Debu yang menghiasi benda harus segera dibersihkan agar kotornya tidak mencemari, terlebih saat debu menjelma sebagai sarang berbagai penyakit, hal ini sama dengan pemurnian kembali gudang tua tempat perkara yang telah di rombak oleh dua penjaga dan para remaja yang lalai bertugas saat malam kejadian dan sekarang ini di doakan oleh pemimpin kuil agar tidak terjadi tulah. Gudang ini nantinya dipakai untuk menyimpan kayu bakar. Masyarakat juga mulai melupakan kejadian kemarin dengan cepat, tapi tidak bagi tiga wanita Makigara yang masih terguncang lantas memohon kepada Tuan Ikada untuk pulang saja ke Makigara. Tuan Ikada tidak bisa memaksa mereka tetap tinggal. Jika dipaksa, mereka tidak bisa memulihkan tekanan jiwa. Atas perintah Tuan Ikada, Pak Zukida—ayah Ichida, ditugaskan mengantar tiga wanita ini ke tempat asalnya dengan harapan tiga wanita ini tidak menimbulkan sabotase dari pihak Makigara ke Kuromori. Tapi Yosihara yakin akan terjadi sabotase karena masalah ini bisa menyulitkan amarah besar dari pihak Makigara walau si pelaku telah di hukum mati. maka mereka memutuskan untuk berunding dengan beberapa orang yang begitu penting dalam menjaga keselamatan desa.
Sementara para remaja tidak begitu peduli dengan kekhawatiran orang dewasa di rumah Tuan Ikada. Mereka lebih peduli dengan isi perut dan bersenang-senang layaknya anak remaja seumuran mereka. Para remaja mulai menajamkan senjata seperti pisau atau anak panah. Ada juga yang membuat banyak anak panah dan busur baru untuk berburu. Para orang dewasa lainnya lebih mementingkan mencari kayu bakar sebagai nyala tungku.
“Hei Isae, kau tahu Minra?” Ichida mencoba mencairkan suasana agar tak bosan membuat anak panah.
“Tahu, kenapa lagi dia?” Isae bertanya balik.
“Kau tahu eksekusi kemarin lusa?”
“Iya. Sayangnya aku tidak melihat. Banyak orang yang penasaran dan memaksaku menceritakan kejadian itu.”
“Sayang sekali. Ngomong-ngomong, soal Minra—” Ichida tidak meneruskan ucapannya karena terganggu dengan teman sebaya yang tiba-tiba mendekatinya—ingin tahu apa yang Minra lakukan.
“Ada apa dengan Minra?” tanya salah satu remaja.
“Apa yang dia lakukan?” tanya remaja yang botak.
“Dia tersenyum saat berlangsungnya eksekusi,” bisik Ichida membuat mereka terkesiap.
“Benarkah?” tanya Isae.
Remaja botak segera menyikut lengan atas Ichida agar berhenti dulu membicarakan Minra. Lirikan remaja botak itu mengarah kepada Pak Orochi—ayah Minra, yang baru saja datang dengan tumpukan baju cucian di keranjang anyaman untuk dijemur. Tidak lupa para remaja membalas senyum Pak Orochi setelah beliau selesai menjemur dan kembali ke rumah.
“Lalu apa yang dilakukan Minra usai tersenyum?” Pertanyaan remaja botak menandakan agar Ichida melanjutkan ceritanya yang terpotong.
“Aku tidak tahu,” bisik Ichida, “Sepertinya dia memikirkan sesuatu jahat dibalik senyumannya.”
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanya Isae.
“Karena—”
“Hei, cepat kalian siapkan senjata untuk berburu! Dua hari lagi pernikahan Yosihara dan kita harus mengumpulkan kayu bakar dan bahan makanan di hutan,” tegur Pak Haede sambil menghampir empat orang remaja.
“Benarkah?” tanya Ichida seakan tidak percaya jika hari bisa berlangsung cepat.
"Iya! Tadi diberitahu Tuan Ikada. Lihat itu anak-anak, warga desa mulai bergerak setelah kabar diberitahu."
Empat remaja ini melihat tiga orang remaja lain yang secara berantai memberitahu kabar pernikahan dari Tuan Ikada dengan cara menghampiri orang-orang dewasa yang ada di luar atau mengetuk pintu rumah. Lantas para pria dewasa siap-siap berburu dan mencari kayu bakar banyak-banyak.
