“Nggak yakin gue sama jawaban lo,” tukas Septian sambil menggelengkan kepala. “Serah,” sahut Deo sambil berdiri dan meninggalkan Septian bersama Belinda. *** “Ver, lo jadi nyari gebetan baru?” tanya Deo di suatu malam, saat Veren sedang menonton drama India di salah satu stasiun tivi. “Belom ada yang nyantol,” jawab Veren tanpa menoleh. “Emang ‘napa Yo? Lo buru-buru mau cerai?” “Kontrak kita kan masih setengah tahunan lagi,” ujar Deo. “Kali aja lo udah nemu cowok yang cocok.” “Nggak segampang itu, Yo.” Veren menggeleng pelan. “Kayak yang lo bilang, mana ada orang baik-baik yang mau sama bini orang?” “Kalo seandainya elo bilang sama inceran lo soal pernikahan sementara kita gimana?” tanya Deo. “Kira-kira dia mau nggak sama lo?” “Belom tentu. Cowok kan kadang maunya sama yang perawan,” jawab Veren sambil ngemil kuaci. “Elo kan masih perawan ting ting, kresek item!” tukas Deo. “Gue nggak pernah njebol gawang lo, tau.” “Iya, gue lupa!” Veren tersadar, kali ini dia memandang Deo
“Iya, entar gue kasih. Tapi beneran lho, kita jadi kencan malem ini?” desak Deo. Veren memandang wajah Deo yang galau dengan saksama. “Lo sirik ya sama anniversary Kak Aro?” tebaknya. “Lagian ‘napa pas kita udah satu tahun nikah lo nggak bikin anniv juga?” “Kita kan bakalan cerai setelah dua tahun nikah, jadi ngapain pake bikin anniv?” sahut Deo. “Iya, iya, serah. Yang penting abis dari kampus lo langsung anterin gue ke salon,” perintah Veren. Mau tidak mau Deo mengangguk setuju. *** Sehabis isya, Veren tidak hentinya memamerkan rambut curly-nya yang habis di-creambath. Dari sebelum Deo mandi sampai dia selesai mandi, Veren masih juga menyisiri rambutnya yang lembut dan wangi. “Sebagus apa sih rambut lo?” tanya Deo penasaran sambil datang mendekat. “Boleh gue cium nggak?” “Ogah!” tolak Veren tegas. Tetapi Deo tetap mendekat tanpa ragu. “Gue kan butuh bukti, entar jangan-jangan duit gue bukan lo pake ke salon.” “Apa sih, kan elo sendiri yang nganterin gue. Masa g
“Lo nggak nyesel nggak ikut makan gratis?” goda Veren saat mereka sudah berada di atas motor dan sedang menelusuri jalan raya. “Enggak, kalo gue ikut ibarat gue makan duren sekalian kulitnya!” seru Deo mengimbangi deru kendaraan yang ada di sekitarnya. “Yang ada nyangkut di tenggorokan!” “Bisa ae lo, butiran debu!” ledek Veren. Deo terkekeh geli. Septian dan Belinda rupanya sudah sampai di tempat yang mereka sepakati siang tadi. Veren mengernyitkan keningnya ketika Deo membawanya ke alun alun kota. “Kok ke sini, Yo?” katanya heran. “Di sini tempat ketemunya, entar kalo mau ke tempat lain nggak masalah. Eh, itu si Asep sama ceweknya!” tunjuk Deo ke arah dua orang manusia yang sedang duduk santai di angkringan. “Udah lama, Sep?” sapa Deo begitu dia mendekat.”Hai Bel, kenalin ini istri gue.” Septian dan Belinda menoleh. “Hei Yo, baru lima belas menitan lah. Hai Ver!” balas Septian ketika melihat Veren. “Minum dulu, Yo!” Belinda menawari kemudian menoleh memandang Veren. “Kenali
Bak palu godam raksasa yang meluluhlantakkan pegunungan Jayawijaya, seperti itulah perasaan seorang Amadeo Keita yang luluh lantak saat ceweknya mendadak menamatkan hubungan mereka yang sudah terukir lima tahun lamanya.“Apa kamu nggak bisa mikir ulang lagi keputusanmu itu?” tanya Deo tak percaya.“Itu udah keputusan final aku, Yo. Maaf, ya ...” jawab Freya dengan sangat lirih.“Paling nggak beritahu aku alasannya, kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku?” desak Deo ingin tahu.“Kamu ... terlalu baik buat aku, Deo.” Freya memandangnya nanar. “Harusnya kamu bersyukur dong kalo aku cowok yang baik!” kata Deo bangga, tapi hanya sesaat saja. “Alasan kamu kok nggak sinkron sama tindakan kamu, ya?”Freya meremas kedua tangannya dengan gugup.“Pasti ada alasan lain, kan, Frey?” kata Deo curiga. “Kita ini udah lima tahun pacaran lho, bahkan aku udah rencana mau ngenalin kamu ke ortu aku, tapi ...”“Udah telat, Yo. Udah telat ...” ratap Freya nelangsa. “Aku udah telat ...”“APA?” Deo membulatkan ke
