MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.
Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.
“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.
“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”
“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”
“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.
Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.
“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.
Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Harta ataupun rupa tidak selalu menjadi tolak ukur manusia, pada siapa mereka akan tanamkan rasa.”*****“Gimana kalau pernikahan anak kita segera dilaksanakan, Bu Mariam?”Laksmi, ibu dari tiga anak lelaki dan satu perempuan itu mengajukan usul setelah beberapa menit duduk berdua di ruang tamu dengan Mariam, ibu dari satu anak lelaki dan dua anak perempuan.Sebenarnya, ini bukan kali pertama Laksmi mendatangi rumah mewah berlantai dua itu. Sudah sering sejak terjalinnya hubungan antara anak mereka beberapa bulan yang lalu. Namun, keluarga Mariam belum juga menyanggupi apa yang dia ingin perihal kapan dilaksanakannya pernikahan.Hening. Ruang tamu berukuran 4x4m itu seolah senyap, sampai hanya terdengar suara kipas duduk menyala yang terletak di samping lemari kaca berisi pernak-pernik berbentuk hewan dari keramik. Mariam menghela napas sambil beringsut, tapi belum juga membuka mulut setelah beberapa detik Laksmi me
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me