"Gaun tadi buat kamu aja."
Evelyn kaget. "Maksud, Mas Julian? Kan yang mau menikah sama Mas Julian itu Nayra. Kok gaunnya buat aku?" "Nayra katanya nggak suka. Itu buat kamu aja, Nayra biar buat yang baru." Evelyn terperangah. Gaun itu adalah rancangan khusus yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tapi seorang Julian Wiratama membuang gaun berharga itu begitu saja hanya karena alasan yang menurut Evelyn cukup berlebihan meski pada nyatanya Nayra tidak mengatakan apapun tentang gaun itu. Itu hanya inisiatif Julian karena tidak ingin calon pengantinnya mengenakan gaun bekas orang lain. ••••• Julian tiba di rumah Nayra. Ia menghampiri Nayra yang kala itu berada di ruang keluarga. "Sayang, katanya kamu sakit?" Julian langsung duduk di samping Nayra. "Sekarang gimana keadaan kamu?" "Aku nggak sakit kok, cuma agak kurang enak badan aja. Kerjaan kamu udah beres?" Julian mengangguk. "Soal yang di butik tadi, aku ngasih gaun itu ke Evelyn." Nayra yang mendengarnya kaget. Tentu saja ia tak terima. "Maksud kamu apa? Kok gaun aku dikasih ke Evelyn? Memangnya yang mau menikah itu siapa?" "Kamu jangan marah dulu. Ya, kan sama Evelyn udah dicobain. Itu bukan baru namanya, tapi udah bekas. Aku nggak mau di hari istimewa kita, kamu pakai barang bekas. Aku udah bicara sama yang punya butik, dia menyanggupi untuk buat gaun yang baru." Nayra menatap tak percaya. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Julian. "Ya, kan cuma dicoba sekali. Evelyn mungkin mau cek ada kekurangannya atau nggak. Gaun itu buatnya mahal, butuh waktu lama. Lagi pula tanggal pernikahan kita juga udah mepet, memangnya masih sempat buat gaun yang baru?" "Sempat... kamu tenang aja. Undangan juga udah disebar, gedung segala macam juga udah siap. Kamu tinggal ngurus gaun kamu." Julian menyahut dengan sangat santai seolah-olah itu bukanlah masalah besar. Ia kemudian bergeser mendekat. "Sayang." "Kenapa?" Nayra yang sempat berpaling lantas kembali memandang Julian. "Mama ke mana?" Julian tampak celingukan. "Ke arisan." "Mbak ke mana?" "Di belakang mungkin." Julian tersenyum simpul. Terlihat ragu-ragu untuk berbicara. Ia kemudian merangkul pinggang Nayra. "Boleh nggak sih kalau kita..." Julian menggantung ucapannya, berharap Nayra mengerti apa yang ia inginkan. "Nggak boleh," sahut Nayra dengan tegas. Raut wajah Julian langsung berubah, tampak kecewa bercampur kesal. "Ya kenapa nggak boleh? Bentar lagi kita juga nikah. Mau nanti atau sekarang ya sama aja." Nayra menghela napas dan tetap menyahuti dengan sabar. "Ya beda lah. Sekarang aku masih calon istri kamu sedangkan nanti aku udah jadi istri kamu." Julian tampak kesal. Memalingkan wajahnya dan menggerutu. "Kamu itu jangan kolot-kolot banget, cinta nggak sih sama aku?" Nayra tampak gelisah. Ia memang memiliki prinsip bahwa pantang baginya melakukan hubungan suami istri sebelum menikah meski prinsip itu sudah ia langgar bersama pria lain. Tapi di samping itu, Nayra takut. Bagaimana jika Julian tahu bahwa ia sudah tidak lagi perawan. Nayra belum siap menghadapi kenyataan. Ia sudah menyusun masa depan bersama Julian, ia tidak ingin harapannya hancur. "Sayang." Julian kembali menegur sembari meraih tangan Nayra. "Nggak akan ada orang yang mempermasalahkan hal ini. Kalau pun nanti kamu hamil duluan, nggak akan ada orang