"Psikopat," celetuk Nayra, mengambil alih perhatian si Agen 1 yang terlihat sedikit resah meski ia tampak tenang. "Lo pikir lo jadi orang yang penting di sini?" ujar pria itu. "Jelas bukan, sejak awal kalian berniat menghancurkan suami saya. Sekarang atau bahkan dua puluh satu yang lalu, tujuan kalian sama. Segitu besarnya keinginan kalian untuk mengambil alih Wiratama Group sampai-sampai nyawa orang lain tidak ada harganya lagi." "Jalang ini pinter ngomong juga," gumam pria itu. "Wiratama Group... sepertinya itu menjadi impian kalian. Jadi kamu dengarkan baik-baik. Mulai dari sekarang, saya akan menghancurkan impian kalian. Saya pastikan, Wiratama Group akan menjadi penebusan dari pengorbanan suami saya." "Nyonya Muda itu ternyata keren juga ya, Bos," celetuk si Agen 2. Si Agen 1 tak menyahut, ia tak mengalihkan pandangannya dari Nayra, tak pernah sedetik pun seolah menjaga keselamatan Nayra adalah prioritas utamanya saat ini. "Anda memanggil saya ke sini, itu berarti an
"Di sini anda ditangkap bukan karena kasus penculikan." Batin Evelyn tersentak. Jika bukan tentang penculikan Nayra, lalu apa. Hanya itu kejahatan paling fatal yang dilakukan oleh Evelyn. "Kamu bunuh bayi aku?" tegur Nayra dengan tenang. Evelyn menggeleng pelan, bingung dengan situasi yang ada saat ini Damian mendekati petugas tersebut dan menegur. "Boleh kamu mengetahui detail tentang penangkapan Evelyn, Pak?" "Pak Damian Sylvester?" "Benar, dengan saya sendiri." Petugas itu kemudian memberikan penjelasan singkat. "Sopir truk yang menyebabkan kecelakaan Pak Damian sudah menyerahkan diri. Dan menurut kesaksian pelaku, saudari Evelyn adalah salah satu dari komplotan mereka." Lagi, semua orang terkejut. Evelyn kemudian mendekat sembari murka. "Maksud Bapak apa?! Jangan sembarangan!" "Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi, mari ikut kami." "Saya nggak mau! Mana buktinya kalau saya bersalah? Bapak jangan mengada-ada!" "Karena anda tidak bersedia untuk beke
Tengah malam itu Veronica menginjakkan kaki di ruang tamu, berniat pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi ia justru melihat Damian tengah duduk di ruang tamu sendirian. Awalnya Veronica berniat mengabaikan Damian, tapi saat kembali, ia justru mendatangi Damian. "Kamu bisa menganggap ini sebagai rumah kamu, tapi kamu juga harus mempedulikan kenyamanan orang lain yang tinggal di sini," tegur Veronica. Damian mengarahkan pandangannya pada Veronica dan menyahut dengan santai. "Orang yang tinggal di sini seharusnya lebih tahu diri dan menghormati pemilik rumah." Veronica menatap tak percaya. "Sampai kapan kamu akan menganggap bahwa kamu berkuasa di sini? Rumah ini bukan apa-apa. Ini hanya rumah tua yang tidak ada nilainya." "Jika begitu kenapa begitu sulit bagi anda untuk angkat kaki dari sini?" sarkas Damian yang sejenak berhasil membungkam Veronica. "Masa jabatan anda sebagai nyonya di rumah ini sudah berakhir, seharusnya anda cukup tahu malu untuk tetap bertahan di sini." V
Ponsel di atas meja berdering. Sebuah tangan meraih benda pipih itu. Damian melihat nama sang ayah tertulis di layar ponsel. Terhitung sudah tujuh kali Suganda menghubunginya pagi ini. Tapi seperti panggilan-panggilan sebelumnya, Damian kembali mengabaikan panggilan Suganda. Ia menggeletakkan ponselnya di tempat yang sama dan menikmati momen damai yang ia dapatkan di pagi hari yang menyejukkan. Duduk dengan nyaman di atas Cabin Cruiser yang mengapung di tengah lautan lepas. Damian menjadikan pelarian mereka sebagai peluang untuk pergi bulan madu ketika mereka sudah menerima satu sama lain. Di ujung sana, tampak Nayra yang berdiri di dekat besi pembatas. Terlalu menikmati hidup sebagai pengangguran yang kaya raya, Nayra ingin mencoba hobi para laki-laki. Yaitu memancing di lautan lepas. Meski Damian sudah mengatakan bahwa tidak ada ikan di sekitar sana, Nayra tetap ingin mencoba hal baru. Damian beranjak dari duduknya, berjalan menghampiri Nayra dan memeluk istrinya dari belakang.
