Arzan balas tersenyum sambil menyodorkan sebelah tangan, disusul Nafisa yang langsung dipeluk oleh Mariam. “Ayo, masuk. Adik-adikmu sudah tak sabar menunggu.”
“Kayak mau ngapain aja ditungguin,” seloroh Arzan, bercanda.
“Ya, makanlah. Mereka udah kelaparan,” timpal Mariam sambil tergelak pelan. “Kalian juga belum makan, 'kan?”
Sambil berjalan masuk, keduanya mengangguk.
“Tuh, kan? Makanya ayo!” Mariam tak cukup sabar sambil menggiring Nafisa yang mengulum senyum.
“Iya, iya, Bu.”
Arzan yang lebih dulu berjalan pun sampai di ruang keluarga. Kedatangannya langsung disambut oleh kegaduhan yang diciptakan Fitri dan Aisyah. Kedua adiknya itu melontarkan godaan demi godaan, sampai membuat Arzan merasa kebal. Namun, tidak untuk Nafisa. Dia justru tersipu malu, setiap kali dijuluki pengantin baru.
“Kalian, kalau kebelet nikah, cari jodoh sana!” balas Arzan, tak
Nafisa bangun dari tidurnya, mengerjap-ngerjap sebelum membuka mata perlahan. Setelah menyadari ada di mana ia sekarang, dadanya naik-turun mengingat betapa hasrat teramat dahsyat di tengah hujan lebat semalam. Tidak ada yang terlewat, semua berputar dalam ingatan, selayaknya sebuah rekaman film.Bibir tipisnya melengkung manis kala melihat Arzan yang masih tertidur pulas. Lelaki di sampingnya itu pasti merasa lelah. Sampai tak sadar, sudah berulang kali hidungnya dimainkan jemari lentik Nafisa. Sadar akan waktu yang terus berjalan, Nafisa menepuk-nepuk pipi Arzan sampai terbangun. Lelakinya itu mengejap, langsung membuka mata.“Sayang, dah bangun?” Arzan mengusap wajahnya kasar sambil menghela napas perlahan.“Huum. Bentar lagi Subuh.” Nafisa menyeringai. “Aku mau mandi, tapi malu.”“Kenapa? Ibu sama ayah belum bangun, kayaknya. Mandi aja.”“Takut.”Arza
“Bukan hidup namanya kalau tanpa cobaan. Tapi, biarkan itu menjadi bumbu dalam masakan, layaknya makanan sehari-hari.”***Sejak awal, anak dari pasangan Laksmi dan Asep itu sudah menduga. Ibunya akan berlaku sama, walau ia adalah anak perempuan satu-satunya. Menuntut, seperti pada kakak-kakaknya yang memilih pergi, untuk memberi sedikit jarak dengan orang tua kedua belah pihak. Sebab konon katanya, saat dekat akan berbau pekat, dan saat jauh akan beraroma lezat.Sekarang, tuntutan itu sudah berlaku untuknya juga. Laksmi tidak mengizinkan Nafisa tinggal selain di rumahnya yang sederhana, walau sekadar menginap di rumah ibu mertua. Sekalipun ia pergi karena ingin menuruti keinginan suami, pada akhirnya, Laksmi akan datang ke sana untuk menjemput Nafisa pulang.Sepeti pagi ini, saat Nafisa lagi-lagi menginap atas permintaan Arzan, ibunya datang dengan ojek pengkolan yang sudah jadi langganan. Dengan alasan di rumah kesepian, juga sakit yang memb
Arzan sampai di halaman rumah Laksmi. Langkahnya lambat begitu turun dari motor yang diparkirkan terlebih dulu di samping teras. Raut wajah yang biasa semeringah tampak sedikit masam dengan pakaian kusut tak beraturan.Diketuknya pintu rumah berbahan kayu jati berkualitas tinggi itu sambil mengucap salam, lalu dijawab salam oleh Laksmi yang langsung membuka pintu. “Eh, Jang Arzan. Sok, kaleubeut,” titahnya sambil bergeser, memberi lebih banyak ruang untuk Arzan.Arzan yang tak kuat menahan lelah pun mengangguk, lalu melangkah masuk tanpa sepatah kata. Ia ingin segera mandi dan salat sebelum beristirahat, melepas penat setelah seharian bekerja dengan jumlah pelanggan jauh lebih banyak dari kemarin. Namun, begitu tangannya mendorong pintu kamar, ia berlonjak kaget.“Neng!” serunya sambil berjalan, setengah melompat saking takutnya kalau terjadi apa-apa pada Nafisa.Diraihnya kepala Nafisa sebelum ia letakkan di kedua paha. “Nen
