“Harta ataupun rupa tidak selalu menjadi tolak ukur manusia, pada siapa mereka akan tanamkan rasa.”
*****
“Gimana kalau pernikahan anak kita segera dilaksanakan, Bu Mariam?”
Laksmi, ibu dari tiga anak lelaki dan satu perempuan itu mengajukan usul setelah beberapa menit duduk berdua di ruang tamu dengan Mariam, ibu dari satu anak lelaki dan dua anak perempuan.Sebenarnya, ini bukan kali pertama Laksmi mendatangi rumah mewah berlantai dua itu. Sudah sering sejak terjalinnya hubungan antara anak mereka beberapa bulan yang lalu. Namun, keluarga Mariam belum juga menyanggupi apa yang dia ingin perihal kapan dilaksanakannya pernikahan.Hening. Ruang tamu berukuran 4x4m itu seolah senyap, sampai hanya terdengar suara kipas duduk menyala yang terletak di samping lemari kaca berisi pernak-pernik berbentuk hewan dari keramik. Mariam menghela napas sambil beringsut, tapi belum juga membuka mulut setelah beberapa detik Laksmi menunggu.Bukan karena tak cukup siap untuk melangsungkan pernikahan yang memang sudah diinginkan anak lelakinya. Akan tetapi, sebagai orang tua, ada banyak hal yang harus Mariam pertimbangkan selain perasaan bernama cinta. Terlebih karena hubungan anak-anak mereka yang baru terjalin beberapa bulan, itu pun hanya lewat sebuah telepon. Namun, mengingat dari seberapa sering Laksmi datang berkunjung, Mariam kadung menerima apa yang selalu Laksmi bawa sebagai oleh-oleh. Ia pun tak cukup hati kalau sampai harus menolak niat baik dari seseorang.“Sejak mendiskusikan masalah ini Minggu kemarin, belum ada keputusan apa-apa yang bisa saya katakan saat ini, Bu Laksmi.” Mariam menjawabnya setelah beberapa saat terdiam, memikirkan kata yang pas agar tak menyinggung wanita tua di hadapannya. Ia menyandarkan bahunya pada sandaran kursi setelah sedari tadi duduk tegak di sana.“Tidak baik menunda-nunda pernikahan, Bu Mariam. Apalagi kalau anak-anak kita sudah saling suka.”Laksmi tak begitu saja menyerah. Ia tetap meyakinkan Mariam sambil sesekali menoleh mengamati isi ruangan. Tempat itu masih sama seperti beberapa waktu lalu saat ia datang membawa ubi dan singkong. Sebuah bingkai cantik berisi foto satu keluarga besar terpajang di dinding, juga hiasan yang berjejer rapi dalam lemari kaca di bawahnya.“Saya mah terserah anak-anak, Bu. Kalau memang mereka ingin segera menikah, ya, nikahkan,” timpal Mariam sambil berdeham. “Tapi sejauh ini, anak saya belum membicarakannya. Mungkin, dia masih butuh waktu untuk berpikir.”“Alhamdulillah, kalau dari pihak saya, semua sudah sepakat untuk segera melaksanakan pernikahan jika memang ada jodohnya,” tutur Laksmi menjelaskan. Ia memang sudah membicarakan masalah pernikahan dengan suami juga anak-anaknya yang ada di perantauan. “Itu kenapa, saya ingin cepat-cepat mendapatkan jawaban.”“Insya Allah. Biar nanti saya bicarakan lagi dengan keluarga, Bu Laksmi. Sekarang, suami dan anak-anak saya, kan, belum pulang. Mereka baru saja berangkat pergi ke pasar.”Sambil menjawab Mariam kembali mengubah posisi duduk, tegak setelah tadi bersandar di kursinya yang empuk. Kedua tangannya lantas bertaut, bertumpu di antara kedua paha yang tertutup gamis biru bercorak bunga-bunga kecil berwarna-warni. Ia menghela napas sambil menyuruh Laksmi untuk mencicipi suguhan. Ada beberapa potong bolu di piring, juga segelas air teh tawar panas di meja.Laksmi mengangguk, mengiyakan walau akhirnya hanya menyeruput air yang masih terasa panas di lidah. Obrolan demi obrolan kemudian terlontar. Keduanya menceritakan banyak hal tentang kebiasaan anak-anak mereka sampai mencipta tawa, bahkan membuat Mariam sedikit bernostalgia. Dia ingat betul, kalau anak lelaki satu-satunya itu pemalu sedari kecil. Membuat ia harus mengantar dan menunggu anaknya saat masuk sekolah dasar selama setahun penuh.