Biasanya pria yang sudah menikah akan duduk-duduk santai di malam hari setelah kewajiban pertama selesai, bercakap-cakap dengan teman sebaya, menceritakan malam pertama mereka jika berani, dan mengobrol apa saja prospek kedepannya. Namun kali ini tidak ada tanda-tanda Yosihara untuk ke luar melainkan Tuan Ikada yang masih mengobrol santai dengan Pak Haede dan Pak Zukida, adapula anak remaja bersenda gurau di gubuk, bahkan dua pria berumur empat puluh tahun terpaksa mendengar celoteh dari para remaja menyangkut bagaimana cara mereka berburu, apa saja yang mereka dapat, dan ada kejadian apa dalam lingkaran pertemanan mereka. Sungguh obrolan membosankan bagi pria dewasa.
“Yosihara .. sudah tumbuh menjadi pria dewasa. Dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah,” ucap Pak Haede membuka percakapan lain setelah Pak Zukida membagi pengalamannya mengantar tiga gadis Makigara ke asalnya dan diberi.tatapan tajam warga sekitar setelah tiga wanita itu turun dari kereta.
“Benar! Bukan Yosihara saja yang tumbuh besar dengan cepat, anak-anak kita juga,” timpal Pak Zukida.
“Melihat anak yang tumbuh besar. Rasanya suatu saat aku tidak bisa melepaskan Kasami untuk ikut suaminya kelak.”
“Kau ayah yang baik, Haede,” ucap Tuan Ikada. “Tapi ada saatnya kita harus melepaskan. Suatu saat pun Kasami akan jatuh cinta dengan pria yang mencintainya juga. Jadi, kau tak usah risau.”
“Bagaimana jika Kasami menikah dengan pria kota?” Pak Haede mulai khawatir.
Sebelum Pak Zukida menjawab pertanyaan Pak Haede, interupsi mereka terganggu dengan kehadiran orang yang ditunggu-tunggu.
“Wah lihat! Pengantin baru kita!” seru Pak Zukida.
“Dan juga calon tetua marga kita nanti! Aku berpikir apakah aku masih hidup saat dia menjadi tetua marga,” ucap Pak Haede.
“Haede, jangan berucap seperti itu! Berdoa kepada Dewa agar kita berumur panjang!” tegur Tuan Ikada. “Ayo, duduk disini. Sekarang kau tidak pantas duduk-duduk dengan bujang. Kau lebih pantas duduk dengan kami para bapak-bapak.”
Semua yang ada disana tertawa mendengar Tuan Ikada berbicara termasuk dua penjaga sehingga sekumpulan remaja cemberut tanda tersinggung.
“Ngomong-ngomong.” Pak Zukida berbicara pelan ke Yosihara namun masih bisa terdengar di sekitaran tiga orang yang ada di dekatnya. “Bagaimana malam pertamamu?”
Yosihara kaget, tidak menyangka dia akan ditanya hal pribadi seperti ini.
“Hei Zukida!” tegur Pak Haede sambil memukul lengan atasnya. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Malam pertama adalah kegiatan yang sakral dan tidak pantas diumbar! Apalagi dulu kau risih jika ada yang bertanya seperti ini kepadamu!”
“Haede benar,” ujar Tuan Ikada. “Lebih baik kita membicarakan hal ini saja. Yosihara apa kau sudah mempunyai rencana kedepan untuk keluarga kecilmu, terlebih dengan masa depan anakmu.”
“Aku belum memikirkannya. Yang jelas aku akan mengajarinya ilmu bela diri. Kemungkinan juga aku akan menyekolahkannya di kota dengan bimbingan paman,” cetus Yosihara.
“Jika kelak anakmu perempuan?”
“Tidak masalah kan? Lebih bagus jika perempuan mempunyai dasar ilmu bela diri. Dan lebih bagus pula jika memiliki kemahiran lain. Peristiwa di gudang tadi sudah cukup bukti jika perempuan rentan menjadi korban.”
