"Las, Lastri..! Sapan untukku mana?" Pagi-pagi aku dibikin kesel dengan sikap Lastri yang kurang cekatan dalam melayani keperluanku.
"Iya mas, tunggu dulu sebentar ini aku sedang mengganti popok Nina." Terdengar sahutan Lastri dari arah kamar. Aku yang sudah duduk menghadap meja makan menghela napas panjang karena semakin panas saja rasanya dadaku seperti ingin segera kuledakkan marah yang menyesakan detak jantungku. Kesal dengan sikap.Lastri aku segera bangkit dan melangkah menuju ruang keluarga dimana Risa dan Rio sedang bermain dengan peralatan sekolah mereka. "Hei, kalian berdua ayo cepat lagi pakai sepatu atau kalau tidak papa tinggal dan kalian berangkat sekolah dengan ojek saja." Aku beekata tegas pada kedua anak itu. "Iya Pa." Jawab mereka hampir bersamaan. Eh, tapi mana juga sepatu kerjaku. Aduh, Lastri kamu benar-benar bikin aku kesal. Sarapan belum kamu siapkan, sepatu kerjaku juga belum. Ngapain saja sih kamu bangun subuh-subuh. Aku menggerutu. "Maaf mas aku tadi mengganti popok nina dulu, sekaeang aku siapin sarapan untuk mas ya." "Ups... Sudah-sudah, aku sudah kenyang. Sekarang sepatuku mana?" Lastri tertunduk dan langsung pergi ketempat sepatu mengambilkan sepatu dan kaos kaki untukku. Lalu ia memberikannya padaku. "Ini mas sepatunya." Aku mengambil sepatuku dari tangannya dengan keras. Aku lakukan ini supaya ia tahu jika saat ini aku sedang kesal dengan sikapnya yang serba lemot. Dan membuatku emosi sepagi ini. Entah mengapa semakin lama bersama aku semakin tidak tahan dengan sikap dan juga tingkah laku Lastri. Lastri adalah Isteriku kami menikah delapan tahun yang lalu. Dari pernikahan kami sudah dikaruniai tiga orang anak. Anak sulung kami Risa ia kini berusia tujuh tahun dan sekolah kelas dua Sekolah Dasar. Yang kedua Rio saat ini Rio berusia lima tahun ia sekolah di sebuah TK yang tidak jauh dari sekolah Risa. Dan yang ketiga Nina saat ini masih berusia delapan bulan. Dulu aku mengenal Lastri ketika ia bekerja disebuah rumah sakit didaerah kami, ia bekerja sebagai perawat disana. Sedangkan aku waktu itu adalah seorang sopir angkot yang setiap hari harus kejar setoran. Karena Angkot yang ku bawa bukanlah milik pribadi melainkan milik seorang pengusaha angkot. Kami saling menal karena dulu Lastri adalah salah satu penumpang langgananku. Bahkan pylang dan pergi bekerja dia tak pernah absen menaiki angkot milikku. Dan jika dalam sehari dia belum menaiki angkotku maka ada rasa khawatir yang terselip di hatiku. Hingga akhirnya kami saling jatuh cinta dan kemudian kami berkimitmen untuk menikah. Setahun setelah menikah Lastri hamil dan kemudian melahirkan Risa putri pertama kami. Karena tidak memungkinkan baginya bekerja maka aku memintanya untuk risign saja dan fokus untuk mengurus anak dan rumah saja. Lastripun menyetujui permintaanku itu. Maka sejak itulah ia sudah tidak bekerja saja. Saat itu dengan modal uang dari pesangon Lastri kami membuka usaha roti kecil-kecilan. Penghasilanku hanya cukup untuk makan kami sehari-hari saja. Beruntung dibantu oleh sedikit tabungan milik Lastri sehingga bisa menambah modal. Saat usia Risa menginjak dua tahun Lastri hamil anak kedua kami yaitu Rio. Usaha rotiku perlahan mulai berkembang. Lastri tidak tahu menahu akan sulitnya pergelutanku dibidang bisnis ini, maka dari itu aku sengaja tidak memanjakannya dengan segala kemewahan sekalipun sebenarnya aku sudah mampu untuk memberinya apa yang ia inginkan dan