Tetap saja fokusnya auto buyar saat matanya tak sengaja melihat Gennaro mengusap kening Freya dengan sejuta ekspresi.Deo mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan ke Veren.[Kelas lo udah selesai? Telpon gue dong, buru!]Veren membalas sesaat setelahnya.[Baru kelar Yo, napa sih? Kangen?] Deo pun segera membalas.[Buruan telpon gue, mata gaya nih!]Namun, Veren terkesan cuek.[Bodo][Awas lo, entar malem gue abisin lo di ranjang!] Deo mengetik dengan penuh napsu.[Dasar otak mesum. Abis ini gue telpon!] Veren membalas dengan setumpuk emoji berapi-api.Sementara itu Deo menaruh ponselnya dan menunggu telepon dari Veren.***Veren tertawa terbahak-bahak saat mengetahui alasan Deo mati-matian minta ditelepon olehnya. Saat itu mereka akan pergi tidur, dan Deo sempat membahas tentang tanda memar yang dia lihat di lengan Freya.“Dia jatuh kali, Yo.” Veren berkomentar sambil membawa piyamanya ke kamar mandi. Dia akan ganti baju di dalam sana agar tidak membangunkan kucing garong yang ada
“Nggak yakin gue sama jawaban lo,” tukas Septian sambil menggelengkan kepala. “Serah,” sahut Deo sambil berdiri dan meninggalkan Septian bersama Belinda. *** “Ver, lo jadi nyari gebetan baru?” tanya Deo di suatu malam, saat Veren sedang menonton drama India di salah satu stasiun tivi. “Belom ada yang nyantol,” jawab Veren tanpa menoleh. “Emang ‘napa Yo? Lo buru-buru mau cerai?” “Kontrak kita kan masih setengah tahunan lagi,” ujar Deo. “Kali aja lo udah nemu cowok yang cocok.” “Nggak segampang itu, Yo.” Veren menggeleng pelan. “Kayak yang lo bilang, mana ada orang baik-baik yang mau sama bini orang?” “Kalo seandainya elo bilang sama inceran lo soal pernikahan sementara kita gimana?” tanya Deo. “Kira-kira dia mau nggak sama lo?” “Belom tentu. Cowok kan kadang maunya sama yang perawan,” jawab Veren sambil ngemil kuaci. “Elo kan masih perawan ting ting, kresek item!” tukas Deo. “Gue nggak pernah njebol gawang lo, tau.” “Iya, gue lupa!” Veren tersadar, kali ini dia memandang Deo
“Iya, entar gue kasih. Tapi beneran lho, kita jadi kencan malem ini?” desak Deo. Veren memandang wajah Deo yang galau dengan saksama. “Lo sirik ya sama anniversary Kak Aro?” tebaknya. “Lagian ‘napa pas kita udah satu tahun nikah lo nggak bikin anniv juga?” “Kita kan bakalan cerai setelah dua tahun nikah, jadi ngapain pake bikin anniv?” sahut Deo. “Iya, iya, serah. Yang penting abis dari kampus lo langsung anterin gue ke salon,” perintah Veren. Mau tidak mau Deo mengangguk setuju. *** Sehabis isya, Veren tidak hentinya memamerkan rambut curly-nya yang habis di-creambath. Dari sebelum Deo mandi sampai dia selesai mandi, Veren masih juga menyisiri rambutnya yang lembut dan wangi. “Sebagus apa sih rambut lo?” tanya Deo penasaran sambil datang mendekat. “Boleh gue cium nggak?” “Ogah!” tolak Veren tegas. Tetapi Deo tetap mendekat tanpa ragu. “Gue kan butuh bukti, entar jangan-jangan duit gue bukan lo pake ke salon.” “Apa sih, kan elo sendiri yang nganterin gue. Masa g
“Lo nggak nyesel nggak ikut makan gratis?” goda Veren saat mereka sudah berada di atas motor dan sedang menelusuri jalan raya. “Enggak, kalo gue ikut ibarat gue makan duren sekalian kulitnya!” seru Deo mengimbangi deru kendaraan yang ada di sekitarnya. “Yang ada nyangkut di tenggorokan!” “Bisa ae lo, butiran debu!” ledek Veren. Deo terkekeh geli. Septian dan Belinda rupanya sudah sampai di tempat yang mereka sepakati siang tadi. Veren mengernyitkan keningnya ketika Deo membawanya ke alun alun kota. “Kok ke sini, Yo?” katanya heran. “Di sini tempat ketemunya, entar kalo mau ke tempat lain nggak masalah. Eh, itu si Asep sama ceweknya!” tunjuk Deo ke arah dua orang manusia yang sedang duduk santai di angkringan. “Udah lama, Sep?” sapa Deo begitu dia mendekat.”Hai Bel, kenalin ini istri gue.” Septian dan Belinda menoleh. “Hei Yo, baru lima belas menitan lah. Hai Ver!” balas Septian ketika melihat Veren. “Minum dulu, Yo!” Belinda menawari kemudian menoleh memandang Veren. “Kenali
