“Lo nggak nyesel nggak ikut makan gratis?” goda Veren saat mereka sudah berada di atas motor dan sedang menelusuri jalan raya. “Enggak, kalo gue ikut ibarat gue makan duren sekalian kulitnya!” seru Deo mengimbangi deru kendaraan yang ada di sekitarnya. “Yang ada nyangkut di tenggorokan!” “Bisa ae lo, butiran debu!” ledek Veren. Deo terkekeh geli. Septian dan Belinda rupanya sudah sampai di tempat yang mereka sepakati siang tadi. Veren mengernyitkan keningnya ketika Deo membawanya ke alun alun kota. “Kok ke sini, Yo?” katanya heran. “Di sini tempat ketemunya, entar kalo mau ke tempat lain nggak masalah. Eh, itu si Asep sama ceweknya!” tunjuk Deo ke arah dua orang manusia yang sedang duduk santai di angkringan. “Udah lama, Sep?” sapa Deo begitu dia mendekat.”Hai Bel, kenalin ini istri gue.” Septian dan Belinda menoleh. “Hei Yo, baru lima belas menitan lah. Hai Ver!” balas Septian ketika melihat Veren. “Minum dulu, Yo!” Belinda menawari kemudian menoleh memandang Veren. “Kenali
“Nggembel teroooossss!” sahut Deo menyela serangan gombal sahabatnya sementara Veren tertawa geli mendengarnya. “Nggombal Yo, bukan nggembel.” Dia meralat. “Lo mau digombalin juga nggak?” tanya Deo tiba-tiba. “Emang lo bisa?” Veren balik bertanya dengan nada menantang. “Bisa,” sahut Deo yakin, satu tangannya terulur membetulkan rambut Veren yang tertiup angin. “Gue pengin banget bisa gombalin elo ...” Dia berhenti sebentar untuk berpikir. “Tapi?” Veren menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Tapi gue nggak bisa merangkai kata-kata,” lanjut Deo. “Karena pas di deket lo, gue selalu keabisan kata-kata.” “Hahahahhah!” Veren tertawa ngakak keras sekali sampai Septian dan Belinda terlonjak kaget. “Gombalan lo receh banget!” Deo tersenyum miring melihat istrinya yang cablak ini. Pandangannya teralihkan ke atas langit lagi. “Kenapa tempat ini lo kasih nama bukit harapan?” tanya Veren penasaran. “Bukit bintang lebih bagus gue rasa.” “Gue sama Septian yang sepakat kasih nama kek gitu,”
"Tidak perlu khawatir, Pak. Bagaimana kelanjutan gugatan cerai saya?""Bisa saja urus, saya akan kabari melalui nomor cadangan yang sudah Anda berikan."Kalila mengangguk. "Saya mohon dengan sangat, untuk kali ini jangan lagi percaya jika saya meminta Anda untuk menunda perceraian dalam bentuk apa pun.""Saya mengerti, Bu. Saya minta maaf atas kejadian kemarin karena ... beberapa kasus yang pernah masuk ke tim kami, ada pasangan yang bahkan membatalkan gugatan cerai dan tidak jadi meneruskannya ke pengadilan.""Tidak apa-apa, Pak. Tapi untuk saya, apa pun yang terjadi saya ingin tetap meneruskan gugatan cerai untuk suami."Tian mengangguk, berusaha menepis perasaan tidak enak karena pernah membuat Kalila kecewa."Halo, Arka?""Halo, Lil? Ada kabar apa?"Kalila menatap ke kaca taksi yang dia tumpangi. "Rumah yang aku sewa itu, penghuninya amanah kan?""Amanah kok, kamu tenang saja. Aku kenakan sewa per bulan supaya kalau kamu kembali sewaktu-waktu lebih mudah.""Iya, uangnya juga sudah
“Ya udah, jadinya saya ke sini sendiri.” “Oh ...” Deo mengangguk paham. “Masuk-masuk malah lihat kamu yang lagi makan tapi sambil bengong,” sambung Tania, sukses membuat Deo jadi mati gaya. “Ya udah, sana buruan pesen.” Deo mempersilakan seraya tersenyum garing. Tania mengangguk pelan kemudian berjalan pergi meninggalkan meja Deo untuk memesan menu. Deo melanjutkan makan rotinya sambil bermain ponsel. Kira-kira lima belas menit kemudian, Tania kembali sambil membawa senampan penuh makanan. “Aku numpang makan di sini, ya?” katanya sambil menaruh segelas es teh di depan Deo. “Ini, biar nggak seret.” “Tau aja lagi seret nih tenggorokan,” komentar Deo penuh terima kasih. “Minuman kamu kan udah abis,” tunjuk Tania dengan dagunya. “Makasih ya, Tan.” Deo mengambil es teh itu dan meminumnya sedikit, seraya berharap semoga Septian masih betah nongkrong di fakultas sebelah sampai Tania selesai makan. Apa pun alasannya, Deo tidak ingin sahabatnya itu salah paham, mengira dirinya dan T