yang marah. Kecuali laki-laki lain yang menghamili kamu." Nayra hampir tersedak ludahnya sendiri. Bukannya tenang, ia semakin merasa gelisah. "Kita ke kamar yuk." Nayra menggeleng. "Tunggu sampai kita sah." "Cinta nggak sama aku?" "Itu prinsip aku," tegas Nayra. Julian memalingkan wajahnya dan kembali menghela napas pelan, ia terlihat cukup kesal tapi ia tak ingin ada pertengkaran. "Cuma tinggal dua bulan lagi, masa kamu nggak bisa nunggu?" Nayra berusaha menenangkan Julian. "Iya, aku bisa sabar, aku bisa nunggu kamu. Awas aja nanti kamu, nggak akan aku lepasin meskipun kamu nangis-nangis." Julian tersenyum tipis dan memeluk Nayra. Meski hatinya cukup kesal karena penolakan kekasihnya, ia berusaha memperbaiki suasana hatinya agar pernikahan mereka berjalan dengan lancar. Di hari selanjutnya Nayra pergi ke butik untuk membuat gaun yang baru. Evelyn pun datang setelah sebelumnya dihubungi oleh Nayra. "Nayra, udah lama?" tegur Evelyn. Nayra mengangguk. "Udah selesai, ini mau balik." "Ya ampun, telat dong aku kalau gitu. Ya udah, kalau gitu aku anterin kamu pulang." "Kita ke kafe dulu yuk." "Ok." Keduanya kemudian pindah ke kafe yang lumayan masih sepi. Evelyn langsung membahas tentang insiden kemarin. "Soal yang kemarin, Mas Julian udah bilang ke kamu, kan?" "Soal gaun itu?" Evelyn mengangguk. "Aku minta maaf, aku nggak punya maksud apa-apa. Kemarin itu tante yang nyuruh aku buat coba gaunnya, takutnya nanti ada yang kurang." Nayra tersenyum tipis, seolah tak menganggap itu sebagai hal yang serius. Dia justru khawatir jika Evelyn akan salah paham dengan tindakan Julian kemarin. "Nggak apa-apa, aku paham kok. Julian aja yang berlebihan, mentang-mentang uangnya banyak." Nayra tertawa kecil untuk mengendalikan suasana. "Kamu gimana? Udah sehat?" Evelyn langsung mengganti topik, dirasa bahwa masalah di butik sudah selesai. "Agak mendingan." Nayra tiba-tiba terdiam, terlihat seperti ada banyak hal yang ia pikirkan. "Lyn," Nayra tiba-tiba menegur dengan suasana yang berbeda. "Kenapa?" "Aku kok tiba-tiba ngerasa takut ya?" Evelyn mengernyit heran. "Takut kenapa?" Nayra tampak bimbang, tapi hanya pada Evelyn ia bisa mengurangi beban pikirannya. "Ada masalah? Kamu cerita ke aku, jangan dipendam sendiri." Nayra memperbaiki posisi duduknya. "Kamu ingat pas party waktu itu?" Evelyn mengangguk. "Iya, memangnya kenapa?" "Waktu aku kalah taruhan terus dapat hukuman." Evelyn kembali mengangguk dan mendengarkan dengan sesaksama. "Kalau kamu mabuk duluan, kamu pergi ke ruangan sebelah dan cium siapapun di ruangan itu selama lima menit?" Nayra mengangguk dengan lesu. "Terus?" "Waktu itu aku nggak balik ke ruangan itu, kan?" "Kamu langsung pulang, kan?" Evelyn balik bertanya. Nayra menggeleng, membuat dahi Evelyn berkerut. "Terus? Kalau gitu kamu ke mana?" "Aku ngelakuin 'itu'," gumam Nayra putus asa. "Itu?" Evelyn mengernyit heran. "Maksud kamu... kamu tidur sama cowok itu?" Nayra mengangguk pasrah, membuat Evelyn terperangah. "Nayra! Kamu serius nggak bercanda?" "Aku juga nggak tahu..." Nayra sejenak meremas kepalanya dengan frustasi. "Aku nggak ingat apa-apa. Tiba-tiba aja aku bangun pas pagi dan ada cowok itu di samping aku." Evelyn tersenyum tak percaya. "Nggak, aku tetep nggak percaya kamu bisa ngelakuin hal ini. Itu pertama kalinya buat kamu, kan?" Nayra