Julian duduk termenung di antara para petinggi perusahaan yang hadir di ruang rapat. Mereka duduk berjajar di meja panjang, menunggu para petinggi dari Salim Group datang. Hari itu akusisi akan berlangsung dan Julian tak bisa berbuat apa-apa meski ia menentang keputusan sang ayah. Ia pikir perusahaan baik-baik saja, tak menyangka jika perusahaan akan runtuh dengan begitu mudah. Satu helaan napas keluar dari mulut Julian. Ia seperti tengah mendapatkan kutukan, kehidupannya tak diberkati. Dan di saat ia tak bisa lagi berambisi, ia tiba-tiba teringat satu nama. "Haedar Ibrahim?" gumam Julian, menyadarkannya dari keterpurukan. "Kenapa Nayra tiba-tiba tanya soal orang itu kalau ingatannya belum kembali?" Julian bertanya-tanya dalam hati. Sebuah panggilan mengalihkan perhatian Julian. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Evelyn. Julian refleks menggaruk keningnya, ia beranjak dan hendak meninggalkan ruang rapat. Tapi sebelum ia menjangkau pintu, pintu terbuka dari luar. Para
Rombongan Salim Group meninggalkan gedung. Mobil yang dikendarai mereka sudah berjajar di depan gedung. Namun, Damian langsung mengenali mobil yang digunakan oleh Nayra. "Mama akan kembali ke kantor," ujar Nadine yang diangguki oleh Damian. Seorang petugas keamanan memberikan kunci mobil pada Damian. "Silakan, Pak, kuncinya." "Ini mobil istri saya, sejak kapan ada di sini?" tegur Damian. "Sudah agak lama, Pak. Tapi tadi istri Bapak tidak masuk." "Lalu istri saya pergi ke mana?" "Tadi istri Bapak pergi bersama Pak Julian." "Ya sudah." Damian menggaruk keningnya. Ia hendak menghubungi Nayra, tapi sebuah panggilan lebih dulu masuk. Damian pun segera menerima panggilan dari Suganda tersebut. "Kamu belum pergi, kan? Papa harus berbicara." "Saya ke sana sekarang," sahut Damian yang langsung memutuskan sambungan dan kembali memasuki gedung. Damian masuk ke ruangan Suganda. "Kamu duduk." Keduanya duduk di sofa yang diperuntukkan bagi tamu. Suganda tampak canggung untuk memulai p
Pagi itu di meja makan hanya ada Nayra dan Damian, tak ada Suganda atau pun Julian. Sedangkan Veronica memang tidak pernah bergabung di meja makan sejak mereka datang. Tapi meski begitu, Damian tak merasa terganggu. Ia justru menarik kursi Nayra agar lebih dekat dengannya."Ini hari pertama kamu di Salim Group," ujar Nayra seolah tak ada apapun yang terjadi kemarin.Damian tersenyum tipis sebagai tanggapan. Sebuah notofikasi pesan terdengar dari ponsel Damian. Nayra yang lebih dekat dengan ponsel Damian pun mengambil benda pipih itu."Dari papa.""Coba kamu buka."Nayra membuka pesan dari ayah mertuanya dan membaca isinya bersama Damian.'Damian, papa tidak sempat berpamitan. Papa dan mama akan menempati rumah yang lain. Sampaikan salam papa ke istri kamu.'"Papa udah pindah?" guman Nayra."Memang seharusnya seperti itu sejak awal.""Tapi saya jadi nggak bisa ngawasin Tante Veronica."Sebelah alis Damian terangkat. "Mengawasi?"Nayra mengangguk. "Untuk jaga-jaga kalau-kalau dia ada re
"Hai, Mas. Gimana kabar kamu?"Evelyn menegur Julian dengan wajah yang sumringah. Keduanya sebelumnya sudah membuat janji temu di salah satu restoran. Evelyn langsung duduk berhadapan dengan Julian. Ia tetap tersenyum meski melihat wajah suram Julian."Gimana kabar kamu, Mas? Baik-baik aja, kan setelah ceraiin aku?""Kamu mau apa lagi? Kamu udah dapat dua miliar," sahut Julian tanpa minat."Ya aku cuma mau tahu kabar kamu aja. Aku udah dengar, sekarang Wiratama Group jadi milik Salim Group."Julian memalingkan wajahnya, ia datang bukan untuk menerima penghinaan seperti ini."Aku itu sekarang kalau lihat kamu itu ngerasa kasihan, Mas. Gimana kalau kita rujuk aja?"Sudut bibir Julian tersungging. "Jangan bermimpi kamu.""Kamu itu jangan sok keras. Memangnya apa sih untungnya kamu menceraikan aku? Nggak ada, kan? Nayra juga udah nggak mau sama kamu. Coba aja kalau kamu dulu nggak gugat aku, kamu nggak perlu bayar penalti.""Buat apa aku menikahi wanita mandul seperti kamu. Bukan cuma itu