“Lalu kayu bakar dan hasil buruan di simpan di mana?” tanya salah satu remaja.
“Di gudang itu,” tunjuk Pak Haede ke arah gudang tempat penyekapan tiga wanita Makigara yang sekarang bisa digunakan kembali. “Tenang, gudang itu sudah di doakan oleh tetua kuil.” Pak Haede melanjutkan ucapannya karena melihat ekspresi takut dari empat remaja.
Hutan. Sumber kehidupan orang-orang, apa yang mereka butuhkan selalu tersedia disana. Makanan tinggal berburu hewan, kayu bakar tinggal menebang pohon dengan kapak, dan aliran air deras sehingga sumur para warga desa sini tidak habis, jika musim kemarau pun masih bisa menyisakan sedikit air.
Lain sudut pandang orang dewasa menganggap hutan ini sumber kehidupan, para bocah di usia kurang tujuh tahun menganggap hutan ini arena bermain yang luas, para orangtua tidak perlu khawatir anak-anak mereka tersesat karena sejak dini sudah dikenalkan alam bebas seperti belajar merangkak di rerumputan dengan pengawasan ayah, dan belajar berjalan serta berlari di tanah diawasi oleh ibu. Kadang para remaja kewalahan melihat tingkah para bocah yang berlarian kesana kemari sambil menjerit kegirangan kala memenangkan permainan petak umpet, atau bertengkar memperebutkan sebatang ranting yang tidak tahu untuk digunakan buat apa oleh para bocah itu.
“Hei, jangan makan jamur itu! Astaga kalian berdua harus ku ikat!” Kesabaran Ichida mulai habis kepada adik kembarnya yang berusia lima tahun. Ichida tidak menyangka mereka diam-diam membuntutinya masuk ke hutan dan hampir memakan jamur beracun setelah berlari-larian. Wajah memelas mereka tidak membuat sang kakak terenyuh, malah sang kakak melanjutkan mengikat mereka di pohon menggunakan tali tambang yang selalu dibawanya kala memasuki area hutan. Ichida tersenyum puas selesai mengikat adik kembarnya dan kembali bergabung dengan teman sebaya untuk berburu.
Isae yang mendapatkan tugas memindahkan kayu bakar, dengan sigap menaruh kayu bakar yang sudah dipotong-potong oleh pria dewasa ke gerobak sambil menyusunnya agar rapi. Teropah ternyata tidak berhasil menghalau udara dingin yang membuat telapak kakinya mati rasa. Mungkin jalan-jalan sebentar bisa menormalkan suhu di tubuhnya. Untunglah gerobak terisi penuh dan bagian orang dewasa yang akan mendorongnya sampai desa.
“Pak Rogiku, aku jalan-jalan dulu sebentar,” pamit Ise.
“Ya .. ya .. jangan lama-lama!”
Awalnya Isae tidak tahu harus menghilangkan penat ke arah mana, dia hanya mengambil jalan lurus menuju hutan yang lebih luas dan lebat pepohonan serta semaknya. Langkah Isae terhenti teringat sesuatu hal mengenai hutan paling dalam ini. Waktu itu dia dan Ichida berumur tujuh tahun, entah apa yang dilakukan Pak Zukida kepada Ichida sehingga anak itu kabur menuju hutan. Mendiang ayahnya, Pak Zukida, Tuan Ikada, beserta dirinya yang merengek minta ikut menelusuri hutan untuk mencari Ichida. Insting orang tua tidaklah salah, Pak Zukida mengikuti nalurinya dan berakhir mereka menemukan Ichida tepat dimana sekarang Isae meregangkan badan. Tiba-tiba sekelebat bayang seperti orang berlari kencang, membuat dirinya kaget. Dia melihat bayangan itu melesat di balik pepohonan dan berhenti di semak-semak. Ingin remaja itu mengikuti arah bayangan pergi, namun panggilan dari Ichida membuat Isae urung.
“Ada apa, Isae?” Ichida segera menghampiri Isae yang masih kebingungan.
“Aku melihat bayangan, seperti orang yang sedang berlari,” jawab Isae.
“Bayangan seperti orang berlari? Mungkin itu binatang liar, babi hutan atau anjing hutan.”
