Begitu sampai, Nafisa yang tak tahu hendak di bawa ke mana oleh Arzan langsung mengedarkan pandangan sambil menghirup udara segar sebanyak mungkin. Ada begitu banyak pedagang di sisi jalan sebelah kanan, sementara di sisi kiri pohon-pohon tua menjulang. Namun, seberapa lama ia mengamatinya, tempat yang dilihatnya tetap terlihat asing.
“Kita berhenti di mana, sih? Nanti, kalau mau pulang gampang nggak?”
Silau karena cahaya matahari yang sudah lumayan panas, membuat Nafisa mengernyit sambil menatap Arzan. Ia merasa kepanasan. Namun, Arzan yang mendengar tanya Nafisa justru tertawa. Dia merasa lucu begitu melihat raut wajah istrinya.
“Dih! Ditanya, kok, malah ngetawain? Neng serius tau,” sungutnya kesal. Bibir yang semula lurus pun berubah mengerucut. Nafisa juga mendelik, karena merasa sedikit pusing.
“Iya, iya. Maaf.” Arzan masih tergelak, sambil meraih sebelah tangan Nafisa untuk membujuk. Namun,
“Tidak ada yang salah saat kita harus terus mengalah. Tapi, apa salahnya jika kita bersikap tegas pada sesuatu yang seharusnya?”Hujan sempat berhenti begitu suami istri itu tiba di pasar. Namun, begitu Arzan menempuh perjalanan sekitar satu kilo dari toko, ribuan air bak jarum itu kembali turun dengan curah semakin deras. Ia sempat akan berhenti, tetapi Nafisa melarangnya dengan alasan terlanjur basah. Sebab, diam dalam keadaan pakaian basa jauh lebih dingin dibanding hujan-hujanan. Hanya ponsel yang keduanya selamatkan dari air, menyimpannya dalam tas selendang Nafisa setelah sedari tadi terselip dalam saku celana.Alhasil, dua puluh menit berada di bawah derasnya hujan pun membuat keduanya basah kuyup. Mereka buru-buru naik ke teras setelah memarkirkan motor di halaman rumah Laksmi. Nafisa yang naik terlebih dulu mengusap air di wajah, sebelum memilin-milin baju agar airnya turun. Namun, belum sempat satu di antaranya mengetuk pintu, si emp
Orang tua seharusnya membimbing dan mendukung seorang anak yang baru saja membangun sebuah pernikahan untuk bisa jauh lebih mandiri. Bukan justru mengekang, melarang, dan ikut campur dalam setiap urusan. Sebuah hubungan, apa pun itu namanya, memang identik dengan permasalahan. Pun antara suami istri, yang jelas-jelas lahir dengan kepribadian berbeda. Solusinya ialah saling mengerti, mendukung , dan tentu menjaga keharmonisan dalam berkomunikasi.Namun, Laksmi, wanita paruh baya itu justru melarang Nafisa pergi dengan alasan, takut kalau anaknya itu akan mendapat banyak masalah saat jauh darinya. Membuat Arzan kehilangan sedikit rasa sabar, sampai terciptalah emosi dalam setiap perkataan. Dia mengepalkan kedua tangan, berusaha menahan geram. Betapa mudah ibu mertuanya itu bicara, tanpa rasa peduli.“Tapi, Bu. Nafisa itu sudah jadi tanggung jawabku. Susah atau pun senang, itu sudah jadi jalannya sebuah kehidupan. Ibu atau siapa pun tidak bisa mengubah
“Semarah-marahnya seorang ibu, tidak mungkin sampai memupuk benci. Dan sekesal-kesalnya seorang anak, tetap rindu yang dirasa saat di antaranya ada jarak terbentang. Sedangkan sakit yang menyayat hati seorang menantu, rasanya tak kan hilang walau waktu telah lama berlalu.”***Bulan pertama setelah meninggalkan kediaman Laksmi, Arzan sudah membawa Nafisa tinggal di rumah kontrakan yang cukup jauh dari rumah Mariam. Dua ratus per satu bulan dengan fasilitas lumayan. Ada dua kamar di kedua sisi ruangan dengan satu ruang tamu di tengah-tengah, juga ruang makan yang bersisian dengan dapur dan kamar mandi di belakang. Belum lagi Sanyo dan Kwh yang sudah tersedia. Namun, tinggal di tempat yang nyaman dengan kebutuhan serba tercukupi tak lantas membuat hidup Nafisa menjadi tenang. Ada embun yang tersembunyi di balik mata sipitnya, karena rindu yang tak terjabarkan untuk kedua orang tua. Ia terlalu khawatir, ba
“I-ibu?” Ia tergagap-gagap mendapati Laksmi ada di depan pintu. “Kak Alvin?” Lanjutnya sambil membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “S-silakan masuk.”“Assalamualaikum,” kata Alvin begitu melangkah maju, masuk dengan diikuti Laksmi di belakangnya.Arzan menjawab salam sambil menutup pintu. “Kapan datang, Kak?” tanyanya, sedikit merasa kikuk. “Silakan duduk.”“Tadi pagi, Zan.” Alvin duduk bersila, tegak dengan kedua tangan bertumpu di kedua sisi lututnya. Dia menghirup udara dalam-dalam. Ventilasi udara di rumah kontrakan Nafisa memang kecil. Tak terasa, kalaupun kelebat angin lumayan kencang di luar.“Oh.” Arzan menyengir, seolah kehabisan bahan obrolan. “Sekeluarga, Kak?”Alvin mengangguk sebelum akhirnya mengedarkan pandangan. Ia melihat ke sekeliling, tanpa terlalu menunjukkan keingintahuannya tentang seberapa nyaman rumah itu untuk Nafisa.