Pernyataan Yosihara ini sempat tidak terpikirkan oleh mereka. Pak Haede apalagi, dia punya seorang putri yang memiliki bakat bela diri jika diasah. Kenapa Kasami tidak diajarkan bela diri saja dengan bimbingan Yosihara? Begitu pikirnya.
Lantas mereka Pak Zukida dan Pak Haede membagikan pengalaman mereka mengurus anak-anaknya kepada Yosihara, bukan untuk menakut-nakuti pria muda ini, melainkan memberi gambaran kepada Yosihara cara mengurus anak walau kemungkinan gaya mereka berdua dan Yosihara kelak akan berbeda. Percakapan diselingi Senda gurau harus beralih ke adegan seorang pria menyeret tubuh wanita yang meronta-ronta diselingi tangisan. Tangan si pria tidak bosan menarik rambut sang istri kuat-kuat, lantas tubuh lemah itu di dorong sampai tersungkur, adegan kekerasan tidak sampai disitu, si pria menendang tubuh sang istri sampai terkapar—tidak bisa bangkit dan melawan balik.
“Suamiku maafkan aku, kumohon jangan siksa aku,” lirih sang istri di sela tangisnya.
“Meminta maaf? APAKAH SEORANG ISTRI YANG TIDAK MENYIAPKAN MAKAN MALAM BAGI SUAMI HARUS DIMAAFKAN?!”
Geram. Emosi Yosihara saat ini. Dari kecil, dia sudah muak melihat sikap kasar para pria disini. Gagah berani, Yosihara menghampiri Pak Rogiku—pria yang sudah berani memperlakukan istrinya begitu kasar. Tuan Ikada hanya memantau seberapa sanggup Yosihara jika ada permasalahan seperti ini.
“Ada apa ini?” tanya Yosihara dengan tenang.
“Tuan muda Yosihara, maaf jika keributan kami mengganggu anda. Lihat wanita ini! Disaat istri yang lain memasak makan malam untuk suaminya, wanita ini malah bersantai dan tidur lebih awal dibanding suaminya. Bukankah ini namanya penghinaan?” tutur Pak Rogiku.
Yosihara tidak segera menjawab, dia berlutut mensejajarkan dirinya dengan istri Pak Rogiku. Telapak tangannya memegang dahi bersuhu panas tanda wanita ini demam, alhasil wanita ini tidak bisa menahan gigil yang sedari tadi di tahan.
“Demam,” ucap Yosihara.
“Apa Tuan?” tanya Pak Rogiku.
Yosihara benar-benar muak dengan sikap pria ini. Dia masih santai kala istrinya kesakitan. Geram, Yosihara mencengkeram baju Pak Rogiku. “ISTRIMU DEMAM, APA KAU TIDAK MEMERIKSANYA TERLEBIH DAHULU SEBELUM BERPENDAPAT SEPERTI ITU!”
“Rupanya sudah berani memihak wanita? Terlebih wanita ini berasal dari Makigara yang jelas merugikan kita! Yosihara kau bodoh, seorang pria tidak boleh terlalu memanjakan wanita. Jika itu terjadi, wanita yang kau lindungi akan menjadi belati yang siap membunuhmu kapan saja.”
“Memang benar. Bukan wanita saja, pria picik pun jika diberi hati akan semakin berulah, bukan? Jadi, ini masalah sifat. Yang aku pertanyakan adalah sisi kemanusiaanmu. Satu lagi, jika kau tidak suka Makigara, kenapa kau menikah wanita yang berasal dari Makigara? Untuk balas dendam? sedangkan wanita ini tidak bersalah dan sejak pertama menginjakkan kaki di sini pun, wanita ini tidak berbuat ulah. Jangan sampai suatu saat dirimu hidup seperti Pak Orochi.”
