“Melaju laksana menantang badai. Begitulah seharusnya dirimu, setiap kali ada masalah datang.”
***
Satu dua hari telah berlalu setelah masa sakit Nafisa. Minggu ke minggu bahkan terasa merangkak cepat walau hampir setiap waktu berhadapan dengan keegoisan ibunya. Di bulan ketiga pernikahan, Arzan dan Nafisa masih tinggal di rumah Laksmi, walau tak jarang pergi menginap ke rumah Mariam saat bulan Ramadan kemarin, dengan atau tanpa izin dari ibunya itu.
Nafisa ataupun Arzan tak pernah terlalu serius saat menanggapi kekesalan Laksmi. Pura-pura tak tahu, walau dengan jelas Laksmi tunjukkan ketidakridaannya saat Nafisa pergi mengunjungi mertua.
Alasannya masih sama. Selain karena kesepian, terang-terangan Laksmi bicara soal kerugiannya sebagai orang tua. Ia yang membesarkan anak-anaknya dengan biaya tak terhitung, tapi saat sudah dewasa justru pergi untuk berbakti pada orang lain.
Seperti hari ini, Laksmi pun
“Kemarin, Aa pikir cuma demam biasa. Tahunya parah.”“Ya, sudah. Kalian pergi menginap saja di sana. Kasihan kalau ibumu nggak ada yang ngurus, Jang.” Asep yang baru selesai makan memberi komentar.“Nggak ada yang ngurus gimana? Bu Mariam itu anaknya ada di rumah dua, perempuan pula. Nggak perlulah Nafisa harus segala nginep di sana! Kalau Arzan mau nginep, ya nginep sendiri.”“Astagfirullah, Bu!” seru Asep, tak lagi dapat menahan marah. “Kamu itu kayak nggak ngerasain perasaan seorang ibu dan anak.”“Apa, sih, Pak? Arzan pulang karena mau ngurus ibunya, ‘kan? Lah, Nafisa kan harus ngurus ibu juga di sini.”“Tapi, ibunya Arzan itu sakit, Bu. Ngaco kamu!” Tatapan masam Asep berubah tajam, setelah mendengar penjelasan Laksmi yang semakin diada-adakan.
Arzan mengangguk, menyerahkan jeruk yang sebelumnya ia kupas terlebih dulu. Lalu, setelah melihat Mariam memakannya dengan begitu lahap, ia meraih ponsel dari saku celana. Buru-buru ia mengetik sebuah pesan, kalau dirinya sudah sampai. Pesan terkirim, tapi tak kunjung Nafisa buka.[Neng?] Pesannya lagi.Tak kunjung dibaca juga, buru-buru Arzan menekan tombol hijau. Panggilan telepon tersambung cepat, walau akhirnya tetap tak mendapatkan jawaban. Khawatir, ia yang semula duduk tenang berubah gusar. Takut, kalau sampai terjadi sesuatu pada istrinya seperti tempo lalu.Namun, baru saja Arzan hendak menelepon, Nafisa meneleponnya lebih dulu.[Halo, A. Assalamualaikum.]Arzan bernapas lega sebelum menjawab salam. Itu artinya, ia hanya terlalu cemas menanggapi pesannya yang telat dibalas.[Maaf, A. Barusan Neng lagi ngaji.][Wah, Aa ganggu, dong.]Arzan melirik ibunya barang sebentar, seolah memberi kode kalau ia harus keluar dulu un
“Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi. Maka, senangilah apa yang terjadi.” –Ali bin Abi Thalib.***“Neng, kapan datang? Emang ibu ngasih izin? Terus, ke sini sama siapa?” cecarnya dengan serentetan pertanyaan, begitu menoleh dan mendapati Nafisa di Belakangnya. Membuat Nafisa yang sedari tadi berdiri itu tersenyum sambil melangkah maju.Arzan menyapu wajahnya sekali lagi. Lalu melirik jam, waktu sudah menunjukkan pukul enam pas.“Kira-setengah enam, A.” Nafisa duduk di sisi ranjang, disusul Arzan setelah mengangkat dan melipat sajadahnya. “Soal ibu, ya gitu. Tapi, kan Neng istri Aa. Masa nggak boleh datang ke sini? Neng nekat aja, terus naik ojek.”“Loh? Hm. Iya juga, sih.” Arzan menyengir, lalu menyimpan lipatan sajadah di sisi ranjang yang lain. “Tapi, kenapa nggak langsung masuk ke sini? Tadi, Aa hampir kesiangan.”“Lah. Neng langsung ke kamar ibu, dong. Kan
“Kok, gini, ya?”Nafisa mencecap-cecap mulutnya sendiri, terasa sedikit pahit. Tak lama, keluhan berpindah ke kepalanya. Nafisa merasa pusing, membuat pandangannya sedikit kabur. Dengan langkah gontai ia berjalan keluar kamar, hendak menemui Fitri untuk meminta pertolongan. Adik iparnya itu masih di sana, duduk santai sambil menikmati secangkir susu.Namun, begitu mendapati Nafisa yang berjalan sempoyongan, Fitri terkejut. Ia langsung berdiri dan menghampiri kakak iparnya yang hampir sampai ke kursi di ruang tengah. “Kakak kenapa?” Dengan nada khawatir, Fitri bertanya seraya membantu Nafisa duduk.“Nggak tahu. Tiba-tiba mual dan pusing.” Nafisa masih memegang kening, memijatnya sedikit dengan sebelah tangan.“Mau Fitri antar ke puskesmas?” Fitri menelengkan kepala, melihat raut wajah Nafisa yang tampak semakin pucat. Nafisa yang mendengarnya pun mengangguk antusias. Tak mau membiarkan penyakit terlalu lama b
Malam sudah semakin larut, tapi mata lelaki yang hanya memakai kaos putih oblong dan celana sayur hitam selutut itu masih enggan untuk terpejam. Dia masih saja merasa segar, walau berulang kali mencoba pejamkan mata. Padahal, saat masih di pasar, tubuhnya menuntut untuk segera beristirahat.Kesal karena tak kunjung tidur, juga pusing akibat memaksa mata untuk terlelap, Arzan pun bangun dari pembaringan. Dia duduk bersila, lalu meraih ponsel yang disusupkannya di bawah bantal. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Nafisa pun sudah pasti terlelap setelah tadi mengucap pamit untuk beristirahat lebih dulu.Tiba-tiba Arzan mengerjap, ingatannya menangkap sesuatu yang membuat ia akhirnya tersenyum-senyum. Mulai dari dirinya yang mengajak berkenalan, lamaran, lalu menikah dengan Nafisa. Namun, yang paling lucu adalah alasan yang membuatnya menunda malam perta
“Tak peduli masalah serupa belukar di tiap jalan. Sebab hadirnya, mampu bangkitkan semangat untuk terus berjuang “Di tengah rasa pusing dan mual, Nafisa tetap semangat saat harus memasak di rumah Mariam. Berulang kali dia tersenyum, berulang kali pula dia menangkup mulut karena lucu dengan tingkah sendiri. Bahagia membuat tingkahnya lain dari biasa.“Ya, Allah. Bahagiaku ini tak terkendali,” gumamnya sembari menghirup kepulan asap sayur yang menguap di udara. Opor ayam yang dia pasak baru saja mendidih, menguarkan aroma sedap dari rempah-rempah yang dimasukkannya.Pelan tangannya mengaduk-aduk opor di dalam panci. Lalu, sambil menunggu opornya matang, ia beralih pada pasakkan lain. Cabai rawit, bawang merah dan tomat yang baru selesai ia goreng sudah siap diulek. Arzan akan sangat menyukainya, apalagi jika sambalnya sedikit terasa manis.Sesekali matanya melirik panci, takut kalau letupan d
“Ash-shalaatu khairum minan-nauum ....”Suara azan subuh menggema. Membuat Nafisa terbangun lebih dulu dari seluruh penghuni kediaman Mariam. Dia mengerjap-ngerjapkan mata perlahan sebelum mengusap wajah. Diliriknya lelaki tampan yang masih terlelap, selengkung tanpa pewarna itu pun menyungging tipis memperhatikan raut wajah suaminya.“Kamu pasti capek, A.”Nafisa mengusap lembut rambut suaminya itu, lalu beranjak duduk dan hendak bersandar barang sebentar dengan diganjal bantal. Ia merentangkan kedua tangan ke atas, sambil meluruskan kaki untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.“Alhamdullilah, Ya Rabb. Sebab Engkau masih memberiku hidup sampai sekarang,” gumamnya seraya menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuh separuh telanjangnya. Lalu, ia pun turun dan memakai pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum berjalan menuju lemari di samping pintu. Ia harus segera mandi, ada sesuatu yang harus ditunjukkann
“Anugerah adalah kebersamaan dengan orang tercinta. Walau hadirnya, tak juga hapuskan beban dalam pikiran.”Tiga bulan kemudian, kehamilan Nafisa tak lagi menjadi sebuah rahasia. Keluarga, bahkan tetangga sudah tahu dari perutnya yang semakin besar. Belum lagi keluhan khas seorang wanita yang tengah hamil. Ia kerap kali merasa mual, pusing, dan lalu muntah-muntah. Bahkan sering, tak peduli siang ataupun malam, saat istrinya menginginkan sesuatu Arzan langsung pergi untuk mencarinya.Mengidam. Begitulah orang-orang menyebutnya.Konon, jika keinginan yang begitu sangat tidak terlaksana, anak yang dilahirkan akan ngeces. Tentu saja, itu membuat Arzan giat setiap kali Nafisa meminta sesuatu. Seperti saat ini, saat istrinya itu tiba-tiba ingin pergi dengan menaiki Bus.Pagi-pagi sekali Arzan menelepon ayah dan anak buah yang baru beberapa minggu bekerja untuk membantunya di pasar, memberitahu perihal ia yang tidak bisa datang karena harus mengantar istr