“Duh, nggak kerasa udah siang aja ini. Saya kebanyakan ngobrol sepertinya, Bu Mariam.” Laksmi bergeser, sedikit lebih maju dari posisi duduk semula sambil meletakkan kantong keresek yang sedari tadi di pangkuannya ke meja. “Saya pamit pulang dulu, Bu. Ini, ada sedikit beras ketan, barang kali mau membuat bubur.”“Nggak apa-apa, Bu Laksmi. Saya justru senang, dan malah merepotkan sepertinya.” Mariam menerima kantong keresek berisi ketan itu dengan sedikit ragu, tak enak hati karena Laksmi selalu tak pernah datang dengan tangan kosong. Namun, menolak rezeki pun tak mungkin ia lakukan.“Merepotkan apa, Bu? Saya hanya ingin berbagi supaya keluarga Bu Mariam mencicipi sedikit rezeki yang saya punya.” Laksmi balas tersenyum. “Terima kasih atas waktunya, Bu. Dan saya tunggu keputusan pernikahan anak-anak kita secepat mungkin.”Mariam yang duduk di hadapannya mengangguk pelan, lalu menyusul saat Laksmi tiba-tiba berdiri. Sambil tersenyum tipis ia berterima kasih, tanpa menjanjikan tentang kapan ia akan memberi keputusan. “Jangan sampai kapok untuk datang ke sini lagi, Bu Laksmi.” Lanjutnya seraya melangkah maju, mengantar tamunya itu ke luar.Selesai bersalaman, Laksmi pun pergi meninggalkan rumah Mariam dengan harapan, rencana pernikahan anak mereka akan segera dilaksanakan. Ia tak begitu sabar menunggu, ingin segera melepas anak gadisnya pada seorang pemuda yang terkenal baik di masyarakat.Yaitu Arzan, pemuda tulen berdarah Sunda yang memiliki wajah tampan, bertubuh sedang dengan kulit ibarat seputih susu. Janggutnya tumbuh tipis, tetapi tidak dengan kumis di atas bibir. Matanya bermanik hitam, lengkap dengan alis melengkung tebal seperti ulat bulu.Lelaki usia dua puluh enam tahun itu menghabiskan masa remaja di pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Beda desa, tetapi masih satu kecamatan. Mulai dari belajar sampai mengajar, lalu keluar karena harus membantu usaha Farhat, ayahnya, di pasar Ciranjang sebagai pedagang bahan-bahan kue dan plastik. Sedangkan saat malam, ia mengisi waktunya dengan mengajari anak-anak mengaji di masjid dekat rumah.Setidaknya, itulah yang pertama kali membuat Laksmi tertarik saat Arzan menjadi bahan obrolan ibu-ibu pedagang yang kerap berbelanja di toko Farhat empat bulan lalu. Mereka sering kali memuji ketampanan, keramahan dan kepintaran yang dimiliki Arzan. Membuat Laksmi akhirnya penasaran, lalu mulai menjadi pelanggan di toko Farhat walau yang dibelinya hanya sekadar bahan-bahan kue.Dari sana, mulailah Laksmi merancang sebuah rencana. Ia meminta nomor telepon Arzan sebagai langkah pertama, dengan alasan akan menghubungi Arzan kalau-kalau ada barang yang dibutuhkan. Sebab bukan hanya Laksmi yang kerap meminta nomor untuk urusan perbelanjaan, Arzan pun tanpa segan langsung mencatat nomor ponselnya di dalam selembar kertas, lalu menyerahkannya dengan begitu ramah. Laksmi bersorak senang di dalam hati. Betapa ingin agar Arzan menjadi suami Nafisa, anak bungsunya.Dua minggu berselang, setelah bahan demi bahan kue sering kali Laksmi beli dari toko Farhat, ia mulai menyuruh Nafisa untuk mengirim pesan berisi daftar pesanan dengan alasan tak punya pulsa sebagai langkah kedua. Tanpa berpikir panjang, ia kerap menuliskan bahan yang diperlukan, lalu mengirimkan pesannya itu atas nama ibunya.Tak berapa lama sejak Nafisa sering mewakili Laksmi untuk mengirim pesan, Arzan mengajaknya berkenalan dengan alasan ingin menyimpan nomor yang masih tak bernama. Tanpa merasa ragu, Nafisa pun menerima niat baik seseorang yang baru saja dikenalnya itu untuk berteman. Ia sedikit merasa senang karena memang tak mempunyai banyak teman.Sejak saat itu, hubungan Arzan dan Nafisa semakin dekat walau hanya saling berbalas pesan. Mereka kerap menceritakan banyak hal termasuk pengalaman masing-masing sewaktu masih belajar dan mengajar ngaji di pesantren. Tak jarang, obrolan keduanya bernada candaan. Membuat Nafisa sering kali tersenyum-senyum sambil membaca pesan, begitu juga Arzan sampai membuat