butuhkan. Dan sepertinya Lastri juga memahami akan hal itu. Dia memaklumi semuanya. Dia menerima berapa saja uang yang aku kasih setiap bulannya. Untuk semua kebutuhan rumah tangga aku yang pegang kendali, Lastri memang isteriku tapi aku adalah kepala kelaurga disini. Aku yang harus menentukan segalanya. Delapan bulan yang lalu Lastri kembali melahirkan anak ketiga kami yaitu Nina. Dan aku perhatikan sejak saat itu Lastri semakin boros saja ia menggunakan uang yang ku jatahkan padanya semaunya saja. Dia semakin boros. Dan seperti tidak bisa menekan kebutuhannya dan anak-anak. Kalau dulu ia dan kedua anak kami aku jatah satu juta per bulan dan itu sudah termasuk untuk segala keperluan dapur bisa saja cukup tapi sejak kehadiran Nina uang satu juta itu selalu saja kurang. Lastri bahkan berani meminta uang tambahan katanya uang yang aku kasih sudah habis. Belum lagi semua pekerjaannya seolah sengaja ia lambat-lambatkan. Yang jelas aku semakin sering dibuat marah olehnya. Ia seperti sengaja mengada-ada. "Ayo anak-anak kita berangkat." Aku berdiri dan diikuti oleh kedua anak kami. "Ma, Risa berangkat dulu ya." Risa berpamitan dengan Lastri kemudian bersalaman dan mencium tangan Lastri begitupun juga dengan Rio ia mengikuti saja apa yang kakaknya lakukan. Aku diam saja tanpa menoleh kearah Lastri dan langsung saja melangkah keluar. Tanpa peduli seperti apa tatapan Lastri dibelakang sana. Aku sungguh sudah muak melihat wajahnya. "Mas, anak-anak belum bayar spp bulan ini kalau bisa nanti mas langsung bayarkan ya." Suara Lastri memelas mendekatiku. "Ya kalau aku tidak lupa." Jawabku ketus. Aku langsung pergi kegarasi mobil dan memilih mobil mana yang ingin ku pakai. Digarasi ini ada tiga buah mobil yang biasa untuk aku gunakan bepergian. Tadi aku tidak memanaskan ketiganya. Tapi sepertinya sudah dipanaskan oleh Lastri, dia selalu ingat kalau hal satu ini soalnya dulu dia pernah memintaku untuk mengajarinya menyerir mobil tapi aku sengaja tidak menghiraukannya aku tidak mau dia berlaku semaunya. Lagi pula untuk apa dia belajar nyetir kejanya kan cuma dirumah saja bahkan sangat jarang keluar, jika tidak bersamaku dan anak-anak. Jadi menyetir mobil bukanlah hal yang penting baginya. Mengurus rumah saja dia tidak becus untuk apa belajar menyetir hanya buang-buang waktu saja. Pilihanku jatuh pada mobil sport berwarna marun kesukaanku, ya mobil inilah pagi ini yang akan kubawa. Segera saja aku mengeluarkannya dari garasi dan membukakan pintu untuk Risa dan adiknya Rio. Setelah mengantar Risa dan Rio aku segera kekantor siap untuk meeting dengan beberapa klien pagi ini. Untuk uang iuran bulanan Risa dan Rio sengaja belum aku bayarkan karena nanti sepulang kerja aku akan menanyakan dahulu dengan Lastri apakah ia masih punya sisa uang belanjanya baiknya ia gunakan saja uang itu untuk keperluan sekolah anak-anak. Aku senang melihat kemajuan perusahaanku, sekarang aku sudah bisa membeli apa saja yang aku inginkan. Bahkan bila harus minikah lagi dengan wanita lain pun aku sudah mampu, uangku kini melimpah ruah. Dan Lastri tidak banyak tahu akan hal itu karena sedari awal aku memang tidak mengizinkannya untuk ikut campur dalam urusan bisnisku. Bahkan ketika dulu aku membeli rumah dan membeli mobil ia tidak berani bertanya dan berkomentar apa-apa ia hanya menerima saja semua keadaan yang ada. Dan yang membuat aku lebih bersyukur lagi ialah Lastri tidak pernah berani membantah kata-kata dan