Julian duduk termenung di dekat kolam sembari menikmati sebatang rokok. Sebenarnya ia bukan perokok, tapi situasi ini membuatnya frustasi sehingga membutuhkan pelampiasan. Julian tiba-tiba tersenyum tak percaya ketika memikirkan situasi yang terjadi saat ini. "Bajingan itu," gumam Julian. Julian mengedarkan pandangannya dan tak sengaja menemukan Nayra yang berjalan seorang diri. Dari balik kaca transparan, Julian memperhatikan Nayra dengan intens. Tentu saja masih ada sedikit penyesalan di hatinya untuk wanita itu. Bertahun-tahun ia menjaga Nayra, tapi wanitanya justru dirusak oleh orang lain. "Sial, dia masih terlihat cantik," gumam Julian. Nayra berjalan menjauh. Seolah masih belum cukup untuk memandangi Nayra, Julian justru melangkahkan kakinya mengikuti arah yang dituju oleh Nayra. Julian tiba di ambang pintu dapur. Satu langkah ia ambil dan ia bisa melihat Nayra berdiri di balik meja. Tak begitu lama memandangi mantan istrinya yang kini sudah berstatus sebagai kakak iparnya,
Nayra turun kala langit sore mulai membentang. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat Julian berjalan naik. Tak ingin menghindar, Nayra tetap berdiri di tempatnya, membiarkan Julian yang melewatinya. Tapi Julian justru berhenti tepat di sampingnya. "Gimana kabar kamu, Nayra?" tegur Julian, terlihat sangat suram. Nayra mengangguk. "Baik." "Kamu bahagia? Dengan pernikahan kamu?" Nayra kembali mengangguk. Julian tersenyum tipis. "Sepertinya memang cuma aku yang nggak bisa bahagia. Aku pikir bisa membalas kamu setelah menikahi Evelyn. Tapi ternyata Evelyn justru penipu. Jujur, aku menyesal usah melepaskan kamu." "Kamu bisa berhenti bicara tentang masa lalu," sahut Nayra. "Aku tahu aku salah. Tapi kesalahan yang aku perbuat itu karena aku putus asa. Setiap hari, penyesalan ini semakin menyiksa. Aku sadar kalau aku belum siap untuk melepaskan kamu." Nayra bungkam, merasa ucapan Julian konyol. Tapi jika saja ia tidak tahu keburukan Julian sebelumnya, ia pasti akan
Sebuah tangan meraih ponsel yang berada di dalam laci. Sejenak jarinya bergerak di atas layar, menelusuri daftar kontak hingga ia menemukan kontak bernama 'Administrator'. Sebuah panggilan dilakukan. Tangannya terangkat, mendekatkan ponsel itu ke telinga. Tiga minggu sejak insiden kecelakaan, kini Nayra sudah bisa beraktivitas dengan normal. Tapi Damian justru masih berbaring di ranjang dalam keadaan tak sadarkan diri. Setelah bertanya pada John dan mengetahui sedikit identitas dari sang administrator, Nayra mencoba untuk menghubungi orang itu. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi meski saat ini sang sopir truk tengah menjadi buronan polisi. Nayra tak bisa sepenuhnya percaya pada polisi terlebih mereka terkesan tak acuh pada kasusnya. Telepon tersambung dan orang di seberang langsung menyahut. "Masih hidup?" Sebuah pertanyaan yang terdengar sarkas, suara orang itu terdengar masih muda. "Mari kita bertemu," ujar Nayra tanpa basi-basi. "Siapa?" "Istri Damian Sylvester. Saya