“Entah. Yang jelas bayangan itu melesat dari pohon, lalu menghilang di pohon lain.”
“Mana mungkin ada ninja di sekitar sini.”
“Ninja?”
“Iya. Tahu Kurume, teman kita yang pindah ke kota? Ayahku bertemu dengan orang tuanya Minggu kemarin. Kau tahu Isae, ayah Kurume bekerja sebagai ninja. Dan pekerjaan ninja adalah memata-matai musuh.”
“Apakah orang-orang kita yang memata-matai Makigara bisa disebut Ninja?”
“Kata ayahku sih beda. Ninja itu harus terlatih. Lagian orang-orang kita cuma memata-matai saja, tidak ada misi penting ke kekaisaran, kan?”
Isae terdiam. Jika bayangan yang dilihatnya bukan binatang buas, melainkan ninja, apakah Kuromori baik-baik saja? Jika itu ninja, pastilah orang Makigara yang memesan jasanya.
“Sudahlah Isae, ayo kita makan. Orang-orang paati sudah menunggu kita.” Ichida segera merangkul Isae agar berhenti memikirkan bayangan itu. Tidak akan terjadi apa-apa, ucap Ichida menenangkan Isae.
***
Mirae ingat betul saat mendiang kakak perempuannya menikahi seorang pemuda yang selalu dipercayai oleh mendiang ayahnya. Bagaimana sang kakak dirias secantik mungkin untuk menemui calon suaminya di kuil. Mirae juga tidak menyangka jika pernikahan itu membawa sebuah petaka di malam harinya—Kuromori lagi-lagi menyerang Makigara tanpa tahu sebabnya. Di malam itu, kebahagian Mirae terenggut seiring nyawa keluarganya melayang.
Dan pernikahan Mirae mungkin bisa menjadi petaka bagi dirinya. Pernah beberapa orang membicarakan tingkah pria Kuromori yang kasar kepada wanita. Kebenaran ini juga terbukti saat Mirae melihat pohon besar yang terletak di tengah-tengah pemukiman. Kata Kasami pohon itu tempat bunuh diri wanita yang ada disini jika mengalami tekanan jiwa yang teramat sangat, tetapi Kasami menyakinkan Mirae agar tidak takut kepada Yosihara. Yosihara sebenarnya pria yang baik walau garang di lain waktu.
“Sudah selesai, Nyonya Muda,” ujar si perias. “Saya tidak perlu membubuhkan bedak banyak-banyak maupun gincu. Tanpa riasan pun Nyonya Muda terlihat sempurna.”
“Terima kasih,” ucap Mirae sambil tersenyum.
Dari arah pintu, Pak Zukida masuk menemui Nyonya Ikada yang dirias pula. Pak Zukida memberitahu kepada Nyonya Ikada harus sesegera mungkin ke kuil karena Tuan Ikada maupun Yosihara sudah lama menunggu mereka.
“Dasar, tidak ada kesabaran! Mirae, kalau Yosihara melakukan hal menjengkelkan seperti itu, cubit saja lengannya! Terima kasih telah memberitahu kami, Zukida. Bilang kepada dua pria kurang sabaran itu agar menunggu sebentar lagi! Kami para wanita harus berdandan dengan cantik!” cerocos Nyonya Ikada sambil mengagumi dirinya lewat cermin.
Semakin meninggi matahari, semakin rampung kesibukan di dapur maupun di rumah Tuan Ikada. Pengantin wanita yang dituntun oleh Nyonya Ikada telah sampai di kuil, terlihat Yosihara yang begitu gagah dengan ¹montsuki haori hakama, sedangkan Mirae tampak cantik memakai ²shiromuku. Setelah semua hadirin datang, pemimpin kuil memulai prosesi. Kasami yang melihat sendiri bagaimana Yosihara dan Mirae meminum tiga cawan sake secara bergantian, hanya bisa mengulas senyum tanpa dia sadari—membayangkan dirinya berada di posisi mempelai wanita namun tidak bisa membayangkan siapa mempelai pria yang akan menikahinya suatu saat. Lain Kasami, lain pula Isae. Air mata yang tiba-tiba mengalir di wajah Pak Haede membuat Isae khawatir dengan beliau.
“Pak Haede, anda tak apa?” tegur Isae pelan sambil menepuk pundak Pak Haede.