perintah serta aturan-aturan yang aku buat. Dia sungguh telah menjadi isteri yang sesuai dengan keinginanku. BersambungMeninggalkan kekesalanku dengan Lastri dirumah, aku lebih fokus pada urusan bisnisku. Sore ini aku pulang kerja tidak akan langsung pulang kerumah melainkan aku sudah ada janji dengan beberapa teman tongkronganku. Kami sudah berjanji akan bertemu sekedar minum dan makan-makan lalu malamnya nanti kami akan pergi ke klub malam untuk sekedar menghibur diri."Mas kapan pulang? anak-anak ingin makan malam bersama." Itu bunyi pesan yang baru saja kuterima dari Lastri."Aku pulang malam, karena banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Kalian saja yang makan malam ngga usah nunggu aku." Aku mengirimkan balasan itu padanya.Makan malam dengan Lastri dan anak-anak itu tidak penting, lebih baik aku bersenang-senang dengan caraku sendiri dan itu jauh lebih memuaskan dari pada dirumah. Hanya akan menguras emosiku saja.Malam sudah larut aku mulai merasa pusing dan mual akibat mabuk. Beberapa kawanku ada yang sudah pulang namun aku merasa seperti masih belum ingin meninggalkan tempat ini. Ada seo
Kreeek..Terdengar suara pintu ruang tamu terbuka, aku tahu itu pasti Lastri. Dia sudah pulang."Assalamualaikum..!"Suara Lastri memberi salam.Aku hanya diam, hatiku masih panas. Untuk sementara laparku telah hilang yang ada hanyalah emosi yang menggebu. Sudah tak sabar rasanya tangan ini ingin segera ku daratkan di wajahnya. Dasar wanita tak tahu diuntug, sudah ku beri hidup enak tapi masih saja tak bisa menghargaiku. Sebenarnya apa maunya. Aku sudah memberikan uang belanja tapi ia masih saja tidak bisa mengaturnya. Setiap hari lauk dan sayur hanya itu dan itu saja.Lalu uang satu juta yang ku beri setiap bulan ia kemanakan? Huuuuhhhh.. Semakin geram rasanya saat melihat ia melangkah masuk seolah tanpa dosa ia menghampiriku setelah sebelumnya ia mendudukan Nina di troli lalu kemudian ia mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Tentu saja ku tolak. Plaaak...Ku hadiahi Lastri satu tamparan di pipi kirinya."Mas.."Hanya kata itu yang keluar dari bibir mungilnya. Dan aku semakin emo
Pov. LastriBertahan dalam biduk rumah tangga selama delapan tahun bagiku itu bukanlah hal yang mudah. Jatuh bangun pahit manis semua sudah ku rasakan. Terlebih lagi dengan laki-laki yang tingkat keegoisannya tergolong tingkat tinggi.Aku dan Mas Reza saling kenal sebenarnya sejak sepuluh tahun lalu. Tepatnya dua tahun sebelum kami menikah. Waktu itu aku masih bekerja sebagai perawat disalah satu rumah sakit. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi aku memutuskan untuk mencari angkot langganan.Dan setelah beberapa kali manaiki angkot yang supirnya ialah Mas Reza sepertinya aku merasa cocok dan nyaman jika menaiki angkotnya. Dan dari situ aku menjadi salah satu penumpang langganannya. Satu tahun kemudian aku dan Mas Reza menjalin hubungan (pacaran). Lalu pada tahun berikutnya kami menikah.Sejak kenal lalu pacaran, kemudian menikah semua seolah baik-baik saja. Memang sesekali Mas Reza menunjukan keegoisannya tapi bagiku itu tak masalah aku memakluminya sebagai sifat fitrah bagi seoran