orang tuanya terheran-heran.Arzan yang belum mempunyai pasangan pun seolah kian tertarik, lalu diam-diam menaruh rasa walau sama sekali tak mempunyai gambaran tentang bagaimana Nafisa. Ia menyukainya, mengagumi caranya yang asyik setiap kali berkomunikasi. Yakin atas perasaannya, ia berusaha memberanikan diri setelah beberapa lama menimang-nimang untuk bicara sekaligus memastikan perasaan gadis berdarah Sunda itu, barangkali memang sudah mempunyai tambatan hati.Namun kenyataannya, Nafisa memang seorang gadis tanpa kekasih. Bahkan belum pernah menjalin hubungan, lebih dari sekadar persahabatan selain cinta monyet saat masih di bangku sekolah dasar dulu. Ia pun mempunyai perasaan yang sama, diam-diam menaruh rasa.Terlalu senang, Nafisa langsung beranjak bangun dari ranjang, menghampiri Laksmi yang tengah membuat adonan kue kering di dapur. Dia duduk berjongkok dengan napas terengah-engah, lalu menceritakan Arzan yang baru saja mengatakan perasaannya. “T-tapi, aku nggak lagi mimpi, kan? Kok, tiba-tiba gitu? Maksudku ... dia, kan, belum tahu rupaku?”“Ini namanya jodoh,” timpal Laksmi sambil tersenyum senang karena ternyata, usahanya untuk membuat mereka jatuh cinta tak sia-sia.“Bu?”Suara jantan tiba-tiba mengejutkannya. Membuat Laksmi terperanjat dan menoleh seraya tersenyum datar. Ia menghela napas “Ya?” tanyanya kemudian.“Ojek?”***Seminggu sudah Mariam melaksanakan salat istikharah. Pun dengan Farhat dan Arzan demi meyakinkan diri perihal pernikahan yang diusulkan keluarga Nafisa. Saat ini, ia yang sedari awal mencintai gadis desa berdarah Sunda itu sudah mengantongi satu jawaban pasti. Sudah cukup mantap, walau belum pernah bertemu, apalagi bertatap muka secara langsung dengan pujaannya. Ia hanya meyakini apa yang dirasa olehnya, kalau Nafisa memang perempuan soleha, baik, hangat dan bahkan penurut. Cocok untuk dijadikan istri, seperti apa yang diinginkannya selama ini.
“Sudah dipikirkan dengan matang, Nak?”Di ruang makan, Mariam, ibunya yang selalu tampak awet muda itu bertanya dengan intonasi serius begitu Arzan memberitahu perihal keputusan tentang keinginannya untuk menikahi Nafisa. Takut, kalau sampai anaknya itu merasa terburu-buru.“Ayah harap, kamu sudah membolak-balikan apa yang kamu putuskan itu, Zan,” timpal Farhat, usai melahap sesendok nasi di tengah-tengah keluarga yang juga menikmati makan malamnya.Sementara Arzan mengangguk, kedua adiknya—Fitri dan Aisyah—menyimak dan memperhatikan obrolan sambil menyantap makanan lezat di meja. Mereka ingin yang terbaik pula untuk kakak lelaki satu-satunya itu.“Kalau begitu, kita harus segera memberi tahu keluarga Nafisa, Zan. Terus putuskan, kira-kira tanggal dan bulan berapa kalian akan menikah?” Farhat, ayahnya itu menambahkan sambil mengaduk nasi yang baru saja ia tuangi sesendok sayur tahu kuah santan.“Sebenarnya, aku dan Nafisa pernah membicarakan masalah tanggal. Ya ... walaupun tadinya hanya iseng, tapi sepertinya pas kalau acara pernikahan itu dilaksanakan bersamaan dengan tanggal lahirnya, Yah.”“Kapan?” sela Mariam. Ia tak cukup sabar. Tatapannya yang semula fokus ke nasi dalam piring, beralih pada Arzan yang justru asyik mengunyah.“Enam belas Mei, Bu.” Arzan menyeringai, sebelum akhirnya kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.“Wah, cocok!” seru Farhat, “bulan Mei nanti ayah dapat arisan.”“Oh, iya. Lumayan buat tambah-tambah, Yah.” Mariam berkomentar sambil meletakan gelas yang baru saja selesai ia minum isinya. “Kalau begitu, besok kita harus pergi ke sana, gimana?”Serempak, semuanya pun mengangguk antusias. Lantas, satu per satu kembali fokus pada apa yang sedang mereka makan. Ada ikan mas, sayur tahu dan jengkol goreng yang dipasak Mariam sebagai menu makan malam mereka.