“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan."
***
Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.
Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.
“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”
Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak turun dan duduk berjongkok di samping Arzan. Ia diam sejenak, memperhatikan seraya menilik dari ujung rambut sampai kaki. “Tampan. Sempurna,” gumamnya pelan. Membuat ia semakin merasa tak percaya diri.
Belum sempat Nafisa membangunkannya, Arzan menggeliat pelan seraya membuka mata. “Neng, udah bangun?” tanyanya seketika sambil beranjak bangun, duduk bersila menghadap Nafisa yang kebingungan.
“Iya. Kan, udah subuh, A.” Nafisa menelan ludah, dan memberanikan diri untuk bertanya. “Tapi, kok, Aa tidur di bawah?”
“Eh, itu. Semalam panas, Neng.” Arzan berdalih dari apa yang sebenarnya terjadi semalam. Tentu, karena tidak ingin membuat Nafisa sedih di hari pertama pernikahan mereka. Walau mendadak ilfil, ia masih mempunyai rasa kasihan . “Ya, sudah. Aa siap-siap ke masjid dulu, deh.”
“Loh! kok, kenapa, sih?” Nafisa terperangah, mendongak melihat Arzan yang tiba-tiba berdiri.
“Kenapa apa Neng? Aa mau salat. Neng juga, kan?”
“Oh. Iya, sih.” Nafisa menyusul bangkit, berdiri dan lalu duduk di sisi ranjang.
“Eh, pakaian aa di mana, Neng?” tanya Arzan, begitu tak mendapati tas berisi baju yang kemarin ia bawa dari rumahnya.
“Udah neng masukin ke lemari, A.”
“Oh.” Arzan pun bergegas menghampiri lemari dan langsung mengambil baju ganti. “Aa ke kamar mandi dulu. Habis itu mau langsung ke masjid, ya,” pamitnya setelah mendapati satu kemeja dan kain sarung. Tak lupa, Arzan meraih peci yang semalam ia taruh di paku belakang pintu.
Nafisa mengangguk tanpa kata. Heran dengan perubahan Arzan yang terlihat jelas dari setiap gerakan tubuh yang terkesan menghindar dengan tatapan risi. Jauh berbeda dengan sikap Arzan yang dulu saat hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon. Hangat.
'Apa karena semalam aku tidur duluan, ya?’ pikirnya dalam hati begitu Arzan menghilang di balik pintu. ‘Lah, kan, dia yang nyuruh?’
Tidak ingin berprasangka buruk, Nafisa memilih untuk membereskan tempat tidur yang berantakan bekas tidur semalam. Lantas mengikat kain tipis yang menutupi sekeliling ranjang ditiang, tetapi tidak dengan melepas bunga melati yang menjuntai di sekelilingnya. Ia masih ingin menikmati hiasan khas kamar pengantin di kamarnya, juga menghirup aroma dari bunga tersebut.
Barulah setelah dirasa Arzan selesai, Nafisa bergegas hendak pergi ke kamar mandi. Seluruh keluarganya ternyata sudah bangun, mereka sibuk membereskan rumah yang berantakan, termasuk menata kursi kembali setelah sempat diungsikan ke gudang.
“Duh, pengantin anyar baru bangun,” celetuk Kartika, begitu melihat Nafisa keluar dari kamarnya. Ia tersenyum-senyum tanpa mengalihkan pandangan dari lantai yang disapunya.
“Ish, Kakak!” Nafisa mengerucutkan bibirnya sembari buru-buru pergi ke kamar mandi sebelum anggota keluarga yang lain datang untuk menggodanya juga. Ia sedang merasa kesal. Tak ingin diganggu walau hanya dengan candaan.
***
Tiga hari berlalu setelah acara pernikahan selesai, rumah yang kemarin ramai oleh sanak-saudara Nafisa kembali sepi. Kakak-kakaknya sudah kembali pulang kemarin pagi. Tinggallah Asep dan Laksmi, Nafisa dan juga Arzan yang memutuskan untuk tinggal di sana sebelum membangun rumah impian.
Namun, alih-alih bahagia karena sudah melepas masa lajangnya, pertanyaan demi pertanyaan justru tak lagi dapat ditahan. Nafisa benar-benar tak tahu, apa gerangan yang membuat Arzan bersikap dingin, bahkan tidur di kasur lantai setiap malam tanpa banyak bicara. Seperti saat ini. Nafisa yang baru saja terbangun beringsut pelan ke sisi ranjang. Lalu melihat dengan heran ke arah lelakinya yang meringkuk dengan hanya berselimutkan kain sarung.
“A,” panggilnya parau. Nafisa beringsut turun dari ranjang empuknya yang tak lagi dihiasi bunga melati. “Bangun, A. Bentar lagi Subuh.”