Masih Pov. LastriPenerbangan selama empat puluh lima menit telah menghantarkan aku dan anak-anakku ketempat yang benar-benar baru buat kami. Sebenarnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk pergi ketempat sejauh ini. Dan aku pun sempat bingung untuk apa kami pergi kedaerah ini, dan akan tinggal dimana kami setelah sampai. Tapi setelah aku menenangkan hatiku dan menguasai kembali pikiranku hingga akhirnya aku mulai menyusun rencanaku selanjutnya.Setelah sampai di bandara aku memperhatikan kedua anakku yaitu Risa dan Rio adiknya, mereka tampak heran dan bingung. Aku sebagai ibu mereka tahu bahwa anak-anakku sedang bertanya dalam benak mereka masing-masing kemana kami pergi dan untuk apa kami pergi.Namun aku berusaha untuk berpura-pura tidak peduli dengan apa yang mereka rasa dan pikirkan. Nanti saja aku beritahu mereka dengan pelan-pelan dan aku yakin lambat laun mereka pasti akan mengerti dan paham maksud kepergian kami ini.Lalu aku kembali memesan taxi online untuk menghantar
Baiklah, kita tinggalkan dulu tentang Lastri dan anak-anaknya. Karena Tuhan pasti akan selalu melindungi mereka. Sebab Lastri bukanlah wanita lemah selemah penilaian yang diberikan oleh suaminya. Dia wanita hebat dan kuat. Sekarang kita tengok lagi bagaimana kehidupan Reza selanjutnya setelah di tinggalkan oleh anak-anak dan juga isterinya.Pov. RezaJantungku seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya setelah membaca isi surat yang di tinggalkan Lastri. Lastri pergi dan dia membawa ketiga anak kami. Kemana mereka? Entahlah perasaanku untuk saat ini tak menentu. Aku sedih, kecewa, takut, khawatir, tapi juga lega dan juga menyesal.Aku mengurungkan niatku untuk mandi, lalu aku pergi kedapur. Entah mengapa tanpa komando tanganku menyentuh tudung saji yang biasa tempat Lastri meletakkan segala lauk pauk yang telah ia masak. Padahal sebenarnya perutku masih terasa sangat kenyang.Astaga, begitu ku buka aku melihat sesuatu yang selama ini hampir tidak pernah ku temukan di bawah
Masih Pov. Reza"Halo sayang kamu dimana?" Aku menelpon Nirma."Ini aku lagi bete dirumah, ada apa?" Tanya Nirma."Kita keluar yu.." Ajakku."Kemana?" Tanya Nirma."Ke cafe. Temanin aku ngopi." Jawabku."Kalau kamu ngopi terus aku ngapai?" Tanyanya dengan nada.bercanda khasnya."Ya kalau kamu mau liat aku aja ngak apa-apa, tapi kalau kamu mau minum juga itu lebih baik." Jawabku."Ya sudah aku siap-siap dulu ya, jemput aku ya mas." Timbal Nirma."Oke, tunggu ya aku kesitu sekarang juga." Tukasku."Oke aku tunggu." Jawabnya sebelum menutup telepon.Kemudian aku segera mengeluarkan mobil lalu pergi menemui Nirma, aku akan menjemput dia dirumahnya. Begitu aku sampai di depan rumah Nirma, dia sudah menunggu disana dan kamipun langsung pergi menuju cafe seperti yang sudah kami janjikan sebelumnya.Di perjalanan aku hanya diam saja, begitupun dengan Nirma dia hanya sesekali berdehem. Mungkin ia bermaksud untuk memancingku supaya aku buka suara lebih dahulu namun aku tetap diam. Karena aku ma
"Emmm... Kalau menurutku sebaiknya besok mas hadir saja ke persidangan untuk selanjutnya nanti kita lihat dulu keadaan nantinya mas." Jawab Nirma."Oh, begitu baiklah aku terima usul kamu sayang." Aku mengelus kepalanya."Oh ya mas, emmm.. uang belanjaku udah tipis nih kapan kamu mau transfer mas?" Nirma mengalihkan pembicaraan kami."Kalau masalah itu kapan saja kamu mau bisa aku lakukan." Sejenak aku melirik kearahnya dan tersenyum tipis."Kalau begitu transfer sekarang donk mas." Nirma sedikit merengek manja dilenganku.Kemudian aku langsung mengambil ponselku dan membuka aplikasi Banking milikku lalu tanpa menunggu lama aku langsung menstranfer kerekening milik Nirma yang memang sudah ada pada kontak di akun Banking-ku karena sebelumnya aku sudah sering melakukan transfer ke rekening Nirma.Bagiku memberi uang belanja untuk Nirma bukanlah sebuah masalah, karena aku sangat membutuhkan kehadiriannya. Nirma adalah sesuatu yang penting bagiku daripada uang. Toh uang bisa aku dapatkan