menyembunyikan wajahnya pada meja, tapi hanya sesaat dan ia kembali memandang Evelyn dengan wajah frustasi. "Gimana kalau nanti Julian tahu aku udah nggak perawan? Dia pasti bakal ninggalin aku." "Ck! Ini tahun berapa sih? Pikiran kamu masih kolot aja. Kamu pikir Julian itu orang suci?" "Maksud kamu?" "Ya realistis aja. Mana ada cowok seusia Mas Julian yang belum pernah macem-macem, ya meski nggak semua cowok kayak gitu. Tapi untuk Mas Julian, aku yakin kalau dia udah pernah main sama cewek." Nayra termenung, entah harus kecewa atau bersyukur. Ia hanya ingin fokus pada masalahnya sendiri. "Maksud kamu Julian pernah selingkuh?" "Bukan selingkuh, lebih tepatnya one night stand. Kayak kamu waktu itu. Jadi ya, Nayra. Kamu itu nggak udah mikirin hal-hal kayak gitu, itu cuma buat kamu makin stress. Nanti kalau misal Mas Julian tanya kenapa kamu udah nggak perawan, ya kamu tanya balik aja. Memangnya dia masih perjaka." "Gampang kamu ngomongnya," gerutu Nayra. Evelyn tertawa kecil. "Lagian kamu itu ada-ada aja. Diapa-apain calon suami aja nggak mau, ini pertama ketemu udah langsung ke hotel. Cakep nggak sih orangnya?" "Ya lumayan," gumam Nayra setengah hati. "Mukanya kayak orang blesteran." "Bukan asli produk lokal berarti. Gimana rasanya?" Nayra menatap kaget, ucapan Evelyn terlalu unik. "Aku denger punya orang bule itu ukurannya beda." Mendengar ucapan Evelyn, Nayra langsung teringat akan malam terlarang itu. Ia pun langsung menggelengkan kepalanya agar tetap sadar. "Kamu itu apaan sih? Jangan aneh-aneh." "Ih! Beneran, aku tuh cuma penasaran aja. Gimana rasanya?" Nayra menjadi gugup, pikirannya kembali menjadi kotor gara-gara pertanyaan Evelyn. "Kok malah diem sih?" "Ya sakit lah," ujar Nayra sedikit kesal. "Cuma sakit doang? Berarti kamu inget dong." Nayra tak menjawab karena malu sehingga Evelyn menertawainya. "Kamu ngapain aja? Pakai gaya apa aja?" "Lyn... udah deh. Aku nggak mau inget-inget cowok psikopat itu." "Psikopat?" Tawa Evlyn langsung terhenti. "Memang ganteng, tapi agak gila." "Memangnya kamu diapain aja?" "Aku baru bisa pergi dari hotel itu jam sembilan, kamu pikirin aja sendiri." Evelyn menatap tak percaya dan langsung tertawa. Bukannya prihatin, ia justru seperti sangat senang. "Ya nggak apa-apa kali, udah kejadian juga. Anggap aja jadi pengalaman yang nggak akan bisa kamu ulangi seumur hidup kamu. Ya anggap aja bonus, kamu jadi punya pengalaman soal ranjang sebelum jadi seorang istri." "Kamu itu aneh. Bukannya tenang, kepala aku malah makin puyeng dengerin kamu ngomong." Evelyn tersenyum kecil. Hari pernikahan semakin dekat. Malam itu keluarga besar kedua pihak berada di sebuah restoran hotel bintang lima untuk makan malam. Karena Evelyn sudah seperti adik kandung bagi Nayra, ia pun ikut hadir di sana bersama dengan ibunya. Tak ada pria di keluarga Nayra, hanya ada empat wanita karena ayah Nayra meninggal dalam kecelakaan sedangkan ayah Evelyn tengah berada di penjara. "Tidak terasa kurang satu bulan lagi kita benar-benar akan menjadi besan," ujar ayah Julian. "Benar, Mas. Saya juga sudah nggak sabar untuk segera menimang cucu," sahut ibu Nayra. Nayra sedikit tersipu ketika Julian memandangnya. Makan malam pun berlangsung dengan obrolan kecil. Tapi ketika Nayra melihat makanan di piringnya, ia refleks menutup hidupnya menggunakan jemarinya. "Kok aku mual lagi sih?" gumam Nayra dalam hati. "Tahan, Nayra... nanti mereka mikir yang macam-macam." "Kenapa, Sayang. Kamu nggak suka?" tegur Julian dengan pelan. Nayra tersenyum tipis seraya menggeleng. "Ya udah, makan." Nayra beranjak berdiri. "Aku permisi ke toilet sebentar." Nayra beranjak dari kursinya. Tapi kala itu seorang pria berjalan sedikit pincang menghampiri meja mereka. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat berukuran sekitar satu meter yang ia gunakan sebagai alat bantu jalan. Belum sempat Nayra melangkah, tubuhnya langsung mematung ketika ia menemukan pria yang baru saja datang. Batin Nayra tersentak, wajahnya langsung memucat ketika ia bertemu pandang dengan pria yang juga menghentikan langkahnya itu. "Dia... ada di sini?" ujar Nayra gusar dalam hati. Nayra tak sengaja melangkah mundur dan menyentuh bahu Julian. Julian pun bangkit, mengikuti arah pandang Nayra. Ekspresi yang sama dengan Nayra ditunjukkan oleh Julian. "Damian?""Damian?"Semua orang serempak memandang pria yang baru saja tiba, tapi Nayra langsung memandang Julian dengan tatapan kaget."Damian?" gumam Nayra dalam hati. "Julian kenal orang ini?"Ayah dan ibu Julian pun langsung berdiri dengan tatapan kaget."Damian?" tegur Suganda. "Kamu ada di sini?"Laki-laki pincang bernama Damian itu berjalan mendekat dengan senyum tipisnya."Saya dengar keluarga Wiratama mengadakan makan malam di sini, saya hanya datang untuk menyapa. Bagaimana kabar, Papa?"Nayra dan keluarganya tampak kaget, Evelyn dan ibu Nayra pun ikut berdiri."Papa?" gumam Nayra tak percaya, ia kemudian bertemu pandang dengan Damian.Suganda terlihat bingung ketika melihat putra sulungnya tiba-tiba muncul di sana setelah bertahun-tahun tak ada kabar karena sejak kecil Damian tinggal di Australia bersama kakek dari pihak ibu dan sejak itu Suganda tak menerima kabar apapun dari putra sulungnya."Mas Suganda, Julian masih punya saudara?" tegur ibu Nayra."Benar, ini putra sulung saya,
"Lyn, kamu antar mama pulang ya," ujar Nayra setelah keluarga Julian pergi."Memangnya kamu mau ke mana?""Aku ada janji sama orang."Sebelah alis Evelyn terangkat. "Siapa?""Ada, kamu nggak kenal. Titip mama ya."Evelyn mengangguk meski ia cukup penasaran. "Ya udah, kamu hati-hati. Aku sama tante balik duluan."Setelah Evelyn dan ibunya pergi, Nayra menghela napas berat. Ia berbalik, kembali ke dalam hotel. Dari mobil yang belum jauh, Evelyn melihat Nayra memasuki hotel melalui spion mobilnya."Ngapain dia balik ke hotel?" tanya Evelyn dalam hati.Nayra sampai di lantai 21, ia berjalan di lorong depan kamar sembari mencari kamar yang ia tuju. Kamar 2079, Nayra menemukan kamar yang ia cari. Sedikit ragu, Nayra kemudian membuka kunci kamar menggunakan kartu yang sebelumnya diberikan oleh Damian.Kunci terbuka, Nayra mendorong pintu dan berjalan masuk. Kala itu Damian duduk menyilangkan kaki di tepi ranjang dengan tangan yang memegang gelas kaca berisi air berwarna gelap. Laki-laki itu