Seketika Arzan mengerjap, terkejut sampai terbangun dan langsung beranjak duduk. “Neng, mau diantar pipis?”
“Loh, kok, pipis? Bukan.” Nafisa menggeleng pelan, dengan raut wajah cemberut. “Sebentar lagi Subuh, A. Barang kali Aa mau salat di masjid bareng ayah lagi.”
“Subuh? Oh. Udah terlambat belum?” Arzan memalingkan wajahnya, melihat jam di dinding yang ternyata baru pukul empat dini hari. “Syukurlah masih lama. Jadi, Aa bisa mandi dulu nanti.”
Hening sejenak.
Arzan merasa kikuk saat mendapati Nafisa bergeming tanpa kata di sampingnya. Merasa bersalah pula karena belum berani untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Ia masih merasa ilfil setiap kali melihat istrinya itu. Geli karena tiba-tiba bayangan rambut menyerupai sarang tawon memenuhi isi kepalanya.
“N-Neng?” Arzan memberanikan diri menyapa, memecah keheningan di antaranya. “Neng nggak apa-apa, kan?”
Nafisa menghela napas, menunduk sebelum akhirnya kembali mengangkat wajah. Namun, kali ini matanya telah basah oleh genangan air kesedihan. Ia berkata parau, “Bagaimana mungkin perasaan seorang istri akan baik-baik saja, saat suaminya sendiri enggan untuk bicara, menatap, bahkan menyentuh? Aku, benar-benar merasa seperti sampah.”
“Ya, Allah. Bukan begitu, Neng.” Air mukanya meredup. Ia semakin merasa bersalah.
“Lalu, apa yang membuat Aa tidur di lantai?” Kali ini ucapannya diselingi isak tangis. Namun, buru-buru ia menyeka hidung dan kedua matanya. Tak ingin terlihat lemah, walau rapuh adalah kata yang pas untuk hatinya.
Arzan bergeming, tak mampu berkata-kata.
“Apa Aa nggak suka dengan penampilan Neng? Atau, Aa memang nggak punya rasa sama Neng? Lalu kenapa, kenapa Aa mau menikahi Neng?”
“B-bukan begitu, Neng.” Arzan menelan ludah, membuat jakunnya naik-turun dengan begitu cepat. Namun, apa yang dikatakan Nafisa memanglah benar. Ia tak bisa mengelak, apalagi menyangkal.
“Lalu apa?” Nafisa bertanya parau, sedih kalau-kalau Arzan memang tidak mencintainya.
Tak tega melihat reaksi wanita di hadapannya, Arzan bergeser maju tanpa sepatah kata. Ditatapnya mata sipit Nafisa yang terus mengeluarkan cairan bening mengkristal. Ia mengusapnya perlahan, menyapu cairan demi cairan itu sampai tak lagi membuat basah kedua pipi Nafisa. Untuk pertama kali setelah sah menjadi suami istri, ia menarik dan memeluk tubuh istrinya itu dengan canggung.
“Maafin Aa, Neng,” tuturnya pelan.
Nafisa diam mematung, menikmati sentuhan dari pelukan Arzan walau kenyataannya ia tetap merasa takut kalau-kalau Arzan memang tidak mencintainya. Bukan hanya hati, pernikahannya pun sudah pasti hancur jika itu benar adanya.
“Aa hanya butuh waktu. Tapi, itu bukan berarti Aa nggak punya perasaan,” katanya lagi seraya menarik diri. Diangkatnya wajah Nafisa perlahan-lahan. Membuat keduanya saling menatap dalam kebisuan. Mencipta hasrat sebagai lelaki normal begitu ia mengamati bibir kemerahan Nafisa.
Namun, begitu bayangan tentang rambut kribo dan kurusnya kaki Nafisa mengelebat melintasi pikiran, Arzan mengerjap dan mengalihkan pandangan. Ia melihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima.
Arzan mengangkat wajah istrinya itu perlahan-lahan. Membuat keduanya kemudian saling menatap dalam kebisuan, mencipta hasrat begitu Arzan mengamati bibir kemerahan Nafisa. Namun, lagi-lagi rasa geli mengalahkan keinginannya.
“Sekarang, sebaiknya kita bersiap-siap. Sebentar lagi Subuh. As nggak mau ketinggalan salat seperti malam kemarin.” Arzan menyunggingkan bibirnya. “Aa dulu, atau Neng yang mau ke kamar mandi sekarang?”
“Aa aja. Neng mau beresin tempat tidur dulu,” jawabnya sambil berdiri, lalu duduk kembali di sisi ranjang sambil meraih selimut yang ia pakai semalam.