Dengan senang hati aku menemani Nirma berbelanja kebutuhan hariannya. Aku kagum padanya ia begitu lihai dalam memilih produk-produk kecantikan. Skincare yang Nirma gunakan adalah merk Skincare ternama tentunya dengan harga yang tidak abal-abal, pantas saja jika ia sangat mempesona jika perawatan tubuhnya saja membutuhkan uang puluhan juta.Begitupun dengan berbelanja pakaian, Nirma juga sangat pandai dalam memilih pakian yang serasi untuk tubuhnya. Nirma juga tidak membeli hanya satu atau dua pakaian tapi sangat banyak. Dan dengan bahan dan kualitas diatas rata-rata. Duh Lastri, kamu tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Nirma. Kamu jika membeli pakaian hanya membeli daster itu juga paling cuma sehelai dua helai dan bahannya juga tentu dibawah standar pakaian Nirma. Lalu kamu akan memakainya selama berbulan-bulan dan bahakan bertahun-tahun. Uh.. Sangat memalukan sekali memiliki isteri sepertimu Lastri."Nah, mas uang yang kemaren kamu transfer sudah habis nih. Kamu lihat
Dengan senang hati aku menemani Nirma berbelanja kebutuhan hariannya. Aku kagum padanya ia begitu lihai dalam memilih produk-produk kecantikan. Skincare yang Nirma gunakan adalah merk Skincare ternama tentunya dengan harga yang tidak abal-abal, pantas saja jika ia sangat mempesona jika perawatan tubuhnya saja membutuhkan uang puluhan juta.Begitupun dengan berbelanja pakaian, Nirma juga sangat pandai dalam memilih pakian yang serasi untuk tubuhnya. Nirma juga tidak membeli hanya satu atau dua pakaian tapi sangat banyak. Dan dengan bahan dan kualitas diatas rata-rata. Duh Lastri, kamu tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Nirma. Kamu jika membeli pakaian hanya membeli daster itu juga paling cuma sehelai dua helai dan bahannya juga tentu dibawah standar pakaian Nirma. Lalu kamu akan memakainya selama berbulan-bulan dan bahakan bertahun-tahun. Uh.. Sangat memalukan sekali memiliki isteri sepertimu Lastri."Nah, mas uang yang kemaren kamu transfer sudah habis nih. Kamu lihat
"Emmm... Kalau menurutku sebaiknya besok mas hadir saja ke persidangan untuk selanjutnya nanti kita lihat dulu keadaan nantinya mas." Jawab Nirma."Oh, begitu baiklah aku terima usul kamu sayang." Aku mengelus kepalanya."Oh ya mas, emmm.. uang belanjaku udah tipis nih kapan kamu mau transfer mas?" Nirma mengalihkan pembicaraan kami."Kalau masalah itu kapan saja kamu mau bisa aku lakukan." Sejenak aku melirik kearahnya dan tersenyum tipis."Kalau begitu transfer sekarang donk mas." Nirma sedikit merengek manja dilenganku.Kemudian aku langsung mengambil ponselku dan membuka aplikasi Banking milikku lalu tanpa menunggu lama aku langsung menstranfer kerekening milik Nirma yang memang sudah ada pada kontak di akun Banking-ku karena sebelumnya aku sudah sering melakukan transfer ke rekening Nirma.Bagiku memberi uang belanja untuk Nirma bukanlah sebuah masalah, karena aku sangat membutuhkan kehadiriannya. Nirma adalah sesuatu yang penting bagiku daripada uang. Toh uang bisa aku dapatkan