“A ... apa?” Pak Haede terhenyak. Dia menyadari selama ini dirinya melamun sampai kenangan indah berupa ikrar sehidup semati bersama mendiang istrinya muncul sejalan prosesi demi prosesi yang dijalankan oleh Yosihara dan Mirae.
“Anda menangis,” ucap Isae.
Kasami segera menoleh ke ayahnya setelah mendengar Isae bahwa ayahnya menangis. “Ayah, tak apa?”
“Benarkah?” Pak Haede segera mengusap mata serta wajah yang dibasahi air mata.
“Ayah, apakah ayah baik-baik saja?” tanya Kasami kembali
“Tenang Kasami, ayah hanya terbawa suasana. Kasami, setelah ini kita berziarah ke makam ibumu. Kita berdua sudah lama tidak mengunjunginya. Kau juga Isae, berziarah lah ke makam orang tuamu. Kita bertiga akan kesana.”
***
Pemakaman marga Kuromori tidak terlalu jauh dari pemukiman. Hanya berjalan menyusuri hutan dan melewati jembatan kayu yang membentang di sungai, lantas belok kiri dan berjalan lagi satu meter sampai ada dua buah tugu yang masing-masing diberi jarak satu meter. Para ngengat menyambut mereka saat memasuki area pemakaman. Luas dan banyaknya kuburan tidak membuat bingung para penziarah. Sudah ada gurat nama di pusara, serta tanda yang ditinggalkan dari pihak keluarga. Isae memilih kain kuning seolah emas untuk pusara kedua orang tuanya, Pak Haede memilih kain merah muda bekas robekan baju yang terakhir dipakai istrinya. Kenangan indah terkumpul dan membayangi ingatan mereka seiring doa-doa yang dirapalkan secara khidmat, kecuali Kasami yang hanya terdiam tidak tahu harus mengenang apa selain kenangan dirinya lahir sampai merenggut nyawa sang ibu, dan itu bukan kenangan yang indah baginya. Andai dia bisa melihat arwah dan memasuki alamnya dengan meditasi, Kasami ingin sekali menemui ibunya dan bertanya, apakah ibunya kecewa telah melahirkan dirinya? Apakah ibunya marah kala kelahirannya harus di bayar dengan nyawa ibunya?
Pertanyaan itu selalu di pendam Kasami, dan lepas seketika kala tak kuat lagi menahannya. “Jika aku tidak lahir, apakah ibu masih hidup?”
Tentu saja pertanyaan Kasami ini membuat ayahnya kaget. Lalu membalas, “Kau ini bicara apa! Melihatmu lahir selamat adalah sebuah kebahagian. Kehadiranmu membuat ayah bangkit kembali. Dan kelahiranmu yang selamat serta sehat, membuat ibumu tenang di alam sana.”
“Tetap saja kelahiranku penyebab ibu–” Pak Haede segera menyumpal mulut Kasami dengan onigiri yang diperoleh dari Tuan Ikada sebelum upacara pernikahan.
Isae hanya bisa menatap kesedihan dua orang yang telah ditinggal oleh sosok wanita welas asih. Isae juga tidak diperkenankan mengganggu momen mereka mengenang mendiang. Karena sudah semakin larut, maka Isae mendekati Pak Haede dan Kasami. Pelan dia menepuk punggu Pak Haede—mengajaknya pulang, membiarkan mendiang tidak ikut bersedih melihat keluarganya belum bisa menerima kepergiannya.
Glosarium:
1. Montsuki haori hakama: Pakaian tradisional pernikahan Jepang untuk pria.
2. Shiromuku: Pakaian tradisional pernikahan Jepang untuk wanita. Biasanya dipakai dengan tudung yang menghiasi kepala pengantin wanita. Warna pakaian tradisional ini berwarna putih.
Biasanya pria yang sudah menikah akan duduk-duduk santai di malam hari setelah kewajiban pertama selesai, bercakap-cakap dengan teman sebaya, menceritakan malam pertama mereka jika berani, dan mengobrol apa saja prospek kedepannya. Namun kali ini tidak ada tanda-tanda Yosihara untuk ke luar melainkan Tuan Ikada yang masih mengobrol santai dengan Pak Haede dan Pak Zukida, adapula anak remaja bersenda gurau di gubuk, bahkan dua pria berumur empat puluh tahun terpaksa mendengar celoteh dari para remaja menyangkut bagaimana cara mereka berburu, apa saja yang mereka dapat, dan ada kejadian apa dalam lingkaran pertemanan mereka. Sungguh obrolan membosankan bagi pria dewasa. “Yosihara .. sudah tumbuh menjadi pria dewasa. Dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah,” ucap Pak Haede membuka percakapan lain setelah Pak Zukida membagi pengalamannya mengantar tiga gadis Makigara ke asalnya dan diberi.tatapan tajam warga sekitar setelah tiga wanita itu turun dari kereta.