Sedari tadi menahan tangis, air mata Nafisa akhirnya luruh juga. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti terlihat kacau sambil terisak, dan menyusut berulang kali hidung dan matanya dengan ujung kerudung. Membuat Arzan yang mendengarnya seketika menoleh.Seperti tersadar dari lamunan, Arzan langsung menunduk, menangkup dan menyapu wajahnya kasar dengan kedua tangannya yang lembut. Ia beristigfar berulang kali di dalam hati sebelum kembali mengangkat wajah.“Maaf, Bu,” lirihnya kemudian. “Maaf, Kak.”Namun, orang tua di hadapannya itu tidak menggubris. Laksmi justru bangkit berdiri dan menepuk pundak Alvin yang sedari tadi diam mendengar Arzan. Kakak Nafisa itu tidak menyangka, kalau apa yang dirasakan adiknya begitu menyedihkan.Sama menyedihkannya dengan apa yang ia rasa, saat diawal-awal pernikahan. Laksmi bersikap tak jauh beda: mengatur, melarang, dan keras kepala. Namun, yang paling membuatnya termenung adalah ap
“Walau engkau seorang pria, perkara hati bukan orang lain yang merasai. Maka, menangislah jika itu yang bisa membuatmu tenang.”***Pagi-pagi sekali, usai melaksanakan salat Subuh bersama, berbagai kejadian menyakitkan seolah beruntun menusuk-nusuk jantung hati Nafisa. Mulai dari ingatan yang kembali memutarkan kenangan pahit akan kenyataan, bahwa guna-guna yang didalangi Laksmilah yang membuat Arzan seolah-olah jatuh cinta dan mau menikahinya. Membuat ia kehilangan malam pertama usai resepsi, karena guna-guna yang tiba-tiba luntur bahkan tak mempan lagi. Beruntung, ketulusan yang dimiliki Arzan membuatnya terhindar dari perceraian. Arzan mampu menerima apa yang dilakukan Laksmi padanya, bahkan mencintai Nafisa sampai membuahkan janin di rahim istrinya itu.Namun, masalah tak lantas hilang begitu saja. Arzan dan Nafisa lagi-lagi harus menghadapi ego dan keras kepalanya Laksmi. Ibu dari empat anak itu tak habis-habis merecok, ikut campur
Di pertigaan jalan saat Arzan seharusnya belok ke arah kiri untuk pergi ke pasar, ia justru belok ke kanan. Dari sana ia melaju cepat karena sundulan emosi yang bergejolak, memenuhi isi kepalanya. Sesekali ia memukul setang, kesal karena harga dirinya benar-benar hilang di mata keluarga Laksmi. Namun, di sisi lain, ia merasa jahat karena sudah mengantarkan Nafisa pulang dengan alasan lain. Alasan yang belum diberitahukannya pada Nafisa.Perjalanan menuju rumah ibunya tinggal sebentar lagi. Akan tetapi, ia tak cukup sabar untuk segera sampai. Ingin bersimpuh, memohon ampun di kedua kaki wanita yang melahirkan dan mengurusnya dengan penuh ikhlas dan sabar. Ingin mengadu perihal nasib yang ternyata tidak berpihak banyak padanya.Begitu sampai di rumah Mariam yang di kelilingi pohon mangga, Arzan langsung berlari dan mencari sosok ibunya di dalam. Barulah setelah mengubek hampir ke setiap penjuru ruang, ia menemukan perempuan berharganya itu tengah membakar sampah di halam
Matahari sudah beranjak naik, memberi hawa panas dari sinarnya yang semakin terik. Namun, itu tak menghentikan keluarga Laksmi yang sedari pagi sibuk mengolah bumbu untuk memasak besok. Semakin gesit agar bisa secepatnya beristirahat.Di tengah kesibukannya, seluruh keluarga masih menghawatirkan kondisi Nafisa. Mereka takut kalau sampai adik bungsunya mengulangi hal semacam tadi. Mengamuk, atau bahkan lebih dari sekadar itu. Tak terkecuali Laksmi, wanita tua itu berulang kali masuk dan memastikan anaknya di dalam kamar.Seperti sekarang, saat Laksmi hendak menyuapi Nafisa makan. Ia membawa sepiring nasi, semangkuk sayur lodeh, dan dua potong ayam goreng dalam nampan ke kamar. Dilihatnya Nafisa masih meringkuk menghadap jendela kamar, membelakangi pintu.“Neng, makan dulu, ya.” Laksmi meletakan nampannya di sisi ranjang, cukup jauh dari kaki Nafisa. “Ibu bawa sayur sama goreng ayam.”Hening. Nafisa tak menjawab atau bergerak, bergeming menatap ke luar jendela
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me