Pagi itu Nayra mengunjungi ibunya di kantor. Menjalani harinya tanpa Damian, kini Nayra menjadi wanita yang lebih mandiri. Ia mulai bersikap tegas pada lingkungan tempat ia berada. "Mama sudah dengar." Nadine membuka pembicaraan begitu keduanya duduk berhadapan. "Suami kamu diberhentikan dari jabatannya," lanjut Nadine. Nayra mengangguk. "Kamu menerima begitu saja?" "Memangnya aku harus gimana, Ma. Aku cuma seorang menantu. Damian juga belum siuman. Aku rasa ini juga bukan kemauan papa. Aku pikir Julian juga menekan papa." "Mama mendengar itu dari Pak Raymond, jika suami kamu nggak akrab dengan keluarganya." Nayra kembali mengangguk. "Itu sebabnya grandpa melarang mereka jenguk Damian." "Kamu yang sabar, kamu harus lebih kuat. Mama yakin Damian pasti akan segera siuman. Kamu nggak perlu memikirkan tentang pemecatan suami kamu. Setelah suami kamu pulih, bawa dia ke Salim Group. Sejak awal perusahaan ini adalah milik kamu, Nayra. Kamu sudah cukup ukur dan memiliki suami. Sudah wa
"Psikopat," celetuk Nayra, mengambil alih perhatian si Agen 1 yang terlihat sedikit resah meski ia tampak tenang. "Lo pikir lo jadi orang yang penting di sini?" ujar pria itu. "Jelas bukan, sejak awal kalian berniat menghancurkan suami saya. Sekarang atau bahkan dua puluh satu yang lalu, tujuan kalian sama. Segitu besarnya keinginan kalian untuk mengambil alih Wiratama Group sampai-sampai nyawa orang lain tidak ada harganya lagi." "Jalang ini pinter ngomong juga," gumam pria itu. "Wiratama Group... sepertinya itu menjadi impian kalian. Jadi kamu dengarkan baik-baik. Mulai dari sekarang, saya akan menghancurkan impian kalian. Saya pastikan, Wiratama Group akan menjadi penebusan dari pengorbanan suami saya." "Nyonya Muda itu ternyata keren juga ya, Bos," celetuk si Agen 2. Si Agen 1 tak menyahut, ia tak mengalihkan pandangannya dari Nayra, tak pernah sedetik pun seolah menjaga keselamatan Nayra adalah prioritas utamanya saat ini. "Anda memanggil saya ke sini, itu berarti an
Xander meninggalkan ruang kerja Athena untuk bermain kala ibunya tengah bekerja. Dengan sebuah balon yang diikat pada tali, Xander berlari mengelilingi lantai dua dari bangunan galeri seni tersebut. Karena pada hari-hari biasa seperti ini tidak banyak orang yang berkunjung, Xander bisa bermain dengan bebas. Meski usianya baru dua tahun, Xander termasuk anak yang patuh. Ia dilarang menyentuh barang-barang yang dipajang di sana dan bocah itu menuruti ucapan ibunya. Bocah itu pun hanya akan berputar-putar di lantai dua. Saat tengah berlari, Xander tersandung kakinya sendiri dan jatuh. Balon yang ia bawa pun terlepas dari tangannya dan terbang. "Balon..." ujar Xander. Xander bangkit dan mengejar balonnya yang terbang. Tapi karena terlalu fokus, ia tak sengaja menabrak kaki seseorang yang tengah melihat salah satu lukisan. Xander menatap dengan takut-takut, ia meremas tangannya sendiri dengan kaki yang bergerak kecil. Sedangkan Devan, pria yang baru saja ditabrak oleh Xander meman
Tengah malam itu Veronica menginjakkan kaki di ruang tamu, berniat pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi ia justru melihat Damian tengah duduk di ruang tamu sendirian. Awalnya Veronica berniat mengabaikan Damian, tapi saat kembali, ia justru mendatangi Damian. "Kamu bisa menganggap ini sebagai rumah kamu, tapi kamu juga harus mempedulikan kenyamanan orang lain yang tinggal di sini," tegur Veronica. Damian mengarahkan pandangannya pada Veronica dan menyahut dengan santai. "Orang yang tinggal di sini seharusnya lebih tahu diri dan menghormati pemilik rumah." Veronica menatap tak percaya. "Sampai kapan kamu akan menganggap bahwa kamu berkuasa di sini? Rumah ini bukan apa-apa. Ini hanya rumah tua yang tidak ada nilainya." "Jika begitu kenapa begitu sulit bagi anda untuk angkat kaki dari sini?" sarkas Damian yang sejenak berhasil membungkam Veronica. "Masa jabatan anda sebagai nyonya di rumah ini sudah berakhir, seharusnya anda cukup tahu malu untuk tetap bertahan di sini." V