Hening. Bahkan pria lain yang ingin melerai ikut urung, kecuali Pak Haede beserta dua penjaga atas perintah Tuan Ikada untuk membawa istri Pak Rogiku ke rumahnya untuk diberi pertolongan oleh Nyonya Ikada dan Mirae. Pak Rogiku menghembuskan napas dengan kasar—sebisa mungkin menahan emosi dan memilah-milah kalimat mana yang mampu mengejek pemuda berusia dua puluh tahun ini, sedangkan apa yang dikatan Yosihara sebuah kebenaran. Pak Rogiku tahu dia seperti Pak Orochi kala itu, tapi tidak terima jika yang menasihatinya lebih muda dari usia Pak Rogiku.
“Untuk pertama kalinya aku mengalah kepada orang yang lebih muda dariku. Bukan berarti lemah, ucapanmu membuatku sedikit sadar,” desis Pak Rogiku.
“Kau tidak lemah. Orang yang menerima nasihat termasuk orang yang kuat juga, bukan?” ujar Yosihara. “Tadinya aku ingin menghajarmu, tapi aku tahu lehermu sedang bermasalah. Jika kau ingin sekali menghajarku, pastikan lehermu sembuh dulu.”
“Yosihara!” Pak Rogiku melayangkan kepalan tangan mengarah ke wajah Yosihara. Nihil, lesatan kepalan tangan berhasil di tangkis oleh Yosihara. Tuan Ikada dan Pak Zukida segera berlari menuju area tarung. Yosihara ditahan oleh ayahnya, sedangkan Pak Rogiku ditahan oleh Pak Zukida.
Keadaan semakin runyam sampai orang yang di dalam rumah ke luar melihat keributan yang terjadi. Tapi, bukan keributan yang diciptakan oleh Yosihara dan Pak Rogiku, melainkan teriakan seorang remaja putri seumuran Kasami. Pekiknya adalah sumpah serapah kepada sang ayah dan Kakak perempuannya yang berusaha menahan kepergian remaja ini.
“Minra, tolong dengarkan Kakak! Jangan bertindak gegabah kepada ayah!” mohon sang kakak kepada adiknya yang kalap.
“JADI KAKAK MEMBELA PEMBUNUH ITU?! SUDAH JELAS DIA YANG MEMBUANG BAJUKU!” murka Minra.
“Ayah tidak tahu jika baju itu masih terpakai. Salahmu sendiri menyimpan disembarang tempat!” Eiko—sang kakak, tak berhenti menegur sang adik.
“Apa dulu ayah pernah mengakui kesalahan kepada ibu? AYAH TIDAK PERNAH MENGAKUI KESALAHAN KEPADA IBU!”
“Ada apa lagi ini?” tanya Tuan Ikada sambil memijit kening melihat malam ini banyak sekali masalah.
“Tuan Ikada, bantu saya tenangkan Minra,” pinta Eiko.
“Minra, kau kenapa?” tanya Tuan Ikada kembali, kali ini dia melembutkan suaranya.
“Aku ingin melakukan ¹ushi no koku kepada ayah,” ucap Minra, tak peduli reaksi orang sekitar setelah mendengarnya.
“Apa kau gila?” tanya Pak Zukida dengan waspada.
“Aku tidak gila! Pria itu yang gila!”
“Nak,” ujar Tuan Ikada kepada Minra. “Lebih baik kau bermalam di rumahku, disana kau bisa menenangkan diri dan mengeluarkan keluh kesahmu bersama Nyonya Ikada dan Mirae. Oh ya, Yosihara. Coba kau periksa keadaan Pak Orochi. Dan Rogiku, sebaiknya lihat kondisi istrimu.”
“Lebih baik aku sekarat daripada melihatnya.” Pak Rogiku lepas tangan—terserah dengan mereka yang merawat istrinya, sedangkan dia tidak peduli. Bukan saja Yosihara yang kebingungan dengan sikap Pak Rogiku, Tuan Ikada, Pak Zukida, serta orang-orang yang melihat peristiwa ini sama bingungnya.
“Yosihara, Zukida, cepatlah ke rumah Orochi. Biarkan Rogiku pergi. Jika dia tidak ingin mengurus istrinya, kelak kita berunding setelah keadaan istrinya membaik,” tutur Tuan Ikada.