Damian menghampiri Nayra dan langsung menarik tangan wanita itu."Sekali lagi, kamu yang datang ke tempat saya.""Saya calon adik ipar kamu.""Silakan kamu menikah dengan Julian, itu bukan urusan saya."Ingin rasanya Nayra melakukan sesuatu pada wajah Damian yang arogan itu. Tapi kini tangannya justru gemetar karena ketakutan."Apa mau kamu sebenarnya? Kita tidak pernah saling kenal sebelumnya.""Saya? Saya hanya ingin mengambil milik saya.""Saya bukan milik kamu!" tandas Nayra."Tapi tubuh kamu milik saya.""Psikopat gila!"Nayra menepis kasar tangan Damian. Tangan Damian kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang di hadapan Nayra. Nayra tak peduli, ia membuka pintu dengan kasar."Julian..."Pergerakan Nayra terhenti, ia menoleh ke tempat Damian."Ini saya..."Damian tersenyum tipis seolah tengah ingin mengejek Nayra. "Saya hanya ingin bilang—"Ucapan Damian terhenti ketika Nayra kembali menutup pintu dan mendekatinya. Damian kemudian mencondongkan
Damian menunduk dan memegangi kepalanya. Darah yang mengalir di sela tangannya kemudian menetes pada kasur. Nayra kemudian memberanikan diri untuk menyentuh bahu pria itu."D-Damian?""Kamu benar-benar berniat membunuh saya?"Nayra menggeleng. "S-saya antar kamu ke rumah sakit."Nayra bangkit, sedikit ketakutan. Ia meraih kunci mobil di atas nakas dan kemeja di tepi ranjang yang kemudian ia gunakan untuk menutupi punggung Damian. Tiba-tiba menjadi linglung, Nayra melewatkan kesempatan untuk melarikan diri.••••Nayra berjalan beberapa langkah di belakang Damian. Tak ada luka yang serius, Damian memutuskan untuk pulang setelah menerima sedikit perawatan untuk kepalanya.Sekali lagi pandangan Nayra tertuju pada kaki Damian yang cacat. Karena tak sempat membawakan tongkat Damian, kini pria itu terlihat kesulitan untuk berjalan. Terlepas dari perbuatan jahat Damian, Nayra masih bisa merasa iba dengan calon kakak iparnya tersebut. Setelah mempertimbangkan dengan matang, Nayra kemudian mend
Nayra membuka matanya ketika dering ponsel terdengar. Dengan intensitas cahaya yang memenuhi ruangan itu membuat mata Nayra refleks memicing. Dengan mata setengah terbuka ia mencari letak ponselnya hingga pendengarannya menangkap pergerakan dari suara itu. Membelakangi cahaya, Nayra membuka matanya lebar-lebar dan tertegun ketika ia menemukan seseorang berbaring tepat di sampingnya. Namun, keterkejutan itu tak bertahan lama ketika ia mengingat semua hal gila yang terjadi semalam.Nayra bangkit, menarik selimut hingga menutupi bagian dadanya karena baik dirinya dan Damian masih dalam keadaan yang sama dengan semalam. Nayra hendak mengambil ponselnya, tapi Damian justru menjauhkan tangannya."Itu punya saya," ujar Nayra dengan dingin.Tersenyum kecil, Damian lantas menyerahkan ponsel itu pada sang pemilik. Sementara wajah Nayra terlihat frustasi ketika ia menemukan nama Julian sebagai sang pemanggil di layar ponselnya."Jangan dijawab, dia mungkin sudah ada di depan rumah kamu," ujar Da
Nayra kembali ke Golden Sands Hotel, tepatnya di area parkir bawah tanah. Ia memarkirkan mobil Damian dan alih-alih mengantarkan kunci mobil ke kamar Damian, Nayra justru menaruh kunci tersebut di atas mobil dan pergi begitu saja, tak khawatir jika ada orang yang mencuri mobil mahal tersebut.Dari hotel, Nayra kembali ke rumah menggunakan taksi. Karena suasana hatinya terlalu buruk, Nayra tak menyadari jika ada mobil Julian di halaman. Tak bertemu dengan siapapun, Nayra langsung bergegas ke kamar. Tepat setelah membuka pintu, Nayra langsung melemparkan tasnya dengan kesal. Namun, ia dibuat kaget oleh keberadaan Julian di sana."Julian?"Sebelah alis Julian terangkat, sempat melihat tas yang baru saja terlempar di atas ranjang tepat di samping ia duduk. Ia kemudian berdiri dan Nayra segera menutup pintu lalu berjalan mendekat dengan gugup."K-kamu sejak kapan di sini? Udah lama?"Julian sejenak berdiam diri dan menambah kepanikan di wajah Nayra."Julian.""Kamu dari mana?" Julian balik