“Besok, sebaiknya kamu beli cincin dulu, Nak. Biar sekalian lamaran aja, ya, kan, Yah?” Mariam menoleh, melihat ke arah Farhat yang duduk di sebelahnya dengan mulut masih mengunyah. Ia tersenyum tipis.Sekali lagi Farhat mengangguk, setuju dengan apa yang diusulkan istrinya itu. Sedangkan Arzan yang baru saja selesai makan langsung pamit, undur diri untuk segera pergi ke kamar. Namun, bahagia yang dirasanya tak bisa disembunyikan. Terlihat jelas dari ekspresi , juga aura positif yang terpancar dari raut wajahnya.Arzan segera meraih ponsel di meja begitu sampai di kamarnya yang cukup besar, lalu mengirim sebuah pesan singkat pada Nafisa tentang apa yang direncanakan keluarganya sambil tersenyum. Lama menunggu pesan balasan, Arzan pun meletakkan kembali ponsel itu di sana.Ia menengadahkan wajah dengan kedua tangan bertumpu di meja, tempatnya meletakan Al-Quran dan beberapa kitab. Refleks jemarinya bergerak, mengetuk-ngetuk alas meja sampai mencipta bunyi “tok-tok-tok” di tengah keheningan malam.Sementara jauh dari tempatnya berdiri, Nafisa seketika berlonjak senang. Membuat ia terduduk dari tidurnya, lalu menarik napas perlahan sebelum akhirnya berlari untuk menemui ibu juga ayahnya yang tengah menonton acara televisi di ruang tengah. Ia duduk bersila dengan napas terengah-engah.“Ada apa, Neng, sampai mengos-ngosan gitu?” Asep, ayah Nafisa, yang duduk bersila di lantai beralas karpet plastik dengan kain sarung membungkus setengah dari badannya. Alis lelaki tua itu bertaut, menatap heran anaknya yang tersenyum-senyum sambil mengatur napas. Ia menyesap rokok yang terselip di antara jari tengah dan telunjuk, lalu mengembuskannya sampai mengepul ke udara. Nafisa yang tak kuat menahan asap mengipas-ngipasi area hidung karena terbatuk-batuk.“Iya, kenapa, sih?” timpal Laksmi. Ia yang semula fokus ke layar TV, berubah haluan sampai menghadap Nafisa yang baru saja selesai menghela napas.“Ini.” Nafisa menjeda seraya menelan ludah. “Aa bilang, besok mau datang untuk melamar.”“Melamar?” Laksmi tak percaya, terbelalak sambil mengulang apa yang dikatakan Nafisa sebagai pertanyaan. Anaknya itu mengangguk antusias, tersenyum dengan tatapan haru. “Terus, terus?”“Neng belum jawab, Bu. Tadi keburu senang dan langsung ke sinu.” Nafisa menyeringai, lalu membuka kunci ponsel sebelum menunjukkan pesan terakhir Arzan.“Wah, cepat bilangin iya gitu.” Laksmi menyengir sambil menoleh ke arah Asep. “Alhamdulillah, kan, Pak?”“Iya, alhamdulillah, Bu,” timpal Asep balas tersenyum. Rokok yang semula masih dapat diisap tak lagi ada di tangannya, ia matikan dengan menekankan apinya di dinding asbak. “Kasih tahu kakak-kakakmu jangan lupa, Neng. Ini kabar baik, mereka perlu tahu walau nggak mungkin bisa datang mendadak.”Nafisa mengangguk-angguk, mengiyakan titah ayahnya. Namun, sebelum itu ia harus membalas pesan Arzan terlebih dulu, memastikan keyakinan lelaki yang belum pernah melihatnya sekali lagi.[Sebelum Neng mengiyakan, yakin nggak kalau Aa mau melamar? Neng tidak secantik perempuan kebanyakan. Bukan pula anak dari keluarga berada, loh.] Pesan terkirim.Arzan yang masih berdiri di sisi meja kamarnya langsung membuka pesan balasan. Ia tersenyum, melangkah mundur sebelum duduk di tepi ranjang. Kedua tangannya memegang ponsel yang mulai meredup, berpikir, kata apa yang pas untuk meyakinkan Nafisa.Ia membuka pola ponsel, lalu mulai mengetik. [Harta atau rupa tidak selalu ciptakan rasa. Tapi hati yang tulus, sudah pasti bisa meluluhlantakkan kepala batu sekalipun. Begitu juga dengan perasaanku. Harta dan rupa tidak menjadi tolak ukur, pada siapa aku harus labuhkan rasa.]“Lelaki sejati tak kan pernah merasa takut, atau mundur saat mendapatkan ancaman. Entah itu berupa kekerasan, ataupun hanya sekadar pertanyaan yang menyudutkan pilihan.”***Arzan berdiri tegak di depan sebuah cermin yang memantulkan seluruh badan. Sambil menyisir rambut berantakannya ia tersenyum lebar, lalu mengatur napas agar tak terlalu tegang saat menjalani acara lamaran nanti. Aura positif kemudian terpancar, membuatnya semakin terlihat tampan dengan kemeja biru muda bertangan panjang yang ia pakai.“Nak,” panggil Mariam sambil membuka pintu. Dilihatnya anak lelaki yang ia sayangi itu menoleh sambil tersenyum. “Sudah siap?”“Ya, Bu. Insya Allah.”Arzan mengangguk antusias sebelum akhirnya berbalik badan membelakangi cermin, lalu melangkah cepat menghampiri Mariam yang masih berdiri di ambang pintu. Digandengnya tangan wanita paruh baya yang memakai