Sagara membuka pintu kamar dan menemukan Sahira masih terjaga."Belum tidur?""Aku nunggu kamu, Pa."Sebelah alis Sagara terangkat. "Mau bicara sesuatu?"Sahira mengangguk. "Kamu mandi dulu, aku tunggu. Aku udah siapin baju ganti di kamar mandi."Merasa cukup penasaran, Sagara pun bergegas mandi. Kurang dari sepuluh menit Sagara sudah keluar dan sudah mengenakan baju tidur."Kamu mau bicara apa?" Sagara naik ke ranjang menyusul Sahira."Soal Rasya.""Kenapa sama Rasya? Dia mau tanggal pernikahan diundur.""Bukan itu. Valerie, kan liburan ke Batam.""Terus?""Dia ketemu Lira... staycation dengan laki-laki lain."Dahi Sagara mengernyit. "Lira? Lira ada di Batam dengan laki-laki lain? Bukan anak kita?""Kayaknya Valerie sempat berantem sama Lira di Batam. Tadi dia itu datang langsung ngamuk-ngamuk.""Kok bisa-bisanya Lira liburan sama laki-laki lain padahal sebentar lagi akan menikah. Sebentar, handphone papa mana. Biar papa labrak bapaknya!"Sagara bangkit, buru-buru mencari ponselnya u
Sagara membuka pintu kamar dan menemukan Sahira masih terjaga."Belum tidur?""Aku nunggu kamu, Pa."Sebelah alis Sagara terangkat. "Mau bicara sesuatu?"Sahira mengangguk. "Kamu mandi dulu, aku tunggu. Aku udah siapin baju ganti di kamar mandi."Merasa cukup penasaran, Sagara pun bergegas mandi. Kurang dari sepuluh menit Sagara sudah keluar dan sudah mengenakan baju tidur."Kamu mau bicara apa?" Sagara naik ke ranjang menyusul Sahira."Soal Rasya.""Kenapa sama Rasya? Dia mau tanggal pernikahan diundur.""Bukan itu. Valerie, kan liburan ke Batam.""Terus?""Dia ketemu Lira... staycation dengan laki-laki lain."Dahi Sagara mengernyit. "Lira? Lira ada di Batam dengan laki-laki lain? Bukan anak kita?""Kayaknya Valerie sempat berantem sama Lira di Batam. Tadi dia itu datang langsung ngamuk-ngamuk.""Kok bisa-bisanya Lira liburan sama laki-laki lain padahal sebentar lagi akan menikah. Sebentar, handphone papa mana. Biar papa labrak bapaknya!"Sagara bangkit, buru-buru mencari ponselnya u
Tengah malam itu Veronica menginjakkan kaki di ruang tamu, berniat pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi ia justru melihat Damian tengah duduk di ruang tamu sendirian. Awalnya Veronica berniat mengabaikan Damian, tapi saat kembali, ia justru mendatangi Damian. "Kamu bisa menganggap ini sebagai rumah kamu, tapi kamu juga harus mempedulikan kenyamanan orang lain yang tinggal di sini," tegur Veronica. Damian mengarahkan pandangannya pada Veronica dan menyahut dengan santai. "Orang yang tinggal di sini seharusnya lebih tahu diri dan menghormati pemilik rumah." Veronica menatap tak percaya. "Sampai kapan kamu akan menganggap bahwa kamu berkuasa di sini? Rumah ini bukan apa-apa. Ini hanya rumah tua yang tidak ada nilainya." "Jika begitu kenapa begitu sulit bagi anda untuk angkat kaki dari sini?" sarkas Damian yang sejenak berhasil membungkam Veronica. "Masa jabatan anda sebagai nyonya di rumah ini sudah berakhir, seharusnya anda cukup tahu malu untuk tetap bertahan di sini." V