"Mau apa kamu datang kemari?!" Nadine langsung menghardik, ia baru ingat jika bulan ini hukuman Ibrahim berakhir."Saya datang ke sini karena ada hal yang harus kita bicarakan, Bu Nadine," ujar Ibrahim tanpa rasa malu."Tidak ada hal yang perlu saya bicarakan dengan kamu! Setelah apa yang kamu lakukan pada suami dan anak saya, kamu masih berani datang ke sini!"Ibrahim tersenyum tipis. "Saya minta maaf atas semua yang saya lakukan, Bu Nadine. Tapi Bu Nadine juga harus tahu cerita sebenarnya di balik kejadian itu.""Jika kamu ingin mengaku, seharusnya kamu lakukan dulu di pengadilan. Kamu hanya ingin mencari pembelaan yang terlambat, Ibrahim. Keluarga saya baik ke kamu, bahkan saya juga merestui hubungan Nayra dengan anak kamu. Tapi tega-teganya kamu melakukan hal sekeji itu. Apa alasan kamu? Bukan hanya menghancurkan keluarga saya, kamu juga sampai hati menghancurkan hidup anak kamu sendiri.""Saya mengakuinya, Bu Nadine. Itu adalah tindakan bodoh yang pernah saya lakukan. Tapi saya m
Damian turun ke bawah untuk mengambil sesuatu di mobilnya. Namun, kala itu ia tidak sengaja melihat Zizan."Nayra ada di sini?" gumam Damian yang lantas menghampiri Zizan yang kala itu tengah mengobrol dengan resepsionis."Wih, Big Bos." Zizan langsung menegur begitu melihat kedatangan Damian."Pagi menjelang siang, Big Bos.""Di mana istri saya?"Zizan menatap heran. "Loh? Kok tanya ke saya?""Maksud kamu?""Saya ke sini disuruh sama Bu Bos. Tadi Bu Bos telepon nggak usah dijemput, katanya ketemu di kantornya Big Bos aja. Saya kirain Bu Bos udah di sini."Mendengar penuturan Zizan, Damian pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Nayra. Tapi setelah beberapa saat, panggilan Damian tak mendapatkan respon."Kamu ambilkan berkas di mobil saya," ujar Damian pada Zizan."Siap, Big Bos." Pemuda itu langsung melenggang pergi.Damian kemudian menghubungi rumah dan pekerja harian yang ada di sana menjawab panggilan Damian."Bu, ini saya. Istri saya ada di rumah?""Nyonya udah pergi, Tuan. Ta
Pagi itu Nayra hendak pergi menyusul Nayra ke kantor karena hari itu ia ingin membuat kejutan untuk Damian. Baru saja keluar dari pekarangan rumah, Nayra menghentikan mobilnya saat melihat si Agen 1 berdiri bersandar pada pagar rumahnya. Melihat hal itu, si Agen 1 pun mendekat dan langsung masuk ke mobil Nayra, duduk tepat di samping Nayra."Mau apa kamu?" tegur Nayra."Jalan," gumam si Agen 1, terkesan menghindari kontak mata dengan Nayra."Semalam Haedar Ibrahim datang ke rumah saya," celetuk Nayra.Refleks si Agen 1, orang yang dibicarakan Nayra langsung memandangnya."Lo—""Saya tahu dari Julian, adik suami saya."Haedar tampak lega, ia pikir jika Nayra sudah tahu bahwa orang yang sedang dibicarakan berada tepat di sampingnya."Melihat dia berani datang ke rumah saya, itu berarti dia tahu jika saya sedang mencari tahu tentang dia. Itu berarti dia memang terlibat. Saya mau kamu—""Gue kerja buat suami lo, bukan buat lo." Haedar menyela. "Kalau lo butuh apa-apa, bilang ke suami lo."