“Bukan hanya cinta yang akan membuat pernikahan kian sempurna. Akan tetapi tulusnya hati, untuk menerima setiap kekurangan pasangan.”Sudah dari tiga hari lalu kediaman Mariam ramai oleh orang-orang yang tak lain adalah para tetangga juga sanak saudara. Mereka sengaja datang untuk membantu mempersiapkan segala keperluan acara syukuran sebelum pernikahan. Mulai dari membuat berbagai jenis kue, termasuk bugis dan kue ali sebagai makanan khas di Jawa Barat. Setidaknya sampai tadi malam, saat acara syukuran selesai dilaksanakan.Namun sekarang, begitu pagi menjelang, keramaian bukan lagi karena harus membuat berbagai jenis makanan. Mereka sibuk mempersiapkan diri, memakai pakaian hasil sewaan dengan warna senada: Kebaya biru muda, dipadu padankan dengan kain sinjang batik cokelat yang menyerupai rok setumit.Farhat dan Mariam saling membantu saat merapikan pakaian. Begitu juga Fitri dan Aisyah yang saling memoles wajah dengan setu
“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan.Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaa
“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan."***Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak t
"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."***Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam.Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya u
"Segala upaya dilakukan, hanya demi sebuah perasaan!"***Tiga hari menikmati masa pengantin baru di rumah mertua, membuat Arzan merasa terpenjara. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam di kamar, atau menemani ayah mertuanya di teras sambil menikmati secangkir kopi. Sesekali ia pun membantu Asep memberi makan domba. Seru, karena itu adalah hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, karena hari ini Asep dan Laksmi pergi ke ladang, ia yang baru selesai salat hanya duduk-duduk di kursi ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.Sesekali matanya menangkap sosok Nafisa, memperhatikan istrinya itu yang sedang melipat baju di lantai, tak jauh dari tempat di mana ia duduk. Walau warna kulit Nafisa terbilang hitam, juga tubuh yang ternyata kerempeng, istrinya itu berwajah cantik dan manis. Pipi tirus membuat hidungnya semakin mancung, kedua mata berbulu lentik itu pun sipit seperti gadis keturunan Tiongk
"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."***‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.“Iya, sih. Tapi, kan
“Apa yang terlihat di depan mata, tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.”Matahari kian meninggi, tapi panasnya tak membuat niat Laksmi melemah untuk menemui seorang wanita tua yang terkenal dengan jampi-jampinya. Ia terlalu semangat, tepatnya tak cukup sabar untuk menanyakan perihal ketahanan parfum juga jampi yang ia beli beberapa bulan lalu.Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, Laksmi pun sampai di kampung Bojong. Bersama tukang ojek, ia melewati gang demi gang sebelum akhirnya tiba di depan sebuah rumah tua bercat kuning kusam.“Tunggu sebentar bisa, Mang?” Laksmi bertanya begitu turun dari motor yang ditumpanginya. “Paling cuma setengah jam.”“Boleh, Bu. Tapi saya minta ongkos yang barusan dulu. Mau beli rokok sama kopi,” tutur lelaki usia tiga puluh tahunan itu sambil menyengir.Laksmi mengangguk, lalu merogoh tas selendang kecil yang menggelayut di tubuhnya yang tambun. “Jangan lupa,
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me