Xander meninggalkan ruang kerja Athena untuk bermain kala ibunya tengah bekerja. Dengan sebuah balon yang diikat pada tali, Xander berlari mengelilingi lantai dua dari bangunan galeri seni tersebut. Karena pada hari-hari biasa seperti ini tidak banyak orang yang berkunjung, Xander bisa bermain dengan bebas. Meski usianya baru dua tahun, Xander termasuk anak yang patuh. Ia dilarang menyentuh barang-barang yang dipajang di sana dan bocah itu menuruti ucapan ibunya. Bocah itu pun hanya akan berputar-putar di lantai dua. Saat tengah berlari, Xander tersandung kakinya sendiri dan jatuh. Balon yang ia bawa pun terlepas dari tangannya dan terbang. "Balon..." ujar Xander. Xander bangkit dan mengejar balonnya yang terbang. Tapi karena terlalu fokus, ia tak sengaja menabrak kaki seseorang yang tengah melihat salah satu lukisan. Xander menatap dengan takut-takut, ia meremas tangannya sendiri dengan kaki yang bergerak kecil. Sedangkan Devan, pria yang baru saja ditabrak oleh Xander meman
"Psikopat," celetuk Nayra, mengambil alih perhatian si Agen 1 yang terlihat sedikit resah meski ia tampak tenang. "Lo pikir lo jadi orang yang penting di sini?" ujar pria itu. "Jelas bukan, sejak awal kalian berniat menghancurkan suami saya. Sekarang atau bahkan dua puluh satu yang lalu, tujuan kalian sama. Segitu besarnya keinginan kalian untuk mengambil alih Wiratama Group sampai-sampai nyawa orang lain tidak ada harganya lagi." "Jalang ini pinter ngomong juga," gumam pria itu. "Wiratama Group... sepertinya itu menjadi impian kalian. Jadi kamu dengarkan baik-baik. Mulai dari sekarang, saya akan menghancurkan impian kalian. Saya pastikan, Wiratama Group akan menjadi penebusan dari pengorbanan suami saya." "Nyonya Muda itu ternyata keren juga ya, Bos," celetuk si Agen 2. Si Agen 1 tak menyahut, ia tak mengalihkan pandangannya dari Nayra, tak pernah sedetik pun seolah menjaga keselamatan Nayra adalah prioritas utamanya saat ini. "Anda memanggil saya ke sini, itu berarti an
Pagi itu Nayra mengunjungi ibunya di kantor. Menjalani harinya tanpa Damian, kini Nayra menjadi wanita yang lebih mandiri. Ia mulai bersikap tegas pada lingkungan tempat ia berada. "Mama sudah dengar." Nadine membuka pembicaraan begitu keduanya duduk berhadapan. "Suami kamu diberhentikan dari jabatannya," lanjut Nadine. Nayra mengangguk. "Kamu menerima begitu saja?" "Memangnya aku harus gimana, Ma. Aku cuma seorang menantu. Damian juga belum siuman. Aku rasa ini juga bukan kemauan papa. Aku pikir Julian juga menekan papa." "Mama mendengar itu dari Pak Raymond, jika suami kamu nggak akrab dengan keluarganya." Nayra kembali mengangguk. "Itu sebabnya grandpa melarang mereka jenguk Damian." "Kamu yang sabar, kamu harus lebih kuat. Mama yakin Damian pasti akan segera siuman. Kamu nggak perlu memikirkan tentang pemecatan suami kamu. Setelah suami kamu pulih, bawa dia ke Salim Group. Sejak awal perusahaan ini adalah milik kamu, Nayra. Kamu sudah cukup ukur dan memiliki suami. Sudah wa
Sebuah tangan meraih ponsel yang berada di dalam laci. Sejenak jarinya bergerak di atas layar, menelusuri daftar kontak hingga ia menemukan kontak bernama 'Administrator'. Sebuah panggilan dilakukan. Tangannya terangkat, mendekatkan ponsel itu ke telinga. Tiga minggu sejak insiden kecelakaan, kini Nayra sudah bisa beraktivitas dengan normal. Tapi Damian justru masih berbaring di ranjang dalam keadaan tak sadarkan diri. Setelah bertanya pada John dan mengetahui sedikit identitas dari sang administrator, Nayra mencoba untuk menghubungi orang itu. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi meski saat ini sang sopir truk tengah menjadi buronan polisi. Nayra tak bisa sepenuhnya percaya pada polisi terlebih mereka terkesan tak acuh pada kasusnya. Telepon tersambung dan orang di seberang langsung menyahut. "Masih hidup?" Sebuah pertanyaan yang terdengar sarkas, suara orang itu terdengar masih muda. "Mari kita bertemu," ujar Nayra tanpa basi-basi. "Siapa?" "Istri Damian Sylvester. Saya