Deo tertidur sampai adzan ashar berkumandang. Dia bangun, mengucek-ucek matanya dan bersyukur masih bisa hidup tanpa mantan pacarnya.Sore itu mama heboh sendiri mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya untuk melamar calon menantunya nanti. Setelah Deo mandi sore pun keribetan mamanya belum selesai juga.“Ma?” panggil Deo dengan handuk yang melingkar di lehernya. Kepalanya celingukan ke sana kemari mencari seseorang.“Apa sih?” sahut mama sambil lalu.“Itu yang mau ngelamar mama apa anak mama?” “Ya anak mama lah, kakak kamu!” sergah mama sambil merapikan barang-barang yang berserakan di meja.“Terus orangnya mana, perasaan nggak kelihatan dari tadi?” komentar Deo. “Yang mau nikah siapa, yang ribet siapa.”“Yang namanya calon pengantin emang harus diistimewakan, Yo. Dia cukup nyiapin mental buat ijab qobul, selebihnya keluarga yang ngurusin segala macem keperluan pernikahannya,” kata mama menjelaskan.Deo mengangguk-angguk paham.“Enak ya jadi calon manten, tinggal ongkang-ongk
Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.TIINN! TIINNNN!Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar.“Aduuhhh ...”“Sakit ...”Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan.“Lo nggak papa?” katanya.Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak.“Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya.Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian. “Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.”“Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu.Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka.“Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?”“Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali ja
Deo terbangun dengan kaget ketika mendengar suara-suara ribut di sekitarnya. “... anak zaman sekarang ...” “... memalukan, aib masyarakat ...” “Bangun, bangun! Kalian ngapain tidur bareng di sini?” Deo tergeragap ketika orang-orang tak dikenal sedang mengerumuni pos ronda. ‘M-maaf Pak, saya cuma numpang neduh.” Deo menjelaskan. “Alasan klasik,” komentar salah satu warga. Sebagian dari mereka membangunkan si cewek dengan memukul kentongan. “Bangun! Bangun!” Deo menelan ludah. Bakal panjang nih urusan, batinnya. “Keluarin kartu identitasmu, Dek.” Salah satu warga meminta. Deo yang sudah pasrah hanya bisa menurut. Dia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menarik kartu identitas miliknya. Si cewek diminta melakukan hal yang serupa. “Bukan warga sini,” bisik ibu-ibu yang ikut menggerebek. “Anak kampung sebelah.” “Kita bawa ke Pak RT dulu, mereka udah mencemari kampung kita karena melakukan hal yang tak pantas,” usul warga. “Waduh Pak, kami cuma numpang neduh aja! Kami ngg
“Tapi tetap saja warga kami meminta dua remaja ini untuk dinikahkan,” sela Pak RT. “Kami mengambil langkah ini agar tidak menjadi fitnah, dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.” Mama dan papa Deo saling pandang, begitu juga dengan orang tua si cewek. “Boleh kami rundingan dulu, Pak?” tanya papa Deo. “Silakan.” Pak RT mengangguk. Kedua orang tua Deo mendekati orang tua si cewek, sementara Deo tetap di kursinya dengan pasrah. Tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi dengan berita yang sudah Deo duga. “Yo, kamu harus nikah sama Veren. Mau, ya?” bisik mama. “Orang tua Veren udah setuju, kok. Paling nggak, urusan sama kampung sebelah selesai dulu.” “Ma, aku masih mau kuliah ...” ujar Deo. “Aku belum sanggup ngangon anak orang, belum nanti kalo ada bayi, mau aku kasih makan apa mereka?” “Mikirmu kejauhan, Yo,” tukas papa. “Yang penting satu masalah selesai dulu. Soal makan, tempat tinggal, sama kuliah kamu nanti dipikirin lagi.” “Aku nggak mau berhenti kuliah, Pa ...”