Detik kemudian Arzan ikut berdiri. Namun, ia langsung berjalan dan menyambar handuk yang menggantung di balik pintu, sebelum pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dulu. Di luar kamar Arzan tidak mendapati aktivitas apa pun karena ayah dan ibu mertuanya masih di dalam kamar.
Barulah setelah selesai mandi dan wudu, Arzan mendapati Laksmi sudah ada di dapur. Ia yang masih merasa kikuk walau sudah tiga hari tinggal di sana pun hanya mengangguk sambil menyapa. Dibalas anggukan pula oleh Laksmi yang hendak ke kamar mandi.
Begitu Arzan masuk ke kamar lagi, Nafisa sudah selesai dengan pekerjaannya. Kamar kembali rapi, termasuk kasur lantai yang tadi masih menggelar di lantai bersama bantal dan guling, menumpuk bersama selimut di kaki ranjang.
“Di kamar mandi ada ibu, Neng.”
Nafisa mengangguk, mengindahkan kata-kata lelakinya. Namun, ia tetap keluar kamar dan mendapati Laksmi baru saja keluar dari kamar mandi.
“Udah?” Tiba-tiba Laksmi bertanya, membuat Nafisa menautkan kedua alis lebatnya, terheran-heran.
“Apanya yang udah, Bu?”
“Itu, loh. Masa nggak paham?” Laksmi mengangkat-angkat sebelah alis, berharap Nafisa akan paham dengan maksudnya. Akan tetapi, Nafisa semakin merasa heran.
“Ya, emang nggak paham, Bu.”
“Astagfirullah.” Laksmi berdecak sambil menggeleng. “Benar-benar kamu, tuh. Itu loh, malam pertama?”
“Oh ... eh, malam pertama?” tanyanya balik. “Kenapa nanya gitu? Dih, Ibu mah kepo!”
“Loh, loh. Bukan gitu. Ibu hanya khawatir. Kok, rambutmu nggak pernah basah, Neng? Pamali, loh, kalau belum melayani suami.”
“E-enggak, kok. Bukan gitu juga. Neng cuma lagi haid, Bu.” Nafisa menjawab pelan, takut kalau tiba-tiba Arzan keluar dan mendengar percakapannya dengan Laksmi.
“Nggak bohong, 'kan?” Laksmi terdengar menyelidik. “Pamali, loh. Dosa kalau kamu nolak.”
“Iya, iya. Neng juga tahu, Bu,” jawabnya, “sudah. Neng mau mandi dulu. Gerah.”
“Subuh, kok, gerah!” Laksmi mengumpat pelan begitu Nafisa hilang di balik pintu kamar mandi, merasa lucu sekaligus aneh melihat reaksi anaknya barusan.
‘Gimana mau nolak? Aa-nya juga nggak mau!’ Nafisa bersungut-sungut begitu sampai di kamar mandi. Ia mendadak semakin kesal, merasa jengkel sendiri.
"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."***Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam.Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya u
"Segala upaya dilakukan, hanya demi sebuah perasaan!"***Tiga hari menikmati masa pengantin baru di rumah mertua, membuat Arzan merasa terpenjara. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam di kamar, atau menemani ayah mertuanya di teras sambil menikmati secangkir kopi. Sesekali ia pun membantu Asep memberi makan domba. Seru, karena itu adalah hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, karena hari ini Asep dan Laksmi pergi ke ladang, ia yang baru selesai salat hanya duduk-duduk di kursi ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.Sesekali matanya menangkap sosok Nafisa, memperhatikan istrinya itu yang sedang melipat baju di lantai, tak jauh dari tempat di mana ia duduk. Walau warna kulit Nafisa terbilang hitam, juga tubuh yang ternyata kerempeng, istrinya itu berwajah cantik dan manis. Pipi tirus membuat hidungnya semakin mancung, kedua mata berbulu lentik itu pun sipit seperti gadis keturunan Tiongk
"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."***‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.“Iya, sih. Tapi, kan
“Apa yang terlihat di depan mata, tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.”Matahari kian meninggi, tapi panasnya tak membuat niat Laksmi melemah untuk menemui seorang wanita tua yang terkenal dengan jampi-jampinya. Ia terlalu semangat, tepatnya tak cukup sabar untuk menanyakan perihal ketahanan parfum juga jampi yang ia beli beberapa bulan lalu.Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, Laksmi pun sampai di kampung Bojong. Bersama tukang ojek, ia melewati gang demi gang sebelum akhirnya tiba di depan sebuah rumah tua bercat kuning kusam.“Tunggu sebentar bisa, Mang?” Laksmi bertanya begitu turun dari motor yang ditumpanginya. “Paling cuma setengah jam.”“Boleh, Bu. Tapi saya minta ongkos yang barusan dulu. Mau beli rokok sama kopi,” tutur lelaki usia tiga puluh tahunan itu sambil menyengir.Laksmi mengangguk, lalu merogoh tas selendang kecil yang menggelayut di tubuhnya yang tambun. “Jangan lupa,