Hal kedua yang Kasami tidak suka adalah ditinggal pergi ayahnya tanpa sang ayah pamit kepadanya. Bukan karena manja, dia khawatir jika suatu hal buruk terjadi kepada ayahnya—diculik oleh segerombolan Makigara yang dulu menimpa seorang pemuda sampai meninggal akibat di siksa. Sudah tahu apa yang Kuromori lakukan akibat kejadian ini—balas dendam yang begitu dahsyat perlawanannya. Sungguh, walau Kasami tahu peristiwa itu hanya dari mulut ke mulut, peristiwa yang dia dengar membuat semakin dia menggenggam ayahnya begitu erat bagai seorang ibu yang mengekang anaknya dengan dalih keselamatan. Karena Kasami tidak menemui ayahnya di kamar maupun halaman belakang tempat kandang ayam, Kasami ke luar dan segera berlari menuju rumah tetua marga. Di dalam sana, setelah Nyonya Ikada membukakan pintu untuk Kasami, sudah ada Isae dan Ichida yang menunggu masakan dari tangan Mirae. Tidak terlihat Yosihara. “Nyonya Ikada, ayahku menghilang,” cemas Kasami setelah meminum ai
“Apakah ayah serius ingin mengajari Isae beternak dan berdagang?” Kasami bertanya kepada ayahnya saat mereka berdua telah bangun di subuh hari dan Kasami menyeduh teh hangat untuk ayahnya serta dirinya, lantas bertanya seperti itu sambil duduk berhadapan. “Iya, memangnya kenapa? Bukankah bagus jika Isae membantu ayah beternak sekaligus berdagang. Kau sendiri juga tidak mau disuruh beternak ayam, kan?” ujar Pak Haede. Kasami mengerucutkan bibirnya. Ayahnya tidak tahu sama sekali dengan yang namanya musuh di balik selimut. Bisa jadi suatu saat Isae merugikan ayahnya. Syahdan, ketukan pintu terdengar. Pastilah Isae yang begitu semangat dengan kegiatan barunya ini. “Permisi, Pak Haede,” panggil Isae, masih di luar dengan sesekali mengetuk pintu. Jika bukan saja perintah ayahnya untuk sesegera mungkin membukakan pintu, Kasami akan membiarkan Isae kedinginan di luar, dan kembali lagi ke rumah karena Isae anggap tidak ada orang di dalam—pengusiran
Pak Zukida kesal bukan main melihat persediaan kayu bakar di gudang mulai sedikit akibat sekelompok anak muda yang seenaknya memakai kayu bakar untuk membuat api unggun kemarin malam dan Ichida pun turut andil dalam sekelompok anak muda tidak bertanggung jawab. Omelan Pak Zukida untuk si anak sulung sampai terdengar oleh orang yang lalu lalang diluar rumah. Mereka tampaknya sudah maklum mengingat pria itu kadang memarahi putranya seperti ini. “Aku tidak mau tahu, ambil kayu bakar banyak-banyak!” titah Pak Zukida usai mengomel. Ichida mengerucutkan bibirnya, dia mengambil gerobak yang tersimpan di belakang gudang. Langkah gontai sambil mendorong gerobak dengan mimik muka masam, sudah cukup tahu yang melihatnya jika remaja ini begitu terpaksa menuruti perintah ayahnya. Kala netranya melihat secara acak untuk mendapatkan teman agar tidak sendirian pergi ke hutan, dia melihat Isae duduk di batang pohon tempat kelompok remaja kemarin malam duduk-duduk sambil m