***
Orang boleh saja mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Masalahnya mau dikemanakan kekuatan dan kekuasaan itu? Digunakan untuk berbuat baik? Atau digunakan untuk berbuat buruk? Rugi jika ada orang yang menggunakan kekuatan dan kekuasaan hanya untuk pamer semata dan sisanya dipakai menindas.
Seperti yang terlihat di rumah ini, pria yang meringkuk di balut kesedihan, dulunya memiliki kekuatan—Pak Orochi semasih muda sama seperti kebanyakan pria Kuromori. Kuat fisiknya, terampil bela diri pula. Tetapi, setiap ada kelebihan pasti ada kurangnya, bukan?Orochi muda begitu merawat sikap angkuh dan berperilaku kasar pada dirinya. Menurut pandangan Orochi, memiliki sika dan perilaku seperti itu mampu membuat semua orang takut nan tunduk kepadanya—bahkan orang-orang lebih takut kepada Orochi daripada Tuan Ikada.
Hingga nasib sial di dapat oleh seorang gadis berasal dari Makigara yang harus mendapatkan Orochi. Awal menikah, rumah tangga mereka sudah mengalami keributan hanya masalah sepele. Keributan mereda saat sang istri hamil anak pertama, Orochi berharap kehadiran anak laki-laki sebagai tanda kehormatan keluarga untuk meneruskan nama marga. Asa Pak Orochi harus dikubur kala sang istri memberi hadiah anak perempuan yang diberi nama Eiko. Rasa kecewa sudah jelas di hati Orochi, Tuan Ikada yang melihat mimik wajah murkanya, segera menghampiri Orochi dan memberi sedikit wejangan jika Orochi belum beruntung dan harus menunggu beberapa kesempatan agar mendapatkan anak laki-laki terwujud.
Lima tahun setelah kelahiran Eiko, sang istri hamil kembali sehingga Pak Orochi berharap seperti dulu—menginginkan anak laki-laki. Untuk yang kedua kalinya, harapan itu rupanya harus dikubur dan dilupakan setelah sang istri melahirkan anak perempuan lagi yang diberi nama Minra. Dan kelahiran Minra juga sebagai penyulut emosi dan sebab musabab sang istri diperlakukan lebih kasar. Sebagai anak, Eiko dan Minra tidak bisa berbuat apa-apa selain bersembunyi dan menangis sembari menabung benih dendam. Lantas benih itu terbuang sia-sia pada diri Eiko kala sang ayah sifatnya berubah sejak sang istri memutuskan gantung diri—memaksa Orochi diberi tanggung jawab membesarkan kedua putri yang saling singgung. Si sulung mewarisi watak ibu dan si bungsu mewarisi watak ayah, yang paling mendebarkan bagi Pak Orochi di sisa hidupnya mendapat perlakuan yang sama kasar oleh si bungsu seperti yang pernah dia lakukan kepada mendiang istrinya. Pak Orochi tidak keberatan. Ini karma, cetusnya.
“Orochi,” lirih Pak Zukida.
“Tidak apa-apa. Aku yang salah, seharusnya aku lebih dahulu bertanya pada Minra. Eiko, tolong silahkan Yosihara dan Pak Zukida duduk dan hidangkan teh untuk beliau-beliau ini,” ucap Pak Orochi gemetar.
“Ayah, tolong maafkan Minra. Aku gagal sebagai kakak.” Air mata Eiko tidak bisa di tahan.
“Berhenti berucap seperti itu Eiko. Lebih baik kau jamu tamu kita. Bagaimana kalau kita berbincang-bincang sebentar, Yosihara, Zukida.”
Yosihara dan Pak Zukida mengangguk dan mengambil duduk berhadapan dengan Pak Orochi, sedangkan Eiko mempersiapkan hidangan untuk kedua tamu beserta dirinya dengan sang ayah.
“Pak Orochi, anda tidak apa-apa? Maksud saya, apakah Minra melakukan hal yang tidak-tidak?” tanya Yosihara hati-hati.
