Arzan mengangguk, menyerahkan jeruk yang sebelumnya ia kupas terlebih dulu. Lalu, setelah melihat Mariam memakannya dengan begitu lahap, ia meraih ponsel dari saku celana. Buru-buru ia mengetik sebuah pesan, kalau dirinya sudah sampai. Pesan terkirim, tapi tak kunjung Nafisa buka.
[Neng?] Pesannya lagi.
Tak kunjung dibaca juga, buru-buru Arzan menekan tombol hijau. Panggilan telepon tersambung cepat, walau akhirnya tetap tak mendapatkan jawaban. Khawatir, ia yang semula duduk tenang berubah gusar. Takut, kalau sampai terjadi sesuatu pada istrinya seperti tempo lalu.
Namun, baru saja Arzan hendak menelepon, Nafisa meneleponnya lebih dulu.
[Halo, A. Assalamualaikum.]
Arzan bernapas lega sebelum menjawab salam. Itu artinya, ia hanya terlalu cemas menanggapi pesannya yang telat dibalas.
[Maaf, A. Barusan Neng lagi ngaji.]
[Wah, Aa ganggu, dong.]
Arzan melirik ibunya barang sebentar, seolah memberi kode kalau ia harus keluar dulu un
“Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi. Maka, senangilah apa yang terjadi.” –Ali bin Abi Thalib.***“Neng, kapan datang? Emang ibu ngasih izin? Terus, ke sini sama siapa?” cecarnya dengan serentetan pertanyaan, begitu menoleh dan mendapati Nafisa di Belakangnya. Membuat Nafisa yang sedari tadi berdiri itu tersenyum sambil melangkah maju.Arzan menyapu wajahnya sekali lagi. Lalu melirik jam, waktu sudah menunjukkan pukul enam pas.“Kira-setengah enam, A.” Nafisa duduk di sisi ranjang, disusul Arzan setelah mengangkat dan melipat sajadahnya. “Soal ibu, ya gitu. Tapi, kan Neng istri Aa. Masa nggak boleh datang ke sini? Neng nekat aja, terus naik ojek.”“Loh? Hm. Iya juga, sih.” Arzan menyengir, lalu menyimpan lipatan sajadah di sisi ranjang yang lain. “Tapi, kenapa nggak langsung masuk ke sini? Tadi, Aa hampir kesiangan.”“Lah. Neng langsung ke kamar ibu, dong. Kan
“Kok, gini, ya?”Nafisa mencecap-cecap mulutnya sendiri, terasa sedikit pahit. Tak lama, keluhan berpindah ke kepalanya. Nafisa merasa pusing, membuat pandangannya sedikit kabur. Dengan langkah gontai ia berjalan keluar kamar, hendak menemui Fitri untuk meminta pertolongan. Adik iparnya itu masih di sana, duduk santai sambil menikmati secangkir susu.Namun, begitu mendapati Nafisa yang berjalan sempoyongan, Fitri terkejut. Ia langsung berdiri dan menghampiri kakak iparnya yang hampir sampai ke kursi di ruang tengah. “Kakak kenapa?” Dengan nada khawatir, Fitri bertanya seraya membantu Nafisa duduk.“Nggak tahu. Tiba-tiba mual dan pusing.” Nafisa masih memegang kening, memijatnya sedikit dengan sebelah tangan.“Mau Fitri antar ke puskesmas?” Fitri menelengkan kepala, melihat raut wajah Nafisa yang tampak semakin pucat. Nafisa yang mendengarnya pun mengangguk antusias. Tak mau membiarkan penyakit terlalu lama b
Malam sudah semakin larut, tapi mata lelaki yang hanya memakai kaos putih oblong dan celana sayur hitam selutut itu masih enggan untuk terpejam. Dia masih saja merasa segar, walau berulang kali mencoba pejamkan mata. Padahal, saat masih di pasar, tubuhnya menuntut untuk segera beristirahat.Kesal karena tak kunjung tidur, juga pusing akibat memaksa mata untuk terlelap, Arzan pun bangun dari pembaringan. Dia duduk bersila, lalu meraih ponsel yang disusupkannya di bawah bantal. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Nafisa pun sudah pasti terlelap setelah tadi mengucap pamit untuk beristirahat lebih dulu.Tiba-tiba Arzan mengerjap, ingatannya menangkap sesuatu yang membuat ia akhirnya tersenyum-senyum. Mulai dari dirinya yang mengajak berkenalan, lamaran, lalu menikah dengan Nafisa. Namun, yang paling lucu adalah alasan yang membuatnya menunda malam perta
“Tak peduli masalah serupa belukar di tiap jalan. Sebab hadirnya, mampu bangkitkan semangat untuk terus berjuang “Di tengah rasa pusing dan mual, Nafisa tetap semangat saat harus memasak di rumah Mariam. Berulang kali dia tersenyum, berulang kali pula dia menangkup mulut karena lucu dengan tingkah sendiri. Bahagia membuat tingkahnya lain dari biasa.“Ya, Allah. Bahagiaku ini tak terkendali,” gumamnya sembari menghirup kepulan asap sayur yang menguap di udara. Opor ayam yang dia pasak baru saja mendidih, menguarkan aroma sedap dari rempah-rempah yang dimasukkannya.Pelan tangannya mengaduk-aduk opor di dalam panci. Lalu, sambil menunggu opornya matang, ia beralih pada pasakkan lain. Cabai rawit, bawang merah dan tomat yang baru selesai ia goreng sudah siap diulek. Arzan akan sangat menyukainya, apalagi jika sambalnya sedikit terasa manis.Sesekali matanya melirik panci, takut kalau letupan d