Masih Pov. Reza"Halo sayang kamu dimana?" Aku menelpon Nirma."Ini aku lagi bete dirumah, ada apa?" Tanya Nirma."Kita keluar yu.." Ajakku."Kemana?" Tanya Nirma."Ke cafe. Temanin aku ngopi." Jawabku."Kalau kamu ngopi terus aku ngapai?" Tanyanya dengan nada.bercanda khasnya."Ya kalau kamu mau liat aku aja ngak apa-apa, tapi kalau kamu mau minum juga itu lebih baik." Jawabku."Ya sudah aku siap-siap dulu ya, jemput aku ya mas." Timbal Nirma."Oke, tunggu ya aku kesitu sekarang juga." Tukasku."Oke aku tunggu." Jawabnya sebelum menutup telepon.Kemudian aku segera mengeluarkan mobil lalu pergi menemui Nirma, aku akan menjemput dia dirumahnya. Begitu aku sampai di depan rumah Nirma, dia sudah menunggu disana dan kamipun langsung pergi menuju cafe seperti yang sudah kami janjikan sebelumnya.Di perjalanan aku hanya diam saja, begitupun dengan Nirma dia hanya sesekali berdehem. Mungkin ia bermaksud untuk memancingku supaya aku buka suara lebih dahulu namun aku tetap diam. Karena aku ma
Baiklah, kita tinggalkan dulu tentang Lastri dan anak-anaknya. Karena Tuhan pasti akan selalu melindungi mereka. Sebab Lastri bukanlah wanita lemah selemah penilaian yang diberikan oleh suaminya. Dia wanita hebat dan kuat. Sekarang kita tengok lagi bagaimana kehidupan Reza selanjutnya setelah di tinggalkan oleh anak-anak dan juga isterinya.Pov. RezaJantungku seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya setelah membaca isi surat yang di tinggalkan Lastri. Lastri pergi dan dia membawa ketiga anak kami. Kemana mereka? Entahlah perasaanku untuk saat ini tak menentu. Aku sedih, kecewa, takut, khawatir, tapi juga lega dan juga menyesal.Aku mengurungkan niatku untuk mandi, lalu aku pergi kedapur. Entah mengapa tanpa komando tanganku menyentuh tudung saji yang biasa tempat Lastri meletakkan segala lauk pauk yang telah ia masak. Padahal sebenarnya perutku masih terasa sangat kenyang.Astaga, begitu ku buka aku melihat sesuatu yang selama ini hampir tidak pernah ku temukan di bawah
Masih Pov. LastriPenerbangan selama empat puluh lima menit telah menghantarkan aku dan anak-anakku ketempat yang benar-benar baru buat kami. Sebenarnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk pergi ketempat sejauh ini. Dan aku pun sempat bingung untuk apa kami pergi kedaerah ini, dan akan tinggal dimana kami setelah sampai. Tapi setelah aku menenangkan hatiku dan menguasai kembali pikiranku hingga akhirnya aku mulai menyusun rencanaku selanjutnya.Setelah sampai di bandara aku memperhatikan kedua anakku yaitu Risa dan Rio adiknya, mereka tampak heran dan bingung. Aku sebagai ibu mereka tahu bahwa anak-anakku sedang bertanya dalam benak mereka masing-masing kemana kami pergi dan untuk apa kami pergi.Namun aku berusaha untuk berpura-pura tidak peduli dengan apa yang mereka rasa dan pikirkan. Nanti saja aku beritahu mereka dengan pelan-pelan dan aku yakin lambat laun mereka pasti akan mengerti dan paham maksud kepergian kami ini.Lalu aku kembali memesan taxi online untuk menghantar
Pov. LastriBertahan dalam biduk rumah tangga selama delapan tahun bagiku itu bukanlah hal yang mudah. Jatuh bangun pahit manis semua sudah ku rasakan. Terlebih lagi dengan laki-laki yang tingkat keegoisannya tergolong tingkat tinggi.Aku dan Mas Reza saling kenal sebenarnya sejak sepuluh tahun lalu. Tepatnya dua tahun sebelum kami menikah. Waktu itu aku masih bekerja sebagai perawat disalah satu rumah sakit. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi aku memutuskan untuk mencari angkot langganan.Dan setelah beberapa kali manaiki angkot yang supirnya ialah Mas Reza sepertinya aku merasa cocok dan nyaman jika menaiki angkotnya. Dan dari situ aku menjadi salah satu penumpang langganannya. Satu tahun kemudian aku dan Mas Reza menjalin hubungan (pacaran). Lalu pada tahun berikutnya kami menikah.Sejak kenal lalu pacaran, kemudian menikah semua seolah baik-baik saja. Memang sesekali Mas Reza menunjukan keegoisannya tapi bagiku itu tak masalah aku memakluminya sebagai sifat fitrah bagi seoran