"Haedar Ibrahim," panggil Damian.Ia sempat ragu jika orang yang dicari oleh Nayra adalah si Agen 1. Tapi setelah melihat informasi yang diberikan si Agen 1 pada Nayra, ia tahu bahwa Haedar Ibrahim adalah orang yang ia kenal dan saat ini berdiri di hadapannya."Saya butuh jawaban kamu," Damian kembali menegur."Tanya ke istri lo sendiri," si Agen 1, Haedar Ibrahim menyahut dengan jengah."Saya akan mengganti pertanyaan. Alasan kamu membuat sopir truk melakukan kesaksian palsu. Itu ada hubungannya dengan istri saya?"Bukan tidak tahu, Damian tahu sejak awal dari Agen 2 jika Haedar Ibrahim lah yang membuat si sopir truk mengubah kesaksiannya di hadapan polisi. Sejak awal Haedar Ibrahim menargetkan Evelyn dan ibunya seperti yang diucapkan oleh Evelyn. Seolah dendam pribadinya lebih penting, ia mengabaikan tugas yang diberikan oleh Damian."Saya memberi kamu uang bukan untuk memenuhi keinginan kamu sendiri."Si Agen 1 tetap bergeming, ia bahkan tak merasa telah melakukan kesalahan.Damian
Damian berada di ruang kerjanya di rumah saat Nayra datang menghampirinya. Dengan santai Damian menyingkirkan berkas tentang Haedar Ibrahim dari mejanya dan menyambut kedatangan istrinya."Masih sibuk?"Damian menggeleng, ia mengulurkan tangannya. Membawa Nayra duduk di pangkuannya, salah satu hal yang ia suka."Hari ini mau makan apa buat makan malam?""Terserah kamu.""Lagi banyak pikiran?""Memangnya ada apa?""Kamu kelihatan banyak pikiran." Nayra menatap penuh selidik. Wajah Damian terlihat sangat serius dan itu mengganggu pikirannya."Saya harus beradaptasi dengan tempat baru.""Paling nggak di sana nggak ada orang yang merendahkan kamu," sahut Nayra."Siapa yang memasak hari ini?""Saya.""Hanya untuk dua orang."Nayra mengangguk dengan senyuman tipis. Ia kemudian turun dari pangkuan Damian."Saya mau masak dulu."Damian bergeming, tak menahan Nayra dan hanya memperhatikan Nayra hingga tak lagi terlihat. Damian kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang."Datang ke rum
"Hai, Mas. Gimana kabar kamu?"Evelyn menegur Julian dengan wajah yang sumringah. Keduanya sebelumnya sudah membuat janji temu di salah satu restoran. Evelyn langsung duduk berhadapan dengan Julian. Ia tetap tersenyum meski melihat wajah suram Julian."Gimana kabar kamu, Mas? Baik-baik aja, kan setelah ceraiin aku?""Kamu mau apa lagi? Kamu udah dapat dua miliar," sahut Julian tanpa minat."Ya aku cuma mau tahu kabar kamu aja. Aku udah dengar, sekarang Wiratama Group jadi milik Salim Group."Julian memalingkan wajahnya, ia datang bukan untuk menerima penghinaan seperti ini."Aku itu sekarang kalau lihat kamu itu ngerasa kasihan, Mas. Gimana kalau kita rujuk aja?"Sudut bibir Julian tersungging. "Jangan bermimpi kamu.""Kamu itu jangan sok keras. Memangnya apa sih untungnya kamu menceraikan aku? Nggak ada, kan? Nayra juga udah nggak mau sama kamu. Coba aja kalau kamu dulu nggak gugat aku, kamu nggak perlu bayar penalti.""Buat apa aku menikahi wanita mandul seperti kamu. Bukan cuma itu