Julian kembali setelah jam makan siang berakhir. Karena memiliki janji lain yang mendadak, ia membatalkan janji makan siangnya dengan Nayra.Saat kembali ke ruang kerjanya, Julian dibuat kaget dengan keadaan meja kerjanya yang berantakan. Julian menutup pintu dan jauh lebih terkejut saat melihat siapa orang yang berdiri di dekat jendela kaca besar di ruangannya."Damian?"Terlihat marah, Julian mendatangi Damian."Apa-apaan ini? Apa yang kamu lakukan dengan ruangan saya?!"Damian menyahut dengan santai. "Anggap saja saya baru saja memberikan pelajaran pada seekor tikus kecil yang datang kemari."Julian menatap tak percaya dan berkacak pinggang. "Apa mau kamu? Tujuan kamu datang ke sini itu apa?"Damian tersenyum miring. "Dulu saat saya pergi, kamu masih setinggi ini." Damian mengangkat satu tangannya setinggi pinggang."Dulu saya berpikir, akan jadi seperti apa anak nakal ini jika sudah dewasa. Dan seperti inilah didikan dari wanita itu."Julian merasa terhina. "Keluar kamu dari ruan
Julian buru-buru memasuki rumah Nayra. Sepulang dari kantor ia langsung bergegas ke sana."Ma," tegur Julian pada ibu Nayra."Julian, kamu datang?""Nayra gimana, Ma?"Ibu Nayra menggeleng. "Dia masih belum mau keluar dari kamar, dia juga nggak mau makan dari pagi.""Ya udah, aku coba lihat Nayra dulu."Julian bergegas ke kamar Nayra. Beberapa hari terakhir Nayra bersikap aneh dan Julian menyadari perubahan itu. Bahkan beberapa hari terakhir mereka jarang berkomunikasi. Nayra juga lebih sering mengurung diri di dalam kamar.Julian membuka pintu, menemukan Nayra duduk tertelungkup di atas ranjang."Sayang."Julian langsung menghampiri Nayra. Duduk di tepi ranjang, Julian langsung memegang kedua kedua pundak Nayra."Kamu nggak sakit, kan? Nggak apa-apa, kan? Aku denger dari mama katanya kamu nggak mau keluar kamar. Kamu ada masalah apa?"Dengan wajah yang terlihat sedikit pucat, Nayra terdiam memandang Julian. Sorot matanya tak lagi menunjukkan minat. Kepercayaan dirinya sudah hilang, i
Damian keluar dari kamar mandi, menemukan Nayra yang masih duduk di lantai, tepatnya di dekat ranjang. Sejak tiba di sana, seperti itulah posisi Nayra. Tangisnya sudah berhenti sejak Damian membawanya, tapi kini hanya ada penyesalan dalam sorot matanya yang sayu.Seseorang mengetuk pintu, Damian bergegas menuju pintu dan sempat berbicara dengan seseorang sebelum menutup pintu kembali dengan membawa kotak kecil di tangannya. Damian mendekati Nayra dan melemparkan kotak yang ia bawa ke lantai tepat di hadapan Nayra. Menunjukkan perhatiannya yang setengah hati dengan memberikan kotak obat agar Nayra mengobati luka goresan di wajah serta sudut bibirnya. Akan tetapi, Nayra tetap bergeming.Sempat berdiam diri, Damian menarik kursi ke hadapan Nayra dan duduk di sana. Mungkin karena kondisi kakinya ia tak ingin duduk di lantai atau mungkin harga dirinya yang terlalu tinggi untuk mengerti situasi.Damian kemudian meraih kotak obat itu dan menarik dagu Nayra agar wanita itu mengangkat wajah.
