak sendirian pergi ke hutan, dia melihat Isae duduk di batang pohon tempat kelompok remaja kemarin malam duduk-duduk sambil m
Untuk Ikada. Kakak yang paling kuhormati. Sebagaimana seorang adik kepada kakaknya, aku pun berharap kakak sehat selalu. Dan ucapkan permintaan maafku kepada Yosihara sebab dari Yosihara menikah sampai istrinya mengandung, aku tidak bisa datang kesana. Kesibukan sebagai tabib sekaligus peracik obat di kota membuatku sibuk. Pasien tidak henti bertandang. Tapi tak apa Kak, aku ikhlas dengan pekerjaan ini. Ngomong-ngomong soal pasien, Kakak ingat wanita yang dibawa kemari oleh Haede dan Yosihara karena demam? Benar kan, beliau ini Nyonya Rogiku? Apakah Nyonya Rogiku telah kembali ke Kuromori? Sebab, saat istriku ingin memeriksa beliau, beliau ini sudah tak ada di kamarnya. Padahal beliau ini baru saja sembuh dan sedang menjalani pemulihan. Aku dan istriku kelimpungan dan menanyakan keberadaan Nyonya Rogiku ke para tetangga atau pasien yang datang, tapi mereka tidak melihatnya. Aku harap Nyonya Rogiku sudah pulang
Pria berumur kepala lima masih tegap badannya walau raut tua muncul di wajah itu terpantul di cermin agar bentuk fisiknya bisa memantaskan diri dengan beberapa baju yang tepat untuk momen langka. Setelah memilih dan menimbang-nimbang, dia jatuh hati dengan baju yang warnanya di dominasi warna emas dan hitam menandakan bahwa kedatangan pria ini ke Kuromori akan membawa kesuksesan gemilang bagi Makigara. Setelah beres, pria itu ke luar kamar dan menghampiri Tuan Ronin yang sedang memeriksa kelengkapan senjata serta orang-orang yang akan ke sana. “Ronin, apa semuanya sudah siap?” tanya Tuan Ozuru. “Sudah Tuan. Kau tahu Tuan, hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi Makigara,” ujar Tuan Ronin. “Kau benar, aku tidak menyangka jika Tuan Ikada membalas surat itu begitu cepat dan menerima kedatangan kita.” “Sepertinya, Tuan Ikada pun sama lelahnya dengan kita sebenarnya. Dia tidak mau lagi perang antar marga terjadi.” “
Dia bagai bom waktu siapapun yang mendengar teriakan murka nan lantang. Dia juga bagai gada kala seseorang memberhentikan sikap arogannya. Bahkan raja rimba pun takluk dengan seorang gadis yang meraung-raung mencari mangsa berupa pria tua yang sewaktu dulu lalai memberi perhatian dan kasih sayang, kini berubah menjadi seorang malaikat yang selama bertugas selalu dapat cemooh dari si kafir. Sambil mengobrak segala isi rumah sedangkan kakaknya berusaha menenangkan, Minra menggenggam pakaian yang menurut Eiko tidak terlalu kotor sebab hanya di pakai sehari sekali, bahkan Minra menyangkal jika bajunya masih bersih—berpendapat jika baju ini kotor oleh keringat. “Keringat? Padahal kerjamu berleha-leha!” Eiko hilang kesabaran, biar adiknya sekali ini merasakan bentakan dari sang kakak. Langkah Minra yang ingin menuju kamar ayahnya, terhenti begitu saja mendengar ucapan yang menurutnya tidak pantas diucapkan kepada ‘Tuan Putri Minra’. Sorot mata tajam sang adik kala me
Bosan dalam kesendirian sungguh tak enak hati, seakan hanya kita sendiri yang berada di alam semesta yang disebut kamar tidur Kasami dan dirinya sekarang berbaring sambil melempar biji kenari ke atas lalu menangkapnya, di otak layaknya seperti menimbang-nimbang seperti Dewa Izanagi dan Dewi Izanami—mau seperti apakah dunianya di buat. Lantas kesendirian ini mengingatkannya kepada Isae yang sudah hampir dua minggu tak dia ajak mengobrol, sekedar memberi tegur sapa pun Kasami enggan.“Kasami ... bisakah ayah duduk di sini? Di ruang tamu maupun keluarga, hawanya begitu dingin. Orang-orang pada malas mencari kayu bakar padahal di gudang persediaannya sedikit lagi,” keluh Pak Haede sambil berjalan masuk ke dalam kamar putrinya, membuat Kasami yang tengah berbaring, duduk seketika.“Silakan, Ayah. Ayah baik-baik saja? Ayah begitu pucat?” tanya Kasami melihat wajah Pak Haede yang begitu kuyu.“Ini—” Pak