Pagi itu di meja makan hanya ada Nayra dan Damian, tak ada Suganda atau pun Julian. Sedangkan Veronica memang tidak pernah bergabung di meja makan sejak mereka datang. Tapi meski begitu, Damian tak merasa terganggu. Ia justru menarik kursi Nayra agar lebih dekat dengannya."Ini hari pertama kamu di Salim Group," ujar Nayra seolah tak ada apapun yang terjadi kemarin.Damian tersenyum tipis sebagai tanggapan. Sebuah notofikasi pesan terdengar dari ponsel Damian. Nayra yang lebih dekat dengan ponsel Damian pun mengambil benda pipih itu."Dari papa.""Coba kamu buka."Nayra membuka pesan dari ayah mertuanya dan membaca isinya bersama Damian.'Damian, papa tidak sempat berpamitan. Papa dan mama akan menempati rumah yang lain. Sampaikan salam papa ke istri kamu.'"Papa udah pindah?" guman Nayra."Memang seharusnya seperti itu sejak awal.""Tapi saya jadi nggak bisa ngawasin Tante Veronica."Sebelah alis Damian terangkat. "Mengawasi?"Nayra mengangguk. "Untuk jaga-jaga kalau-kalau dia ada re
Rombongan Salim Group meninggalkan gedung. Mobil yang dikendarai mereka sudah berjajar di depan gedung. Namun, Damian langsung mengenali mobil yang digunakan oleh Nayra. "Mama akan kembali ke kantor," ujar Nadine yang diangguki oleh Damian. Seorang petugas keamanan memberikan kunci mobil pada Damian. "Silakan, Pak, kuncinya." "Ini mobil istri saya, sejak kapan ada di sini?" tegur Damian. "Sudah agak lama, Pak. Tapi tadi istri Bapak tidak masuk." "Lalu istri saya pergi ke mana?" "Tadi istri Bapak pergi bersama Pak Julian." "Ya sudah." Damian menggaruk keningnya. Ia hendak menghubungi Nayra, tapi sebuah panggilan lebih dulu masuk. Damian pun segera menerima panggilan dari Suganda tersebut. "Kamu belum pergi, kan? Papa harus berbicara." "Saya ke sana sekarang," sahut Damian yang langsung memutuskan sambungan dan kembali memasuki gedung. Damian masuk ke ruangan Suganda. "Kamu duduk." Keduanya duduk di sofa yang diperuntukkan bagi tamu. Suganda tampak canggung untuk memulai p
Julian duduk termenung di antara para petinggi perusahaan yang hadir di ruang rapat. Mereka duduk berjajar di meja panjang, menunggu para petinggi dari Salim Group datang. Hari itu akusisi akan berlangsung dan Julian tak bisa berbuat apa-apa meski ia menentang keputusan sang ayah. Ia pikir perusahaan baik-baik saja, tak menyangka jika perusahaan akan runtuh dengan begitu mudah. Satu helaan napas keluar dari mulut Julian. Ia seperti tengah mendapatkan kutukan, kehidupannya tak diberkati. Dan di saat ia tak bisa lagi berambisi, ia tiba-tiba teringat satu nama. "Haedar Ibrahim?" gumam Julian, menyadarkannya dari keterpurukan. "Kenapa Nayra tiba-tiba tanya soal orang itu kalau ingatannya belum kembali?" Julian bertanya-tanya dalam hati. Sebuah panggilan mengalihkan perhatian Julian. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Evelyn. Julian refleks menggaruk keningnya, ia beranjak dan hendak meninggalkan ruang rapat. Tapi sebelum ia menjangkau pintu, pintu terbuka dari luar. Para