“Neng belum makan?” Arzan menyelidik, menatap Nafisa yang sudah beralih menatapnya kembali. Wanitanya itu menggeleng.“Dia itu bandel. Sudah ibu suruh makan, tapi malah nggak mau.” Laksmi bersungut-sungut. “Apalagi dia kan capek, tuh, abis bantu-bantu di pasar. Pasti droplah. Tubuhnya memang nggak sekuat yang terlihat.”“Kenapa bisa nggak sekuat yang terlihat, Bu? Neng pernah sakit apa?” Arzan beralih, memperhatikan ibu mertuanya.“Ya, itu. Nggak bisa dibawa capek. Jadi, lain kali nggak perlu diajak pergi ke pasar!”“Bu!” bentak Asep, tak enak hati dengan sikap istrinya itu.“Lah, iya, Pak. Nafisa memang nggak bisa capek, kan? Bapak tahu sendiri kalau tekanan darah si Neng juga selali rendah, sampe sering bikin dia sakit kepala karena pusing?”“Iya, tapi nggak ada hubungannya sama pergi ke pasarlah. Hari ini, kan, dia di rumah.”“Suda
“Melaju laksana menantang badai. Begitulah seharusnya dirimu, setiap kali ada masalah datang.”***Satu dua hari telah berlalu setelah masa sakit Nafisa. Minggu ke minggu bahkan terasa merangkak cepat walau hampir setiap waktu berhadapan dengan keegoisan ibunya. Di bulan ketiga pernikahan, Arzan dan Nafisa masih tinggal di rumah Laksmi, walau tak jarang pergi menginap ke rumah Mariam saat bulan Ramadan kemarin, dengan atau tanpa izin dari ibunya itu.Nafisa ataupun Arzan tak pernah terlalu serius saat menanggapi kekesalan Laksmi. Pura-pura tak tahu, walau dengan jelas Laksmi tunjukkan ketidakridaannya saat Nafisa pergi mengunjungi mertua.Alasannya masih sama. Selain karena kesepian, terang-terangan Laksmi bicara soal kerugiannya sebagai orang tua. Ia yang membesarkan anak-anaknya dengan biaya tak terhitung, tapi saat sudah dewasa justru pergi untuk berbakti pada orang lain.Seperti hari ini, Laksmi pun
“Kemarin, Aa pikir cuma demam biasa. Tahunya parah.”“Ya, sudah. Kalian pergi menginap saja di sana. Kasihan kalau ibumu nggak ada yang ngurus, Jang.” Asep yang baru selesai makan memberi komentar.“Nggak ada yang ngurus gimana? Bu Mariam itu anaknya ada di rumah dua, perempuan pula. Nggak perlulah Nafisa harus segala nginep di sana! Kalau Arzan mau nginep, ya nginep sendiri.”“Astagfirullah, Bu!” seru Asep, tak lagi dapat menahan marah. “Kamu itu kayak nggak ngerasain perasaan seorang ibu dan anak.”“Apa, sih, Pak? Arzan pulang karena mau ngurus ibunya, ‘kan? Lah, Nafisa kan harus ngurus ibu juga di sini.”“Tapi, ibunya Arzan itu sakit, Bu. Ngaco kamu!” Tatapan masam Asep berubah tajam, setelah mendengar penjelasan Laksmi yang semakin diada-adakan.
Arzan mengangguk, menyerahkan jeruk yang sebelumnya ia kupas terlebih dulu. Lalu, setelah melihat Mariam memakannya dengan begitu lahap, ia meraih ponsel dari saku celana. Buru-buru ia mengetik sebuah pesan, kalau dirinya sudah sampai. Pesan terkirim, tapi tak kunjung Nafisa buka.[Neng?] Pesannya lagi.Tak kunjung dibaca juga, buru-buru Arzan menekan tombol hijau. Panggilan telepon tersambung cepat, walau akhirnya tetap tak mendapatkan jawaban. Khawatir, ia yang semula duduk tenang berubah gusar. Takut, kalau sampai terjadi sesuatu pada istrinya seperti tempo lalu.Namun, baru saja Arzan hendak menelepon, Nafisa meneleponnya lebih dulu.[Halo, A. Assalamualaikum.]Arzan bernapas lega sebelum menjawab salam. Itu artinya, ia hanya terlalu cemas menanggapi pesannya yang telat dibalas.[Maaf, A. Barusan Neng lagi ngaji.][Wah, Aa ganggu, dong.]Arzan melirik ibunya barang sebentar, seolah memberi kode kalau ia harus keluar dulu un
“Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi. Maka, senangilah apa yang terjadi.” –Ali bin Abi Thalib.***“Neng, kapan datang? Emang ibu ngasih izin? Terus, ke sini sama siapa?” cecarnya dengan serentetan pertanyaan, begitu menoleh dan mendapati Nafisa di Belakangnya. Membuat Nafisa yang sedari tadi berdiri itu tersenyum sambil melangkah maju.Arzan menyapu wajahnya sekali lagi. Lalu melirik jam, waktu sudah menunjukkan pukul enam pas.“Kira-setengah enam, A.” Nafisa duduk di sisi ranjang, disusul Arzan setelah mengangkat dan melipat sajadahnya. “Soal ibu, ya gitu. Tapi, kan Neng istri Aa. Masa nggak boleh datang ke sini? Neng nekat aja, terus naik ojek.”“Loh? Hm. Iya juga, sih.” Arzan menyengir, lalu menyimpan lipatan sajadah di sisi ranjang yang lain. “Tapi, kenapa nggak langsung masuk ke sini? Tadi, Aa hampir kesiangan.”“Lah. Neng langsung ke kamar ibu, dong. Kan
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me