Nayra turun kala langit sore mulai membentang. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat Julian berjalan naik. Tak ingin menghindar, Nayra tetap berdiri di tempatnya, membiarkan Julian yang melewatinya. Tapi Julian justru berhenti tepat di sampingnya. "Gimana kabar kamu, Nayra?" tegur Julian, terlihat sangat suram. Nayra mengangguk. "Baik." "Kamu bahagia? Dengan pernikahan kamu?" Nayra kembali mengangguk. Julian tersenyum tipis. "Sepertinya memang cuma aku yang nggak bisa bahagia. Aku pikir bisa membalas kamu setelah menikahi Evelyn. Tapi ternyata Evelyn justru penipu. Jujur, aku menyesal usah melepaskan kamu." "Kamu bisa berhenti bicara tentang masa lalu," sahut Nayra. "Aku tahu aku salah. Tapi kesalahan yang aku perbuat itu karena aku putus asa. Setiap hari, penyesalan ini semakin menyiksa. Aku sadar kalau aku belum siap untuk melepaskan kamu." Nayra bungkam, merasa ucapan Julian konyol. Tapi jika saja ia tidak tahu keburukan Julian sebelumnya, ia pasti akan
Julian duduk termenung di dekat kolam sembari menikmati sebatang rokok. Sebenarnya ia bukan perokok, tapi situasi ini membuatnya frustasi sehingga membutuhkan pelampiasan. Julian tiba-tiba tersenyum tak percaya ketika memikirkan situasi yang terjadi saat ini. "Bajingan itu," gumam Julian. Julian mengedarkan pandangannya dan tak sengaja menemukan Nayra yang berjalan seorang diri. Dari balik kaca transparan, Julian memperhatikan Nayra dengan intens. Tentu saja masih ada sedikit penyesalan di hatinya untuk wanita itu. Bertahun-tahun ia menjaga Nayra, tapi wanitanya justru dirusak oleh orang lain. "Sial, dia masih terlihat cantik," gumam Julian. Nayra berjalan menjauh. Seolah masih belum cukup untuk memandangi Nayra, Julian justru melangkahkan kakinya mengikuti arah yang dituju oleh Nayra. Julian tiba di ambang pintu dapur. Satu langkah ia ambil dan ia bisa melihat Nayra berdiri di balik meja. Tak begitu lama memandangi mantan istrinya yang kini sudah berstatus sebagai kakak iparnya,
"Mama! Mama!!!" Julian berteriak saat memasuki rumah, membuat Veronica datang dengan langkah terburu-buru. "Julian, ada apa?" "Papa benar-benar keterlaluan, Ma! Keterlaluan!" Julian kembali berteriak melampiaskan amarahnya. "Ceritakan ke mama, ada apa sebenarnya?" "Di kantor, Ma. Papa tadi mengumumkan kalau Damian naik jabatan menjadi Wakil Presdir!" Veronica terperangah. "Gila, kan, Ma! Setelah rumah, sekarang perusahaan. Sekalian aja kasih semuanya ke orang cacat itu. Aku jadi kayak nggak guna. Padahal aku yang udah bantuin papa selama ini. Tapi aku nggak dianggap sama sekali." "Itu hanya pemikiran kamu," Suganda menyahut dari belakang. Ia menghampiri anak serta istrinya. "Mas, kamu jangan keterlaluan. Dulu kamu menelantarkan Damian, tapi kenapa sekarang justru kamu sanjung-sanjung seolah-olah kamu hanya punya satu anak." "Itu tidak benar. Papa punya alasan atas tindakan papa." "Alasan apa, Pa? Alasan karena Papa kasihan dengan anak Papa itu?" sarkas Julian. "Jika papa t