Untuk Ikada. Kakak yang paling kuhormati. Sebagaimana seorang adik kepada kakaknya, aku pun berharap kakak sehat selalu. Dan ucapkan permintaan maafku kepada Yosihara sebab dari Yosihara menikah sampai istrinya mengandung, aku tidak bisa datang kesana. Kesibukan sebagai tabib sekaligus peracik obat di kota membuatku sibuk. Pasien tidak henti bertandang. Tapi tak apa Kak, aku ikhlas dengan pekerjaan ini. Ngomong-ngomong soal pasien, Kakak ingat wanita yang dibawa kemari oleh Haede dan Yosihara karena demam? Benar kan, beliau ini Nyonya Rogiku? Apakah Nyonya Rogiku telah kembali ke Kuromori? Sebab, saat istriku ingin memeriksa beliau, beliau ini sudah tak ada di kamarnya. Padahal beliau ini baru saja sembuh dan sedang menjalani pemulihan. Aku dan istriku kelimpungan dan menanyakan keberadaan Nyonya Rogiku ke para tetangga atau pasien yang datang, tapi mereka tidak melihatnya. Aku harap Nyonya Rogiku sudah pulang
Pria berumur kepala lima masih tegap badannya walau raut tua muncul di wajah itu terpantul di cermin agar bentuk fisiknya bisa memantaskan diri dengan beberapa baju yang tepat untuk momen langka. Setelah memilih dan menimbang-nimbang, dia jatuh hati dengan baju yang warnanya di dominasi warna emas dan hitam menandakan bahwa kedatangan pria ini ke Kuromori akan membawa kesuksesan gemilang bagi Makigara. Setelah beres, pria itu ke luar kamar dan menghampiri Tuan Ronin yang sedang memeriksa kelengkapan senjata serta orang-orang yang akan ke sana. “Ronin, apa semuanya sudah siap?” tanya Tuan Ozuru. “Sudah Tuan. Kau tahu Tuan, hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi Makigara,” ujar Tuan Ronin. “Kau benar, aku tidak menyangka jika Tuan Ikada membalas surat itu begitu cepat dan menerima kedatangan kita.” “Sepertinya, Tuan Ikada pun sama lelahnya dengan kita sebenarnya. Dia tidak mau lagi perang antar marga terjadi.” “
Dia bagai bom waktu siapapun yang mendengar teriakan murka nan lantang. Dia juga bagai gada kala seseorang memberhentikan sikap arogannya. Bahkan raja rimba pun takluk dengan seorang gadis yang meraung-raung mencari mangsa berupa pria tua yang sewaktu dulu lalai memberi perhatian dan kasih sayang, kini berubah menjadi seorang malaikat yang selama bertugas selalu dapat cemooh dari si kafir. Sambil mengobrak segala isi rumah sedangkan kakaknya berusaha menenangkan, Minra menggenggam pakaian yang menurut Eiko tidak terlalu kotor sebab hanya di pakai sehari sekali, bahkan Minra menyangkal jika bajunya masih bersih—berpendapat jika baju ini kotor oleh keringat. “Keringat? Padahal kerjamu berleha-leha!” Eiko hilang kesabaran, biar adiknya sekali ini merasakan bentakan dari sang kakak. Langkah Minra yang ingin menuju kamar ayahnya, terhenti begitu saja mendengar ucapan yang menurutnya tidak pantas diucapkan kepada ‘Tuan Putri Minra’. Sorot mata tajam sang adik kala me
Bosan dalam kesendirian sungguh tak enak hati, seakan hanya kita sendiri yang berada di alam semesta yang disebut kamar tidur Kasami dan dirinya sekarang berbaring sambil melempar biji kenari ke atas lalu menangkapnya, di otak layaknya seperti menimbang-nimbang seperti Dewa Izanagi dan Dewi Izanami—mau seperti apakah dunianya di buat. Lantas kesendirian ini mengingatkannya kepada Isae yang sudah hampir dua minggu tak dia ajak mengobrol, sekedar memberi tegur sapa pun Kasami enggan.“Kasami ... bisakah ayah duduk di sini? Di ruang tamu maupun keluarga, hawanya begitu dingin. Orang-orang pada malas mencari kayu bakar padahal di gudang persediaannya sedikit lagi,” keluh Pak Haede sambil berjalan masuk ke dalam kamar putrinya, membuat Kasami yang tengah berbaring, duduk seketika.“Silakan, Ayah. Ayah baik-baik saja? Ayah begitu pucat?” tanya Kasami melihat wajah Pak Haede yang begitu kuyu.“Ini—” Pak