“Tidak, dia hanya marah seperti biasa. Tidak perlu dipikirkan. Toh, nanti juga bakal baikan,” ucap Pak Orochi dengan senyum walau dua orang ini tahu itu senyum yang dipaksakan.
“Apakah anda sudah berbicara kepada Minra tentang bagaimana perasaan anda saat peristiwa kematian mendiang ibunya?”
“Ayah sudah menjelaskannya kepadaku dan Minra, Tuan Yosihara.” Eiko membuka suara sambil menyuguhkan hidangan. “Tapi Minra, tetap menyalahkan ayah. Maksudku, memang benar ayah yang membuat ibu begini. Tapi lihat, ayah sedikit demi sedikit telah merubah sifatnya. Tapi, itu tidak cukup bagi Minra. Minra ingin ayahnya lebih menderita daripada ibu. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku dan ayahku lakukan untuk menghadapi anak itu. Apakah Tuan Yosihara dan Pak Zukida ada jalan keluar?”
“Menurutku, anak ini harus di didik.” Pak Zukida mulai membuka suara. “Kalian tahu Tuan Hayade?”
“Pamanku, ya?” ujar Yosihara. “Jadi intinya Minra harus ke kota dan menempuh pendidikan disana?”
“Iya, benar sekali! Sekolah sekaligus asrama bagi kaum perempuan kota. Diajari tata krama dan sopan santun, para pengajar disana adalah para wanita keturunan darah biru yang sudah jelas didikannya.”
“Entah, aku merasa ini akan sia-sia,” ujar Eiko.
“Hei Eiko!” tegur Pak Zukida, “Apa kau kasihan kepada ayahmu yang sekarang ini sedang membatin akibat Minra? Kalau kasihan, berpikirlah secara yakin!”
Eiko menoleh ke ayahnya seakan minta pendapat soal mengirimkan Minra ke kota. “Yosihara, kapan pamanmu pulang kemari?” Pak Orochi setuju dengan pendapat dari Pak Zukida dan Yosihara.
“Entah,” jawab Yosihara. “Saya sudah menulis surat tentang undangan pernikahanku dengan Mirae jauh hari, namun sampai sekarang tidak ada balasan. Mungkin beliau sedang sibuk.”
Pak Orochi mengangguk, lantas meminta Yosihara agar memberitahu dirinya jikalau pamannya Yosihara sudah pulang.
Glosarium:
1. Ushi no koku mairi: Ritual mengutuk seseorang saat di jam 1-3 dini hari. Mereka akan pergi ke kuil shinto di jam tersebut dengan pakaian serba putih secara diam-diam. Mereka akan membuat boneka jerami yang sudah terselip foto, DNA (rambut, kuku, dsb), atau nama orang yang akan di kutuk. Boneka diikat di pohon keramat yang dekat dengan kuil shinto, setelahnya mereka akan menusuk boneka jerami dengan paku.
Hal kedua yang Kasami tidak suka adalah ditinggal pergi ayahnya tanpa sang ayah pamit kepadanya. Bukan karena manja, dia khawatir jika suatu hal buruk terjadi kepada ayahnya—diculik oleh segerombolan Makigara yang dulu menimpa seorang pemuda sampai meninggal akibat di siksa. Sudah tahu apa yang Kuromori lakukan akibat kejadian ini—balas dendam yang begitu dahsyat perlawanannya. Sungguh, walau Kasami tahu peristiwa itu hanya dari mulut ke mulut, peristiwa yang dia dengar membuat semakin dia menggenggam ayahnya begitu erat bagai seorang ibu yang mengekang anaknya dengan dalih keselamatan. Karena Kasami tidak menemui ayahnya di kamar maupun halaman belakang tempat kandang ayam, Kasami ke luar dan segera berlari menuju rumah tetua marga. Di dalam sana, setelah Nyonya Ikada membukakan pintu untuk Kasami, sudah ada Isae dan Ichida yang menunggu masakan dari tangan Mirae. Tidak terlihat Yosihara. “Nyonya Ikada, ayahku menghilang,” cemas Kasami setelah meminum ai