Azan Isya sudah lama berlalu setelah seharian penuh Arzan hanya diam di rumah. Sesekali dia hanya pergi ke kandang, memberi makan domba dengan rumput yang dikumpulkan Asep setiap pagi. Juga duduk-duduk di teras, menemani Asep dan Nafisa mengobrol sembari menikmati secangkir kopi sore tadi.Perkampungan yang cukup jauh dari perkotaan itu sudah sepi dari lalu-lalang warga, apalagi kendaraan. Hanya terdapat beberapa orang yang masih di luar, itu pun karena adanya tugas meronda setiap malam. Kasus pencurian yang kerap terjadi menjelang bulan Ramadan, membuat mereka kompak membagi jadwal jaga. Sebagai warga baru, nama Arzan pun sudah tercatat di papan yang menggantung di pos ronda. Malam ini, dia bersiap-siap keluar seusai salat bersama Asep.“Hati-hati, ya, A. Kalau ada malingnya, Aa jangan ikut ngejar. Mending pulang aja. Kan, Neng juga takut di rumah.” Di dalam kamar, sambil menyodorkan kain sarung dan jaket, supaya Arzan tak kedinginan sepanjang malam, Nafisa b
“Mengikuti nafsu sesaat hanya akan menimbulkan masalah baru, lalu menenggelamkanmu ke dalam lembah hitam penuh dusta. Maka jujurlah, maka cinta kan datang dengan sendirinya.”***Matahari baru saja menampakkan dirinya. Disambut kicauan burung pipit yang bertengger, hampir di setiap genteng rumah warga di kampung Jati. Namun, sinarnya yang mampu menerangi seantero bumi belum memberi hangat. Cuaca pagi masih sedingin malam, apalagi saat kelebat angin masuk melewati jendela, pintu, dan ventilasi udara.Namun, dinginnya pagi tak membuat setiap orang malas untuk beraktivitas. Termasuk keluarga Asep yang mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sejak lima menit lalu Laksmi sibuk mencuci pakaiannya. Ditemani Nafisa dari dapur sembari memasak nasi dan sayur yang baru saja ia beli dari Kang Ntis—pedagang sayur keliling. Ada terong ungu, siap untuk dibikin balado, tahu tempe, dan ikan asin.Sementara di halaman be
Udara pagi tak lagi sesejuk tadi. Jauh lebih terasa hangat, karena cahaya yang mulai benderang seolah menyelimuti tubuh Arzan di tengah-tengah kelebat angin saat mengendarai motor. Semakin lama, tak lagi ada kabut yang menghalangi pandangan di sepanjang jalan. Membuat Arzan sampai lebih cepat dari perkiraan.“Assalamualaikum, Yah.” Arzan melangkah setelah mengucap salam. Dilihatnya tumpukkan plastik di dinding toko, rapi dan bersih karena ayahnya memang jauh lebuh telaten dari anak atau keluarganya yang lain.Farhat yang mendengarnya pun langsung menjawab salam. Ia berhenti barang sebentar dari kesibukannya menata barang, lalu menyambut uluran tangan Arzan. “Tumben telat? Dulu, biasanya paling semangat.”“Semalam kebagian tugas meronda, Yah. Aku tidur abis Subuh. Jadi, ya kesiangan.”“Pantas,” timpal Farhat sambil berbalik membelakangi Arzan. “Ya, sudah. Bantu ayah beresin plastik dulu sana. N
“Sesuatu yang buruk, tak perlulah dibalas dengan keburukan. Masih banyak cara lain, untuk mencapai kesejahteraan.”***Pernikahan bukan sebuah permainan, jaminan, ataupun kesepakatan. Melainkan keputusan tanpa paksaan dari kedua belah pihak. Juga ikatan suci yang Allah janjikan pahala, terhadap mereka yang melakukannya dengan tulus, ikhlas karena Allah.Lalu, jika ikatan yang seharusnya suci itu justru dirusak oleh tangan-tangan kotor yang haus akan harta dan kekuasaan, pernikahan seperti apakah yang akan tercipta di kehidupan selanjutnya? Bukankah cinta yang dibumbui kemenyan tak kan bertahan lama?Tak kenal maka tak sayang memang peribahasa yang tepat untuk sebuah hubungan. Namun, bagaimana jika cinta yang diharapkan justru tak kunjung hadir? Melainkan hilang, meninggalkan bercak-bercak hitam dalam kanvas kenangan.Seperti Nafisa, gadis yang baru saja melepas masa lajangnya itu, kini tengah menerima timbal balik dari a
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me