“Nggembel teroooossss!” sahut Deo menyela serangan gombal sahabatnya sementara Veren tertawa geli mendengarnya. “Nggombal Yo, bukan nggembel.” Dia meralat. “Lo mau digombalin juga nggak?” tanya Deo tiba-tiba. “Emang lo bisa?” Veren balik bertanya dengan nada menantang. “Bisa,” sahut Deo yakin, satu tangannya terulur membetulkan rambut Veren yang tertiup angin. “Gue pengin banget bisa gombalin elo ...” Dia berhenti sebentar untuk berpikir. “Tapi?” Veren menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Tapi gue nggak bisa merangkai kata-kata,” lanjut Deo. “Karena pas di deket lo, gue selalu keabisan kata-kata.” “Hahahahhah!” Veren tertawa ngakak keras sekali sampai Septian dan Belinda terlonjak kaget. “Gombalan lo receh banget!” Deo tersenyum miring melihat istrinya yang cablak ini. Pandangannya teralihkan ke atas langit lagi. “Kenapa tempat ini lo kasih nama bukit harapan?” tanya Veren penasaran. “Bukit bintang lebih bagus gue rasa.” “Gue sama Septian yang sepakat kasih nama kek gitu,”
Veren menarik napas panjang, dari situ Deo tahu kalau isterinya begitu terganggu dengan kedatangan mantannya tadi. “Ganti baju sana, udah malem banget ini.” Deo menyuruh. “Yo, lo udah dapet cewek inceran lo belom?” tanya Veren, mengacuhkan permintaan Deo. “Paling baru sebatas lirik sana lirik sini,” jawab Deo. “Apa sih yang bisa gue lakuin dengan status masih jadi suami orang kek gini?” Veren mengangguk setuju. “Kalo misal mantan gue ... anu, itu ... minta kesempatan kedua ...” “Apa, balikan?” potong Deo galak. “Dia pemabuk lho, lagian lo lupa kalo elo hampir bunuh diri gara-gara putus sama dia?” “Dulunya dia nggak mabuk kok, Yo!” bantah Veren. “Baru semalem doang gue lihat dia mabuk dan itu karena dia putus sama gue ...” “Itu di depan lo, emang lo tau kalo di belakang dia minum atau nggak?” sergah Deo. “Dia juga pernah nuduh kalo elo bunting duluan kan? Polos boleh, bego jangan.” Veren meremas-remas tangannya, Deo tahu apa yang sedang dipikirkannya. “Lo nggak berencana bali
“Ya udah, jadinya saya ke sini sendiri.” “Oh ...” Deo mengangguk paham. “Masuk-masuk malah lihat kamu yang lagi makan tapi sambil bengong,” sambung Tania, sukses membuat Deo jadi mati gaya. “Ya udah, sana buruan pesen.” Deo mempersilakan seraya tersenyum garing. Tania mengangguk pelan kemudian berjalan pergi meninggalkan meja Deo untuk memesan menu. Deo melanjutkan makan rotinya sambil bermain ponsel. Kira-kira lima belas menit kemudian, Tania kembali sambil membawa senampan penuh makanan. “Saya numpang makan di sini, ya?” katanya sambil menaruh segelas es teh di depan Deo. “Ini, biar nggak seret.” “Tau aja lagi seret nih tenggorokan,” komentar Deo penuh terima kasih. “Minuman kamu kan udah abis,” tunjuk Tania dengan dagunya. “Makasih ya, Tan.” Deo mengambil es teh itu dan meminumnya sedikit, seraya berharap semoga Septian masih betah nongkrong di fakultas sebelah sampai Tania selesai makan. Apa pun alasannya, Deo tidak ingin sahabatnya itu salah paham, mengira dir
“Apa ... Kak Aro suka main kasar ya?” gumam Veren. “Mungkin nggak sih kalo dia suka mukul Kak Freya gitu?” “Nggak mungkin lah, KDRT namanya!” bantah Deo. “Kak Aro emang dingin orangnya, tapi gue yakin dia nggak mungkin main tangan sama kakak ipar.” “Kalian ngomongin apa, kok kasak kusuk gitu?” terdengar suara Gennaro dari arah samping, membuat Deo dan Veren terlonjak kaget. Gennaro dan Freya sudah tiba di depan Deo dan Veren yang sedang duduk di anak tangga. “Kalian ngapain kasak kusuk gitu?” ulang Gennaro dengan nada heran. “Eh anu, itu ...” “Deo laper, Kak. Buru-buru ngajakin pulang!” potong Veren asal. “Lah ...?” Deo bengong, namun Veren buru-buru menyikutnya. “Tapi kalo Kakak masih mau di sini, kita duluan aja pake taksi online.” “Iya, Kak.” Mau tidak mau, Deo mengangguk membenarkan ucapan Veren. “Kita duluan aja ya?” “Nggak usah, kita bareng aja.” Freya menggeleng. “Udah selesai kan, Mas?” “Udah, cuma ninjau doang kok.” Gennaro mengangguk kemudian memimpin kel
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum