Beranda / Romansa / Malam Pertama yang Tertunda / Bab. 10. Parfum Pemikat

Share

Bab. 10. Parfum Pemikat

Penulis: AlphQueen
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Azan Isya sudah lama berlalu setelah seharian penuh Arzan hanya diam di rumah. Sesekali dia hanya pergi ke kandang, memberi makan domba dengan rumput yang dikumpulkan Asep setiap pagi. Juga duduk-duduk di teras, menemani Asep dan Nafisa mengobrol sembari menikmati secangkir kopi sore tadi.

Perkampungan yang cukup jauh dari perkotaan itu sudah sepi dari lalu-lalang warga, apalagi kendaraan. Hanya terdapat beberapa orang yang masih di luar, itu pun karena adanya tugas meronda setiap malam. Kasus pencurian yang kerap terjadi menjelang bulan Ramadan, membuat mereka kompak membagi jadwal jaga. Sebagai warga baru, nama Arzan pun sudah tercatat di papan yang menggantung di pos ronda. Malam ini, dia bersiap-siap keluar seusai salat bersama Asep.

“Hati-hati, ya, A. Kalau ada malingnya, Aa jangan ikut ngejar. Mending pulang aja. Kan, Neng juga takut di rumah.” Di dalam kamar, sambil menyodorkan kain sarung dan jaket, supaya Arzan tak kedinginan sepanjang malam, Nafisa b

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 11. Cinta Karena Pemikat

    “Mengikuti nafsu sesaat hanya akan menimbulkan masalah baru, lalu menenggelamkanmu ke dalam lembah hitam penuh dusta. Maka jujurlah, maka cinta kan datang dengan sendirinya.”***Matahari baru saja menampakkan dirinya. Disambut kicauan burung pipit yang bertengger, hampir di setiap genteng rumah warga di kampung Jati. Namun, sinarnya yang mampu menerangi seantero bumi belum memberi hangat. Cuaca pagi masih sedingin malam, apalagi saat kelebat angin masuk melewati jendela, pintu, dan ventilasi udara.Namun, dinginnya pagi tak membuat setiap orang malas untuk beraktivitas. Termasuk keluarga Asep yang mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sejak lima menit lalu Laksmi sibuk mencuci pakaiannya. Ditemani Nafisa dari dapur sembari memasak nasi dan sayur yang baru saja ia beli dari Kang Ntis—pedagang sayur keliling. Ada terong ungu, siap untuk dibikin balado, tahu tempe, dan ikan asin.Sementara di halaman be

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 12. Es Cendol Dawet

    Udara pagi tak lagi sesejuk tadi. Jauh lebih terasa hangat, karena cahaya yang mulai benderang seolah menyelimuti tubuh Arzan di tengah-tengah kelebat angin saat mengendarai motor. Semakin lama, tak lagi ada kabut yang menghalangi pandangan di sepanjang jalan. Membuat Arzan sampai lebih cepat dari perkiraan.“Assalamualaikum, Yah.” Arzan melangkah setelah mengucap salam. Dilihatnya tumpukkan plastik di dinding toko, rapi dan bersih karena ayahnya memang jauh lebuh telaten dari anak atau keluarganya yang lain.Farhat yang mendengarnya pun langsung menjawab salam. Ia berhenti barang sebentar dari kesibukannya menata barang, lalu menyambut uluran tangan Arzan. “Tumben telat? Dulu, biasanya paling semangat.”“Semalam kebagian tugas meronda, Yah. Aku tidur abis Subuh. Jadi, ya kesiangan.”“Pantas,” timpal Farhat sambil berbalik membelakangi Arzan. “Ya, sudah. Bantu ayah beresin plastik dulu sana. N

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 13. Ciuman Pertama

    “Sesuatu yang buruk, tak perlulah dibalas dengan keburukan. Masih banyak cara lain, untuk mencapai kesejahteraan.”***Pernikahan bukan sebuah permainan, jaminan, ataupun kesepakatan. Melainkan keputusan tanpa paksaan dari kedua belah pihak. Juga ikatan suci yang Allah janjikan pahala, terhadap mereka yang melakukannya dengan tulus, ikhlas karena Allah.Lalu, jika ikatan yang seharusnya suci itu justru dirusak oleh tangan-tangan kotor yang haus akan harta dan kekuasaan, pernikahan seperti apakah yang akan tercipta di kehidupan selanjutnya? Bukankah cinta yang dibumbui kemenyan tak kan bertahan lama?Tak kenal maka tak sayang memang peribahasa yang tepat untuk sebuah hubungan. Namun, bagaimana jika cinta yang diharapkan justru tak kunjung hadir? Melainkan hilang, meninggalkan bercak-bercak hitam dalam kanvas kenangan.Seperti Nafisa, gadis yang baru saja melepas masa lajangnya itu, kini tengah menerima timbal balik dari a

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 14. Istri Seutuhnya

    Malam ini sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bulan sepertiga menggantung, berhiaskan ribuan bintang yang bersinar terang di atas sana. Mencipta keindahan, menularkan aura positif pada mereka yang melihatnya, termasuk pada Nafisa.Dia yang berdiri di balik jendela kamar, dapat dengan jelas menikmati pemandangan indah saat malam semakin gelap. Sungguh ciptaan Tuhan yang luar biasa sempurna, pikirnya. Ia bersyukur, dengan keadaannya yang jauh berbeda dengan perempuan kebanyakan, tetapi masih diberi kesempatan menikmati semuanya tanpa keluhan.Dengan matanya ia dapat memandang langit saat siang dan malam. Dengan telinganya ia dapat mendengar suara yang tercipta karena adanya embusan angin. Dan dengan hidungnya ia bisa menghirup aroma dari segala aroma. Tak peduli walau tubuhnya kurus kerontang. Tak masalah dengan kulitnya yang cokelat kehitaman. Apalagi rambut, yang jelas-jelas keriting karena turunan.Lillah, ia selalu berusaha menerima semua itu.