“Ash-shalaatu khairum minan-nauum ....”Suara azan subuh menggema. Membuat Nafisa terbangun lebih dulu dari seluruh penghuni kediaman Mariam. Dia mengerjap-ngerjapkan mata perlahan sebelum mengusap wajah. Diliriknya lelaki tampan yang masih terlelap, selengkung tanpa pewarna itu pun menyungging tipis memperhatikan raut wajah suaminya.“Kamu pasti capek, A.”Nafisa mengusap lembut rambut suaminya itu, lalu beranjak duduk dan hendak bersandar barang sebentar dengan diganjal bantal. Ia merentangkan kedua tangan ke atas, sambil meluruskan kaki untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.“Alhamdullilah, Ya Rabb. Sebab Engkau masih memberiku hidup sampai sekarang,” gumamnya seraya menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuh separuh telanjangnya. Lalu, ia pun turun dan memakai pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum berjalan menuju lemari di samping pintu. Ia harus segera mandi, ada sesuatu yang harus ditunjukkann
“Anugerah adalah kebersamaan dengan orang tercinta. Walau hadirnya, tak juga hapuskan beban dalam pikiran.”Tiga bulan kemudian, kehamilan Nafisa tak lagi menjadi sebuah rahasia. Keluarga, bahkan tetangga sudah tahu dari perutnya yang semakin besar. Belum lagi keluhan khas seorang wanita yang tengah hamil. Ia kerap kali merasa mual, pusing, dan lalu muntah-muntah. Bahkan sering, tak peduli siang ataupun malam, saat istrinya menginginkan sesuatu Arzan langsung pergi untuk mencarinya.Mengidam. Begitulah orang-orang menyebutnya.Konon, jika keinginan yang begitu sangat tidak terlaksana, anak yang dilahirkan akan ngeces. Tentu saja, itu membuat Arzan giat setiap kali Nafisa meminta sesuatu. Seperti saat ini, saat istrinya itu tiba-tiba ingin pergi dengan menaiki Bus.Pagi-pagi sekali Arzan menelepon ayah dan anak buah yang baru beberapa minggu bekerja untuk membantunya di pasar, memberitahu perihal ia yang tidak bisa datang karena harus mengantar istr
Begitu sampai, Nafisa yang tak tahu hendak di bawa ke mana oleh Arzan langsung mengedarkan pandangan sambil menghirup udara segar sebanyak mungkin. Ada begitu banyak pedagang di sisi jalan sebelah kanan, sementara di sisi kiri pohon-pohon tua menjulang. Namun, seberapa lama ia mengamatinya, tempat yang dilihatnya tetap terlihat asing.“Kita berhenti di mana, sih? Nanti, kalau mau pulang gampang nggak?”Silau karena cahaya matahari yang sudah lumayan panas, membuat Nafisa mengernyit sambil menatap Arzan. Ia merasa kepanasan. Namun, Arzan yang mendengar tanya Nafisa justru tertawa. Dia merasa lucu begitu melihat raut wajah istrinya.“Dih! Ditanya, kok, malah ngetawain? Neng serius tau,” sungutnya kesal. Bibir yang semula lurus pun berubah mengerucut. Nafisa juga mendelik, karena merasa sedikit pusing.“Iya, iya. Maaf.” Arzan masih tergelak, sambil meraih sebelah tangan Nafisa untuk membujuk. Namun,
“Tidak ada yang salah saat kita harus terus mengalah. Tapi, apa salahnya jika kita bersikap tegas pada sesuatu yang seharusnya?”Hujan sempat berhenti begitu suami istri itu tiba di pasar. Namun, begitu Arzan menempuh perjalanan sekitar satu kilo dari toko, ribuan air bak jarum itu kembali turun dengan curah semakin deras. Ia sempat akan berhenti, tetapi Nafisa melarangnya dengan alasan terlanjur basah. Sebab, diam dalam keadaan pakaian basa jauh lebih dingin dibanding hujan-hujanan. Hanya ponsel yang keduanya selamatkan dari air, menyimpannya dalam tas selendang Nafisa setelah sedari tadi terselip dalam saku celana.Alhasil, dua puluh menit berada di bawah derasnya hujan pun membuat keduanya basah kuyup. Mereka buru-buru naik ke teras setelah memarkirkan motor di halaman rumah Laksmi. Nafisa yang naik terlebih dulu mengusap air di wajah, sebelum memilin-milin baju agar airnya turun. Namun, belum sempat satu di antaranya mengetuk pintu, si emp
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me