Bak palu godam raksasa yang meluluhlantakkan pegunungan Jayawijaya, seperti itulah perasaan seorang Amadeo Keita yang luluh lantak saat ceweknya mendadak menamatkan hubungan mereka yang sudah terukir lima tahun lamanya.“Apa kamu nggak bisa mikir ulang lagi keputusanmu itu?” tanya Deo tak percaya.“Itu udah keputusan final aku, Yo. Maaf, ya ...” jawab Freya dengan sangat lirih.“Paling nggak beritahu aku alasannya, kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku?” desak Deo ingin tahu.“Kamu ... terlalu baik buat aku, Deo.” Freya memandangnya nanar. “Harusnya kamu bersyukur dong kalo aku cowok yang baik!” kata Deo bangga, tapi hanya sesaat saja. “Alasan kamu kok nggak sinkron sama tindakan kamu, ya?”Freya meremas kedua tangannya dengan gugup.“Pasti ada alasan lain, kan, Frey?” kata Deo curiga. “Kita ini udah lima tahun pacaran lho, bahkan aku udah rencana mau ngenalin kamu ke ortu aku, tapi ...”“Udah telat, Yo. Udah telat ...” ratap Freya nelangsa. “Aku udah telat ...”“APA?” Deo membulatkan ke
Deo tertidur sampai adzan ashar berkumandang. Dia bangun, mengucek-ucek matanya dan bersyukur masih bisa hidup tanpa mantan pacarnya.Sore itu mama heboh sendiri mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya untuk melamar calon menantunya nanti. Setelah Deo mandi sore pun keribetan mamanya belum selesai juga.“Ma?” panggil Deo dengan handuk yang melingkar di lehernya. Kepalanya celingukan ke sana kemari mencari seseorang.“Apa sih?” sahut mama sambil lalu.“Itu yang mau ngelamar mama apa anak mama?” “Ya anak mama lah, kakak kamu!” sergah mama sambil merapikan barang-barang yang berserakan di meja.“Terus orangnya mana, perasaan nggak kelihatan dari tadi?” komentar Deo. “Yang mau nikah siapa, yang ribet siapa.”“Yang namanya calon pengantin emang harus diistimewakan, Yo. Dia cukup nyiapin mental buat ijab qobul, selebihnya keluarga yang ngurusin segala macem keperluan pernikahannya,” kata mama menjelaskan.Deo mengangguk-angguk paham.“Enak ya jadi calon manten, tinggal ongkang-ongk
Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.TIINN! TIINNNN!Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar.“Aduuhhh ...”“Sakit ...”Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan.“Lo nggak papa?” katanya.Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak.“Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya.Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian. “Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.”“Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu.Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka.“Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?”“Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali ja
Deo terbangun dengan kaget ketika mendengar suara-suara ribut di sekitarnya. “... anak zaman sekarang ...” “... memalukan, aib masyarakat ...” “Bangun, bangun! Kalian ngapain tidur bareng di sini?” Deo tergeragap ketika orang-orang tak dikenal sedang mengerumuni pos ronda. ‘M-maaf Pak, saya cuma numpang neduh.” Deo menjelaskan. “Alasan klasik,” komentar salah satu warga. Sebagian dari mereka membangunkan si cewek dengan memukul kentongan. “Bangun! Bangun!” Deo menelan ludah. Bakal panjang nih urusan, batinnya. “Keluarin kartu identitasmu, Dek.” Salah satu warga meminta. Deo yang sudah pasrah hanya bisa menurut. Dia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menarik kartu identitas miliknya. Si cewek diminta melakukan hal yang serupa. “Bukan warga sini,” bisik ibu-ibu yang ikut menggerebek. “Anak kampung sebelah.” “Kita bawa ke Pak RT dulu, mereka udah mencemari kampung kita karena melakukan hal yang tak pantas,” usul warga. “Waduh Pak, kami cuma numpang neduh aja! Kami ngg