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 15. Belum Juga Malam Pertama

    “Kalau sudah tiba pada waktunya, hujan ataupun badai tak kan bisa lunturkan perasaan. Cinta itu akan terus bersemi, sampai hanya maut yang memisahkan.”Suasana di dalam ruang bercat biru muda itu kembali hening. Sampai hanya terdengar suara detak jam di dinding, juga senandung binatang-binatang kecil di persawahan. Suami istri itu bergeming tanpa kata. Saling menatap, mencipta gejolak-gejolak hasrat di dalam dada.Arzan memiringkan tubuhnya, berbalik menghadap Nafisa yang sudah lebih dulu menghadap ke arahnya. Pelan ia mengangkat tangan, diusapnya puncak kepala Nafisa yang belum membuka hijab. Wanita itu terpejam, merasakan bulu kuduk meremang sambil menggigit bibir.‘Ya, Allah ... jika sekarang saatnya aku menyerahkan semua, karena-Mu aku patuh. Karena-Mu aku rida. Dan karena-Mu, aku akan mencintainya dengan tulus. Setulus dia yang mampu menerima kekurangan dalam diriku.’ Nafisa membuka mata perlahan. Dilihatnya Arzan masih

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 16. Indahnya Kasmaran

    Laksmi mengangguk sambil meniriskan ceker ke dalam wadah berlubang. Lalu menyisihkannya, sebelum beralih pada bumbu yang harus dihaluskan. Enam siung bawang merah, tiga siung bawang putih, sejumput lada, dan penyedap rasa pun siap untuk diulek. Tak lupa, setelah itu Laksmi mengiris tiga batang daun bawang dan seledri.Setengah jam setelah azan Subuh dikumandangkan, matahari sudah sedikit memberi terang di sebagian alam semesta. Langit tak lagi segelap malam, walau terangnya belum meneroboskan cahaya lewat tiap-tiap jendela rumah.Dari luar suara ayam jantan terdengar berkokok lantang. Tak jarang bersahutan dengan domba yang minta diberi makan. Peliharaan Asep dan Laksmi itu kerap menjadi alarm, sebelum Nafisa menjadi seorang istri yang harus bangun lebih pagi dari suami.Sekarang, usai melakukan salat bersama, Nafisa cepat-cepat membuka dua jendela yang menghadap langsung ke halaman depan. Udara pagi seketika berembus, menerpa wajah tirusnya yang tak lagi terlih

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 17. Pengalaman Pertama

    “Neng Nafisa ikut? Aduh, ayah jadi nggak enak.” Farhat melap-lap kedua tangannya pada celemek yang ia pakai sebelum menyambut uluran tangan Arzan juga Nafisa.“Nggak apa-apa. Neng malah senang, Yah.” Nafisa menimpalinya dengan girang. Dia melihat ke sekeliling toko, ruang ukuran enam kali tiga meter itu penuh dengan barang dagangan. Tak hanya bahan plastik dan bahan-bahan kue, agar dab puding pun tertata rapi di etalase.“Duduk di sana, Neng.” Arzan menuduh ember bekas cat putih yang kosong, tempatnya duduk. “Aa mau bantuin ayah mengantongi gula.”Nafisa pun duduk di sama, di antara karung terigu dan ember wadah mentega. Dia ingin membantu, tapi untuk melakukannya perlu melihat bagaimana dulu suami dan ayah mertuanya bekerja.Namun, belum lima menit mereka sampai, dua pelanggan datang. Nafisa yang tak mau hanya duduk berdiam diri pun berdiri, melayani ibu-ibu yang datang den

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 18. Pujian yang Menyenangkan

    Nafisa pun duduk di sama, di antara karung terigu dan ember wadah mentega. Dia ingin membantu, tapi untuk melakukannya perlu melihat bagaimana dulu suami dan ayah mertuanya bekerja.Namun, belum lima menit mereka sampai, dua pelanggan datang. Nafisa yang tak mau hanya duduk berdiam diri pun berdiri, melayani ibu-ibu yang datang dengan menanyai apa yang dibutuhkan mereka sambil mencatatnya. Begitu selesai ia langsung mengambil barang-barang tersebut dengan bantuan Arzan, lalu mengantonginya sebelum menjumlahkan semua menggunakan kalkulator.“Dua ratus lima belas ribu, Bu. Ini bonnya.” Nafisa tersenyum tipis setelah sebelumnya menyengir pada Arzan. Ia pikir, melayani pelanggan itu tidak seribet yang dia pikir. “Terima kasih sudah belanja di sini, Bu. Jangan lupa ke sini lagi besok.”“Oh, tentu atuh, Neng. Ibu memang sudah jadi pelanggan di sini.”Nafisa mengangguk, mengiyakan sebelum pelengan di hadapannya itu mengucap pa

Bab terbaru

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 81. Akhir Dari Sebuah Cerita Cinta

    Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 80. Akhir Dari Sebuah Pertemuan

    “Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 79. Melepas Pergi

    SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 78. Meringis Kesakitan

    Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 76. Permainan yang Menantang

    BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 75. Sama-Sama Kaku

    Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 74. Nyaman

    DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 73. Makan Berdua

    MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 72. YouTubers

    DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me

DMCA.com Protection Status