Kreeek..Terdengar suara pintu ruang tamu terbuka, aku tahu itu pasti Lastri. Dia sudah pulang."Assalamualaikum..!"Suara Lastri memberi salam.Aku hanya diam, hatiku masih panas. Untuk sementara laparku telah hilang yang ada hanyalah emosi yang menggebu. Sudah tak sabar rasanya tangan ini ingin segera ku daratkan di wajahnya. Dasar wanita tak tahu diuntug, sudah ku beri hidup enak tapi masih saja tak bisa menghargaiku. Sebenarnya apa maunya. Aku sudah memberikan uang belanja tapi ia masih saja tidak bisa mengaturnya. Setiap hari lauk dan sayur hanya itu dan itu saja.Lalu uang satu juta yang ku beri setiap bulan ia kemanakan? Huuuuhhhh.. Semakin geram rasanya saat melihat ia melangkah masuk seolah tanpa dosa ia menghampiriku setelah sebelumnya ia mendudukan Nina di troli lalu kemudian ia mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Tentu saja ku tolak. Plaaak...Ku hadiahi Lastri satu tamparan di pipi kirinya."Mas.."Hanya kata itu yang keluar dari bibir mungilnya. Dan aku semakin emo
Meninggalkan kekesalanku dengan Lastri dirumah, aku lebih fokus pada urusan bisnisku. Sore ini aku pulang kerja tidak akan langsung pulang kerumah melainkan aku sudah ada janji dengan beberapa teman tongkronganku. Kami sudah berjanji akan bertemu sekedar minum dan makan-makan lalu malamnya nanti kami akan pergi ke klub malam untuk sekedar menghibur diri."Mas kapan pulang? anak-anak ingin makan malam bersama." Itu bunyi pesan yang baru saja kuterima dari Lastri."Aku pulang malam, karena banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Kalian saja yang makan malam ngga usah nunggu aku." Aku mengirimkan balasan itu padanya.Makan malam dengan Lastri dan anak-anak itu tidak penting, lebih baik aku bersenang-senang dengan caraku sendiri dan itu jauh lebih memuaskan dari pada dirumah. Hanya akan menguras emosiku saja.Malam sudah larut aku mulai merasa pusing dan mual akibat mabuk. Beberapa kawanku ada yang sudah pulang namun aku merasa seperti masih belum ingin meninggalkan tempat ini. Ada seo
"Las, Lastri..! Sapan untukku mana?" Pagi-pagi aku dibikin kesel dengan sikap Lastri yang kurang cekatan dalam melayani keperluanku. "Iya mas, tunggu dulu sebentar ini aku sedang mengganti popok Nina." Terdengar sahutan Lastri dari arah kamar. Aku yang sudah duduk menghadap meja makan menghela napas panjang karena semakin panas saja rasanya dadaku seperti ingin segera kuledakkan marah yang menyesakan detak jantungku. Kesal dengan sikap.Lastri aku segera bangkit dan melangkah menuju ruang keluarga dimana Risa dan Rio sedang bermain dengan peralatan sekolah mereka. "Hei, kalian berdua ayo cepat lagi pakai sepatu atau kalau tidak papa tinggal dan kalian berangkat sekolah dengan ojek saja." Aku beekata tegas pada kedua anak itu. "Iya Pa." Jawab mereka hampir bersamaan. Eh, tapi mana juga sepatu kerjaku. Aduh, Lastri kamu benar-benar bikin aku kesal. Sarapan belum kamu siapkan, sepatu kerjaku juga belum. Ngapain saja sih kamu bangun subuh-subuh. Aku menggerutu. "Maaf mas aku tadi me