Eiko bersyukur melihat sang ayah mulai tidur dengan cepat. Akhir-akhir ini, jam tidur Pak Orochi terganggu oleh berbagai macam pikiran yang bergelayut sehingga dipastikan beliau sering tidur larut dan bangun dengan cepat. Terkadang Pak Orochi mengigau—mulutnya tak henti memanggil Minra yang sudah jauh dari jangkauan untuk menarik kembali ke dekapan. Ini juga yang membuat Eiko tidak bisa tidur juga sebab mengkhawatirkan ayahnya yang sudah tersiksa lahir batin. Maka dia sengaja menyibukkan diri dengan menyeduh teh, sesekali juga dia memeriksa kamar adiknya seakan adiknya ada di sini. Kamar yang terlihat rapi dan Eiko sadar sebelum kejadian itu, Minra sendiri yang merapikan ruang pribadinya.“Minra! Minra!” Eiko terkesiap mendengar sang ayah berteriak memanggil seseorang yang sekarang ini dirindukan oleh keluarga dan orang-orang desa. Eiko tidak sempat menutup pintu kamar dan meninggalkan teh buatannya di kotatsu pribadi Minra yang didapatkan Minra secara memak
Siang. Setelah pemakaman Minra yang kepergiannya ternyata ditangisi oleh banyak orang dan kepergiannya membuat orang-orang meminta maaf jika abai mereka kepada gadis yang telah terkubur ini membuat sakit hati sampai di bawa mati. Kasami merupakan diantara orang yang meminta maaf. Pak Orochi dengan hati yang masih belum menerima, hanya terdiam dengan tatapan kosong di dalam rumah ditemani oleh Pak Haede sebab mental Pak Orochi tidak bisa dipaksakan untuk ikut ke upacara pemakaman putrinya dan Pak Haede tidak bisa ikut lantaran flu yang masih setia menemani. Pak Haede pula tidak bisa berbuat apa-apa dan sepertinya harus minta tolong ke Tuan Ikada yang sudah berhasil menenangkan orang-orang seperti dirinya, Pak Orochi, serta anak-anak yatim piatu.“Orochi,” ucap Pak Haede pelan, masih penasaran apakah cara yang dia pikirkan kali ini berhasil atau tidak. “Sekarang, kita sama-sama ditinggal.”Tidak ada sahutan.“Orochi,” lanjut Pak
“Sampaikan rasa belasungkawa ini kepada Tuan Orochi.”Muak. Pak Rogiku sudah muak dengan sifat ramah yang dibuat-buat dan mungkin di balik ramah tamah Tuan Ozuru dan Tuan Ronin yang kini ada dihadapannya juga membuat dirinya semakin muak—ingin sesegera mungkin merobek topeng palsu yang kedua orang ini pakai menurut Pak Rogiku.Hampir lupa, menceritakan kenapa Pak Rogiku bisa ke Makigara di siang hari. Sebab desakan Yosihara yang kemarin malam mengetuk pintunya dengan kasar dan memberi tantangan kepada Pak Rogiku agar mencari kebenaran dari kematian Minra dan hilangnya Nyonya Sumiye adalah ulah Makigara. Pak Rogiku mengambil tantangan itu—saling jabat merupakan saksi persetujuan mereka. Ketika diperjalanan menuju Makigara, hati Pak Rogiku menggebu-gebu tanda semangat mengobrak-abrik boroknya Makigara langsung ke junjungannya. Tapi, jiwa semangat itu luntur kala berhadapan langsung dengan Tuan Ozuru dan Tuan Ronin. Pak Rogiku hanya memberi kabar t
Hanya tidak mau reka adegan peperangan saat Yosihara memenggal dua pria sekaligus yang menyebabkan mimpi buruk bagi Isae, maka remaja laki-laki ini mencegah adegan itu kembali dengan alasan wasiat mendiang ayahnya agar dua katana itu tidak dikotori oleh darah, sengaja atau tidak sengaja. Karena kejadian yang telah lewat tiga hari, Isae memutuskan menjual dua katana ke Yokohama sekarang. Kondisi Pak Haede semakin membaik dan Isae bisa berjualan bersama Pak Haede kembali. Sebelum dirinya pergi, dia sempat membuat makanan untuk Pak Orochi. Jangan berharap Isae membuat onigiri, sup, dan makanan yang seperti ibu rumah tangga hidangkan untuk keluarga. Isae hanya menggoreng burung liar yang iseng-iseng dia cari kemarin dan mendapatkan seekor. Kemarin juga Nyonya Ikada memberi Isae makanan dan cukup untuk sarapan. Jadi, burung hasil buruannya untuk Pak Orochi. Sejak Kejadian surat Sumiye dan kejujuran Pak Rogiku, membuat keadaan Pak Orochi kian memburuk. Sering kali Pak Orochi tertawa dan t