"Saya adalah orang yang menghamili wanita ini!"Ucapan Damian menjadi babak terakhir dari kejutan di malam resepsi pernikahan pengantin baru itu sekaligus kehancuran bagi Nayra yang sebenarnya."Damian, apa maksud kamu?" tegur Suganda, menyampaikan pertanyaan semua orang.Damian sejenak memandang Nayra lalu berbicara. "Jika wanita ini memang hamil, maka bayi yang berada di perutnya sudah pasti anak saya.""Bajingan," gumam Veronica tak percaya. "Bagaimana kalian bisa—"Veronica tak bisa melanjutkan, semua orang pasti terkejut. Kapan tepatnya mereka bertemu dan semua ini terjadi.Tawa kecil Julian kemudian menarik seluruh perhatian. Tampak sangat jelas di wajahnya bahwa dia adalah orang yang tersakiti di tempat itu."Dia..." Julian berbicara pada Nayra sembari menunjuk Damian."Bajingan ini yang menghamili kamu? Orang pincang ini... orang cacat ini!" Suara Julian meninggi, menunjukkan seberapa besar kemarahannya saat ini.Ibu Nayra sempat memegangi kepalanya. Tak lagi mampu mendengarka
Julian buru-buru memasuki rumah Nayra. Sepulang dari kantor ia langsung bergegas ke sana."Ma," tegur Julian pada ibu Nayra."Julian, kamu datang?""Nayra gimana, Ma?"Ibu Nayra menggeleng. "Dia masih belum mau keluar dari kamar, dia juga nggak mau makan dari pagi.""Ya udah, aku coba lihat Nayra dulu."Julian bergegas ke kamar Nayra. Beberapa hari terakhir Nayra bersikap aneh dan Julian menyadari perubahan itu. Bahkan beberapa hari terakhir mereka jarang berkomunikasi. Nayra juga lebih sering mengurung diri di dalam kamar.Julian membuka pintu, menemukan Nayra duduk tertelungkup di atas ranjang."Sayang."Julian langsung menghampiri Nayra. Duduk di tepi ranjang, Julian langsung memegang kedua kedua pundak Nayra."Kamu nggak sakit, kan? Nggak apa-apa, kan? Aku denger dari mama katanya kamu nggak mau keluar kamar. Kamu ada masalah apa?"Dengan wajah yang terlihat sedikit pucat, Nayra terdiam memandang Julian. Sorot matanya tak lagi menunjukkan minat. Kepercayaan dirinya sudah hilang, i
Julian kembali setelah jam makan siang berakhir. Karena memiliki janji lain yang mendadak, ia membatalkan janji makan siangnya dengan Nayra.Saat kembali ke ruang kerjanya, Julian dibuat kaget dengan keadaan meja kerjanya yang berantakan. Julian menutup pintu dan jauh lebih terkejut saat melihat siapa orang yang berdiri di dekat jendela kaca besar di ruangannya."Damian?"Terlihat marah, Julian mendatangi Damian."Apa-apaan ini? Apa yang kamu lakukan dengan ruangan saya?!"Damian menyahut dengan santai. "Anggap saja saya baru saja memberikan pelajaran pada seekor tikus kecil yang datang kemari."Julian menatap tak percaya dan berkacak pinggang. "Apa mau kamu? Tujuan kamu datang ke sini itu apa?"Damian tersenyum miring. "Dulu saat saya pergi, kamu masih setinggi ini." Damian mengangkat satu tangannya setinggi pinggang."Dulu saya berpikir, akan jadi seperti apa anak nakal ini jika sudah dewasa. Dan seperti inilah didikan dari wanita itu."Julian merasa terhina. "Keluar kamu dari ruan
Nayra kembali ke Golden Sands Hotel, tepatnya di area parkir bawah tanah. Ia memarkirkan mobil Damian dan alih-alih mengantarkan kunci mobil ke kamar Damian, Nayra justru menaruh kunci tersebut di atas mobil dan pergi begitu saja, tak khawatir jika ada orang yang mencuri mobil mahal tersebut.Dari hotel, Nayra kembali ke rumah menggunakan taksi. Karena suasana hatinya terlalu buruk, Nayra tak menyadari jika ada mobil Julian di halaman. Tak bertemu dengan siapapun, Nayra langsung bergegas ke kamar. Tepat setelah membuka pintu, Nayra langsung melemparkan tasnya dengan kesal. Namun, ia dibuat kaget oleh keberadaan Julian di sana."Julian?"Sebelah alis Julian terangkat, sempat melihat tas yang baru saja terlempar di atas ranjang tepat di samping ia duduk. Ia kemudian berdiri dan Nayra segera menutup pintu lalu berjalan mendekat dengan gugup."K-kamu sejak kapan di sini? Udah lama?"Julian sejenak berdiam diri dan menambah kepanikan di wajah Nayra."Julian.""Kamu dari mana?" Julian balik