“Apakah ayah serius ingin mengajari Isae beternak dan berdagang?” Kasami bertanya kepada ayahnya saat mereka berdua telah bangun di subuh hari dan Kasami menyeduh teh hangat untuk ayahnya serta dirinya, lantas bertanya seperti itu sambil duduk berhadapan. “Iya, memangnya kenapa? Bukankah bagus jika Isae membantu ayah beternak sekaligus berdagang. Kau sendiri juga tidak mau disuruh beternak ayam, kan?” ujar Pak Haede. Kasami mengerucutkan bibirnya. Ayahnya tidak tahu sama sekali dengan yang namanya musuh di balik selimut. Bisa jadi suatu saat Isae merugikan ayahnya. Syahdan, ketukan pintu terdengar. Pastilah Isae yang begitu semangat dengan kegiatan barunya ini. “Permisi, Pak Haede,” panggil Isae, masih di luar dengan sesekali mengetuk pintu. Jika bukan saja perintah ayahnya untuk sesegera mungkin membukakan pintu, Kasami akan membiarkan Isae kedinginan di luar, dan kembali lagi ke rumah karena Isae anggap tidak ada orang di dalam—pengusiran
Pak Zukida kesal bukan main melihat persediaan kayu bakar di gudang mulai sedikit akibat sekelompok anak muda yang seenaknya memakai kayu bakar untuk membuat api unggun kemarin malam dan Ichida pun turut andil dalam sekelompok anak muda tidak bertanggung jawab. Omelan Pak Zukida untuk si anak sulung sampai terdengar oleh orang yang lalu lalang diluar rumah. Mereka tampaknya sudah maklum mengingat pria itu kadang memarahi putranya seperti ini. “Aku tidak mau tahu, ambil kayu bakar banyak-banyak!” titah Pak Zukida usai mengomel. Ichida mengerucutkan bibirnya, dia mengambil gerobak yang tersimpan di belakang gudang. Langkah gontai sambil mendorong gerobak dengan mimik muka masam, sudah cukup tahu yang melihatnya jika remaja ini begitu terpaksa menuruti perintah ayahnya. Kala netranya melihat secara acak untuk mendapatkan teman agar tidak sendirian pergi ke hutan, dia melihat Isae duduk di batang pohon tempat kelompok remaja kemarin malam duduk-duduk sambil m
Untuk Ikada. Kakak yang paling kuhormati. Sebagaimana seorang adik kepada kakaknya, aku pun berharap kakak sehat selalu. Dan ucapkan permintaan maafku kepada Yosihara sebab dari Yosihara menikah sampai istrinya mengandung, aku tidak bisa datang kesana. Kesibukan sebagai tabib sekaligus peracik obat di kota membuatku sibuk. Pasien tidak henti bertandang. Tapi tak apa Kak, aku ikhlas dengan pekerjaan ini. Ngomong-ngomong soal pasien, Kakak ingat wanita yang dibawa kemari oleh Haede dan Yosihara karena demam? Benar kan, beliau ini Nyonya Rogiku? Apakah Nyonya Rogiku telah kembali ke Kuromori? Sebab, saat istriku ingin memeriksa beliau, beliau ini sudah tak ada di kamarnya. Padahal beliau ini baru saja sembuh dan sedang menjalani pemulihan. Aku dan istriku kelimpungan dan menanyakan keberadaan Nyonya Rogiku ke para tetangga atau pasien yang datang, tapi mereka tidak melihatnya. Aku harap Nyonya Rogiku sudah pulang
Pria berumur kepala lima masih tegap badannya walau raut tua muncul di wajah itu terpantul di cermin agar bentuk fisiknya bisa memantaskan diri dengan beberapa baju yang tepat untuk momen langka. Setelah memilih dan menimbang-nimbang, dia jatuh hati dengan baju yang warnanya di dominasi warna emas dan hitam menandakan bahwa kedatangan pria ini ke Kuromori akan membawa kesuksesan gemilang bagi Makigara. Setelah beres, pria itu ke luar kamar dan menghampiri Tuan Ronin yang sedang memeriksa kelengkapan senjata serta orang-orang yang akan ke sana. “Ronin, apa semuanya sudah siap?” tanya Tuan Ozuru. “Sudah Tuan. Kau tahu Tuan, hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi Makigara,” ujar Tuan Ronin. “Kau benar, aku tidak menyangka jika Tuan Ikada membalas surat itu begitu cepat dan menerima kedatangan kita.” “Sepertinya, Tuan Ikada pun sama lelahnya dengan kita sebenarnya. Dia tidak mau lagi perang antar marga terjadi.” “