Nayra membuka matanya ketika dering ponsel terdengar. Dengan intensitas cahaya yang memenuhi ruangan itu membuat mata Nayra refleks memicing. Dengan mata setengah terbuka ia mencari letak ponselnya hingga pendengarannya menangkap pergerakan dari suara itu. Membelakangi cahaya, Nayra membuka matanya lebar-lebar dan tertegun ketika ia menemukan seseorang berbaring tepat di sampingnya. Namun, keterkejutan itu tak bertahan lama ketika ia mengingat semua hal gila yang terjadi semalam.Nayra bangkit, menarik selimut hingga menutupi bagian dadanya karena baik dirinya dan Damian masih dalam keadaan yang sama dengan semalam. Nayra hendak mengambil ponselnya, tapi Damian justru menjauhkan tangannya."Itu punya saya," ujar Nayra dengan dingin.Tersenyum kecil, Damian lantas menyerahkan ponsel itu pada sang pemilik. Sementara wajah Nayra terlihat frustasi ketika ia menemukan nama Julian sebagai sang pemanggil di layar ponselnya."Jangan dijawab, dia mungkin sudah ada di depan rumah kamu," ujar Da
Damian menunduk dan memegangi kepalanya. Darah yang mengalir di sela tangannya kemudian menetes pada kasur. Nayra kemudian memberanikan diri untuk menyentuh bahu pria itu."D-Damian?""Kamu benar-benar berniat membunuh saya?"Nayra menggeleng. "S-saya antar kamu ke rumah sakit."Nayra bangkit, sedikit ketakutan. Ia meraih kunci mobil di atas nakas dan kemeja di tepi ranjang yang kemudian ia gunakan untuk menutupi punggung Damian. Tiba-tiba menjadi linglung, Nayra melewatkan kesempatan untuk melarikan diri.••••Nayra berjalan beberapa langkah di belakang Damian. Tak ada luka yang serius, Damian memutuskan untuk pulang setelah menerima sedikit perawatan untuk kepalanya.Sekali lagi pandangan Nayra tertuju pada kaki Damian yang cacat. Karena tak sempat membawakan tongkat Damian, kini pria itu terlihat kesulitan untuk berjalan. Terlepas dari perbuatan jahat Damian, Nayra masih bisa merasa iba dengan calon kakak iparnya tersebut. Setelah mempertimbangkan dengan matang, Nayra kemudian mend
Damian menghampiri Nayra dan langsung menarik tangan wanita itu."Sekali lagi, kamu yang datang ke tempat saya.""Saya calon adik ipar kamu.""Silakan kamu menikah dengan Julian, itu bukan urusan saya."Ingin rasanya Nayra melakukan sesuatu pada wajah Damian yang arogan itu. Tapi kini tangannya justru gemetar karena ketakutan."Apa mau kamu sebenarnya? Kita tidak pernah saling kenal sebelumnya.""Saya? Saya hanya ingin mengambil milik saya.""Saya bukan milik kamu!" tandas Nayra."Tapi tubuh kamu milik saya.""Psikopat gila!"Nayra menepis kasar tangan Damian. Tangan Damian kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang di hadapan Nayra. Nayra tak peduli, ia membuka pintu dengan kasar."Julian..."Pergerakan Nayra terhenti, ia menoleh ke tempat Damian."Ini saya..."Damian tersenyum tipis seolah tengah ingin mengejek Nayra. "Saya hanya ingin bilang—"Ucapan Damian terhenti ketika Nayra kembali menutup pintu dan mendekatinya. Damian kemudian mencondongkan
"Lyn, kamu antar mama pulang ya," ujar Nayra setelah keluarga Julian pergi."Memangnya kamu mau ke mana?""Aku ada janji sama orang."Sebelah alis Evelyn terangkat. "Siapa?""Ada, kamu nggak kenal. Titip mama ya."Evelyn mengangguk meski ia cukup penasaran. "Ya udah, kamu hati-hati. Aku sama tante balik duluan."Setelah Evelyn dan ibunya pergi, Nayra menghela napas berat. Ia berbalik, kembali ke dalam hotel. Dari mobil yang belum jauh, Evelyn melihat Nayra memasuki hotel melalui spion mobilnya."Ngapain dia balik ke hotel?" tanya Evelyn dalam hati.Nayra sampai di lantai 21, ia berjalan di lorong depan kamar sembari mencari kamar yang ia tuju. Kamar 2079, Nayra menemukan kamar yang ia cari. Sedikit ragu, Nayra kemudian membuka kunci kamar menggunakan kartu yang sebelumnya diberikan oleh Damian.Kunci terbuka, Nayra mendorong pintu dan berjalan masuk. Kala itu Damian duduk menyilangkan kaki di tepi ranjang dengan tangan yang memegang gelas kaca berisi air berwarna gelap. Laki-laki itu