Dia bagai bom waktu siapapun yang mendengar teriakan murka nan lantang. Dia juga bagai gada kala seseorang memberhentikan sikap arogannya. Bahkan raja rimba pun takluk dengan seorang gadis yang meraung-raung mencari mangsa berupa pria tua yang sewaktu dulu lalai memberi perhatian dan kasih sayang, kini berubah menjadi seorang malaikat yang selama bertugas selalu dapat cemooh dari si kafir. Sambil mengobrak segala isi rumah sedangkan kakaknya berusaha menenangkan, Minra menggenggam pakaian yang menurut Eiko tidak terlalu kotor sebab hanya di pakai sehari sekali, bahkan Minra menyangkal jika bajunya masih bersih—berpendapat jika baju ini kotor oleh keringat. “Keringat? Padahal kerjamu berleha-leha!” Eiko hilang kesabaran, biar adiknya sekali ini merasakan bentakan dari sang kakak. Langkah Minra yang ingin menuju kamar ayahnya, terhenti begitu saja mendengar ucapan yang menurutnya tidak pantas diucapkan kepada ‘Tuan Putri Minra’. Sorot mata tajam sang adik kala me
Bosan dalam kesendirian sungguh tak enak hati, seakan hanya kita sendiri yang berada di alam semesta yang disebut kamar tidur Kasami dan dirinya sekarang berbaring sambil melempar biji kenari ke atas lalu menangkapnya, di otak layaknya seperti menimbang-nimbang seperti Dewa Izanagi dan Dewi Izanami—mau seperti apakah dunianya di buat. Lantas kesendirian ini mengingatkannya kepada Isae yang sudah hampir dua minggu tak dia ajak mengobrol, sekedar memberi tegur sapa pun Kasami enggan.“Kasami ... bisakah ayah duduk di sini? Di ruang tamu maupun keluarga, hawanya begitu dingin. Orang-orang pada malas mencari kayu bakar padahal di gudang persediaannya sedikit lagi,” keluh Pak Haede sambil berjalan masuk ke dalam kamar putrinya, membuat Kasami yang tengah berbaring, duduk seketika.“Silakan, Ayah. Ayah baik-baik saja? Ayah begitu pucat?” tanya Kasami melihat wajah Pak Haede yang begitu kuyu.“Ini—” Pak
Eiko bersyukur melihat sang ayah mulai tidur dengan cepat. Akhir-akhir ini, jam tidur Pak Orochi terganggu oleh berbagai macam pikiran yang bergelayut sehingga dipastikan beliau sering tidur larut dan bangun dengan cepat. Terkadang Pak Orochi mengigau—mulutnya tak henti memanggil Minra yang sudah jauh dari jangkauan untuk menarik kembali ke dekapan. Ini juga yang membuat Eiko tidak bisa tidur juga sebab mengkhawatirkan ayahnya yang sudah tersiksa lahir batin. Maka dia sengaja menyibukkan diri dengan menyeduh teh, sesekali juga dia memeriksa kamar adiknya seakan adiknya ada di sini. Kamar yang terlihat rapi dan Eiko sadar sebelum kejadian itu, Minra sendiri yang merapikan ruang pribadinya.“Minra! Minra!” Eiko terkesiap mendengar sang ayah berteriak memanggil seseorang yang sekarang ini dirindukan oleh keluarga dan orang-orang desa. Eiko tidak sempat menutup pintu kamar dan meninggalkan teh buatannya di kotatsu pribadi Minra yang didapatkan Minra secara memak